Cerpen Pendidikan - Kaki

KAKI
Oleh Andi Sudianto

Sebuah kerhormatan besar bagi kita sebagai mahluk di anugerahi sepasang kaki yang dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Hanya satu dari banyak anggota tubuh kita yang mendapat amanat paling berat, menopang berat badan ketika kita berdiri, membuat kita dapat berpindah tempat, menendang bola, melompati setiap rintanggan, bahkan mampu di buat judul dalam sebuah karangan. Sudah sepatutnya kita ucapkan banyak terima kasih kepada kaki. Itulah kaki, bagian dari raga yang patut kita banggakan.

Tapi tidak bagiku, sekarang kakiku adalah musuh terbesarku. Kakiku mulai mengusik ketenanganku setiap saat. Dia melakukan pemberontakan, otakku seperti tidak berguna.

Perintah-perintah dari otakku tidak pernah di gubris. Kakiku sekarang mempunyai jalan pikiran sendiri jika kakiku menghendakinya maka ia lakukan sesuai kehendaknya. Bisa di katakan saraf penghubung kaki ke otak telah putus.
***

Jalan termudah untuk melewati sebuah sungai adalah dengan cara meliwati jembatan, itu yang aku pikirkan. Tapi ketika di hadapanku terdapat sungai yang terdapat jembatan untuk menyebranginya, kakiku menolak untuk melewatinya. Kakiku lebih suka melompati sungai jika sungai itu sempit dan lebih suka terjun ke sunggai jika sungai itu lebar. dan Ini bukan kali pertama yang terjadi.

Sepakbola olahraga yang sangat menyenangkan bagiku. Menendang bola begitu mengairahkan untuk ku lakukan. Tapi ketika kakiku ini tidak seirama dengan apa yang ada di pikiranku semuanya jadi sangat menyebalkan. Kakiku lebih berminat menendang kaki orang dari pada bola. Sepertinya kakiku tau benar cara mencari mungsuh.

Tujuan antara kaki dan otakku tidak seirama lagi. Keduanya bertentangan bagaikan langit dan angkasa.

Sekarang aku benar-benar jengkel terhadap kakiku sendiri. Aku mulai muak mempunyai kaki tidak menurut dengan majikannya lagi. Aku sudah malas untuk membersihkannya lagi jangankan mengurusinya melihatnya pun aku tak sudi.

Sekarang aku yakin, aku harus mendatangi desa sebelah. Kabar beredar di desa sebelah terdapat tukang jagal manusia yang biasa menghadapi masalah-masalah seperti yang aku hadapi.

Sudah aku mantapkan dalam hatiku bahwa kedua kakiku ini harus di pisahkan dengan tubuhku. Korsi roda lebih baik dari padahidup selalu bersanding dengan pemberontak. Perbedaan ideologi sangat menyebalkan untuk di perdebatkan.

Ketika aku berhadapan dengan tukang jagal tersebut dia tau benar masalahku.
“yang mana yang pemberontak” tanyanya sembil mengasah sebilah pedang.
“kaki” jawabku penuh keyakinan bahwa kaki ku ini harus di singkirkan.
“apa kau yakin nak, aku sudah menangani lebih dari 100 pasien dan aku juga sudah menyaksikan akhir sebuah esekusi yang kulakukan terhadap organ tubuh mereka yaitu penyesalan dan kepuasan. Penyesalan itu pahit nak, tidak ada seorangpun yang mau menyesal di akhir keputusan. Begitu jug denganmu, aku tak mau melihat raut penyesalan di akhir esekusi ini” katanya masih sambil mengash pedang dengan sesekali membasuhnya dengan air yang di ambil dari ember di dekatnya.

Setelah dia selesai mengasah di bangkit mendatangiku. Dia menatap mataku dalam-dalam sembari berujar menyuruhku mencopot baju dan celana. Dia menyarankan seperti itu agar ketika melakukan esekusi darah tidak menyembur ke pakaian yang aku kenakan.

Tukang jagal tersebut pergi meninggalkanku sejenak, dia memberikanku waktu untuk memantapkan keputusanku lagi.

Sekarang yang tersisa dari tubuhku hanya sehelai celana dalam dan gelang emas yang tersisa di tubuhku. Dan sekaarng aku yakin dengan hatiku, keputusanku sudah bulat.

Sekitar 10 menit tukang jagal itu kembali sambil membawa golok di tanggan kanannya. Dia sekarang melihat sekujur dengan seksama tubuhku yang telah berbaring di kasur tempat esekusi. Aku telah benar-benar siap untuk di esekusi, di bagian bawah lutut kakiku sudah di pasak kayu balok untuk ladasan Pedang itu menghujam lututku.

Sekali lagi ia memperhatikan seluruh angota tubuhku tapi kali ini dengan raut kebingungan di wajahnya.
“Apa yang ada di pergelangan tanganmu tersebut nak?” tanyanya.
“Ini sebuah gelang emas” aku heran kenapa ia tanya hal sepele seperti itu.
“kakimu apa pernah mengenakan gelang emas seperti yang melingkar di tanganmu itu nak?” katanya sambil memperhatikan kakiku.
“tidak, kakiku tidak pernah mengenakan apapun”.
“pantas hahaha”. sambil tertawa lantang.
“sekarang kau sudah sembuh nak”. sahutnya lagi.
“apa? bukanya bapak belum melakukan esekusi terhadap kakiku? trus bagaimana apu bisa di vonis sembuh dari pemberontak ini?” kataku terkejut terheran.
“Semua Permainan ini politik nak” sambil berbisik di telingaku sambil menebar senyum.
“lalu bagaimna aku tau kalau kakiku tidak memberontak lagi pak?”
“sekarang cobalah pindahkan gelang emas yang melingkar di tanganmu itu ke kakimu. Setelahnya tendang bola yang ada di sebelah kaki ku ini” katanya penuh keyakinan.
“hanya itu” kataku dengan nada tidak percaya.

Aku menuruti apa yang di perintahkan tukang jagal tersebut. Gelang emas yang semula di tanganku sekarang berpindah ke kakiku. Tukang jagal tersebut segera menyuruhku menendang bola di samping kakinya. Tapi aku ragu, aku takut kakiku ini justu malah menendang kaki tukang jagal tersebut.
“ayolah nak tak usah ragu, segera lakukan” menyemangatiku.
Aku masih diam terpaku bertarung dengan pikiranku sendiri. 10 menit lamanya aku belum bergerak. Setelah aku yakin aku harus melakukannya aku ambil jarak, kuda-kudaku sudah siap untuk menendang bola dengan sekeras-kerasnya. Ketika aku mengayunkan kakiku aku siap jika yang ku tendang adalah kaki tukang jagal tersebut.

Bbeekk… suara itu terdengrn karena benturan kakiku mengenai bola. Aku hampir tidak percaya aku bisa melakukannya. Sekarang kakiku sembuh, tidak ada pemberontak lagi di tubuhku.

Sudah saatnya aku meningalkan rumah tukang jagal tersebut setelah berpamitan aku sempatkan bertanya.
“Jadi hanya itu”. Kataku.
“Ssssttt…. ini bagian dari politik nak, politik tingkkat tinggi yang di dalamnya trdapat konspirasi-konspirasi terselubung” Katanya lirih.

Baca juga Cerpen Pendidikan yang lainnya.

No. Urut : 1065
Share & Like