RINYA
Karya Peri Ai
Entah ada badai apa yang sudah melanda jiwaku sehingga pagi ini terasa sangat sepi. Jeritan mama yang biasanya membangunkan adik, kini tak terdengar lagi setelah tragedi yang menimpa keluarga kami. Sedangkan diskusi antara mama dan papa di meja makan tentang berita hari ini tak terdengar lagi dari kamarku. Sepi…sunyi, aku sekarang hanya sendiri. Sementara, gadis manis yang menabrakku kemarin didepan kelas masih berdiri di depan rumahku sambil memandang kearah kamarku. Senyumnya sangat menarik, dengan bibir merah basah dan wajah setengah pucat. Tapi aku tak boleh membatalkan rencana kemarin yang rusak gara-gara gadis manis itu. Aku tak ingin mereka terus-terusan menyalahkanku karena tidak menang dalam pertandingan itu. Akan kubuktikan kalau aku adalah laki-laki sejati.
Entah ada badai apa yang sudah melanda jiwaku sehingga pagi ini terasa sangat sepi. Jeritan mama yang biasanya membangunkan adik, kini tak terdengar lagi setelah tragedi yang menimpa keluarga kami. Sedangkan diskusi antara mama dan papa di meja makan tentang berita hari ini tak terdengar lagi dari kamarku. Sepi…sunyi, aku sekarang hanya sendiri. Sementara, gadis manis yang menabrakku kemarin didepan kelas masih berdiri di depan rumahku sambil memandang kearah kamarku. Senyumnya sangat menarik, dengan bibir merah basah dan wajah setengah pucat. Tapi aku tak boleh membatalkan rencana kemarin yang rusak gara-gara gadis manis itu. Aku tak ingin mereka terus-terusan menyalahkanku karena tidak menang dalam pertandingan itu. Akan kubuktikan kalau aku adalah laki-laki sejati.
Saat aku ingin berangkat ke sekolah, gadis manis itu tersenyum padaku sambil memutar-mutar sebuah buku yang dibawanya. Namun aku tak membalasnya, aku tak ingin jatuh hati padanya. Senyumnya saja sudah membuatku bergetar, bagaimana nanti jika ia mengeluarkan sepatah kata dari bibirnya yang merah basah? Bisa-bisa nanti aku pingsan. Keberadaanya masih tetap kurasa saat perjalanan menuju sekolah, begitu pula saat aku telah sampai di sekolah. Ia masih tetap berjalan di belakangku saat aku menuju halaman belakang sekolah. Tapi karena keahlianku berlari cepat, dia tak lagi dapat berada di belakangku.
Aku duduk di salah satu batu besar yang berada di halaman belakang sekolah. Dengan penuh hati-hati, kubuka semua penutup obat-obatan itu. Katanya, obat ini sangat manjur. Orang yang meminumnya pasti akan merasa puas dan bahagia. Sebenarnya obat ini berbahaya bagi kesehatanku, tapi ini adalah jalan yang paling baik untuk menghadapi pertandingan besok. Kupandang obat itu lekat-lekat, berharap obat ini akan membantuku. Pelan tapi pasti, kuayunkan tanganku menuju ujung bibirku namun sebuah tangan putih dan halus menamparku “Anjrit!” otomatis tanganku ingin menampar balik si pemilik tangan putih dan halus yang menamparku. Tapi kuurungkan niatku saat melihat wajah manis setengah pucat dengan bibir merah basah dan mata yang terpejam ketakutan. Ya…gadis manis itu menamparku tanpa alasan.
“Ngapain loe disini?” Ternyata ia tak menyerah untuk tetap mengikutiku.
“Kakak sendiri ngapain disini?” tanya gadis manis itu ketus setelah ia membuka matanya.
“Terserah gue dong! Ini kan urusan gue!” kataku pada gadis manis itu keras. Tatapan matanya seperti tatapan mama yang sedang marah.
“Ini kak! Ini pisau buat kakak bunuh diri,” Ia memberikan sebuah pisau padaku lewat tangannya yang dingin.
“Maksud loe?” tanyaku bingung tak mengerti maksudnya.
“Iya…ini ekstasi kan? Dan kakak pingin mati perlahan lewat ekstasi ini, asal kakak tau aja ya, lebih enak mati cepet daripada mati perlahan,” katanya mengambil beberapa butir obat yang kupegang lalu menunjukannya padaku kemudian ia membuangnya ke selokan.
Perkataannya membuatku sadar akan akibat dari perbuatanku tadi. Kutudukan kepalaku lalu duduk tanpa pose di sebuah batu besar, satu per satu air mataku meluncur. Gadis manis itu duduk disampingku sambil memegang pundakku.
