Gadis Akasia - Cerpen Cinta Romantis

GADIS AKASIA
Karya Kaz Felinus Li
 
Hong Kong, 1999
Jun Liang, adalah seorang remaja kelahiran Daratan Tiongkok yang baru berusia 15 tahun. Dalam usianya yang masih relatif muda itu, dia sudah harus ikut ayahnya, Guan Cheng, merantau ke Hong Kong. Guan Cheng dulunya adalah seorang buruh di negaranya sendiri, sebuah pekerjaan yang sudah ditekuninya bertahun-tahun sejak dia menikah dengan istrinya yang sudah meninggal 13 tahun silam. Dari pernikahan mereka, lahirlah satu-satunya anak mereka, Jun Liang. Kala itu Jun Liang masih berumur 2 tahun ketika istrinya meninggal.

Tekanan ekonomi yang berat di Tiongkok membuat Guan Cheng harus berencana untuk lebih baik lagi dalam menjalani masa depannya. Di tahun 1999, dia pun nekat merantau ke Hong Kong yang masih menjadi kolonial Inggris itu. Di sana, Guan Cheng menemui seorang teman masa kecilnya yang bersedia meminjamkan sejumlah uang kepadanya untuk dipergunakan sebagai modal berjualan buah-buahan segar di pinggir jalan. Mau tidak mau Jun Liang harus melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA di kawasan Tsuen Wan.
 
Gadis Akasia
Sebagai seorang yang berasal dari kampung dan dengan logat Mandarin yang sangat kental, sudah dapat ditebak kalau Jun Liang akan tampil berbeda dengan teman-teman sekolahnya yang baru. Namun perbedaan tersebut tidaklah membuat Jun Liang bangga, sebaliknya dia harus mulai menjalani hari demi hari yang penuh dengan gangguan dari teman-temannya.

Tiga hari berlalu. Suatu pagi, ketika bel tanda istirahat sudah berdentang, Jun Liang mengambil bekal nasi yang dibawanya dari rumah dan berjalan keluar kelas menuju kantin. Ketika melintasi lorong sekolah yang menghubungkan ke kantin, tahu-tahu dia tersentak dan ketika dia menyadarinya, dirinya sudah berada di atas udara dan selang beberapa detik di antaranya, dia mendarat dengan dada menghantam lantai, sedangkan kotak nasi yang dibawanya ikut melayang dan tumpah beserta isinya.

Kiranya seorang murid laki-laki, yang bersembunyi di belakang dinding, telah menjulurkan kakinya dan menyengkatnya ketika Jun Liang melewati lorong itu. Seketika suara tertawa pun terdengar bergema di lorong itu. Jun Liang berusaha bangun dari posisi jatuhnya dan sambil mengelus dadanya yang kesakitan, dia berdiri.
“Mau makan pagi ya, anak kampung…” ledek anak yang menyengkatnya itu. Saat itu, temannya yang lain, mengambil nasi yang berserakan di lantai itu dengan sapu dan memberikannya kepada Jun Liang, disambut oleh tertawa riuh dari teman-teman lainnya. Melihat hal itu, Jun Liang tentu saja menolak untuk mengambil nasi yang disodorkan itu.
“Wah, berani-beraninya si anak kampung ini menolak nasinya sendiri?” ejek si anak itu lagi.
“Maaf, teman, ” kata Jun Liang. “Lebih baik aku tidak makan daripada harus makan nasi ini.”
“Anak kampung ini banyak lagak juga rupanya…” celetuk salah satu dari mereka.
“Hey, anak kampung. Dengar ya.” kata anak yang menyengkat jatuh Jun Liang itu. “Kau anak baru disini. Jangan banyak lagak! Di sekolah ini tidak ada yang berani melawan kami! Apapun yang kami perintahkan, harus kau lakukan!”
“Maaf ya, teman,” sahut Jun Liang. “Aku tidak bisa.”

Anak-anak tersebut saling memberi tanda satu sama lain. Tiba-tiba, anak yang terdekat dengan Jun Liang menjulurkan lengannya dan mencekal kerah bajunya.
“Anak kampung saja banyak lagak!” katanya sambil mengayunkan lengannya memukul Jun Liang. Perkelahian tak seimbang pun terjadi. Jun Liang menjadi bulan-bulanan keroyokan kelompok anak bandel tersebut.

Air pancuran segar yang mengalir di taman sekolah menjadi cairan pembasuh yang sejuk di wajah Jun Liang yang sudah bengkak dihajar teman-teman barunya tu. Aliran darah kering masih tersisa di bibirnya saat itu. Pakaian seragamnya kotor dan berantakan.

Sambil mengeluh kesakitan, Jun Liang mencuci wajah dan tangannya. Lalu mengeringkannya dengan saputangan yang diambilnya dari kantong celananya.

