THANKS JOHN
Karya Mellyana
“Mom, dad, aku berangkat ya!”
Setelah mencium mom dan dad aku pergi ke sekolah.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang murid baru dari Washington, namanya John. Silahkan perkenalkan dirimu John!”
Miss. Carlyle membawa seorang murid baru ke kelas.
“Hai, aku John Wallace!”
“Nah, John kau boleh duduk di manapun kau suka. Anak-anak, sekarang kita mulai pelajaran hari ini.”
Anak baru itu memilih duduk di sampingku.
“Hai, siapa namamu?” Ia menyapaku.
“Madison.” Jawabku singkat.
“Bolehkah aku memanggilmu Madie?” lanjutnya.
“Silahkan saja.”
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, aku pergi ke kantin sendirian, seperti biasanya.
“Aku boleh duduk di sini?” John menghampiriku.
“Ya.”
“Hei, John! Bergabunglah bersama kami!” itu adalah Nick dan kawan-kawannya.
“Madie, bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka?”
“Tidak, yang diajak itu kan kau.” Aku melanjutkan makanku.
“Em, bolehkah Madie juga bergabung?” teriak John.
“Kau pasti tidak serius mengatakan hal itu bukan? Kami hanya mengajakmu, bukan dia!” balas Nick.
“Sudah kukatakan kalau mereka hanya menginginkanmu, pergilah!” perintahku.
“Tapi…”
“Sudah, aku tidak apa-apa. Lagipula aku biasa sendirian.”
Karya Mellyana
“Mom, dad, aku berangkat ya!”
Setelah mencium mom dan dad aku pergi ke sekolah.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang murid baru dari Washington, namanya John. Silahkan perkenalkan dirimu John!”
Miss. Carlyle membawa seorang murid baru ke kelas.
“Hai, aku John Wallace!”
“Nah, John kau boleh duduk di manapun kau suka. Anak-anak, sekarang kita mulai pelajaran hari ini.”
Anak baru itu memilih duduk di sampingku.
“Hai, siapa namamu?” Ia menyapaku.
“Madison.” Jawabku singkat.
“Bolehkah aku memanggilmu Madie?” lanjutnya.
“Silahkan saja.”
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, aku pergi ke kantin sendirian, seperti biasanya.
“Aku boleh duduk di sini?” John menghampiriku.
“Ya.”
“Hei, John! Bergabunglah bersama kami!” itu adalah Nick dan kawan-kawannya.
“Madie, bagaimana kalau kita bergabung dengan mereka?”
“Tidak, yang diajak itu kan kau.” Aku melanjutkan makanku.
“Em, bolehkah Madie juga bergabung?” teriak John.
“Kau pasti tidak serius mengatakan hal itu bukan? Kami hanya mengajakmu, bukan dia!” balas Nick.
“Sudah kukatakan kalau mereka hanya menginginkanmu, pergilah!” perintahku.
“Tapi…”
“Sudah, aku tidak apa-apa. Lagipula aku biasa sendirian.”
Thanks John |
Aku menyelesaikan makanku dan segera pergi meninggalkan kantin, John bergabung bersama Nick dan teman-temannya.
“Kenapa kau selalu menyendiri?”
Saat di lab kimia pun John masih saja menghampiriku.
“Aku sudah biasa begini, lebih baik kau bersama yang lain.”
“Apa kau memang suka sendiri?” lanjutnya.
“John, mau lihat percobaanku tidak?” Karen menarik John dan mengajaknya untuk ke tempatnya.
Tak lama setelah itu Mr. Smith datang.
“Anak-anak, sekarang rapikan kembali peralatan dan kalian boleh pulang.”
Kalimat yang diucapkan Mr. Smith barusan membuat suasana riuh di lab.
“Kalian pulang duluan saja… Madie!”
Aku mendengar ada yang memanggil namaku.
“Dimana rumahmu?” ternyata itu adalah John.
“Maple Street.” Aku hanya menjawab singkat.
“Kalau begitu tak jauh dari rumahku. Boleh, aku pulang bersamamu?” lanjutnya.
Aku tidak menjawab dan membiarkannya berjalan di sampingku.
“Orang tuaku memilih tinggal di sini karena suasananya yang nyaman, lingkungan di sini juga masih bersih dan sejuk.”
Sepanjang jalan dia menceritakan tentang dirinya namun aku tidak banyak menanggapinya.
“Aku duluan.” Ucapku saat tiba di depan rumah.
“Kalau begitu sampai jumpa besok!” balasnya sambil melambaikan tangannya.