“Maafin Rinya ya kak…!” ucapnya lirih dan aku pun jatuh dipelukannya. Kedewasaannya membuatku luluh, aku tak kuasa membendung isak tangisku. Walaupun sebenarnya aku malu bersikap seperti ini, ini bukan sikap seorang laki-laki sejati tapi ini adalah sikap seorang pecundang. Sudah lama aku tak menangis sedalam ini dipelukan seorang gadis. Sepuluh menit telah berlalu, aku tak ingin ia berlama-lama menahan berat badanku, aku bangun dari peluknya.
“Terima kasih!” ucapku lirih setelah bangun dari peluknya.
“Bukankah sesama manusia harus saling membantu! Masa seorang kapten harus berterima kasih sama seorang adik kelas,” kata gadis manis itu menggodaku. Aku tersenyum padanya.
“Hidupku akan berubah setelah aku minum sebutir obat itu. Aku harus memenangkan pertandingan itu, hanya itu jalan yang terbaik,” kataku mengeluarkan seluruh kekesalan yang ada dihatiku.
“Rinya yakin, kakak akan memenangkan pertandingan itu. Di dalam pertandingan tidak ada yang kalah atau pun menang, itu hanya masalah takdir. Takdir kakak masih hidup lebih lama lagi di dunia ini, maka dari itu kakak harus manfaatin hidup sebaik-baiknya. Kasihan kak, sama orang yang sebenernya pingin hidup lebih lama lagi tapi nggak diijinin sama yang diatas!” katanya sambil mengeluarkan air mata “Huk…huk!” batuknya terasa sangat sakit.
“Cita-cita kamu pasti mau jadi psikolog ya?” Aku tersenyum padanya.
“Ya begitulah, tapi Rinya nggak bakal jadi psikolog!” ucapnya dengan mimik orang yang tak punya harapan.
“Kenapa?”
“Enggak papa kok, huk…huk…kalo kakak pasti ingin jadi pemain basket terkenal ya?” katanya sedikit terpatah-patah.
“Aku pingin jadi seseorang yang bisa dibanggain sama orang lain, menurutku itu lebih penting! Oh ya…tadi pagi kamu ngapain berdiri di depan rumahku?” sedikit kuataskan dahiku sambil tersenyum padanya dengan senyum yang paling manis yang aku punya.
“Kemarin, aku liat kakak mau pake obat-obatan itu. Jadi tadi pagi, sebenernya aku mau minta maaf sekaligus nasehatin kakak!”
“Kamu baik banget sih?” kataku sedikit menggodanya
“Biasa kali kak…! Huk…huk…” Sepatah kata darinya selalu saja terpotong oleh batuknya yang semakin menggila. Dan keringatnya pun mulai keluar ditambah bibir yang semakin pucat.
“Kamu sakit ya?” tanyaku menghawatirkan keadaannya.
“Enggak, aku nggak papa…aku pergi dulu ya kak!” pamitnya padaku tetapi dengan cepat aku memegang tangannya yang dingin bertanda aku tetap ingin berada disampingnya.
“Kamu dateng ya ke pertandingan besok!” ucapku lirih bernada romantis dan dia pun hanya tersenyum manis lalu pergi menjauh dari hadapanku. Aku semakin jatuh cinta padanya.
•••
Entah mengapa pagi ini hatiku merasa gundah, rasanya ada salah satu organ tubuhku yang hilang. Tapi bagaimana pun juga aku harus memenangkan pertandingan ini demi Rinya. Bahkan akan kuberikan piala kemenangan itu padanya, dia pasti akan sangat senang.
Mataku selalu mencari keberadaan Rinya saat pertandingan akan dimulai. Tapi…aku tak menemukannya, batang hidungnya tak terlihat diantara banyaknya wanita-wanita yang berteriak. Rinya…dimana dirimu saat ini? Aku membutuhkanmu.
Lawan kali ini terlihat sangat tangguh, optimisku untuk menang semakin melemah ditambah lagi Rinya yang tak kunjung datang. Pertandingan dimulai, saat ditengah pertandingan semangatku hilang. Aku nyaris tak memenangkan pertandingan ini, tapi untung Rinya datang. Dia berdiri dekat pelatih sambil melambaikan tangan untukku, dia tersenyum padaku dengan senyum yang paling manis yang ia miliki. Semangatku tumbuh, dengan pelan tapi pasti kugiring bola ke arah ring lawan dan aku menangkan pertandingan itu.
Pertandingan berakhir dengan skor 2-0, mereka semua bertepuk tangan untukku. Mereka memberiku selamat kecuali Rinya. Keberadaannya tak kudapatkan setelah pertandingan usai.
