DI MAKAM ITU KU NYATAKAN CINTA
Karya Marie Augustin Alvidian P.A.H
Karya Marie Augustin Alvidian P.A.H
Seperti biasa, sore itu aku berjalan menyusuri taman dekat kampus. Meski banyak orang berlalu – lalang tapi nggak kayak di rumah hampir tiap hari dengar papa dan mama bertengkar. Lebih lagi akhir-akhir ini mereka nggak pernah dengar apa mauku, aku hanya dekat dengan adikku Rindi yang terlalu kuat merasakan kondisi di rumah. Biar aja aku dibilang anak nggak tau diri, nggak nurut orang tua, nggak pernah betah di rumah. Memang mereka aja yang nggak pernah bikin lingkunganku kondusif, padahal tujuanku hanya mencari tempat yang nyaman buat nyari inspirasi. Apalagi waktu hujan taman ini menebarkan hawa yang sejuk dan damai, pas banget deh kalau taman ini jadi tempat favoritku. Itulah kilasan yang selalu terlintas saat aku berdiri di taman ini.
Ku tengok ke angkasa yang mulai kelabu dan jatuhlah rintik air hujan di pipiku. Aku pun mencari tempat berteduh, ada satu di bawah pohon di tengah taman. Sampai di bawah pohon ternyata ada cewek yang berteduh juga disana bersama denganku, tepat di sampingku. “Tapi kenapa begitu aku tak sengaja melihat matanya, serasa ada cahaya ketulusan yang belum pernah ku temui selama ini?”, aku bertanya pada diriku sendiri. Tanpa pikir panjang aku mengajaknya berkenalan,
“Hai kenalkan aku Bintang”
“Aku Mentari”, jawabnya lembut dihiasi senyum manis di wajahnya.
Ku tengok ke angkasa yang mulai kelabu dan jatuhlah rintik air hujan di pipiku. Aku pun mencari tempat berteduh, ada satu di bawah pohon di tengah taman. Sampai di bawah pohon ternyata ada cewek yang berteduh juga disana bersama denganku, tepat di sampingku. “Tapi kenapa begitu aku tak sengaja melihat matanya, serasa ada cahaya ketulusan yang belum pernah ku temui selama ini?”, aku bertanya pada diriku sendiri. Tanpa pikir panjang aku mengajaknya berkenalan,
“Hai kenalkan aku Bintang”
“Aku Mentari”, jawabnya lembut dihiasi senyum manis di wajahnya.
Di Makam Itu Ku Nyatakan Cinta |
Lalu sambil menunggu hujan reda aku melanjutkan obrolan kecilku dengan Mentari. Semua tuntas kuceritakan padanya. Mentari juga menceritakan banyak hal tentang dirinya, terutama hobinya memotret semua hal yang dia lalui. Dan aku juga tak luput untuk ia abadikan dalam kameranya itu. Senyum kami berdua menghiasi pemandangan taman yang indah ditambah dengan tetes air hujan sebagai backgroundnya.
“Eh, Oh iya. Kamu kuliah di mana?” tanyaku.
“Ehm.. Apa nama universitas itu penting? Tapi aku yakin kita akan ketemu lagi.”, dia menjawab dengan santai.
Setelah lama menunggu dan hujan pun reda. Sudah larut malam, ku beranikan diri mengajaknya pulang bersamaku.
“Mentari, rumah kamu satu arah kan sama aku? Bareng aku aja yuk? Masak kamu cewek pulang sendiri malam – malam gini?”, tanyaku penuh harap.
“Oke deh aku ikut kamu”. Dengan segenap kebahagiaan aku mengantar Mentari dengan Ninja merah kesayanganku hingga di depan rumahnya, dia lalu turun.
“Makasih banyak ya Bintang. Hati-hati, bye!”
“Bye!”. Begitulah akhir dari pertemuanku dengan Mentari hari ini.
Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan ucapan Mentari bahwa kami pasti bertemu lagi. Aku ragu dan bagaimana kalau kita nggak bisa ketemu lagi? Sedangkan aku nggak sempat minta nomer handphonenya. Ah, sudahlah yang penting aku tau di mana rumahnya.
“Ngomong – ngomong kok aku pulang ke rumah? Padahal kan aku tadi mau ke rumah tante Irma.”, pikirku yang baru tersadar saat tiba di depan pintu.“oke lah, pokoknya hari ini aku bahagia”, bisikku dengan pipi memerah.
Kriing! Kringggg!! Jam beker membuat geli telingaku. Astaga, aku bangun 15 menit lebih lambat dari biasanya. Aku langsung bersiap dan bergegas menuju kampus. Huft, aku pun sampai tepat waktu dan berlari kencang untuk sampai di kelas. Namun, sampai di koridor aku melihat sosok seseorang yang ku kenal.
“Mentari! Ya.. itu Mentari. Ternyata dia mahasiswa fakultas psikologi dan satu kampus denganku.”, jeritku keras dalam hati.
Dia pun memalingkan wajahnya, tersenyum dan melambaikan tangan. Aku pun membalasnya. Dan tersadarlah kalau aku akan terlambat. Kakiku berlari sekuat tenaga dan sampai juga aku di kelas. Istirahat, aku mencari Mentari di sekitar fakultasnya tapi nggak ketemu. Tempat terakhir yang kutuju adalah kantin, disana aku menemukan Mentari duduk dengan sahabatnya Dira. Aku putuskan menghampirinya,
“Mentari kan? Ini aku Bintang yang semalam”.
“Bintang? Duduk.”, respon Mentari ramah.
Lalu Dira beranjak dari tempatnya, “Tari, Bintang.. aku tinggal dulu ya. Mau ke perpustakaan”.
Kami berdua hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman. Hening sejenak sejak Dira pamit. Aku harus mendahului obrolan kami sebelum suasana semakin membeku.
“Mentari, soal kata – katamu kemarin..”
“Oh.. Sebenarnya aku sudah tau kalau kamu, Bintang Surya Abadi itu satu kampus sama aku. Haha”
“Hah? Tapi aku kok nggak pernah kenal kamu?”
“Ya.. Aku memang nggak se-terkenal kamu”. Celoteh canda dari mulut Mentari yang selalu berhias senyum penuh ketulusan itu makin membuatku merasakan betapa tulusnya hati seorang Mentari.
Sepulang kuliah awan mendung menyambutku, aku berniat pergi ke taman dekat kampus. Dan aku lihat Mentari keluar dari kelasnya, terpikir olehku untuk segera mengambil motor lalu memboncengnya ke sana. Perjalanan singkat itu kami habiskan dengan penuh tawa. Aku sibuk menyetir sambil berangan – angan bila nanti turun hujan. Sedangkan Mentari tak henti memotret hal – hal indah yang menurutnya akan jadi kenangan. Di bawah pohon itu aku dan Mentari duduk bersama. Aku berdiri dan memetik setangkai bunga mawar untuknya.
“Mentari, i..ini.. buat kamu.”, aku gugup dan bicaraku terpatah – patah. Mentari hanya tersenyum malu dan meraih tangkai bunga digenggamanku.
“Emm.. Bintang. Aku dengar kamu jarang pulang ya akhir – akhir ini? Kenapa? Kamu nggak kasihan sama orang tuamu sudah biayain kuliahmu susah payah tapi nggak bisa ketemu anaknya tiap hari?”, akhirnya pertanyaan menyebalkan itu muncul dari mulut Mentari yang nggak biasanya mengawali pembicaraan.