Jun Liang bersiap untuk pergi ketika di depannya melintas seorang gadis yang masih satu sekolah dengannya. Gadis itu sedang bernyanyi riang ketika mereka berpapasan.
“Hai…” sapa gadis itu ketika melihat Jun Liang. Jun Liang hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya dan dia meneruskan berjalan.
“Tunggu!” kata gadis itu tiba-tiba dan menghentikan langkahnya. Sesaat dia terpaku memperhatikan wajah Jun Liang yang babak belur itu.
“Kalau aku tidak salah ingat, kau anak baru dari Daratan itu bukan?” tanyanya.

Jun Liang mengangguk.
“Kenapa wajahmu bengkak begitu? Apa ada yang terjadi padamu?” sambung gadis itu lagi.
“Aku tidak apa-apa. Tadi hanya terjatuh saja.” Jawab Jun Liang dan dia kembali melangkah.
“Maaf,” kata gadis itu sambil memegang lengan Jun Liang.
“Ouhh… sakit…” jerit Jun Liang saat lengannya dipegang si gadis.
“Oh, maaf,” gadis itu melepaskan pegangannya. “Kamu sepertinya terluka ya?

Siapa yang melakukan ini semua? Apa itu perbuatan mereka?”

Jun Liang hanya menunduk, tak dapat berkata-kata. Lalu gadis itu memulai dulu untuk memperkenalkan dirinya.
“Aku Xiang Hua.” Ujarnya.
“Jun Liang…”
“Aku sudah tahu.” Kata Xiang Hua sambil tersenyum. “Kita ke klinik dulu ya. Biar lukamu bisa diobati.”

Mereka berjalan menyebrangi taman menuju klinik sekolah. Sepanjang jalan, Xiang Hua menjelaskan tentang keadaan di sekolahnya itu.
“Jangan pedulikan mereka,” katanya kepada Jun Liang yang berjalan di sebelahnya. “Mulai besok, kamu ikut aku saja ya kalau mau kemana-mana di sekolah ini. Aku akan memandumu dan siapa tahu kita bisa berteman atau mungkin juga bersahabat.”
“Terima kasih, Xiang Hua.” Kata Jun Liang. “Kau adalah temanku yang pertama disini. Aku ingin kita selamanya berteman.”

Jun Liang berhenti dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih sudah mau menolongku.”

Xiang Hua menerima salaman tangan Jun Liang dan tersenyum. Sebuah senyuman indah untuk gadis sebaik Xiang Hua. Menurut Jun Liang, Xiang Hua itu gadis yang cantik. Semakin cantik bila senyumnya merekah. Dengan rambut hitam halus sebatas pundak, suara yang merdu dan badan yang proporsional.

Itulah awal perjumpaan Jun Liang dengan Xiang Hua. Setiap kali Jun Liang menghadapi masalah dengan anak-anak bandel di sekolahnya, Xiang Hua selalu membantunya. Dan Jun Liang juga cukup pintar untuk membantu Xiang Hua menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya selama ini.
***

Tak terasa dua bulan berlalu sudah sejak pertemuan Jun Liang dengan Xiang Hua. Kini Jun Liang sudah tidak lagi diganggu oleh anak-anak bandel di sekolahnya itu, karena pada suatu ketika dia dengan gagah berani berkelahi membela dirinya dan walaupun mereka semua dihukum oleh guru, namun sekarang mereka semua telah berteman baik. Jun Liang pun sudah berteman dengan semua yang bersekolah disana.

Suatu pagi saat istirahat, Jun Liang dan Xiang Hua berjalan menuju taman sekolahnya yang ramai dikunjungi oleh para siswa selama istirahat.
“Xiang Hua, ikut aku yuk…” kata Jun Liang sambil menarik lengan Xiang Hua.
“Kita mau kemana?” Tanya Xiang Hua.
“Ke suatu tempat…” jawab Jun Liang.