Aku melihatnya berbelok di ujung jalan.
“Mom, aku pulang!”
“Hai, sayang!” mom menyambutku dengan pelukan.
“Siapa yang bersamamu tadi?” tanya mom.
“John, dia anak baru.” Aku meletakkan tasku lalu duduk dan menghidupkan TV.
“Apa dia berteman denganmu?” lanjut mom.
“Entahlah, lama kelamaan dia akan sama seperti yang lain.” Ucapku sambil mengganti channel TV.
“Mungkin saja dia berbeda dengan yang lain.” Mom memberiku semangat.
“Sudahlah mom, aku tidak mengapa jika tidak punya teman!” aku membanting remote TV lalu pergi ke kamar.
“Madie!”
Aku tidak menggubris panggilan mom dan mengunci pintu.
Aku baru keluar kamar saat makan malam tiba.
“Apa kau baik-baik saja, sayang?” tanya dad.
“Ya, aku baik. Aku sudah selesai!”
Setelah makan malam, aku tidak berlama-lama di ruang makan dan segera keluar. Aku memanjat pohon oak yang ada di samping rumah. Aku biasa memandang langit dari sana. Malam ini nampaknya aku tidak bisa melihat bintang, hanya ada bulan separuh yang tertutup awan. Aku memanjat lebih tinggi lalu melompat masuk ke jendela kamar.
“Madie, apa kau sudah tidur?” mom memanggil dari luar pintu kamarku.
“Belum.” Jawabku.
Mom lalu masuk ke kamar.
“Maafkan mom karena sudah membuatmu kesal.”
“Sudahlah, bukan masalah.” Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.
“Selamat malam, sayang.” Mom kemudian keluar setelah mematikan lampu kamarku.
“Malam!” balasku pelan.
“Inilah tugas karya wisata kita kali ini, kalian harus membuat kelompok yang terdiri dari dua orang, boleh juga bertiga tapi tidak boleh sendiri.” Mrs. Diana memberikan satu berkas tugas karya wisata pada Derek, ketua kelasku, lalu ia pergi lagi.
“Guys, tulislah nama kelompok kalian di kertas selembar lalu serahkan padaku!” teriaknya di muka kelas.
Jumlah siswa di kelasku ada 30 orang, mungkin aku akan dihukum Mrs. Diana seperti biasa karena aku mengerjakannya sendiri.
“Kau dengan siapa?” tanya John.
“Tidak dengan siapa-siapa.” Jawabku sambil menulis namaku di selembar kertas.
“Biar aku yang menyerahkan!” John mengambil kertas itu lalu membawanya pada Derek.
Setengah jam kemudian Mrs. Diana kembali dan membagikan tugas per kelompok.
“Untuk kelompok terakhir adalah mencatat nama bioma yang hidup di sungai, yaitu Madison dan John.”
Aku kaget sekali mendengar Mrs. Diana menyebut nama John setelah namaku.
“Apa? John dengan Madie?” tanya Karen tidak percaya, “Hei, kau rayu dengan apa sampai John mau sekelompok denganmu?”
“Aku yang mau sekelompok dengan Madie.” Jelas John.
“Apa?” Karen masih juga tidak percaya, begitu juga denganku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Aku melakukan hal yang benar.” Jawabnya.
“Melakukan hal yang benar?” lanjutku.
“Aku sudah melihat semua kelompok di kelas kita dan hanya kau yang sendiri. Mrs. Diana menyuruh kita untuk tidak sendiri bukan? Jadi aku pindah dari kelompok Nick dan memilih untuk bersamamu.” Jelasnya.
Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini.
“Anak-anak, sekarang kita akan berangkat. Periksalah semua barang bawaan kalian dan jangan sampai ada yang tertinggal.” Mrs. Diana kembali mengingatkan.
Bus yang akan membawa kami sudah siap, karya wisata kali ini kami akan ke hutan tak jauh dari sekolah. Perjalanan kali ini akan memakan waktu kurang lebih setengah jam.
Aku memilih untuk duduk di belakang dan sendiri seperti biasa.
“Sepertinya bus yang disiapkan masih terlalu luas ya?”
John pindah ke belakang lalu duduk di sampingku.
“Tidak juga, hanya tersisa empat bangku kosong saja.” Timpalku.
“Empat bangku saja sebenarnya masih lebih, kan?” kali ini John meletakkan tasnya di salah satu bangku kosong di sampingnya.
“Kau mau apa?” tanyaku.
“Duduk. Oh ya, nanti kau saja yang mencatat biar aku yang turun ke sungai, bagaimana?” lanjutnya.
