Cerpen Remaja - Dukun

Aku mematung seperti kena tenung. Kulihat perlahan jari tengahnya merapikan poni rambutmu, menyisir sepanjang keningmu, sebelum memutar lembut di lengkungan telinga kirimu. Sejenak kemudian keempat jari yang lain turut ambil bagian menjamah kehangatan pipimu. Bibir kalian lalu beradu malu-malu, lantas saling memagut dengan buasnya. Hatiku mengaduh, menjerit sejadi-jadinya. Berupa-rupa rasa bercampur aduk dengan liar. Marah, cinta, sedih. Lalu dari hubungan threesome tiga rasa terlarang itu lahirlah cemburu, yang pelan tapi pasti mulai membakar. Asap pekat segera mengepul dari kepalaku hingga mencapai titik didih. Dua ratus dua belas Fahrenheit, tiga ratus tujuh puluh tiga Kelvin, seratus derajat celcius.

Seperti orang yang kena tenung, hanya ada satu orang yang bisa mengobati. Aku cari sang dukun di kelas sebelah, tapi jidat mengilapnya tak tampak. Kata teman sebangkunya dia tidak masuk dua hari. Ijin Sakit. Mendengar ini kalian pasti heran kenapa dukun bisa sakit. Pasti dia dukun palsu yang mengaku-ngaku sakti. Tapi jangan berprasangka buruk dulu wahai pembaca yang budiman. Dukun yang satu ini bukan dukun yang biasa mengobati orang sakit. Bukan juga dukun yang biasa dicari ibu hamil yang mau beranak ketika air ketuban mereka pecah mendadak. Dan tentu saja bukan dukun yang berkawan dengan tuyul, jin dan mahluk-mahluk najis lainnya. Yang kucari adalah temanku Kucai, dukun cinta yang kesohor di jagad asmara SMA negeri kami.
Cerpen Remaja - Dukun
Aku tunggu sampai keesokan harinya, rasa cemburuku belum juga padam. Malah semakin menjadi-jadi melihat sang pujaan hati bergandengan tangan dengan Juned si manusia laknat dari kelas 3 IPS 1. Di kantin kulihat mereka. Waktu istirahat di kelas juga jumpa mereka. Di gerbang sekolah ada mereka. Di UKS, kantor tata usaha, ruang olah raga, lapangan basket, ruang kepala sekolah, di WC..ah, pokoknya dimana-mana. Seolah-olah mereka memamerkan kemesraannya dengan mencetak ribuan poster gambar mereka lalu disebar keseluruh sekolah. Atau mungkin mereka hanya mencetak satu gambar tapi ditempelkan di jidat ku ini. Entahlah. Intinya aku cemburu berat.

Hari itu, begitu bel sekolah berbunyi tanda jam pulang sekolah, aku segera melesat ke rumah Kucai yang tidak jauh dari sekolah. Dengan sabar aku pencet bel rumahnya. Satu kali, belum ada jawaban. Dua kali, tak ada tanda kehidupan. Tiga kali, sunyi. Ingin rasanya aku lompat pagar dan mendobrak masuk kedalam. Tapi nyaliku ciut melihat tulisan "Awas Anjing Galak!" tergantung mengancam di gerbang rumah. Seandainya semua penjahat bernyali seperti aku, maka Jakarta akan ketiban piala penghargaan kota paling bebas maling sedunia dan penjualan plang 'awas anjing galak' akan meroket, membantu perekonomian warga tidak mampu dan berpenghasilan menengah kebawah. Populasi anjing akan meloncat tinggi melebihi banyaknya motor bebek di jalanan, tapi sayangnya kutu anjing juga akan menjadi pandemik mengingat banyaknya habitat baru yang bermunculan. Untung saja sebelum lamunan liarku membayangkan Jakarta yang kiamat diserang kutu anjing mutan hasil reaksi kimia dari sampah Ciliwung, sebuah sosok hitam semampai melangkah keluar dari pintu dan berkata, "Oii!"

Namanya adalah Benjamin Franklin Soeganda. Alangkah megahnya nama itu. Hasil pemberian bapaknya yang seorang pengusaha sukses. Kabarnya sang bapak dari dulu gemar menabung dalam mata uang dollar sehingga waktu kerusuhan Mei '98 pecah, pecah pulalah bisul-bisul kemiskinan yang menjangkiti keluarga Soeganda. Nilai rekening Soeganda senior terbang tinggi seiring nilai dollar yang melejit. Dari situlah kekaisaran bisnisnya lahir. Karena itu begitu anaknya lahir, nama yang di berikan adalah nama pria kapitalis gendut berjidat lapang yang terpampang di lembaran seratus dollar Amerika. Cerita yang luar biasa bukan? Tapi sejak masuk SD, Soeganda junior sudah di panggil Kucai oleh teman-temannya. Nama yang pantas melihat wujudnya yang kurus, berkulit cokelat gelap dan berambut ikal berminyak.