Ternyata Jun Liang mengajak Xiang Hua ke bawah sebuah pohon yang tumbuh di pojokan taman. Xiang Hua menatapnya dengan bingung.
“Ini kan hanya sebuah pohon, untuk apa kita kesini?”
“Xiang Hua, coba lihat.” kata Jun Liang sambil menunjuk ke bunga kuning yang tumbuh dari pohon tersebut. “Apakah kamu tahu nama bunga ini?” Xiang Hua menggeleng.
“Bunga ini namanya bunga Akasia.” Kata Jun Liang sambil memetik sebatang bunga tersebut. “Kelihatannya tidak bagus, tapi bunga Akasia ini menyimpan sebuah arti yang indah.”
“Arti yang indah?” Xiang Hua menatap Jun Liang dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Iya, bunga Akasia menyimpan arti tersendiri.” Kata Jun Liang. “Kamu tahu apa arti bunga Akasia ini?” Lagi-lagi Xiang Hua menggeleng.
“Akasia mempunyai arti…” lanjut Jun Liang. “Kecantikan.”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menghadiahkan bunga Akasia yang di tangannya itu kepada Xiang Hua. Disematkannya bunga itu di telinga Xiang Hua.
“Sangat cocok untuk disematkan kepada seorang gadis secantik dirimu.” Kata Jun Liang. Xiang Hua menunduk dan tersipu malu.
“Arti kedua dari bunga Akasia…” kata Jun Liang lagi, sambil memegang dagu Xiang Hua dan menengadahkan wajahnya yang tertunduk itu. “adalah cinta terpendam…”
“Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku selama ini. Pertemuan pertama kita membuatku jadi tertarik padamu. Sejak saat itu aku memendam perasaanku padamu. Baru hari ini aku bisa mengungkapkannya. Dengan bunga Akasia ini, aku ingin mengikat hubungan kita dan aku ingin kita selalu mengingat bahwa bunga Akasia ini menjadi saksi ikatan hubungan kita.”

Xiang Hua tersenyum. “Terima kasih. Tapi aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?” Tanya Jun Liang.
“Aku ingin kamu menjagaku seperti pohon ini menjaga bunga Akasia ini.”
“Pasti aku akan selalu menjagamu. Selama bunga Akasia masih berkembang, selama itu pula cinta ini akan terus berkembang padamu.” Kata Jun Liang sambil memegang jemari Xiang Hua.
“Tapi…” tiba-tiba Xiang Hua merengut.
“Tapi kenapa?” Jun Liang tampak bingung menghadapi rengutan di wajah Xiang Hua.
“Tapi kenapa dari sekian banyak bunga di taman sekolah ini, kamu justru memilih bunga Akasia ini?” Tanya Xiang Hua. “Bukannya masih ada mawar, anggrek dan juga bunga lily?”
“Kenapa ya?” Jun Liang menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. “Aku sendiri juga bingung, kenapa ya?”
“Aku menunggu lho….” Ujar Xiang Hua.
“Sebenarnya ini rahasia, alias belum waktunya kamu tahu jawabannya.”
“Tuh kan….” Xiang Hua tambah merengut. “Malas ahhh…”
“Nah, begini saja…” ujar Jun Liang menjentikkan jari. “Kamu mau tahu jawabannya kan?”

Xiang Hua mengangguk.
“Aku akan beritahu jawabannya sekarang…” tiba-tiba Jun Liang berhenti. “hanya jika kamu bisa mengejarku…”

Sambil berkata begitu, Jun Liang menggelitik pinggang Xiang Hua yang membuat gadis itu terhenyak kaget. Detik berikutnya, Jun Liang pun lari menghindar.
“Awas ya…” seru Xiang Hua tersenyum dan mulai berlari mengejar Jun Liang. “Siapkan jawabanmu karena aku pasti bisa mengejarmu!!”
“Coba saja kalau bisa…” jawab Jun Liang sambil berlari. “Aku sudah terbiasa berlari di kampung halamanku… Kamu takkan mungkin bisa mengejarku.”

Bersamaan dengan larinya dua insan itu, bel tanda masuk kelas pun berbunyi.
***

Hong Kong, medio 2002
Tak terasa, tiga tahun sudah hubungan mereka berjalan. Hari itu adalah hari kelulusan. Ketika acara kelulusan diselenggarakan, Guan Cheng menyempatkan diri datang ke sekolah memenuhi undangan. Begitu juga dengan orang tua Xiang Hua. Disanalah Jun Liang dan Xiang Hua mengenalkan orang tua masing-masing.

Dari sana masing-masing orang tua mengetahui bahwa Jun Liang dan Xiang Hua adalah sama-sama anak tunggal di keluarga masing-masing. Hanya perbedaan status ekonomi yang membedakan mereka. Tidak seperti keluarga Jun Liang, keluarga Xiang Hua adalah keluarga berada. Ayahnya seorang manajer sebuah perusahaan yang cukup elit di Hong Kong, sedang mamanya adalah seorang ibu rumah tangga yang bahagia dengan anak satu-satunya yang sudah berangkat remaja.

Karena Jun Liang adalah murid yang pintar, tak heran pada saat kelulusan, dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Australia. Hal mana yang menjadi sebuah dilema baginya.