•••
Seminggu telah berlalu, sejak saat itu aku tak lagi bertemu dengan Rinya. Gadis manis itu hilang seperti di telan bumi. Bahkan sedikit pun aku tak tau kabar tentang dirinya. Bayangan tentang dirinya hilang saat aku melihat sepucuk surat diatas batu yang pernah diduduki Rinya di halaman belakang sekolah.
27 November 2012
Hai kak…ini Rinya. Gimana, Kakak menangin pertandingan itu kan? Selamat ya kak! Rinya yakin kakak bakalan menang. Maaf…Rinya nggak bisa datang ke pertandingan itu. Karena hari itu Rinya harus ke rumah sakit. Inget ya kak, kakak nggak boleh ngelakuin hal bodoh itu lagi. Hidup kakak masih panjang, Rinya nggak mau apa yang terjadi sama Rinya terjadi sama kakak. Dari kecil, Rinya udah sakit kanker darah. Rasanya tu sakit banget kak…entah berapa butir obat dan jarum suntik yang udah masuk ke tubuh Rinya setiap harinya. Semangat ya kak…Rinya yakin, suatu saat nanti kakak bakal jadi orang yang bisa dibanggain sama orang lain. Rinya pamit dulu ya kak…selamat tinggal!
Rinya
“Ngapain loe disini?” Ternyata ia tak menyerah untuk tetap mengikutiku.
“Kakak sendiri ngapain disini?” tanya gadis manis itu ketus setelah ia membuka matanya.
“Terserah gue dong! Ini kan urusan gue!” kataku pada gadis manis itu keras. Tatapan matanya seperti tatapan mama yang sedang marah.
“Ini kak! Ini pisau buat kakak bunuh diri,” Ia memberikan sebuah pisau padaku lewat tangannya yang dingin.
“Maksud loe?” tanyaku bingung tak mengerti maksudnya.
“Iya…ini ekstasi kan? Dan kakak pingin mati perlahan lewat ekstasi ini, asal kakak tau aja ya, lebih enak mati cepet daripada mati perlahan,” katanya mengambil beberapa butir obat yang kupegang lalu menunjukannya padaku kemudian ia membuangnya ke selokan.
Perkataannya membuatku sadar akan akibat dari perbuatanku tadi. Kutudukan kepalaku lalu duduk tanpa pose di sebuah batu besar, satu per satu air mataku meluncur. Gadis manis itu duduk disampingku sambil memegang pundakku.
“Maafin Rinya ya kak…!” ucapnya lirih dan aku pun jatuh dipelukannya. Kedewasaannya membuatku luluh, aku tak kuasa membendung isak tangisku. Walaupun sebenarnya aku malu bersikap seperti ini, ini bukan sikap seorang laki-laki sejati tapi ini adalah sikap seorang pecundang. Sudah lama aku tak menangis sedalam ini dipelukan seorang gadis. Sepuluh menit telah berlalu, aku tak ingin ia berlama-lama menahan berat badanku, aku bangun dari peluknya.
“Terima kasih!” ucapku lirih setelah bangun dari peluknya.
“Bukankah sesama manusia harus saling membantu! Masa seorang kapten harus berterima kasih sama seorang adik kelas,” kata gadis manis itu menggodaku. Aku tersenyum padanya.
“Hidupku akan berubah setelah aku minum sebutir obat itu. Aku harus memenangkan pertandingan itu, hanya itu jalan yang terbaik,” kataku mengeluarkan seluruh kekesalan yang ada dihatiku.
“Rinya yakin, kakak akan memenangkan pertandingan itu. Di dalam pertandingan tidak ada yang kalah atau pun menang, itu hanya masalah takdir. Takdir kakak masih hidup lebih lama lagi di dunia ini, maka dari itu kakak harus manfaatin hidup sebaik-baiknya. Kasihan kak, sama orang yang sebenernya pingin hidup lebih lama lagi tapi nggak diijinin sama yang diatas!” katanya sambil mengeluarkan air mata “Huk…huk!” batuknya terasa sangat sakit.
“Cita-cita kamu pasti mau jadi psikolog ya?” Aku tersenyum padanya.
“Ya begitulah, tapi Rinya nggak bakal jadi psikolog!” ucapnya dengan mimik orang yang tak punya harapan.
“Kenapa?”
“Enggak papa kok, huk…huk…kalo kakak pasti ingin jadi pemain basket terkenal ya?” katanya sedikit terpatah-patah.