"Sakit apaan lu Cai?", kataku basa-basi.

"a..ik..i..ii..ih", balas Kucai sambil menunjuk-nunjuk gigi geraham dan pipinya yang bengkak.

"Jah sakit gigi lu? Makanya Cai, sikat gigi jangan pake sikat WC. Tambah porak-poranda muka lu." Candaku.

"i..a..an....uh", katanya mencoba memaki. Kasihan Kucai. Sakit gigi sudah merampas semua konsonan dari mulutnya. Memaki saja ia tak becus.

Segera saja kujelaskan maksud kedatanganku, maksud perjalanan suci yang kutempuh dari sekolah sampai rumahnya itu. Kubeberkan pemandangan tidak sedap di sekolah kemarin padanya. Bagaimana adinda pujaan hatiku, Nina, bermadu kasih dengan Juned, si laknat dari 3 IPS 1. Bagaimana cemburu membuat hatiku sesak mau meledak. Lalu kugambarkan pula keadaan hari itu, saat kulihat mereka dengan asyiknya mengumbar kemesraan dengan bergandengan tangan seharian. Sementara aku hanya bisa melihat dari kejauhan sambil menggumamkan semua mantra kutukan dan sumpah serapah yang bisa kuingat saat itu. Kujelaskan pula bagaimana aku mendoakan segala macam doa dari 5 agama yang ada di negeri ini sampai semalaman. Semuanya supaya rasa cintaku pada Nina bisa terhapus dan sadisnya penyiksaan batinku ini bisa lenyap.

Sang dukun hanya manggut-manggut sebentar. Lalu dia mengambil whiteboard kecil yang sudah lusuh dan menuliskan wejangannya yang luar biasa bijak.

"Anak muda, Tuhan mana yang mau mendengarkan doa orang yang minta dijauhkan dari cinta?"

Aku tersentak. Walaupun si Dukun sakti mandraguna ini sedang tidak bisa bicara, tapi kata-katanya itu keras menabuh gendang telingaku, dan semua gendang-gendang lain yang ada padaku. Luar biasa sekali dokter cinta ini. Level kebijaksanaannya sudah setara Raja Salomon. Sampai-sampai aku hanya termangu malu menatap tulisan cakar ayam di whiteboard itu.

"Terus gue mesti gimana lagi Cai? Gue sampe nggak bisa tidur semaleman kalo mikirinin ini. Mana ujian uda deket lagi. Bisa banyak kembang apinya rapot gue. Tambah amsyong dah kalo sampe gue nggak lulus cuma gara-gara cinta"

Kucai hanya diam saja memandang nasib temannya yang mengenaskan ini. Sejenak kemudian, spidol keramat kembali melekat di jemarinya yang langsung sibuk menggoreskan sebuah wejangan pamungkas.

"Lu bilang aja semua perasaan lu ini ke Nina. Minimal pake surat deh kalo lu nggak berani ngomong langsung"

"Hah!? Muke gile lu. Apa kata anak-anak ntar? Gak etis kayaknya nembak cewek yang uda ada cowoknya", balasku sewot tak percaya atas resep menyimpang si dokter cinta.

Tapi bukan dukun kucai namanya kalau tidak bisa meyakinkan pasiennya. Secepat kilat dia menggoreskan kata-kata ajaibnya lagi di papan usang itu.

"Sebelum janur juning melengkung, siapa saja masih bisa mencetak gol".

Absurd sekali.

Tapi aku teringat bahwa orang-orang genius memang punya keanehan dalam bertutur kata yang kadang diterjemahkan sebagai ocehan sinting oleh orang-orang yang gagal mengerti mereka. Sudah banyak contohnya. Einstein, Lennon, Mourinho dan sekarang mahluk hitam legam yang duduk bersila didepanku, sang jenius cinta dari SMA delapan, Benjamin Franklin Soeganda.

Kumantapkan hatiku untuk mengikuti saran sang dukun ini dan aku segera pamit pulang. Tak lupa dia menyelipkan sebuah pesan moral singkat sebagai bekal untuk mengokohkan motivasiku.

"Cinta bermasalah atau enggak, gak bakal ngaruh ke rapot lu. Dari dulu udah kayak malem taon baru tuh rapot."

Sialan.

***

Malam itu kembali aku tak bisa tidur, membayangkan wajah kamu besok, dan semua ketidak-pastian ekspresimu ketika membaca surat ini. Surat cinta dari relung hati pujangga yang terluka ini. Pujangga yang memujamu setengah mati, Nina. Aku membayangkan sosokmu yang putih dan lembut berbaring disampingku. Kita hanya saling bertatap-tatapan hingga kamu terlelap, sampai aku tersesat di keindahan matamu yang membius, dingin mempesona seperti hutan Ardennes di Desember sekaligus hangat menenteramkan layaknya pulau Canary di Juni. Ingin rasanya aku menghabiskan sisa waktuku didalamnya. Menyusuri hutan-hutan cemaranya. Bermain air di deburan ombak kecilnya yang genit menggoda. Karena di tempat itu, waktu adalah abadi. Dan dengan segenap hati akan kuhabiskan keabadian bersamamu, hanya denganmu, berdua.