Sebenarnya Jun Liang tidak ingin meninggalkan Xiang Hua sendirian di Hong Kong. Dia memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya, namun Xiang Hua bersikeras agar Jun Liang bisa melanjutkan studinya seperti yang didapatnya dari beasiswa tersebut.
“Aku tak ingin meninggalkanmu.” Kata Jun Liang pada Xiang Hua suatu sore ketika dia ke rumahnya. “Lebih baik aku tak kuliah di Sydney, tapi aku bisa bersamamu kuliah disini.”
“Jun Liang,” ujar Xiang Hua. “Aku ingin kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Orang lain yang berharap bisa mendapatkan beasiswa saja masih bermimpi untuk mendapatkannya, mengapa justru kamu yang sudah mendapatkannya malah menolak untuk pergi?”
“Aku tak bisa meninggalkanmu…” jawab Jun Liang. “Kenapa kamu tak ikut aku kuliah bersama disana?”
“Bukan aku tidak mau ikut bersamamu. Tapi kamu kan tahu aku tidak sepandai dirimu.”
“Tapi kan ada aku. Selama ini bukannya aku sudah menolongmu dalam pelajaran? Disana juga nantinya akan sama saja kan?”
“Tidak, Jun Liang. Aku tak ingin selamanya bergantung padamu.” Kata Xiang Hua. “Aku ingin kamu melakukan yang aku inginkan, pergi ke Australia dan lanjutkan kuliahmu disana. Aku bisa menunggumu disini. Tidak mungkin aku meninggalkan mamaku.”

Jun Liang masih terdiam. Hatinya masih galau dan ragu.
“Tapi…” Jun Liang ingin mengucapkan sesuatu ketika bibirnya ditahan oleh jari telunjuk Xiang Hua.
“Aku mohon, bila kau mencintaiku…” kata Xiang Hua. “Lanjutkanlah kuliahmu di Sydney. Dan bila kau percaya pada kekuatan cinta, ketika kau kembali, aku masih tetap milikmu…”

Jun Liang tak kuasa menahan gemuruh hatinya saat itu. Dipeluknya Xiang Hua dalam dekapan yang erat seakan tak ingin melepaskannya.
“Buktikanlah bila kau mencintaiku. Aku ingin kau berhasil disana dan jemputlah aku dengan cintamu.” Sambung Xiang Hua dalam pelukan tersebut. Kedua mata beningnya berkaca-kaca.
“Xiang Hua…” kata Jun Liang lirih dan semakin erat memeluk kekasihnya itu.

Singkat cerita, hubungan Jun Liang dan Xiang Hua pun berlanjut melalui media surat dan internet.

Desember 2002
Kesetiaan Xiang Hua sebagai seorang kekasih yang menunggu kedatangan pasangannya kembali dari kuliah mendapat cobaan dari Tuhan. Keluarga Xiang Hua mulai mengalami kehancuran. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang direktur perusahaan tergoda oleh sekretarisnya sendiri. Bukan hanya selingkuh yang dilakukannya, namun dia juga meminta cerai kepada istrinya dan memilih memulai hidup baru dengan sekretarisnya tersebut.

Sebagai anak tunggal, Xiang Hua lebih memilih tinggal bersama ibunya dibanding ayahnya yang pergi meninggalkan mereka begitu saja. Ekonomi keluarga Xiang Hua drastis jatuh sepeninggal ayahnya. Ibunya pun jatuh sakit karena beban pikiran yang berkepanjangan. Xiang Hua sendiri berhenti kuliah karena tak ada lagi yang membiayainya. Beruntung, Xiang Hua rajin menabung dan dengan uang tabungannya, dia membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan.

Dari penghasilan itu, dia berharap bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Namun semua itu tidak diceritakannya kepada Jun Liang yang kuliah di luar negeri itu. Dia tidak ingin konsentrasi kuliah Jun Liang berantakan bila mengetahui hal itu.

Oleh karenanya pada setiap surat yang ditulisnya kepada Jun Liang, Xiang Hua tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang masalah keluarganya kepada Jun Liang. Xiang Hua hanya memberitahu Jun Liang bahwa dia masih tetap kuliah dan sudah membuka sebuah toko bunga kecil-kecilan untuk mengisi waktu luangnya sehari-hari.

Triwulan kedua 2003
Keadaan sepasang kekasih yang terpisah negara itu sepertinya bertolak belakang. Walaupun Xiang Hua berhasil mengangkat ekonomi keluarga, namun dia tidak bisa menghindari cobaan Tuhan yang lain kepada dirinya. Karena seringnya dia melakukan kontak melalui dunia maya internet dengan Jun Liang, Xiang Hua mulai merasakan kelainan pada kedua matanya. Penglihatannya makin lama semakin kabur dan membayang. Semakin hari semakin bertambah parah dan kronis.