Aku kesal harus menjelaskan ini pada Mentari, tapi apa boleh buat? Dan.. aku menjawab “Yah, harusnya gimana? Aku bosan mereka bertengkar hampir tiap hari. Aku kan hanya ingin keluarga yang harmonis dan suasana yang damai. Seisi rumah nggak ada yang mikirin aku, Mentari. Kecuali...”
“Kecuali siapa?”, dengan tegas Mentari memotong penjelasanku.
“Kecuali adikku, Rindi. Selama ini aku dekat dengan adikku satu – satunya itu. Hanya dia yang bisa ngerti perasaanku. Aku kasihan sih sama dia harus dengar papa dan mama marahan terus. Tapi masak harus aku ajak juga dia pulang ke rumah tante Irma?”, sahutku. Ku lihat raut wajahnya seperti sedang mencari solusi untukku. Sedetik kemudian..
“Gini deh, kamu bayangin kalau kamu sayang banget sama seseorang. Terus orang itu tiba – tiba menghilang dan ngehindari kamu. Gimana perasaanmu? Sama kayak orang tuamu pasti khawatir dan sedih lihat kamu kayak gini, Bintang”, Mentari menasihatiku perlahan. Kata – kata itu langsung merasuki pikiranku dan aku sadar kalau perbuatanku salah.
“Iya sih, aku jahat banget sama mereka. Seharusnya di saat mereka berantem aku ada buat nyatuin mereka.”, nada penyesalan pun terlontar dari mulutku.
Mentari dengan sabar menasihatiku dengan lembut, “Jadi mulai sekarang kamu nggak boleh ngulangin lagi kesalahan kemarin. Oke?”
“Oke deh, mulai malam ini dan seterusnya aku bakal jadi anak yang baik buat keluarga dan semuanya... makasih banyak ya.”, senyum haru menghiasi wajahku bila mengingat sikapku selama ini. Malam itu menjadi hal yang indah buatku.
Semenjak malam itu aku dan Mentari bersahabat akrab, yah.. bisa dibilang lebih dari sahabat tapi tidak pernah menjadi lebih dari itu. Taman itu juga menjadi tempat favorit kami untuk menikmati hujan dan menghabiskan waktu bersama. Aku pun kembali ke rumah seusai mengantarkan Mentari pulang. Seluruh keluargaku menyambutku dengan tangis haru setelah 6 bulan aku meninggalkan rumah. Tak tertahan air mataku telah sampai di ujung dan menetes. Dengan haru aku meminta maaf pada semuanya,
“Pa, Ma, Rin.. Bintang minta maaf selama ini sudah buat kalian resah dan sedih”. Papa, Mama, dan Rindi tersenyum lebar.
“Iya kak, kami sudah maafin kakak kok. Yang penting sekarang keluarga kita bisa harmonis lagi”, jawab Rindi.
Kebahagiaan lengkap sudah hari itu. Ditambah dengan fakta kalau Papa dan Mama sudah nggak bertengkar seperti dulu lagi. Hari ini aku bagaikan mendapat senyum manis dari matahari di sana. “Terima kasih Mentari”, gumamku dalam hati dan tersenyum diantara tetesan air mata.
Sekian lama aku dan Mentari bersama, setiap saat dan setiap waktu sebisa mungkin kita lewati berdua. Dia adalah cewek terbaik yang aku kenal dan aku juga sering menceritakan semua tentang Mentari ke Mama. Aku juga merasa jauh lebih baik setelah kenal dia lagipula banyak sifat burukku yang ku buang karena Mentari. Aku ingin jadi yang terbaik buat dia. Apa yang kurang? Aku masih tak tau sebenarnya apa arti perasaanku buat Mentari? Mungkin pertanyaan sepele, tapi menjadikan penuh hati dan pikiranku. Bodohnya aku yang belum bisa menterjemahkan isi hati ini. Bimbang? Sekaligus gelisah menghantui tiap kali aku dekat dengannya. Hati berkata nggak bisa lagi menahan perasaan yang menanti untuk ku utarakan. Tapi, apa Mentari juga merasakan hal yang sama? Apa aku akan kuat menghadapi kekecewaan saat nanti tak seperti harapanku? Kubiarkan semua pertanyaan itu melayang di otakku sambil menunggu jawaban yang tiba bila saatnya. Setelah membuang waktu sia – sia, aku mengirim pesan untuk Mentari.
Pesanku berisi:
“Ri, aku jemput kamu 10 menit lagi ya. Suntuk nih aku di rumah terus. Mumpung awan sudah mulai kelabu, kita pergi ke taman yuk?!”, dan ku tekan tombol SEND.
Begitu gembiranya aku tak kusangka Rindi mengagetkanku dan.. “Kakak mau pergi sama kak Mentari ya? Diperhatiin kalian tambah dekat aja nih”. Aku hanya tersenyum menepuk pundaknya dan berangkat.
Keluarlah Mentari dengan kamera dikalungkan di lehernya. Duduklah kita di bawah pohon di taman itu menunggu rintik hujan. Tak sedetik pun kubiarkan senyumnya hilang dari pandanganku. Tak lama, hujan turun membasahi dedaunan, membanjiri jalanan dengan air yang menggenang. Inilah waktu yang paling tepat tuk ungkapkan isi hati yang sudah lama penuh. Aku pun memantapkan hati untuk bicara tentang semuanya. Kata per kata coba ku luncurkan dari ujung lidah.
“Mentari sebenar...nya....”, baru 2 kata yang terucap malah handphoneku berdering. Benar – benar mengganggu tetapi itu dari Rindi dan aku menjawabnya.
“Halo, ada apa Rin?”
“Mama dan Papa berantem lagi kak. Kakak, pulang sekarang ya?”. Sedikit terpaksa aku menjawab iya. Aku mengantar Mentari pulang menaiki motorku dengan kecepatan penuh meski melawan terpaan hujan.
Jantungku berdebar sekencang angin topan begitu berdiri di depan rumah. Namun, baru selangkah aku mengangkatkan kaki tiba – tiba jantungku sakit dan lebih sakit dari telingaku yang setiap hari mendengar Mama dan Papa berantem. Seketika tubuhku tergeletak lemas di depan pintu rumah dan remang – remang aku lihat Mama, Papa, dan Rindi berteriak histeris di sampingku. Kemudian mataku tak kuasa terbuka dan aku hilang dalam kegelapan. Terasa lama sekali aku hilang dalam gelap. Ku buka paksa mataku dan rasa sakit di jantungku kembali. Keluargaku yang duduk di sofa pun beranjak berdiri di sampingku sedangkan Papa memanggilkan dokter. Aku nggak bisa berkata – kata lagi. Hanya memegangi dada kiriku menahan sakit di jantungku yang melemah. Selang beberapa saat dokter datang dan memeriksaku terutama dada kiriku, aku hanya menatap wajah sang dokter. Tampak keresahan di wajah dokter itu.
“Pak, anak bapak ini memiliki kelainan jantung sejak kecil?”
“Benar dok”, jawab Papa gelisah. Dokter itu kembali menatapku dan berpaling ke arah Papa,
“Penyakit anak bapak sedang kambuh dan rupanya semakin parah. Kita harus merawatnya di sini pak agar tidak bertambah parah. Karena akibatnya adalah kematian”.
Mendengar kalimat menyedihkan dari mulut sang dokter rasanya terenggut semua kebahagiaanku. Terlintas kesedihan, bagaimana kalau aku nggak bisa melewati waktu berharga ini bersama Mentari? Aku takut Mentari sedih dan kesepian. Aku nggak ingin Mentari sedih karena tahu hal ini. Ku arahkan pandangan pada Papa yang kembali menegakkan wajahnya dan bertanya,
“Berapa lama, dok?”
“Melihat kondisinya, mungkin beberapa bulan Pak. Karena jantungnya sudah cukup parah”, jawaban itu yang paling ku benci.