“Terserah kau saja.”
Sesampainya kami di hutan semua kelompok berpencar dan melakukan tugas-tugas yang sudah diberikan.
“Pegang ini!”
John melepas sepatunya lalu memberikannya padaku.
“Apa ini juga dicatat?” Ia mengambil sebuah ganggang dan mengangkatnya ke permukaan.
“Tentu saja.” Ucapku kemudian mencatatnya.
Kami berkumpul saat tengah hari untuk makan siang.
“Anak-anak, kembalilah dengan tugas kalian masing-masing dan berkumpul di sini jam empat!” Mrs. Diana mengumumkan.
Aku dan John kembali ke sungai untuk melanjutkan pencatatan.
“Rasanya ada yang menempel di kakiku.” John naik ke darat dan mendapatkan sebuah lintah yang menempel di kakinya.
“Apa kita sudah mencatat itu?” tanyaku.
“Sepertinya belum,” John menarik lintah itu, “Uh, menjijikkan sekali.” Lanjutnya.
“Kurasa semuanya sudah dicatat.”
“Baguslah kalau begitu, kakiku rasanya gatal sekali.” Keluhnya.
“Ini!” aku memberikan obat gatal padanya.
“Terima kasih. Apa kau sudah menyiapkannya dari awal? Aku tidak terpikir untuk membawa ini.”
Setelah mengoleskan obat gatal itu pada kakinya John merebahkan tubuhnya di atas rumput.
“Sekarang masih jam dua, aku ingin tidur sebentar. Bangunkan aku jika sudah jam empat.” Ucapnya.
Aku merapikan catatan yang sudah kubuat saat tiba-tiba hujan turun.
“John! Bangun!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya agar ia terbangun.
“Ada apa?”
“Hujan!” ucapku.
“Hujan? Ayo cepat berlindung!” setelah mengambil tas dan sepatunya John mengajakku berteduh ke sebuah gua kecil tak jauh dari sungai.
“Untung belum basah kuyup. Kok bisa turun hujan begini ya, padahal tadi cerah-cerah saja.” Keluhnya sambil memakai kaus kakinya.
“Sekarang sudah jam setengah empat, kita harus kembali ke bus.” Aku melihat jam tanganku dan mulai panik.
“Tapi hujannya masih deras, apa mau hujan-hujanan?” tanyanya.
“Itu lebih baik dari pada kita di sini lalu ditinggal yang lain.”
Aku berlari keluar gua.
“Madie, tunggu aku!”
John menyusul di belakangku.
“Kenapa kalian baru kembali? Jam berapa ini?” marah Mrs. Diana saat aku dan John tiba di bus.
“Setengah empat.” Jawabku.
“Setengah empat? Sekarang sudah jam setengah lima!” ia menunjukkan jam tangannya padaku dan John.
Aku melihat kembali jam tanganku, ternyata jamku mati saat kena hujan tadi.
“Maafkan kami, Mrs. Diana!” ucap John.
“Sudah kubilang jangan sekelompok dengannya!” celetuk Karen.
“Baiklah, sekarang duduk di tempat kalian! Kita akan kembali ke sekolah!” lanjut Mrs. Diana.
Aku dan John basah kuyup.
“Aku juga lupa membawa jam, maaf ya.” Ucapnya sambil memberikan handuk kecil padaku.
Aku mengambil handuk itu lalu mengeringkan kepalaku.
“Terima kasih.” Ucapku.
Kami tiba di sekolah jam setengah enam, karena hujan jalanan jadi macet.
“Mau pulang bersamaku?” tanya John.
John dijemput pamannya dengan mobil.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri.” Ucapku.
“Sudahlah, rumah kita kan searah. Lagipula sekarang masih hujan, nanti kau bisa sakit.” Ia masih memaksa.
“John! Biar aku saja yang ikut denganmu, rumahku juga dekat denganmu kan?” Karen menghampiri John lalu masuk ke mobilnya.
“Apa kau yakin tidak mau ikut?”
“Iya, kau pulang saja duluan!” ucapku lalu meninggalkannya.
Tak jauh dari sekolah aku melihat mom menjemputku di ujung jalan.
“Mom?”
“Pakai ini!” ia memberikan jas hujan padaku.
“Kenapa tidak ke sekolah saja? Mana dad?” tanyaku.
“Mom baru saja akan ke sekolah saat melihatmu dari jauh. Dad masih ada urusan, jadi mom yang menjemputmu.” Ucapnya.