Sedangkan belum genap setahun sejak Jun Liang kuliah di Sydney, Australia, dia telah diterima bekerja sebagai seorang wakil manajer di sebuah kantor dengan gaji yang cukup tinggi dan diberikan segala akomodasi lengkap. Jun Liang pun sanggup mengangsur sebuah apartemen mewah yang lengkap dengan segala fasilitasnya, sehingga Guan Cheng pun bisa menikmati masa-masa tuanya tinggal di sana.

Sementara itu, waktu terus berjalan…

Sydney, triwulan 2005
Dua bulan berlalu sudah sejak Jun Liang tidak lagi menerima kiriman email dari Xiang Hua. Dia pun sudah tidak pernah melihat Xiang Hua online di internet. Dia mulai gelisah dan mencoba menelepon Xiang Hua, namun tak pernah mendapat jawaban sedikitpun dari Xiang Hua.

Hari terus berlalu, kegelisahan semakin menghantui dirinya. Apa yang terjadi pada Xiang Hua sehingga membuatnya tidak menghubunginya sama sekali? Rumah tempat tinggal Xiang Hua juga serig menjadi tempat dihubungi Jun Liang melalui telepon, namun tetap tak ada jawaban yang memuaskan.

Dia pun memutuskan untuk segera kembali ke Hong Kong melihat keadaan Xiang Hua sekaligus mencari bukti apa yang terjadi sebenarnya…

Desember 2005
Setelah menitipkan apartemennya kepada seorang koleganya di Sydney, yang diminta tinggal seatap dengan Guan Cheng, ayahnya, Jun Liang pun bersiap untuk kembali ke Hong Kong mencari tahu keberadaan kekasihnya itu.

Ketika tiba di Hong Kong, hari sudah malam. Jun Liang pun menyewa sebuah hotel untuk menginap, dan dikarenakan badannya terlalu lelah menempuh perjalanan jauh, dia memutuskan untuk memulai pencariannya esok pagi.

Keesokan paginya, dengan menyewa sebuah taksi, Jun Liang pun meluncur ke alamat tempat tinggal Xiang Hua. Saat tiba di tempat itu, dia melihat rumah Xiang Hua tidak lagi seperti dulu yang pernah dijumpainya. Rumah tersebut telah dibangun berlantai dua dimana di lantai terbawahnya dijadikan toko bunga.
“Acacia Florist,” Jun Liang membaca papan nama yang tergantung di atas ruko tersebut. “Jadi Xiang Hua memakai bunga akasia sebagai nama toko bunganya ya… hmmm…”

Suasana di toko bunga itu cukup ramai didatangi pengunjung yang membeli. Jun Liang memilih untuk mempelajari situasi lebih jauh dengan tetap berada di dalam taksi yang ditumpanginya.

Satu demi satu orang diperhatikannya. Namun selama beberapa menit dia tidak melihat Xiang Hua yang dicarinya itu. Pada saat itu, seorang pria melangkah keluar toko dengan membawa seikat bunga. Di belakangnya, tampak seorang gadis berlari pelan mengejarnya.
“Tuan, Anda lupa kembaliannya.” Kata gadis itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada pria tersebut yang disambutnya dengan senyum. “Terima kasih,” katanya.
“Siapa gadis itu? Kemana Xiang Hua?” Tanya Jun Liang kepada dirinya sendiri ketika menyadari gadis yang dilihatnya itu bukanlah Xiang Hua. “Tak mungkin ini bukan tokonya. Aku masih ingat sekali alamat rumahnya dan terlebih tokonya bernama Akasia,”

Merasa tak sabar menunggu, Jun Liang pun turun dari taksi, membayarnya dan bergegas ke arah toko bunga tersebut. Sesaat dia tampak celingukan mencari-cari sesuatu, tepatnya seseorang.
“Ada yang bisa dibantu, Tuan?” terdengar sebuah suara.

Jun Liang menengok ke arah suara itu. Ternyata yang memanggilnya adalah gadis yang tadi dilihatnya.
“Hmm… Aku mencari bunga akasia, apa ada bunga seperti itu dijual disini?” Tanya Jun Liang.
“Maaf, Tuan. Kami tidak menjual bunga itu disini.” Jawab gadis itu.
“Aneh, berani memasang nama toko Akasia tapi tidak menjual bunga akasia.” Kata Jun Liang lagi.
“Bunga Akasia jarang sekali ada yang mencari. Bila Tuan benar-benar memerlukannya, Tuan bisa memesannya dan kembali besok. Kami akan menyediakannya untuk Tuan.”
“Aku membutuhkannya hari ini. Bisa tolong diusahakan?” Tanya Jun Liang mencoba memancing.
“Hmm… Bagaimana ya?” Si gadis tampak bingung dan salah tingkah.

Saat itu tiba-tiba terdengar sebuah suara dari dalam ruangan toko. “Sarah, ada apa di luar sana?”