Bisakah aku melewati semua ini tanpa Mentari? Sedangkan waktu satu bulan saja sangat lama rasanya apalagi tiada menikmati hujan bersama, bercanda bersama, mendengar ceramahnya, dan tak ada Mentari. Satu – satunya yang bisa ku lakukan hanyalah meminta Rindi mengawasi Mentari dari kejauhan karena aku tak ingin Mentari tahu keadaanku. Biar aku bersembunyi di balik kabut sampai nanti senyuman tulus itu terlihat lagi. Satu hari, dua hari... Aku sendiri ditemani Rindi yang selalu melaporkan keadaan Mentari. Saat hujan tiba pun aku hanya meratapi air hujan dari balik jendela rumah sakit ini. Teringat janjiku pada Mentari untuk mengajaknya pergi menikmati hujan bersama di bawah pohon itu. Terbayang betapa merananya ia disana seperti aku hanya mengingat kenangan sebelum sakitku ini semakin parah. Jujur aku nggak tega menghilang dari Mentari yang tiap hari mencoba menghubungi ponselku dan tetap tak ada jawaban dariku. Bahkan Rindi bicara kalau dia semakin menyendiri dan sering melamun semenjak aku nggak kasih kabar. Lebih parahnya lagi Mentari sering menangis di bawah pohon tempat favorit kami itu setiap hari, setiap pulang dari kampus dan setiap kali hujan turun. Aku pun terus mendengarkan cerita Rindi.
“Kak, menurutku Kak Mentari punya perasaan yang sama kayak kakak. Waktu itu aku duduk di tempat favorit kakak dan Kak Mentari. Ia menangis dan menangis walaupun hujan sudah reda tapi ia tak berhenti menangisi kamu, kak. Dia bilang, Kenapa sih Bintang? Kenapa dia nggak beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi? Menghilang tanpa kabar. Aku hubungi tapi nggak ada jawaban. Apa salahku Rindi? Aku ingin jadi yang terbaik buat Bintang. Kamu lihat air hujan ini, air mataku nggak akan berhenti sampai Bintang kembali membawa pelangi. Itu katanya, kak. Dia kehilangan banget, apa nggak sebaiknya kita beritahu dia tentang kakak? Sudah hampir setahun kakak nggak ada disampingnya, ya kan?”.
Aku berubah pikiran walau tetap nggak tega lihat ekspresinya nanti waktu tahu kondisiku sekarang, terbaring lemah di ranjang. Rindi lalu memberitahu semua pada Mentari. Hanya bisa berharap Mentari datang dengan senyum ketulusannya yang bisa menenangkan aku.
Tahukah? Menanti adalah hal yang paling ku benci. Setiap hari mengamati pintu kamarku berharap Mentari datang. Hari ini genap setahun aku terbaring sepi menatap kaca jendela dipenuhi harapan yang mulai sirna. Tapi sekilas aku terdiam mendengar langkah kaki menuju kemari. Saat kupikir itu Rindi lalu ku palingkan wajahku dari jendela. Aku pun terkaget ternyata dia Mentari, berlari ke arahku dan merengkuh tubuhku yang ia basahi dengan tangis. Seraya tanganku menggapainya dan air mataku menetes. Ketika itu hujan turun, ku perhatikan Mentari sempat menatap jendela. Aku tahu dia berkaca – kaca dan mungkin malaikat di atas sana ikut menangis melihat kesedihan ini. Sungguh tak tertahankan air mata bercucuran di lengannya.
Sekian lama, ia melepas pelukannya dan memandangku dengan wajah sendu. Aku belum pernah melihat Mentari menangis sampai seperti ini.
“Kamu kenapa sih selama ini nggak kasih kabar? Emang kamu anggap aku ini apa? Sebenarnya sakit apa kamu, Bintang?”, tanyanya histeris.
Aku tersenyum dan menyahutinya, “Aku takut kamu sedih, lagipula aku nggak mau jadi beban. Sekarang aku sudah nggak apa – apa kok, kamu tenang aja. Cuma sakit jantung biasa bentar lagi juga sembuh. Kan ada kamu disini. Hehe”
Bibirnya mulai manyun dan tersenyum, “Tapi aku kan kesepian hujan – hujanan sendiri, kedinginan sendiri”
“Ya aku minta maaf banget. Tapi sekarang udah lihat hujan sama aku kan? Jadi selesai dong nangisnya, nanti hujannya nggak reda – reda lho”, gaya bicaraku membuatnya tertawa.
Senang bisa lihat hujan plus lihat senyumnya lagi, tapi kenapa ya jantungku jadi DAG-DIG-DUG-DERR gini? Aku tahu sekarang, tapi aku harus cari waktu yang tepat untuk nyatakan ke Mentari.. baiklah.
Hujan reda, aku meminta Mentari mendorong kursi rodaku sampai ke taman rumah sakit itu. Aku tahu betapa rindunya kita bisa duduk bersama di taman menunggu hujan reda. Mungkin dengan ini aku bisa mengobati kerinduan kami. Melewati lorong demi lorong, masih dengan cahaya ketulusan di matanya ia mendorongku. Aku berpikir bila nanti aku keluar dari sini, aku akan segera ungkapkan isi hatiku dengan syair lagu karanganku. Dengan tulus dan sabar ia membantuku berdiri dan duduk di bangku taman. Bangku ini terasa hangat sehangat hatiku di sisi Mentari. Walau tiupan angin menerbangkan helai rambutnya yang digerai. Sungguh indah saat ini. Bisa seperti dulu lagi. Dia tetap bersama kamera kesayangannya dan mulai memotretku. Tepatnya mengabadikan momen – momen ini. Ku utarakan semua yang kurasakan selama ini tanpa kehadirannya. Ia hanya tersenyum dan kembali memancarkan cahaya ketulusan dari matanya,
“Bintang, sekarang kan sudah ada aku disini jagain kamu. So, nggak akan ada maling motor yang mau curi kamu kok. Haha”. Kami hanya tersenyum dan tertawa bersamaan.
Ku lihat wajahnya sepanjang waktu. Tawanya yang khas, senyumnya yang manis, sinar matanya yang penuh ketulusan itu menahanku untuk mengalihkan pandanganku darinya. Dan.. aku kembali mencoba mengeluarkan isi hatiku.
“Ri, ma.. mau ngga..nggak.. ja..jadi pa...”
“Bintang, Mentari ayo kembali ke kamar! Bintang waktunya pemeriksaan akhir sayang”. Lagi, aku terganggu oleh teriakan Mama di kejauhan.
“Iya ma”, jawabku setengah ketus pada Mama.
Terpaksa misiku gagal lagi, tapi kabar baiknya aku sudah sembuh dan bisa pulang hari ini. Semuanya tertawa bahagia, termasuk Mentari yang berdiri menggenggam tanganku. Tak lama setelah kebahagiaan itu aku merasakan suatu cairan jatuh di tanganku. Ku toleh Mentari, ternyata darah itu berasal dari hidungnya. Aku lalu menarik tangannya,
“Mentari hidung kamu kenapa?”. Seraya ia mengusapkan tangannya dan terkejut melihat hidungnya mengeluarkan darah. Dan yang ku temui setelah itu, Mentari jatuh pingsan.
Bahagia itu kini berganti sedih melihat keadaan Mentari seperti ini. Harusnya aku ada di rumah, tapi aku pilih disini menemani Mentari dan menunggu keluarganya tiba. Memang aku belum tahu apa yang terjadi, tapi aku menunggu. Terus aku berdoa semoga Mentari nggak apa – apa di dalam sana. Jeglek.. kriekk.. Suara sang Dokter membuka pintu. Kemudian ku tanya Dokter itu,
“Gimana sahabat saya, Dok?”