“Apa kau sudah menyelesaikan catatan kemarin?”
“Sudah.”
Aku menyerahkan catatan karya wisata kemarin pada John.
“Maaf ya, kemarin aku lupa menanyakannya padamu.” Lanjutnya.
Aku tidak menggubris ucapannya lalu pergi ke perpustakaan.
“Madie!” panggilnya, “Apa kau marah padaku?”
“Tidak.” Jawabku singkat.
“Lalu, kenapa kau menghindar dariku?” lanjutnya.
“Aku hanya ingin membaca buku.”
“Apa aku mengganggumu?”
“Iya, kau menggangguku!” aku kesal sekali karena sejak tadi dia mengikutiku terus dan bertanya-tanya tentang pertanyaan yang tak harus kujawab.
“Maafkan aku…” ucapnya lalu akhirnya dia pergi meninggalkan perpustakaan.
“Madie, sudah beberapa hari ini mom tidak melihatmu pulang bersama John lagi, ada apa?”
“Aku sudah pernah mengatakan pada mom kalau akhirnya John akan sama seperti yang lain, menganggapku aneh kemudian meninggalkanku.” Ucapku.
“Madie…”
Memang sudah seminggu terakhir ini John tidak pernah lagi bicara padaku. Dia juga tidak pulang bersamaku lagi. Mungkin dia sudah menganggapku aneh seperti yang lainnya.
“Ting tong!”
Bel rumahku berbunyi saat aku baru saja masuk ke kamar.
“Madie!” panggil mom dari bawah, “Ada yang mencarimu!”
Aku turun dan mendapati John sudah duduk di beranda.
“Madie…”
“Ada apa kau ke sini?” tanyaku.
“Aku ingin minta maaf padamu.” Ucapnya.
“Kenapa minta maaf, bukankah kau tidak salah?” tanyaku lagi.
“Tidak, aku salah. Selama ini aku selalu mencampuri urusanmu, aku juga selalu mengganggumu.” Jelasnya.
“…”
Aku bingung dengan apa yang baru saja diucapkannya.
“Kenapa kau ke sini? Bukankah kau juga berpikir aku ini aneh seperti yang lainnya?”
“Tidak, aku tidak berpikir kalau kau itu aneh. Kau adalah sahabat terbaik selama aku di sini. Seminggu ini aku tidak bisa pulang bersamamu karena aku sibuk dengan kepindahanku ke Denver. Lusa aku akan berangkat.” Lanjut John.
“Kau akan pindah lagi?” tanyaku tidak yakin.
“Ya. Pekerjaan ayahku memang menuntutnya untuk selalu pindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi percayalah kalau selama tiga bulan ini kau adalah sahabat terbaikku.” John memberiku sebuah kalung perak berliontin ‘Friend’.
“John…”
“Mungkin ini adalah terakhir kalinya kita berjumpa, kumohon padamu jangan pernah lupakan aku,” pintanya, “Sampai jumpa, Madie!”
John pergi setelah mengucapkan salam perpisahan. Aku tidak tahu kalau ternyata dia akan pergi. Selama ini aku berpikir kalau dia sama seperti yang lain, menganggapku aneh.
“Ada apa sayang?” tanya mom saat aku masuk.
“John, dia akan pergi ke Denver besok lusa.” Ucapku.
“Madie… Apa kau sudah menganggapnya berbeda?” lanjut mom.
“Entahlah.” Aku memberikan kalung pemberian John pada mom lalu pergi ke kamar.
Aku ke beranda kamar lalu melompat ke pohon oak dan berdiam di sana. Selama ini aku tidak pernah punya teman, tidak ada yang mau berteman denganku karena mereka menganggapku ini aneh. Aku hanya ingin sendiri. Tapi kemudian John datang, dia tidak peduli dengan yang diucapkan orang lain tentangku, dia tetap mau berteman denganku. Apa dia benar-benar tidak menganggapku ini aneh?
Malam ini bintang bertaburan di angkasa, begitu indah. Aku sering melihat langit, namun malam ini langit terlihat sangat menawan, membuat hatiku tenang.
Aku melompat kembali ke beranda kamar lalu masuk dan mengambil akuarium ikanku. Ini adalah John, ikan koi kesayanganku hadiah dari dad saat ulang tahunku. Aku turun dan kembali keluar.
“Mau kemana Madie?” panggil dad.
Aku tidak menjawab dad dan terus berlari.
“Madie?”
“John…”
Aku pergi ke rumah John. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya selang beberapa blok.
“Ini.” Aku memberikan Johnku pada John.