Gadis yang bernama Sarah itu berniat menjawab ketika pemilik suara itu keluar dari dalam ruangan sambil mengetuk-ngetuk jalanan dengan tongkat yang dipegang di tangannya.

Terbelalak kedua mata Jun Liang waktu melihat dengan jelas siapa gadis bertongkat yang berjalan keluar ruangan itu. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Dirinya bagai disambar petir di siang bolong saat mengenali gadis itu.
“Astaga!!” hanya itu kata yang sanggup keluar dari bibir Jun Liang saat melihat si gadis bertongkat yang bukan lain adalah Xiang Hua itu.

Selang beberapa detik kemudian, Jun Liang tak kuasa menahan lagi matanya yang mulai berkaca-kaca itu. Pandangannya kosong menatap kekasihnya yang selalu dirindukannya itu, kini telah buta.
“Tuan…” suara Sarah membuyarkan lamunan Jun Liang.
“Oh, maaf…” jawab Jun Liang. Karena tak ingin Sarah melihat apa yang sedang terjadi padanya, buru-buru Jun Liang menjawab.
“Bunganya tidak jadi hari ini, aku pesan untuk besok saja… Tolong dipersiapkan…” lanjut Jun Liang yang segera berbalik arah dan bergegas meninggalkan tempat itu.
“Tuan…” Sarah masih mencoba memanggil Jun Liang, namun yang dipanggil sudah berlalu dengan cepat.
“Siapa dia, Sarah?” Tanya Xiang Hua. “Kenapa tidak kau layani dia dengan baik?”
“Aku tidak tahu, Nona…” jawab Sarah. “Dia datang mencari bunga Akasia.”
“Bunga Akasia?” bergumam pelan Xiang Hua sambil mendoyongkan kepalanya. “Apakah itu dia?”
“Nona… nona kenapa?” kata-kata Sarah menyadarkan lamunan Xiang Hua.
“Oh, tidak… Mungkin aku salah, tidak mungkin tadi itu dia…” desis Xiang Hua lirih.
“Maksud Nona tadi itu Tuan Jun Liang, kekasih Nona yang sering Nona ceritakan itu?” Tanya Sarah.
“Aku tidak yakin itu dia, hanya sekilas kudengar dari suaranya.” Kata Xiang Hua. “Aku kenal suaranya.”
“Nona, besok dia akan kembali lagi kemari… Kita bersama-sama menemuinya ya?”

Xiang Hua mengangguk. “Ya… Aku ingin tahu apa dia itu benar orangnya…”

Di saat yang sama, Jun Liang yang telah berada di dalam sebuah taksi panggilannya, tak lagi dapat menahan derai air matanya menetes.
“Xiang Hua… jadi ini sebabnya kenapa selama ini kamu sudah tidak online dan membalas suratku lagi? Bahkan untuk meneleponpun kamu sudah tidak bisa?” kata Jun Liang pada dirinya sendiri.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu hingga kamu menjadi seperti itu?” Jun Liang menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu pasti menderita dengan kebutaan seperti itu. Aku tidak ingin kamu mengetahui kalau aku berada disini. Aku tahu kamu pasti sedih bila aku mengetahui kamu buta.”
“Xiang Hua… ijinkan aku menolongmu. Aku akan membalas kebaikan dan pertolonganmu semasa aku masuk sekolah disini. Tuhan, ijinkan aku menolongnya…”