Dokter itu hanya menjawab, “Maaf dek, saya ingin bicara dengan orang tuanya saja”
“Tapi orang tuanya belum datang, Dok. Tolong..”, aku memaksa dan memaksa.
Sampai orang tua Mentari datang dan menepuk pundakku,
“Sudah, biar kami yang bicara”
Satu anggukan sudah cukup membuat mereka pergi ke ruang Dokter yang nggak jauh dari situ. Sebuah ide muncul, mungkin ini sangat tidak sopan tapi aku terpaksa menguping pembicaraan mereka. Dokter itu mulai bicara,
“Pak, Bu.. Apa selama ini Mentari sering mimisan?”
“I.. iya, Dok. Akhir – akhir ini memang dia sering sekali mimisan. Memang ada apa, Dok?”, suara ayah Mentari gelisah.
Hening sejenak dan sang Dokter menjawab,
“Menurut pemeriksaan anak Bapak dan Ibu terkena kanker otak stadium 3 A. Stadium ini sudah sangat sulit untuk sembuh. Tapi, jika secepatnya dilakukan kemoterapi insya allah bisa sembuh”. Kakiku seperti tak bertulang, tubuhku jatuh bersama air mata.
“Ya Allah, cobaan apa lagi yang dirasakan Mentari? Berapa banyak lagi air matanya jatuh setelah kemarin kehilangan aku? Ya Allah jangan biarkan dia menurunkan air mata lagi.. aminn”, pintaku dalam hati sambil merasakan sakitnya hati ini.
Hatiku lebih sakit rasanya dibanding sakit di jantungku. Aku berusaha tegar dan mengusap air mataku. Akhirnya orangtua Mentari keluar kemudian mengajakku melihat Mentari di kamarnya. Melihat Mentari sudah siuman dan aku tahu mereka segera memberitahukan penyakitnya, aku menunggu di depan pintu. Sungguh aku nggak tega nanti kalau dia tahu. Dan... aku mendengar jerit tangis Mentari dari dalam. Aku melihatnya dari jendela dan tak kuasa menahan tangis. Semoga ia cepat sembuh dan bisa melewati ini dengan ikhlas dan tabah. “Aku tetap bersamamu”, ucapku tak bersuara dari balik jendela.
Seisi rumahku turut sedih atas Mentari, tapi diantara mereka aku lah yang paling bersedih. Berdiam diri bersama gitar, bulpoin, dan kertas di kasurku. Waktu sepanjang ini kuhabiskan sendiri tanpa Mentari. Memang banyak yang ku lakukan, tapi takkan berarti tanpa Mentari. Duduk termenung di bawah pohon, mengamati titik – titik air setiap turun hujan, membuat lagu untuk Mentari, menunggu hujan reda sendiri. Mungkin benar kata Mentari, hujan tak berhenti jika ia masih menangis dan mungkin hatinya yang sedih membuat alam sekitar ikut menangis. Aku hanya bisa mengirimkan doa, menyemangati dan menemaninya sepulang kuliah. Tapi aku bersyukur masih bisa melewati waktu yang berharga ini bersama dia. Dan bulan kini menjadi tahun. Mentari berhasil bertahan bersama kanker di otaknya yang melumpuhkan badannya sedikit demi sedikit. Meskipun ia kelihatan membaik tapi mahkota di kepalanya semakin habis. Sejumlah rangkaian kemoterapi ia taklukkan. Hingga suatu hari ia bertanya salah satu pertanyaan yang kubenci.
“Bintang, kenapa kamu masih ada disini sedangkan kondisiku semakin...”, ia meneteskan air mata.
Ku jawab pertanyaan itu dengan lembut, “Mentari, fisik dan kondisi nggak penting buat aku. Yang penting adalah hati, dan masa – masa indah yang kita lalui. Aku percaya meski dalam kegelapan seperti apapun Mentari pasti tetap bersinar”
Tetesan air matanya semakin deras, “Tapi cahaya Mentari udah mulai redup, Bintang”.
“Aku nggak peduli, dan aku tetap bersama kamu”, aku tersenyum haru dan menyeka air matanya.
Kami pun kembali tersenyum bersamaan. Dalam hati aku berkata, Kebersamaan inilah yang nanti kan selalu menjadi kenangan terindah dimasanya.
Malam itu kembali teringat tentang laguku yang ku buat khusus untuk menyatakan cintaku pada Mentari. Sedikit lagi lagu itu akan jadi lagu pertamaku dan jadi lagu romantis yang mengiringi pernyataan cintaku nanti. Ku raih gitar yang ku sandarkan di meja belajarku dan ku ambil kertas juga bulpoin. Ku petik gitar dan merasakan lagu itu merasuki hatiku. Aku kembali menemukan potongan syair untuk melengkapi akhir lagu itu. Kini aku tersenyum dan bersenandung.
Mungkinkah kau tahu, perasaan yang kini membara
Yang masih tersimpan dalam lubuk hatiku....
Slalu ingin kunyatakan lewat kata indah untukmu
Tapi ku tak kuasa tuk lakukannya....
Yah, begitulah sebait lirik lagu mesra itu. Walau memang tidak sepuitis lagu cinta jaman sekarang, tapi dari hati yang terdalam ku dapat semua lirik lagu itu. Aku masih berpikir,
“Kapan aku ungkapin ini ke Mentari? lagu yang kubuat untuknya sudah selesai dan... huftt.. masih banyak hal spesial yang harus kusiapkan untuk Mentari”
Kini aku lega dan hendak melayang pergi ke alam mimpi untuk mempersiakan mentalku, karena sehari lagi aku berencana mengajak Mentari ke Taman dan menyatakan cinta di sana.
“Eh, Oh iya. Kamu kuliah di mana?” tanyaku.
“Ehm.. Apa nama universitas itu penting? Tapi aku yakin kita akan ketemu lagi.”, dia menjawab dengan santai.
Setelah lama menunggu dan hujan pun reda. Sudah larut malam, ku beranikan diri mengajaknya pulang bersamaku.
“Mentari, rumah kamu satu arah kan sama aku? Bareng aku aja yuk? Masak kamu cewek pulang sendiri malam – malam gini?”, tanyaku penuh harap.
“Oke deh aku ikut kamu”. Dengan segenap kebahagiaan aku mengantar Mentari dengan Ninja merah kesayanganku hingga di depan rumahnya, dia lalu turun.
“Makasih banyak ya Bintang. Hati-hati, bye!”
“Bye!”. Begitulah akhir dari pertemuanku dengan Mentari hari ini.
Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan ucapan Mentari bahwa kami pasti bertemu lagi. Aku ragu dan bagaimana kalau kita nggak bisa ketemu lagi? Sedangkan aku nggak sempat minta nomer handphonenya. Ah, sudahlah yang penting aku tau di mana rumahnya.
“Ngomong – ngomong kok aku pulang ke rumah? Padahal kan aku tadi mau ke rumah tante Irma.”, pikirku yang baru tersadar saat tiba di depan pintu.“oke lah, pokoknya hari ini aku bahagia”, bisikku dengan pipi memerah.
Kriing! Kringggg!! Jam beker membuat geli telingaku. Astaga, aku bangun 15 menit lebih lambat dari biasanya. Aku langsung bersiap dan bergegas menuju kampus. Huft, aku pun sampai tepat waktu dan berlari kencang untuk sampai di kelas. Namun, sampai di koridor aku melihat sosok seseorang yang ku kenal.