“Ini untukku?” tanyanya.
“Ya. Namanya John.” Ucapku.
“Wah, dia punya nama yang sama denganku,” John melihat John dari dekat, “Kau pasti sangat menyayanginya.” Ucapnya.
“Ya, dia adalah satu-satunya temanku selama ini.”
“Kenapa kau memberikannya padaku?” tanyanya.
“Karena sekarang kau juga temanku.”
“Terima kasih, Madie.”
Kini aku tahu kenapa langit malam ini begitu indah, aku mendapatkan seorang teman yang selama ini tak pernah kudapatkan. Seorang teman yang membuka jalan pikiranku, bahwa sebenarnya selama ini aku tidak sendirian.
John sudah pergi ke Denver, namun aku dan dia masih sering berkomunikasi lewat surat maupun telepon. John mengatakan kalau liburan nanti dia akan mengunjungiku.
“Madie, kau melupakan ini!” panggil mom saat aku akan berangkat sekolah.
“Oh ya, aku hampir lupa. Terima kasih mom.”
Aku mengambil kalung perak pemberian John dari mom lalu memakainya.
“Hai, Madie!” sapa Karen.
“Hai!”
Enam bulan sudah berlalu, John mengajariku hal yang sangat berharga. Kini yang lain sudah tidak menganggapku aneh lagi, mereka kini mau berteman denganku. Terima kasih, John.
***
“Kenapa kau selalu menyendiri?”
Saat di lab kimia pun John masih saja menghampiriku.
“Aku sudah biasa begini, lebih baik kau bersama yang lain.”
“Apa kau memang suka sendiri?” lanjutnya.
“John, mau lihat percobaanku tidak?” Karen menarik John dan mengajaknya untuk ke tempatnya.
Tak lama setelah itu Mr. Smith datang.
“Anak-anak, sekarang rapikan kembali peralatan dan kalian boleh pulang.”
Kalimat yang diucapkan Mr. Smith barusan membuat suasana riuh di lab.
“Kalian pulang duluan saja… Madie!”
Aku mendengar ada yang memanggil namaku.
“Dimana rumahmu?” ternyata itu adalah John.
“Maple Street.” Aku hanya menjawab singkat.
“Kalau begitu tak jauh dari rumahku. Boleh, aku pulang bersamamu?” lanjutnya.
Aku tidak menjawab dan membiarkannya berjalan di sampingku.
“Orang tuaku memilih tinggal di sini karena suasananya yang nyaman, lingkungan di sini juga masih bersih dan sejuk.”
Sepanjang jalan dia menceritakan tentang dirinya namun aku tidak banyak menanggapinya.
“Aku duluan.” Ucapku saat tiba di depan rumah.
“Kalau begitu sampai jumpa besok!” balasnya sambil melambaikan tangannya.
Aku melihatnya berbelok di ujung jalan.
“Mom, aku pulang!”
“Hai, sayang!” mom menyambutku dengan pelukan.
“Siapa yang bersamamu tadi?” tanya mom.
“John, dia anak baru.” Aku meletakkan tasku lalu duduk dan menghidupkan TV.
“Apa dia berteman denganmu?” lanjut mom.
“Entahlah, lama kelamaan dia akan sama seperti yang lain.” Ucapku sambil mengganti channel TV.
“Mungkin saja dia berbeda dengan yang lain.” Mom memberiku semangat.
“Sudahlah mom, aku tidak mengapa jika tidak punya teman!” aku membanting remote TV lalu pergi ke kamar.
“Madie!”
Aku tidak menggubris panggilan mom dan mengunci pintu.
Aku baru keluar kamar saat makan malam tiba.
“Apa kau baik-baik saja, sayang?” tanya dad.
“Ya, aku baik. Aku sudah selesai!”
Setelah makan malam, aku tidak berlama-lama di ruang makan dan segera keluar. Aku memanjat pohon oak yang ada di samping rumah. Aku biasa memandang langit dari sana. Malam ini nampaknya aku tidak bisa melihat bintang, hanya ada bulan separuh yang tertutup awan. Aku memanjat lebih tinggi lalu melompat masuk ke jendela kamar.
“Madie, apa kau sudah tidur?” mom memanggil dari luar pintu kamarku.
“Belum.” Jawabku.
Mom lalu masuk ke kamar.
“Maafkan mom karena sudah membuatmu kesal.”
“Sudahlah, bukan masalah.” Aku menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku.
“Selamat malam, sayang.” Mom kemudian keluar setelah mematikan lampu kamarku.