Ketika keesokan harinya Jun Liang kembali ke toko bunga tersebut mengambil pesanannya, dia memberi tanda kepada Sarah agar Sarah bisa mengikutinya ke sebuah café kecil di seberang jalan. Disana, Jun Liang mengetahui kebenaran tentang semua yang terjadi pada keluarga Xiang Hua.
“Sejak kepergian ayahnya, Nona berjuang sendiri di toko bunga itu. Sampai akhirnya seorang temannya tak tega melihatnya dan menawarkan bantuan dengan memasukkanku kesana.” Sarah memulai ceritanya. “Ibunya sakit-sakitan dan penghasilan yang didapat Nona tidak begitu cukup untuk biaya berobat ibunya. Mata Nona sendiri semakin hari semakin kabur pandangannya dan akhirnya buta total. Tapi dia masih belum menyerah. Dia masih tetap berjualan walau harus dengan bantuan tongkat.”
“Jika aku minta tolong padamu, maukah kau membantuku?” Tanya Jun Liang.
“Sudah tentu, Tuan. Aku ingin melihat Nona kembali bahagia. Aku tidak tega melihatnya setiap malam memegang fotomu sambil menyebut-nyebut namamu.” Sarah mulai menitikkan air matanya ketika dia melanjutkan bercerita.
“Diam-diam aku sering mendengar dia berkata bahwa dia tidak ingin kau tahu kalau dia sudah tidak dapat melihat lagi. Dia berharap kau sukses disana dan tidak pernah kembali lagi. Dia berharap kau bisa melupakannya seperti ayahnya melupakan ibunya ketika sukses. Dia tidak ingin kau kembali dan melihat keadaannya seperti ini. Dia tidak ingin kau bersedih. Karena itu semua, dia pun berhenti dan tidak menghubungi dirimu lagi dan tidak pernah menjawab semua teleponmu.”
“Dia ingin kamu melupakannya. Cukup hanya dia saja yang ingat padamu. Dia akan selalu mengenangmu melalui bunga Akasia itu. Bunga yang pernah kau kenalkan padanya di taman sekolah. Bunga yang tak pernah ada di toko bunga Akasia, karena dia takkan pernah menjual bunga kenangannya itu kepada siapapun juga.”
“Dia pernah berkata, bila suatu saat ada seorang lelaki datang ke toko dan memaksa mencari bunga Akasia, itulah dirimu. Dia akan menunggu saat itu tiba. Hanya saja, dia berkata, bunga Akasia yang akan dicari lelaki itu sudah layu dan bukan Akasia yang segar lagi. Bunga Akasia yang sudah hidup di dunia yang serba gelap. Bunga Akasia yang sudah sepantasnya hilang dari dunia sang kumbang.”

Jun Liang menggigit bibir menahan pedih mendengar cerita Sarah itu. Matanya berkaca-kaca.
“Tuan, aku mohon. Tolonglah Nona Xiang Hua…” Sarah tak sanggup lagi melanjutkan ceritanya. Tangisnya meledak saat itu.

Jun Liang hanya bisa menunduk beberapa saat dan ketika dia mengangkat wajahnya kembali, kedua matanya berair dan merah.
“Sarah, aku mohon, jangan beritahu bila aku sudah kembali.” Kata Jun Liang setelah terdiam sekian lama. “Aku pasti akan menolong dia, belahan jiwaku itu. Tapi aku butuh bantuanmu.”
“Apapun akan kulakukan, Tuan, asalkan Nona Xiang Hua bisa bahagia kembali.”
“Bagus kalau begitu. Bantu aku menjalankan rencana ini ya…” kata Jun Liang yang kemudian menjelaskan semua rencananya menolong Xiang Hua kepada Sarah.

24 Desember 2005
Dengan alasan Sarah mendapat sumbangan dari semua teman-teman Xiang Hua untuk biaya pengobatan matanya, dan dengan perjuangan yang susah payah, akhirnya Sarah berhasil membujuk dan meyakinkan Xiang Hua untuk pergi ke Rumah Sakit - yang sebenarnya ditunjuk oleh Jun Liang - untuk melakukan operasi.

Di saat dimana hampir sebagian besar penduduk Hong Kong hanyut dalam perayaan di malam Natal, Xiang Hua harus menjalani operasi matanya. Sementara di ruangan berbeda, ibunya mendapatkan perawatan dari pihak kedokteran di Rumah Sakit yang sama.
“Tuan Jun Liang,” kata dokter yang melakukan operasi mata Xiang Hua. “Operasi mata Xiang Hua berjalan lancar dan dia sudah dapat melihat kembali seperti sedia kala. Namun, untuk 3 hari ini, matanya belum boleh mendapatkan cahaya dulu dan setelah 3 hari, balutan di matanya baru boleh dibuka.”
“Terima kasih, dokter.” Ujar Jun Liang tersenyum gembira. Di sampingnya, Sarah pun tersenyum lebar.
“Terima kasih, Tuan.” Kata Sarah. “Bila bukan berkat Tuan, mungkin…”
“Jangan lanjutkan lagi…” potong Jun Liang. “Berterima kasihlah kepada yang di atas.”

27 Desember 2005
Balutan di mata Xiang Hua dibuka oleh suster, dengan diperhatikan oleh dokter.
“Buka mata Anda pelan-pelan, Nona…” kata dokter member petunjuk.

Xiang Hua menuruti. Dibukanya kedua kelopak matanya perlahan-lahan. Sesaat dia mengatupkan kembali matanya. Karena tak tahan melihat terang setelah sekian lama hidup di dunia kegelapan.

Ketika membuka matanya kembali, pandangannya tampak samar.
“Dokter, kenapa penglihatanku masih samar begini?” Tanya Xiang Hua.
“Tentu saja. Anda masih perlu adaptasi sambil diberikan obat tetes mata.” Kata dokter menerangkan. “Bila cepat, dalam waktu 2 hari, mata Anda akan normal dan Anda bisa melihat kembali seperti dulu.”