“Mentari! Ya.. itu Mentari. Ternyata dia mahasiswa fakultas psikologi dan satu kampus denganku.”, jeritku keras dalam hati.
Dia pun memalingkan wajahnya, tersenyum dan melambaikan tangan. Aku pun membalasnya. Dan tersadarlah kalau aku akan terlambat. Kakiku berlari sekuat tenaga dan sampai juga aku di kelas. Istirahat, aku mencari Mentari di sekitar fakultasnya tapi nggak ketemu. Tempat terakhir yang kutuju adalah kantin, disana aku menemukan Mentari duduk dengan sahabatnya Dira. Aku putuskan menghampirinya,
“Mentari kan? Ini aku Bintang yang semalam”.
“Bintang? Duduk.”, respon Mentari ramah.
Lalu Dira beranjak dari tempatnya, “Tari, Bintang.. aku tinggal dulu ya. Mau ke perpustakaan”.
Kami berdua hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman. Hening sejenak sejak Dira pamit. Aku harus mendahului obrolan kami sebelum suasana semakin membeku.
“Mentari, soal kata – katamu kemarin..”
“Oh.. Sebenarnya aku sudah tau kalau kamu, Bintang Surya Abadi itu satu kampus sama aku. Haha”
“Hah? Tapi aku kok nggak pernah kenal kamu?”
“Ya.. Aku memang nggak se-terkenal kamu”. Celoteh canda dari mulut Mentari yang selalu berhias senyum penuh ketulusan itu makin membuatku merasakan betapa tulusnya hati seorang Mentari.
Sepulang kuliah awan mendung menyambutku, aku berniat pergi ke taman dekat kampus. Dan aku lihat Mentari keluar dari kelasnya, terpikir olehku untuk segera mengambil motor lalu memboncengnya ke sana. Perjalanan singkat itu kami habiskan dengan penuh tawa. Aku sibuk menyetir sambil berangan – angan bila nanti turun hujan. Sedangkan Mentari tak henti memotret hal – hal indah yang menurutnya akan jadi kenangan. Di bawah pohon itu aku dan Mentari duduk bersama. Aku berdiri dan memetik setangkai bunga mawar untuknya.
“Mentari, i..ini.. buat kamu.”, aku gugup dan bicaraku terpatah – patah. Mentari hanya tersenyum malu dan meraih tangkai bunga digenggamanku.
“Emm.. Bintang. Aku dengar kamu jarang pulang ya akhir – akhir ini? Kenapa? Kamu nggak kasihan sama orang tuamu sudah biayain kuliahmu susah payah tapi nggak bisa ketemu anaknya tiap hari?”, akhirnya pertanyaan menyebalkan itu muncul dari mulut Mentari yang nggak biasanya mengawali pembicaraan.
Aku kesal harus menjelaskan ini pada Mentari, tapi apa boleh buat? Dan.. aku menjawab “Yah, harusnya gimana? Aku bosan mereka bertengkar hampir tiap hari. Aku kan hanya ingin keluarga yang harmonis dan suasana yang damai. Seisi rumah nggak ada yang mikirin aku, Mentari. Kecuali...”
“Kecuali siapa?”, dengan tegas Mentari memotong penjelasanku.
“Kecuali adikku, Rindi. Selama ini aku dekat dengan adikku satu – satunya itu. Hanya dia yang bisa ngerti perasaanku. Aku kasihan sih sama dia harus dengar papa dan mama marahan terus. Tapi masak harus aku ajak juga dia pulang ke rumah tante Irma?”, sahutku. Ku lihat raut wajahnya seperti sedang mencari solusi untukku. Sedetik kemudian..
“Gini deh, kamu bayangin kalau kamu sayang banget sama seseorang. Terus orang itu tiba – tiba menghilang dan ngehindari kamu. Gimana perasaanmu? Sama kayak orang tuamu pasti khawatir dan sedih lihat kamu kayak gini, Bintang”, Mentari menasihatiku perlahan. Kata – kata itu langsung merasuki pikiranku dan aku sadar kalau perbuatanku salah.
“Iya sih, aku jahat banget sama mereka. Seharusnya di saat mereka berantem aku ada buat nyatuin mereka.”, nada penyesalan pun terlontar dari mulutku.
Mentari dengan sabar menasihatiku dengan lembut, “Jadi mulai sekarang kamu nggak boleh ngulangin lagi kesalahan kemarin. Oke?”
“Oke deh, mulai malam ini dan seterusnya aku bakal jadi anak yang baik buat keluarga dan semuanya... makasih banyak ya.”, senyum haru menghiasi wajahku bila mengingat sikapku selama ini. Malam itu menjadi hal yang indah buatku.
Semenjak malam itu aku dan Mentari bersahabat akrab, yah.. bisa dibilang lebih dari sahabat tapi tidak pernah menjadi lebih dari itu. Taman itu juga menjadi tempat favorit kami untuk menikmati hujan dan menghabiskan waktu bersama. Aku pun kembali ke rumah seusai mengantarkan Mentari pulang. Seluruh keluargaku menyambutku dengan tangis haru setelah 6 bulan aku meninggalkan rumah. Tak tertahan air mataku telah sampai di ujung dan menetes. Dengan haru aku meminta maaf pada semuanya,
“Pa, Ma, Rin.. Bintang minta maaf selama ini sudah buat kalian resah dan sedih”. Papa, Mama, dan Rindi tersenyum lebar.
“Iya kak, kami sudah maafin kakak kok. Yang penting sekarang keluarga kita bisa harmonis lagi”, jawab Rindi.
Kebahagiaan lengkap sudah hari itu. Ditambah dengan fakta kalau Papa dan Mama sudah nggak bertengkar seperti dulu lagi. Hari ini aku bagaikan mendapat senyum manis dari matahari di sana. “Terima kasih Mentari”, gumamku dalam hati dan tersenyum diantara tetesan air mata.
Sekian lama aku dan Mentari bersama, setiap saat dan setiap waktu sebisa mungkin kita lewati berdua. Dia adalah cewek terbaik yang aku kenal dan aku juga sering menceritakan semua tentang Mentari ke Mama. Aku juga merasa jauh lebih baik setelah kenal dia lagipula banyak sifat burukku yang ku buang karena Mentari. Aku ingin jadi yang terbaik buat dia. Apa yang kurang? Aku masih tak tau sebenarnya apa arti perasaanku buat Mentari? Mungkin pertanyaan sepele, tapi menjadikan penuh hati dan pikiranku. Bodohnya aku yang belum bisa menterjemahkan isi hati ini. Bimbang? Sekaligus gelisah menghantui tiap kali aku dekat dengannya. Hati berkata nggak bisa lagi menahan perasaan yang menanti untuk ku utarakan. Tapi, apa Mentari juga merasakan hal yang sama? Apa aku akan kuat menghadapi kekecewaan saat nanti tak seperti harapanku? Kubiarkan semua pertanyaan itu melayang di otakku sambil menunggu jawaban yang tiba bila saatnya. Setelah membuang waktu sia – sia, aku mengirim pesan untuk Mentari.
Pesanku berisi:
“Ri, aku jemput kamu 10 menit lagi ya. Suntuk nih aku di rumah terus. Mumpung awan sudah mulai kelabu, kita pergi ke taman yuk?!”, dan ku tekan tombol SEND.
Begitu gembiranya aku tak kusangka Rindi mengagetkanku dan.. “Kakak mau pergi sama kak Mentari ya? Diperhatiin kalian tambah dekat aja nih”. Aku hanya tersenyum menepuk pundaknya dan berangkat.