“Malam!” balasku pelan.
“Inilah tugas karya wisata kita kali ini, kalian harus membuat kelompok yang terdiri dari dua orang, boleh juga bertiga tapi tidak boleh sendiri.” Mrs. Diana memberikan satu berkas tugas karya wisata pada Derek, ketua kelasku, lalu ia pergi lagi.
“Guys, tulislah nama kelompok kalian di kertas selembar lalu serahkan padaku!” teriaknya di muka kelas.
Jumlah siswa di kelasku ada 30 orang, mungkin aku akan dihukum Mrs. Diana seperti biasa karena aku mengerjakannya sendiri.
“Kau dengan siapa?” tanya John.
“Tidak dengan siapa-siapa.” Jawabku sambil menulis namaku di selembar kertas.
“Biar aku yang menyerahkan!” John mengambil kertas itu lalu membawanya pada Derek.
Setengah jam kemudian Mrs. Diana kembali dan membagikan tugas per kelompok.
“Untuk kelompok terakhir adalah mencatat nama bioma yang hidup di sungai, yaitu Madison dan John.”
Aku kaget sekali mendengar Mrs. Diana menyebut nama John setelah namaku.
“Apa? John dengan Madie?” tanya Karen tidak percaya, “Hei, kau rayu dengan apa sampai John mau sekelompok denganmu?”
“Aku yang mau sekelompok dengan Madie.” Jelas John.
“Apa?” Karen masih juga tidak percaya, begitu juga denganku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Aku melakukan hal yang benar.” Jawabnya.
“Melakukan hal yang benar?” lanjutku.
“Aku sudah melihat semua kelompok di kelas kita dan hanya kau yang sendiri. Mrs. Diana menyuruh kita untuk tidak sendiri bukan? Jadi aku pindah dari kelompok Nick dan memilih untuk bersamamu.” Jelasnya.
Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini.
“Anak-anak, sekarang kita akan berangkat. Periksalah semua barang bawaan kalian dan jangan sampai ada yang tertinggal.” Mrs. Diana kembali mengingatkan.
Bus yang akan membawa kami sudah siap, karya wisata kali ini kami akan ke hutan tak jauh dari sekolah. Perjalanan kali ini akan memakan waktu kurang lebih setengah jam.
Aku memilih untuk duduk di belakang dan sendiri seperti biasa.
“Sepertinya bus yang disiapkan masih terlalu luas ya?”
John pindah ke belakang lalu duduk di sampingku.
“Tidak juga, hanya tersisa empat bangku kosong saja.” Timpalku.
“Empat bangku saja sebenarnya masih lebih, kan?” kali ini John meletakkan tasnya di salah satu bangku kosong di sampingnya.
“Kau mau apa?” tanyaku.
“Duduk. Oh ya, nanti kau saja yang mencatat biar aku yang turun ke sungai, bagaimana?” lanjutnya.
“Terserah kau saja.”
Sesampainya kami di hutan semua kelompok berpencar dan melakukan tugas-tugas yang sudah diberikan.
“Pegang ini!”
John melepas sepatunya lalu memberikannya padaku.
“Apa ini juga dicatat?” Ia mengambil sebuah ganggang dan mengangkatnya ke permukaan.
“Tentu saja.” Ucapku kemudian mencatatnya.
Kami berkumpul saat tengah hari untuk makan siang.
“Anak-anak, kembalilah dengan tugas kalian masing-masing dan berkumpul di sini jam empat!” Mrs. Diana mengumumkan.
Aku dan John kembali ke sungai untuk melanjutkan pencatatan.
“Rasanya ada yang menempel di kakiku.” John naik ke darat dan mendapatkan sebuah lintah yang menempel di kakinya.
“Apa kita sudah mencatat itu?” tanyaku.
“Sepertinya belum,” John menarik lintah itu, “Uh, menjijikkan sekali.” Lanjutnya.
“Kurasa semuanya sudah dicatat.”
“Baguslah kalau begitu, kakiku rasanya gatal sekali.” Keluhnya.
“Ini!” aku memberikan obat gatal padanya.
“Terima kasih. Apa kau sudah menyiapkannya dari awal? Aku tidak terpikir untuk membawa ini.”
Setelah mengoleskan obat gatal itu pada kakinya John merebahkan tubuhnya di atas rumput.
“Sekarang masih jam dua, aku ingin tidur sebentar. Bangunkan aku jika sudah jam empat.” Ucapnya.
Aku merapikan catatan yang sudah kubuat saat tiba-tiba hujan turun.