Jam istirahat keesokan harinya, aku menyelinap diam-diam ke dalam kelas seperti ninja kasmaran. Surat puitis yang mampu menaklukan hati perawan dan janda kembang manapun itu—yang kutulis dengan bahasa indah nan cantik berbunga-bunga namun masih dalam kaidah Bahasa Indonesia yang benar— sudah aku selipkan kedalam buku akuntansi dasar di meja Nina. Kahlil Gibran pun akan menitikan air mata jika membacanya. Aku sangat yakin Nina akan luluh. Nasihat-nasihat Kucai si dukun cinta bergaung-gaung di dalam benakku, semakin menguatkan kepercayaan diriku. Nina akan jatuh ke pelukanku.

Bel tanda istirahat sudah selesai berbunyi nyaring, senyaring harapanku akan cinta Nina yang segera berpaling. Aku duduk di mejaku, sekitar 4 baris arah jam 5 di belakang Nina. Kulihat dia membuka buku Akuntansi dasarnya dan menyadari ada sepucuk surat disana. Lalu dia mulai membaca surat itu. Jantungku berdebar kencang. Muatan perutku jumpalitan tak keruan. Keringat dingin mulai mengucuri keningku yang lapang. Detik demi detik berjalan amat sangat lambat. Mengapa sang waktu sampai hati menyiksaku dengan kegelisahan akan penantian ini?

Setelah semenit yang terasa seperti sewindu itu berlalu, kulihat secercah senyum merekah di ujung bibir menawannya. Napasku mendesah lega penuh kemenangan. Hampir saja aku melompat kegirangan dibuatnya. Nikmat sekali perasaan ini. Aku rasakan darahku kembali mengalir di polosok-pelosok terpencil jari-jemariku yang membeku. Sungguh hangat rasanya hati ini menemukan cinta yang berbalas.

Namun rupanya kisah cintaku tidak berujung indah. Perlahan tapi pasti, senyum Nina berubah menjadi tawa tertahan. Aku heran. "Apa gerangan yang lucu di suratku?" Tawanya semakin tak tertahan. Dia memegangi perutnya seperti sedang membaca buku Raditya Dika. Dengan kekuatan tawa yang ditahannya, aku berani bertaruh dia akan lekas pingsan kalau tidak segera berhenti. Aku semakin bingung dibuatnya.

Lalu hal yang paling mengerikan itu terjadi. Setelah selesai membaca suratku, sambil tetap menahan tawa, dia menyerahkan suratku itu ke teman sebangkunya. Semenit kemudian teman sebangkunya itu menahan tawa yang persis sama dengannya. Kemudian dia serahkan lagi surat cintaku itu ke meja sebelahnya. Seperti kesurupan berjamaah, hal yang sama berlaku pula pada meja sebelah Nina. Penghuninya menahan tawa seperti penderita asma kambuhan yang nonton lawak.

Begitu seterusnya hal yang sama terjadi pada tiga meja berikutnya. Ada yang hampir memukul-mukul mejanya sendiri dan ada yang sedikit lagi terjengkang dari kursinya saking terpingkal-pingkal tertawanya. Bahkan ada suara kentut misterius berhembus dari arah monyet-monyet Kalimantan yang menertawakan secarik kertas itu. Guru akuntansi dasar kami mulai merasakan ada hawa tidak beres dikelas. Kerumunan siswa yang cekikikan dalam diam itu seperti koor gereja sumbang yang menyanyikan lagu canon, berkejar-kejaran dan bersahut-sahutan. Nada-nada sesat itu seperti sebilah mata pisau tajam yang menusuk-nusuk kepercayaan diriku hingga tumbang ke jurang tak berdasar. Aku merasa seisi kelas menatapku seolah aku tak bercelana. Wajahku kembali merah mendidih, malu. Dua ratus dua belas Fahrenheit, tiga ratus tujuh puluh tiga Kelvin, seratus derajat celcius. Saat itu aku sadar cinta pertamaku kandas di kelas tiga.

Siangnya, si dukun asmara mencoba menghiburku dengan nasihat wasiatnya.

"Jatuh cinta itu pasti sakit anak muda. Namanya juga JATUH cinta. Kalo jatuh ya pasti sakit."

Filosofis sekali kata-kata yang keluar dari mulut manis sang dukun ini. Tapi entah mengapa ingin kutempeleng kepalanya dan kucabuti semua giginya itu pakai tang karatan.


Profil Penulis
Nama:Dan Iswanda
Blog:daniswanda.wordpress.com
Share & Like