Keluarlah Mentari dengan kamera dikalungkan di lehernya. Duduklah kita di bawah pohon di taman itu menunggu rintik hujan. Tak sedetik pun kubiarkan senyumnya hilang dari pandanganku. Tak lama, hujan turun membasahi dedaunan, membanjiri jalanan dengan air yang menggenang. Inilah waktu yang paling tepat tuk ungkapkan isi hati yang sudah lama penuh. Aku pun memantapkan hati untuk bicara tentang semuanya. Kata per kata coba ku luncurkan dari ujung lidah.
“Mentari sebenar...nya....”, baru 2 kata yang terucap malah handphoneku berdering. Benar – benar mengganggu tetapi itu dari Rindi dan aku menjawabnya.
“Halo, ada apa Rin?”
“Mama dan Papa berantem lagi kak. Kakak, pulang sekarang ya?”. Sedikit terpaksa aku menjawab iya. Aku mengantar Mentari pulang menaiki motorku dengan kecepatan penuh meski melawan terpaan hujan.
Jantungku berdebar sekencang angin topan begitu berdiri di depan rumah. Namun, baru selangkah aku mengangkatkan kaki tiba – tiba jantungku sakit dan lebih sakit dari telingaku yang setiap hari mendengar Mama dan Papa berantem. Seketika tubuhku tergeletak lemas di depan pintu rumah dan remang – remang aku lihat Mama, Papa, dan Rindi berteriak histeris di sampingku. Kemudian mataku tak kuasa terbuka dan aku hilang dalam kegelapan. Terasa lama sekali aku hilang dalam gelap. Ku buka paksa mataku dan rasa sakit di jantungku kembali. Keluargaku yang duduk di sofa pun beranjak berdiri di sampingku sedangkan Papa memanggilkan dokter. Aku nggak bisa berkata – kata lagi. Hanya memegangi dada kiriku menahan sakit di jantungku yang melemah. Selang beberapa saat dokter datang dan memeriksaku terutama dada kiriku, aku hanya menatap wajah sang dokter. Tampak keresahan di wajah dokter itu.
“Pak, anak bapak ini memiliki kelainan jantung sejak kecil?”
“Benar dok”, jawab Papa gelisah. Dokter itu kembali menatapku dan berpaling ke arah Papa,
“Penyakit anak bapak sedang kambuh dan rupanya semakin parah. Kita harus merawatnya di sini pak agar tidak bertambah parah. Karena akibatnya adalah kematian”.
Mendengar kalimat menyedihkan dari mulut sang dokter rasanya terenggut semua kebahagiaanku. Terlintas kesedihan, bagaimana kalau aku nggak bisa melewati waktu berharga ini bersama Mentari? Aku takut Mentari sedih dan kesepian. Aku nggak ingin Mentari sedih karena tahu hal ini. Ku arahkan pandangan pada Papa yang kembali menegakkan wajahnya dan bertanya,
“Berapa lama, dok?”
“Melihat kondisinya, mungkin beberapa bulan Pak. Karena jantungnya sudah cukup parah”, jawaban itu yang paling ku benci.
Bisakah aku melewati semua ini tanpa Mentari? Sedangkan waktu satu bulan saja sangat lama rasanya apalagi tiada menikmati hujan bersama, bercanda bersama, mendengar ceramahnya, dan tak ada Mentari. Satu – satunya yang bisa ku lakukan hanyalah meminta Rindi mengawasi Mentari dari kejauhan karena aku tak ingin Mentari tahu keadaanku. Biar aku bersembunyi di balik kabut sampai nanti senyuman tulus itu terlihat lagi. Satu hari, dua hari... Aku sendiri ditemani Rindi yang selalu melaporkan keadaan Mentari. Saat hujan tiba pun aku hanya meratapi air hujan dari balik jendela rumah sakit ini. Teringat janjiku pada Mentari untuk mengajaknya pergi menikmati hujan bersama di bawah pohon itu. Terbayang betapa merananya ia disana seperti aku hanya mengingat kenangan sebelum sakitku ini semakin parah. Jujur aku nggak tega menghilang dari Mentari yang tiap hari mencoba menghubungi ponselku dan tetap tak ada jawaban dariku. Bahkan Rindi bicara kalau dia semakin menyendiri dan sering melamun semenjak aku nggak kasih kabar. Lebih parahnya lagi Mentari sering menangis di bawah pohon tempat favorit kami itu setiap hari, setiap pulang dari kampus dan setiap kali hujan turun. Aku pun terus mendengarkan cerita Rindi.
“Kak, menurutku Kak Mentari punya perasaan yang sama kayak kakak. Waktu itu aku duduk di tempat favorit kakak dan Kak Mentari. Ia menangis dan menangis walaupun hujan sudah reda tapi ia tak berhenti menangisi kamu, kak. Dia bilang, Kenapa sih Bintang? Kenapa dia nggak beri tahu aku apa yang sebenarnya terjadi? Menghilang tanpa kabar. Aku hubungi tapi nggak ada jawaban. Apa salahku Rindi? Aku ingin jadi yang terbaik buat Bintang. Kamu lihat air hujan ini, air mataku nggak akan berhenti sampai Bintang kembali membawa pelangi. Itu katanya, kak. Dia kehilangan banget, apa nggak sebaiknya kita beritahu dia tentang kakak? Sudah hampir setahun kakak nggak ada disampingnya, ya kan?”.
Aku berubah pikiran walau tetap nggak tega lihat ekspresinya nanti waktu tahu kondisiku sekarang, terbaring lemah di ranjang. Rindi lalu memberitahu semua pada Mentari. Hanya bisa berharap Mentari datang dengan senyum ketulusannya yang bisa menenangkan aku.
Tahukah? Menanti adalah hal yang paling ku benci. Setiap hari mengamati pintu kamarku berharap Mentari datang. Hari ini genap setahun aku terbaring sepi menatap kaca jendela dipenuhi harapan yang mulai sirna. Tapi sekilas aku terdiam mendengar langkah kaki menuju kemari. Saat kupikir itu Rindi lalu ku palingkan wajahku dari jendela. Aku pun terkaget ternyata dia Mentari, berlari ke arahku dan merengkuh tubuhku yang ia basahi dengan tangis. Seraya tanganku menggapainya dan air mataku menetes. Ketika itu hujan turun, ku perhatikan Mentari sempat menatap jendela. Aku tahu dia berkaca – kaca dan mungkin malaikat di atas sana ikut menangis melihat kesedihan ini. Sungguh tak tertahankan air mata bercucuran di lengannya.
Sekian lama, ia melepas pelukannya dan memandangku dengan wajah sendu. Aku belum pernah melihat Mentari menangis sampai seperti ini.
“Kamu kenapa sih selama ini nggak kasih kabar? Emang kamu anggap aku ini apa? Sebenarnya sakit apa kamu, Bintang?”, tanyanya histeris.
Aku tersenyum dan menyahutinya, “Aku takut kamu sedih, lagipula aku nggak mau jadi beban. Sekarang aku sudah nggak apa – apa kok, kamu tenang aja. Cuma sakit jantung biasa bentar lagi juga sembuh. Kan ada kamu disini. Hehe”
Bibirnya mulai manyun dan tersenyum, “Tapi aku kan kesepian hujan – hujanan sendiri, kedinginan sendiri”
“Ya aku minta maaf banget. Tapi sekarang udah lihat hujan sama aku kan? Jadi selesai dong nangisnya, nanti hujannya nggak reda – reda lho”, gaya bicaraku membuatnya tertawa.
Senang bisa lihat hujan plus lihat senyumnya lagi, tapi kenapa ya jantungku jadi DAG-DIG-DUG-DERR gini? Aku tahu sekarang, tapi aku harus cari waktu yang tepat untuk nyatakan ke Mentari.. baiklah.