“John! Bangun!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya agar ia terbangun.
“Ada apa?”
“Hujan!” ucapku.
“Hujan? Ayo cepat berlindung!” setelah mengambil tas dan sepatunya John mengajakku berteduh ke sebuah gua kecil tak jauh dari sungai.
“Untung belum basah kuyup. Kok bisa turun hujan begini ya, padahal tadi cerah-cerah saja.” Keluhnya sambil memakai kaus kakinya.
“Sekarang sudah jam setengah empat, kita harus kembali ke bus.” Aku melihat jam tanganku dan mulai panik.
“Tapi hujannya masih deras, apa mau hujan-hujanan?” tanyanya.
“Itu lebih baik dari pada kita di sini lalu ditinggal yang lain.”
Aku berlari keluar gua.
“Madie, tunggu aku!”
John menyusul di belakangku.
“Kenapa kalian baru kembali? Jam berapa ini?” marah Mrs. Diana saat aku dan John tiba di bus.
“Setengah empat.” Jawabku.
“Setengah empat? Sekarang sudah jam setengah lima!” ia menunjukkan jam tangannya padaku dan John.
Aku melihat kembali jam tanganku, ternyata jamku mati saat kena hujan tadi.
“Maafkan kami, Mrs. Diana!” ucap John.
“Sudah kubilang jangan sekelompok dengannya!” celetuk Karen.
“Baiklah, sekarang duduk di tempat kalian! Kita akan kembali ke sekolah!” lanjut Mrs. Diana.
Aku dan John basah kuyup.
“Aku juga lupa membawa jam, maaf ya.” Ucapnya sambil memberikan handuk kecil padaku.
Aku mengambil handuk itu lalu mengeringkan kepalaku.
“Terima kasih.” Ucapku.
Kami tiba di sekolah jam setengah enam, karena hujan jalanan jadi macet.
“Mau pulang bersamaku?” tanya John.
John dijemput pamannya dengan mobil.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri.” Ucapku.
“Sudahlah, rumah kita kan searah. Lagipula sekarang masih hujan, nanti kau bisa sakit.” Ia masih memaksa.
“John! Biar aku saja yang ikut denganmu, rumahku juga dekat denganmu kan?” Karen menghampiri John lalu masuk ke mobilnya.
“Apa kau yakin tidak mau ikut?”
“Iya, kau pulang saja duluan!” ucapku lalu meninggalkannya.
Tak jauh dari sekolah aku melihat mom menjemputku di ujung jalan.
“Mom?”
“Pakai ini!” ia memberikan jas hujan padaku.
“Kenapa tidak ke sekolah saja? Mana dad?” tanyaku.
“Mom baru saja akan ke sekolah saat melihatmu dari jauh. Dad masih ada urusan, jadi mom yang menjemputmu.” Ucapnya.
“Apa kau sudah menyelesaikan catatan kemarin?”
“Sudah.”
Aku menyerahkan catatan karya wisata kemarin pada John.
“Maaf ya, kemarin aku lupa menanyakannya padamu.” Lanjutnya.
Aku tidak menggubris ucapannya lalu pergi ke perpustakaan.
“Madie!” panggilnya, “Apa kau marah padaku?”
“Tidak.” Jawabku singkat.
“Lalu, kenapa kau menghindar dariku?” lanjutnya.
“Aku hanya ingin membaca buku.”
“Apa aku mengganggumu?”
“Iya, kau menggangguku!” aku kesal sekali karena sejak tadi dia mengikutiku terus dan bertanya-tanya tentang pertanyaan yang tak harus kujawab.
“Maafkan aku…” ucapnya lalu akhirnya dia pergi meninggalkan perpustakaan.
“Madie, sudah beberapa hari ini mom tidak melihatmu pulang bersama John lagi, ada apa?”
“Aku sudah pernah mengatakan pada mom kalau akhirnya John akan sama seperti yang lain, menganggapku aneh kemudian meninggalkanku.” Ucapku.
“Madie…”
Memang sudah seminggu terakhir ini John tidak pernah lagi bicara padaku. Dia juga tidak pulang bersamaku lagi. Mungkin dia sudah menganggapku aneh seperti yang lainnya.
“Ting tong!”
Bel rumahku berbunyi saat aku baru saja masuk ke kamar.
“Madie!” panggil mom dari bawah, “Ada yang mencarimu!”
Aku turun dan mendapati John sudah duduk di beranda.
“Madie…”
“Ada apa kau ke sini?” tanyaku.
“Aku ingin minta maaf padamu.” Ucapnya.