“Aku pingin jadi seseorang yang bisa dibanggain sama orang lain, menurutku itu lebih penting! Oh ya…tadi pagi kamu ngapain berdiri di depan rumahku?” sedikit kuataskan dahiku sambil tersenyum padanya dengan senyum yang paling manis yang aku punya.
“Kemarin, aku liat kakak mau pake obat-obatan itu. Jadi tadi pagi, sebenernya aku mau minta maaf sekaligus nasehatin kakak!”
“Kamu baik banget sih?” kataku sedikit menggodanya
“Biasa kali kak…! Huk…huk…” Sepatah kata darinya selalu saja terpotong oleh batuknya yang semakin menggila. Dan keringatnya pun mulai keluar ditambah bibir yang semakin pucat.
“Kamu sakit ya?” tanyaku menghawatirkan keadaannya.
“Enggak, aku nggak papa…aku pergi dulu ya kak!” pamitnya padaku tetapi dengan cepat aku memegang tangannya yang dingin bertanda aku tetap ingin berada disampingnya.
“Kamu dateng ya ke pertandingan besok!” ucapku lirih bernada romantis dan dia pun hanya tersenyum manis lalu pergi menjauh dari hadapanku. Aku semakin jatuh cinta padanya.
•••
Entah mengapa pagi ini hatiku merasa gundah, rasanya ada salah satu organ tubuhku yang hilang. Tapi bagaimana pun juga aku harus memenangkan pertandingan ini demi Rinya. Bahkan akan kuberikan piala kemenangan itu padanya, dia pasti akan sangat senang.
Mataku selalu mencari keberadaan Rinya saat pertandingan akan dimulai. Tapi…aku tak menemukannya, batang hidungnya tak terlihat diantara banyaknya wanita-wanita yang berteriak. Rinya…dimana dirimu saat ini? Aku membutuhkanmu.
Lawan kali ini terlihat sangat tangguh, optimisku untuk menang semakin melemah ditambah lagi Rinya yang tak kunjung datang. Pertandingan dimulai, saat ditengah pertandingan semangatku hilang. Aku nyaris tak memenangkan pertandingan ini, tapi untung Rinya datang. Dia berdiri dekat pelatih sambil melambaikan tangan untukku, dia tersenyum padaku dengan senyum yang paling manis yang ia miliki. Semangatku tumbuh, dengan pelan tapi pasti kugiring bola ke arah ring lawan dan aku menangkan pertandingan itu.
Pertandingan berakhir dengan skor 2-0, mereka semua bertepuk tangan untukku. Mereka memberiku selamat kecuali Rinya. Keberadaannya tak kudapatkan setelah pertandingan usai.
•••
Seminggu telah berlalu, sejak saat itu aku tak lagi bertemu dengan Rinya. Gadis manis itu hilang seperti di telan bumi. Bahkan sedikit pun aku tak tau kabar tentang dirinya. Bayangan tentang dirinya hilang saat aku melihat sepucuk surat diatas batu yang pernah diduduki Rinya di halaman belakang sekolah.
27 November 2012
Hai kak…ini Rinya. Gimana, Kakak menangin pertandingan itu kan? Selamat ya kak! Rinya yakin kakak bakalan menang. Maaf…Rinya nggak bisa datang ke pertandingan itu. Karena hari itu Rinya harus ke rumah sakit. Inget ya kak, kakak nggak boleh ngelakuin hal bodoh itu lagi. Hidup kakak masih panjang, Rinya nggak mau apa yang terjadi sama Rinya terjadi sama kakak. Dari kecil, Rinya udah sakit kanker darah. Rasanya tu sakit banget kak…entah berapa butir obat dan jarum suntik yang udah masuk ke tubuh Rinya setiap harinya. Semangat ya kak…Rinya yakin, suatu saat nanti kakak bakal jadi orang yang bisa dibanggain sama orang lain. Rinya pamit dulu ya kak…selamat tinggal!
Rinya
PROFIL PENULIS
Nama : Ary Yunita
Nama Pena : PeriAi
TTL : Surakarta, 12 Januari 1993
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Pendidikan : Mahasiswi Semester 3 Jurusan Matematika FMIPA UNS
Alamat : Jl. Fajar Indah V C67A, Perumahan Josroyo Indah, Jaten, Kra
Facebook : Peri Ai
Nama : Ary Yunita
Nama Pena : PeriAi
TTL : Surakarta, 12 Januari 1993
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Pendidikan : Mahasiswi Semester 3 Jurusan Matematika FMIPA UNS
Alamat : Jl. Fajar Indah V C67A, Perumahan Josroyo Indah, Jaten, Kra
Facebook : Peri Ai
Baca juga Cerpen Motivasi dan Cerpen Remaja yang lainnya.