Hujan reda, aku meminta Mentari mendorong kursi rodaku sampai ke taman rumah sakit itu. Aku tahu betapa rindunya kita bisa duduk bersama di taman menunggu hujan reda. Mungkin dengan ini aku bisa mengobati kerinduan kami. Melewati lorong demi lorong, masih dengan cahaya ketulusan di matanya ia mendorongku. Aku berpikir bila nanti aku keluar dari sini, aku akan segera ungkapkan isi hatiku dengan syair lagu karanganku. Dengan tulus dan sabar ia membantuku berdiri dan duduk di bangku taman. Bangku ini terasa hangat sehangat hatiku di sisi Mentari. Walau tiupan angin menerbangkan helai rambutnya yang digerai. Sungguh indah saat ini. Bisa seperti dulu lagi. Dia tetap bersama kamera kesayangannya dan mulai memotretku. Tepatnya mengabadikan momen – momen ini. Ku utarakan semua yang kurasakan selama ini tanpa kehadirannya. Ia hanya tersenyum dan kembali memancarkan cahaya ketulusan dari matanya,
“Bintang, sekarang kan sudah ada aku disini jagain kamu. So, nggak akan ada maling motor yang mau curi kamu kok. Haha”. Kami hanya tersenyum dan tertawa bersamaan.
Ku lihat wajahnya sepanjang waktu. Tawanya yang khas, senyumnya yang manis, sinar matanya yang penuh ketulusan itu menahanku untuk mengalihkan pandanganku darinya. Dan.. aku kembali mencoba mengeluarkan isi hatiku.
“Ri, ma.. mau ngga..nggak.. ja..jadi pa...”
“Bintang, Mentari ayo kembali ke kamar! Bintang waktunya pemeriksaan akhir sayang”. Lagi, aku terganggu oleh teriakan Mama di kejauhan.
“Iya ma”, jawabku setengah ketus pada Mama.
Terpaksa misiku gagal lagi, tapi kabar baiknya aku sudah sembuh dan bisa pulang hari ini. Semuanya tertawa bahagia, termasuk Mentari yang berdiri menggenggam tanganku. Tak lama setelah kebahagiaan itu aku merasakan suatu cairan jatuh di tanganku. Ku toleh Mentari, ternyata darah itu berasal dari hidungnya. Aku lalu menarik tangannya,
“Mentari hidung kamu kenapa?”. Seraya ia mengusapkan tangannya dan terkejut melihat hidungnya mengeluarkan darah. Dan yang ku temui setelah itu, Mentari jatuh pingsan.
Bahagia itu kini berganti sedih melihat keadaan Mentari seperti ini. Harusnya aku ada di rumah, tapi aku pilih disini menemani Mentari dan menunggu keluarganya tiba. Memang aku belum tahu apa yang terjadi, tapi aku menunggu. Terus aku berdoa semoga Mentari nggak apa – apa di dalam sana. Jeglek.. kriekk.. Suara sang Dokter membuka pintu. Kemudian ku tanya Dokter itu,
“Gimana sahabat saya, Dok?”
Dokter itu hanya menjawab, “Maaf dek, saya ingin bicara dengan orang tuanya saja”
“Tapi orang tuanya belum datang, Dok. Tolong..”, aku memaksa dan memaksa.
Sampai orang tua Mentari datang dan menepuk pundakku,
“Sudah, biar kami yang bicara”
Satu anggukan sudah cukup membuat mereka pergi ke ruang Dokter yang nggak jauh dari situ. Sebuah ide muncul, mungkin ini sangat tidak sopan tapi aku terpaksa menguping pembicaraan mereka. Dokter itu mulai bicara,
“Pak, Bu.. Apa selama ini Mentari sering mimisan?”
“I.. iya, Dok. Akhir – akhir ini memang dia sering sekali mimisan. Memang ada apa, Dok?”, suara ayah Mentari gelisah.
Hening sejenak dan sang Dokter menjawab,
“Menurut pemeriksaan anak Bapak dan Ibu terkena kanker otak stadium 3 A. Stadium ini sudah sangat sulit untuk sembuh. Tapi, jika secepatnya dilakukan kemoterapi insya allah bisa sembuh”. Kakiku seperti tak bertulang, tubuhku jatuh bersama air mata.
“Ya Allah, cobaan apa lagi yang dirasakan Mentari? Berapa banyak lagi air matanya jatuh setelah kemarin kehilangan aku? Ya Allah jangan biarkan dia menurunkan air mata lagi.. aminn”, pintaku dalam hati sambil merasakan sakitnya hati ini.
Hatiku lebih sakit rasanya dibanding sakit di jantungku. Aku berusaha tegar dan mengusap air mataku. Akhirnya orangtua Mentari keluar kemudian mengajakku melihat Mentari di kamarnya. Melihat Mentari sudah siuman dan aku tahu mereka segera memberitahukan penyakitnya, aku menunggu di depan pintu. Sungguh aku nggak tega nanti kalau dia tahu. Dan... aku mendengar jerit tangis Mentari dari dalam. Aku melihatnya dari jendela dan tak kuasa menahan tangis. Semoga ia cepat sembuh dan bisa melewati ini dengan ikhlas dan tabah. “Aku tetap bersamamu”, ucapku tak bersuara dari balik jendela.
Seisi rumahku turut sedih atas Mentari, tapi diantara mereka aku lah yang paling bersedih. Berdiam diri bersama gitar, bulpoin, dan kertas di kasurku. Waktu sepanjang ini kuhabiskan sendiri tanpa Mentari. Memang banyak yang ku lakukan, tapi takkan berarti tanpa Mentari. Duduk termenung di bawah pohon, mengamati titik – titik air setiap turun hujan, membuat lagu untuk Mentari, menunggu hujan reda sendiri. Mungkin benar kata Mentari, hujan tak berhenti jika ia masih menangis dan mungkin hatinya yang sedih membuat alam sekitar ikut menangis. Aku hanya bisa mengirimkan doa, menyemangati dan menemaninya sepulang kuliah. Tapi aku bersyukur masih bisa melewati waktu yang berharga ini bersama dia. Dan bulan kini menjadi tahun. Mentari berhasil bertahan bersama kanker di otaknya yang melumpuhkan badannya sedikit demi sedikit. Meskipun ia kelihatan membaik tapi mahkota di kepalanya semakin habis. Sejumlah rangkaian kemoterapi ia taklukkan. Hingga suatu hari ia bertanya salah satu pertanyaan yang kubenci.
“Bintang, kenapa kamu masih ada disini sedangkan kondisiku semakin...”, ia meneteskan air mata.
Ku jawab pertanyaan itu dengan lembut, “Mentari, fisik dan kondisi nggak penting buat aku. Yang penting adalah hati, dan masa – masa indah yang kita lalui. Aku percaya meski dalam kegelapan seperti apapun Mentari pasti tetap bersinar”
Tetesan air matanya semakin deras, “Tapi cahaya Mentari udah mulai redup, Bintang”.
“Aku nggak peduli, dan aku tetap bersama kamu”, aku tersenyum haru dan menyeka air matanya.
Kami pun kembali tersenyum bersamaan. Dalam hati aku berkata, Kebersamaan inilah yang nanti kan selalu menjadi kenangan terindah dimasanya.
Malam itu kembali teringat tentang laguku yang ku buat khusus untuk menyatakan cintaku pada Mentari. Sedikit lagi lagu itu akan jadi lagu pertamaku dan jadi lagu romantis yang mengiringi pernyataan cintaku nanti. Ku raih gitar yang ku sandarkan di meja belajarku dan ku ambil kertas juga bulpoin. Ku petik gitar dan merasakan lagu itu merasuki hatiku. Aku kembali menemukan potongan syair untuk melengkapi akhir lagu itu. Kini aku tersenyum dan bersenandung.