29 Desember 2005
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk dari jendela, membuat Xiang Hua terbangun. Ketika dia membuka matanya dan melihat ke langit-langit ruangan dimana dia terbaring, saat itu dia menyadari bahwa pandangannya sudah pulih seperti sedia kala.

Dengan hati senang dan senyum menghias di bibirnya, dia pun bangun dan duduk di tempat tidur. Sudut matanya menangkap sesuatu berwarna kuning yang tampak tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Xiang Hua meraih benda itu.
“Bunga Akasia…” desis Xiang Hua ketika menyadari benda itu. “Kenapa bisa berada disini?”
“Sarah…?” Xiang Hua mencoba memandang ke sekeliling ruangan, menduga Sarah ada disana dan meletakkan bunga tersebut di meja. Tapi disana tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.

Xiang Hua menatap kembali bunga Akasia yang ada di genggamannya. Ketika saat itu dia menyadari, ada selembar kartu yang tertulis tangan. Dia mengambil kartu itu dan membacanya.
“Untuk Gadis Akasia. Apakah kau tahu apa arti ketiga dari bunga Akasia?”
“Cinta Suci.” Xiang Hua menjawab pertanyaan di kartu itu.
“Nona, aku datang!” tahu-tahu terdengar sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya membuyarkan lamunannya.

Begitu melihatnya, segera saja Xiang Hua bertanya. “Sarah, apa arti semua ini?”
“Maaf, Nona.” Kata Sarah sambil tersenyum. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Namun, aku ingin Nona menutup mata sampai aku meminta Nona membukanya kembali.”
“Untuk apa?” Tanya Xiang Hua bingung.
“Kumohon, sekali ini, lakukan untukku, Nona. Nanti Nona akan mengetahui jawabannya.”

Xiang Hua pun menuruti permintaan Sarah dan menutup matanya. Pada saat itulah, seorang lelaki masuk ke ruangan itu dan berdiri tepat di depan Xiang Hua.
“Sekarang, Nona boleh membuka mata…” kata Sarah.

Ketika membuka matanya, tampaklah sesosok tubuh yang sudah tidak asing lagi bagi Xiang Hua. Pemilik sosok tubuh itu tersenyum menatapnya.
“Jun Liang…….” Xiang Hua tampak histeris dan tak kuasa menahan untuk segera memeluk sosok tubuh di hadapannya yang ternyata memang Jun Liang itu.
“Apa kabar, Gadis Akasia-ku?” Jun Liang pun memeluk Xiang Hua dalam dekapan penuh cinta.

Sepasang kekasih itu pun melepas rindu satu sama lain dalam hiasan air mata kebahagiaan, walau ada senyum yang menghias di wajah keduanya. Melihat situasi itu, Sarah pun tak tahan ikut meneteskan air mata kebahagiaan.

TAMAT
 
PROFIL PENULIS
Kaz Felinus Li, seorang pemuda sederhana yang memiliki hobi membaca sejak kecil. Karena daya imajinasinya tinggi, sehingga dalam pikirannya cerita demi cerita bak mengalir layaknya rangkaian ombak yang tak pernah berhenti bergemuruh.

Sejak usia 8 tahun, Kaz kecil sudah mencoba menulis cerita komik bertema anime. Waktu itu penulis dengan menggunakan tangan dan hanya disimpan begitu saja tak ada yang membacanya. Saat keluarganya berpindah tempat tinggal, Kaz kehilangan semua cerita yang pernah ditulisnya. Saat di bangku SMA, bersama dengan teman sekelasnya, Kaz berniat membuat komik bertema dunia persilatan dengan seorang teman. Namun lagi-lagi gagal karena tak ada penerbit yang mau menerima karya kami yang masih remaja.

Seiring waktu berjalan, Kaz menulis karyanya dan mencetaknya sendiri menjadi sebuah cerita. Sampai saat dunia internet semakin terkenal di Indonesia dan Facebook mulai merambah negeri ini, saat itulah Kaz mulai aktif menuliskan ceritanya dan mempostingnya ke dalam sebuah grup. Dimulai dari grup dimana Kaz dijadikan admin, sampai akhirnya Kaz memiliki grup sendiri dan menjadi ketuanya. Disanalah Kaz semakin berkarya menulis cerita demi cerita dalam bentuk cerpen, lalu cerbung dan terakhir cerita serial.

Yang Kaz harapkan saat ini adalah dapat mewujudkan impiannya, menjadi seorang penulis yang dapat menyalurkan karyanya dalam bentuk buku. Semoga saja ada penerbit yang dapat mewujudkan impian ini. 
 
Baca juga Cerpen Cinta, Cerpen Romantis dan Cerpen Remaja yang lainnya.
Share & Like