“Kenapa minta maaf, bukankah kau tidak salah?” tanyaku lagi.
“Tidak, aku salah. Selama ini aku selalu mencampuri urusanmu, aku juga selalu mengganggumu.” Jelasnya.
“…”
Aku bingung dengan apa yang baru saja diucapkannya.
“Kenapa kau ke sini? Bukankah kau juga berpikir aku ini aneh seperti yang lainnya?”
“Tidak, aku tidak berpikir kalau kau itu aneh. Kau adalah sahabat terbaik selama aku di sini. Seminggu ini aku tidak bisa pulang bersamamu karena aku sibuk dengan kepindahanku ke Denver. Lusa aku akan berangkat.” Lanjut John.
“Kau akan pindah lagi?” tanyaku tidak yakin.
“Ya. Pekerjaan ayahku memang menuntutnya untuk selalu pindah dari satu tempat ke tempat lain. Tapi percayalah kalau selama tiga bulan ini kau adalah sahabat terbaikku.” John memberiku sebuah kalung perak berliontin ‘Friend’.
“John…”
“Mungkin ini adalah terakhir kalinya kita berjumpa, kumohon padamu jangan pernah lupakan aku,” pintanya, “Sampai jumpa, Madie!”
John pergi setelah mengucapkan salam perpisahan. Aku tidak tahu kalau ternyata dia akan pergi. Selama ini aku berpikir kalau dia sama seperti yang lain, menganggapku aneh.
“Ada apa sayang?” tanya mom saat aku masuk.
“John, dia akan pergi ke Denver besok lusa.” Ucapku.
“Madie… Apa kau sudah menganggapnya berbeda?” lanjut mom.
“Entahlah.” Aku memberikan kalung pemberian John pada mom lalu pergi ke kamar.
Aku ke beranda kamar lalu melompat ke pohon oak dan berdiam di sana. Selama ini aku tidak pernah punya teman, tidak ada yang mau berteman denganku karena mereka menganggapku ini aneh. Aku hanya ingin sendiri. Tapi kemudian John datang, dia tidak peduli dengan yang diucapkan orang lain tentangku, dia tetap mau berteman denganku. Apa dia benar-benar tidak menganggapku ini aneh?
Malam ini bintang bertaburan di angkasa, begitu indah. Aku sering melihat langit, namun malam ini langit terlihat sangat menawan, membuat hatiku tenang.
Aku melompat kembali ke beranda kamar lalu masuk dan mengambil akuarium ikanku. Ini adalah John, ikan koi kesayanganku hadiah dari dad saat ulang tahunku. Aku turun dan kembali keluar.
“Mau kemana Madie?” panggil dad.
Aku tidak menjawab dad dan terus berlari.
“Madie?”
“John…”
Aku pergi ke rumah John. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya selang beberapa blok.
“Ini.” Aku memberikan Johnku pada John.
“Ini untukku?” tanyanya.
“Ya. Namanya John.” Ucapku.
“Wah, dia punya nama yang sama denganku,” John melihat John dari dekat, “Kau pasti sangat menyayanginya.” Ucapnya.
“Ya, dia adalah satu-satunya temanku selama ini.”
“Kenapa kau memberikannya padaku?” tanyanya.
“Karena sekarang kau juga temanku.”
“Terima kasih, Madie.”
Kini aku tahu kenapa langit malam ini begitu indah, aku mendapatkan seorang teman yang selama ini tak pernah kudapatkan. Seorang teman yang membuka jalan pikiranku, bahwa sebenarnya selama ini aku tidak sendirian.
John sudah pergi ke Denver, namun aku dan dia masih sering berkomunikasi lewat surat maupun telepon. John mengatakan kalau liburan nanti dia akan mengunjungiku.
“Madie, kau melupakan ini!” panggil mom saat aku akan berangkat sekolah.
“Oh ya, aku hampir lupa. Terima kasih mom.”
Aku mengambil kalung perak pemberian John dari mom lalu memakainya.
“Hai, Madie!” sapa Karen.
“Hai!”
Enam bulan sudah berlalu, John mengajariku hal yang sangat berharga. Kini yang lain sudah tidak menganggapku aneh lagi, mereka kini mau berteman denganku. Terima kasih, John.
***
PROFIL PENULIS
Nama : Mellyana
TTL : Depok 2 Maret 2000
Kelas: 74
Sekolah : SMPN 3 Depok
TTL : Depok 2 Maret 2000
Kelas: 74
Sekolah : SMPN 3 Depok
Baca juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.