Mungkinkah kau tahu, perasaan yang kini membara
Yang masih tersimpan dalam lubuk hatiku....
Slalu ingin kunyatakan lewat kata indah untukmu
Tapi ku tak kuasa tuk lakukannya....
Yah, begitulah sebait lirik lagu mesra itu. Walau memang tidak sepuitis lagu cinta jaman sekarang, tapi dari hati yang terdalam ku dapat semua lirik lagu itu. Aku masih berpikir,
“Kapan aku ungkapin ini ke Mentari? lagu yang kubuat untuknya sudah selesai dan... huftt.. masih banyak hal spesial yang harus kusiapkan untuk Mentari”
Kini aku lega dan hendak melayang pergi ke alam mimpi untuk mempersiakan mentalku, karena sehari lagi aku berencana mengajak Mentari ke Taman dan menyatakan cinta di sana.
Semalam berlalu tak terasa, pagi-pagi sekali aku pergi untuk membelikan gaun cantik buat Mentari. Motorku pun berhenti di sebuah butik, dan disana aku menemukan gaun berwarna ungu favorit Mentari, berkain lembut yang cocok dengan hatinya. Aku pun segera membelikannya dan meminta petugas kasir untuk membungkusnya dengan kertas kado yang rapi. Usai membeli gaun itu, aku menuju ke Taman untuk menghias bangku di bawah pohon. Ku beri lampu, bunga – bunga serta lilin – lilin yang menambah romantis suasana esok. Malam itu, aku lega sekali berhasil mendekor tempat favorit kami dengan indahnya. Aku pun ingin beristirahat sembari menunggu datangnya hari esok.
Matahari menyilaukan itu membangunkanku, aku segera beranjak dari tidur dan duduk di kasurku. Aku baru ingat kalau siang ini juga harusnya gaun itu kukirim untuk Mentari. Ya sudahlah, ku pergi ke kamar Rindi,
“Dek, ini tolong antarkan ke kak Mentari ya? GPL loh?!”
“Siap kak!”, jawab Rindi bersemangat.
Kembali ke kamar dan meraih gitarku untuk menghafal lagi lagu itu. Saat aku yakin sudah mantap, aku pun pergi mandi dan bersiap untuk nanti malam. Aku menyuruh Mentari memakai gaun itu seusai ia mandi sore nanti, dan aku akan menjemputnya sambil membawa seikat bunga mawar. Waw, romantis sekali ya rencanaku ini. Tapi bagaimana kelanjutannya? Kita lihat saja nanti.
Keluar dari kamar mandi sore itu, ku dapati handphoneku berbunyi dan ku lihat itu pesan dari Mentari.
“Bintang, sore ini aku harus kemoterapi untuk yang terakhir. Aku udah pake gaunnya, bagus banget! Makasih ya! Nah, aku pengen kamu datang di kemoterapiku yang terakhir ini ya?”.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 , aku harus cepat supaya Mentari tidak kecewa. Ku keluarkan motorku, tapi sepertinya ada beberapa pesan masuk di handphoneku beberapa kali. Langsung saja ku abaikan dan ku kendarai motorku di bawah langit yang mungkin akan menurunkan hujannya. 30 menit kemudian sampailah aku di rumah sakit, sambil melewati lorong – lorong di sana aku membaca beberapa pesan dari teman – temanku yang memberiku semangat dan juga mendoakan supaya rencanaku kali ini berhasil. Namun, pesan terakhir yang baru saja sampai adalah dari Rindi. Kubuka dan kubaca pesan itu.
“Kak, cepet sini kak. Kak Mentari kritis, kata dokter tubuhnya tiba – tiba melemah dan menolak obat kemonya. KAK MENTARI BUTUH KAKAK”
Tersentak aku membacanya, dengan reflek aku pun berlari sekencang – kencangnya.
“Tunggu aku Mentari, aku pasti datang. Kamu harus kuat, ini kemomu yang terakhir!”
Sementara itu, langit pun mulai menurunkan hujannya. Deras, deras dan makin deras.
Begitu sampai di depan pintu kamar sang Mentari, tak terduga Orang tuanya, Mama, dan Rindi menoleh padaku dengan bercucuran air mata. Dari situ ku lihat dokter menutupi Mentari dengan kain putih, seketika badanku terjatuh. Air mata tak tertahankan keluar bersama teriakanku yang tak bersuara.
“Apa?! Mentari meninggal?! Dihari seperti ini ia pergi?! Tuhan, kenapa? Kenapa secepat ini sebelum aku sempat mengungkapkan isi hatiku?, keluhku dalam hati.
Aku tak bisa membiarkan tubuh ini berdiri dan menghampiri jasad Mentari yang kini sudah pergi jauh, bahkan sampai jasad bidadari itu dipindahkan ke kamar akhir sebelum pemakaman besok. Maafkan aku yang tidak bisa secepat mungkin sampai disini untuk menemani saat terakhirmu. Maafkan pula aku yang selalu menunda – nunda untuk menyatakan perasaan ini.
Pemakaman bidadarimu pagi ini diiringi oleh hujan yang seakan ikut menangisi kepergian sang Mentari, Tuhan. Ku mohon, tolong jaga dia dan berikan tempat terindah untuknya di sisimu, Tuhan. Biarkanlah, sinar mentari tetap bersinar walau ia telah hilang. Biarkan pancaran sinarnya itu selalu memberikan kedamaian bagiku dan bagi orang – orang yang ada di bumi ini. Karena aku sadar, pesanmu yang memintaku untuk datang menemanimu menjalani kemoterapi yang terakhir itu bukan berarti kau akan sembuh Mentari, tapi kau tahu bahwa kemoterapi terakhir yang kau maksud adalah kemoterapi sebelum kau pergi jauh dari bumi.
“I Will Always Love You, Mentari. Aku akan selalu doain kamu dan kengenin kamu. Kamu baik – baik ya disana. Aku harap kamu juga punya rasa yang sama denganku. Dan terima kasih juga telah menyinari hariku yang sempat suram, serta merubah aku menjadi sosok yang lebih baik lagi. Love You!”, ujarku terpatah-patah karena menangis.
Kini langkah akhirku adalah mengambil gitar di motorku dan kumainkan di atas makam itu laguku untuknya.
Mungkinkah kau tahu, perasaan yang kini membara
Yang masih tersimpan dalam lubuk hatiku....
Slalu ingin kunyatakan lewat kata indah untukmu
Tapi ku tak kuasa tuk lakukannya....
Mungkin hanya lewat lagu ini
Akan ku nyatakan rasa
Cintaku padamu, kasihku padamu, tak bertepi..
Mungkin hanya sebuah lagu ini
Yang kan slalu kunyanyikan
Sebagai tanda betapa aku inginkan kamu..
(Song: Ungu – Laguku)
THE END
PROFIL PENULIS
Nama : Marie Augustin Alvidian P.A.H
Kelas : IX SMP
Umur : 14 Tahun
Asal : Pasuruan, Jawa Timur
Motto : Kalau bisa melakukan lebih, why not ?? and, be your self ! :D
Facebook : MaRmarie AUaugustin Macieh Cliquers
Nama : Marie Augustin Alvidian P.A.H
Kelas : IX SMP
Umur : 14 Tahun
Asal : Pasuruan, Jawa Timur
Motto : Kalau bisa melakukan lebih, why not ?? and, be your self ! :D
Facebook : MaRmarie AUaugustin Macieh Cliquers