IA MEMANG BENAR
Karya Peri Ai
Sudah hampir satu tahun kami bermusuhan. Tak pernah ada senyum yang mengembang di bibirnya untukku dan aku pun tak pernah senyum dengannya. Dia tipe cowok egois, manja, dan kasar. Dia selalu berteriak dan memanggilku seenak hatinya. Sebenarnya dari awal kami berteman. Tapi, suatu hari datang dan merubah segalanya. Dia menginjak kertas ujianku. Baginya hal itu sepele, tapi bagiku tidak. Kertas ujian itu bukan sekedar kertas biasa, kertas itu sangat berharga bagi masa depanku. Dia bisa membeli ribuan kertas ujian, tapi aku tidak. Untuk mendapatkan kertas ujian itu sangat sulit bagiku. Aku harus kerja, menabung dan menjual gorengan di kantin sekolah.
“Heh! Hati-hati dong kalo jalan, kertas ujian lo jadi kotor kan?”
Bukannya minta maaf tapi dia malah melemparkan semua kesalahan padaku. Aku membencinya sejak hari itu. Dan sejak hari itu pula kami sering bertengkar.
“Halo nenek lampir…apa kabar? Gimana? Udah dapet kertas ujian yang baru belum?”
Sudah hampir satu tahun kami bermusuhan. Tak pernah ada senyum yang mengembang di bibirnya untukku dan aku pun tak pernah senyum dengannya. Dia tipe cowok egois, manja, dan kasar. Dia selalu berteriak dan memanggilku seenak hatinya. Sebenarnya dari awal kami berteman. Tapi, suatu hari datang dan merubah segalanya. Dia menginjak kertas ujianku. Baginya hal itu sepele, tapi bagiku tidak. Kertas ujian itu bukan sekedar kertas biasa, kertas itu sangat berharga bagi masa depanku. Dia bisa membeli ribuan kertas ujian, tapi aku tidak. Untuk mendapatkan kertas ujian itu sangat sulit bagiku. Aku harus kerja, menabung dan menjual gorengan di kantin sekolah.
“Heh! Hati-hati dong kalo jalan, kertas ujian lo jadi kotor kan?”
Bukannya minta maaf tapi dia malah melemparkan semua kesalahan padaku. Aku membencinya sejak hari itu. Dan sejak hari itu pula kami sering bertengkar.
“Halo nenek lampir…apa kabar? Gimana? Udah dapet kertas ujian yang baru belum?”
Setiap dia bicara denganku, suaranya selalu bernada menyindir. Aku selalu sakit hati dengan apa yang dia bicarakan. Dan kadang aku menangis melihat dia menjelek-jelekkan aku di depan teman-teman.
“Eh, lo lo pada tau nggak? Kalo Nisa tu anak orang miskin, bapak-nya cuma abang kancil dan ibu-nya pembantu di rumah gue. Dia bisa sekolah di sekolah elite kayak gini karena dia pinter dan katanya sih, dia itu juga kerja sampingan. Eh, tapi inget ya…kadang-kadang dia juga ngamen di jalan raya,” Toni menjelek-jelekkan aku di depan semua teman.
“Ah…yang bener lo Ton?” Teman-teman pun mulai percaya dengan apa yang Toni bicarakan. Semakin hari aku semakin membenci dirinya. Mulai hari itu dia selalu mengganggu kehidupanku. Dasar Toni biadab!
Keluarga kami memang berbeda, dia kaya dan aku miskin. Dia bisa mendapatkan segalanya dengan satu kata. Tapi aku, aku harus memendam segalanya dalam harapanku. Aku harus menabung dan percaya bahwa semua itu akan tercapai. Tapi aku tak mau mengalah. Walaupun secara materi dia lebih unggul daripada aku, aku selalu merasa bahwa aku lebih baik daripada dia. Toni sangat manja sekali. Apalagi kalo mami-nya datang ke sekolah, dia akan berlagak sebagai orang paling sempurna se-dunia.
“Hai mom…jauh nggak sekolahannya? Aduh…pasti mom capek ya…makasih ya udah mau ngambil raport Toni. Sampe dibelain datang jauh-jauh dari Afrika loh!”
Hek!! Hal itu selalu Toni ungkapkan pada teman-teman kalo mami-nya datang ke sekolah. Ya, beda-beda sih! Kadang dari Afrika, Malaysia, Singapura, Paris bahkan Korea. Toni anaknya memang sombong. Semua anak satu sekolah tau kalo dia anak orang kaya. Tapi, tidak perlu berlebihan seperti itu kan?
•••
“Hai Nis…” Sebuah suara mengagetkanku dalam lamunanku. Tak terasa aku sudah berdiri di depan kelas.
“Ih…kesambet apaan lo pagi ini? Malaikat atau kucing garong?” Aku masuk ke kelas setelah mengetahui bahwa yang menyapaku tadi dia. Anak manja itu mungkin salah minum obat. Biasanya, dia berteriak dan bersikap kasar padaku. Dan Toni hampir tidak pernah tersenyum manis padaku. Aku menuju ke tempat dudukku.
“Kok gitu sih Nis?” Anak manja itu mengikuti langkahku. Aku hanya diam saja lalu duduk tanpa menghiraukannya “sorry …gue minta maaf!” Dia duduk di sebelahku.
“Lo kenapa sih Ton? Salah minum obat? Biasanya kalo ketemu gue, lo buang muka terus bersikap kasar sama gue. Tapi sekarang…” Belum selesai aku berbicara, dia dengan segera menutup bibirku dengan jari telunjuknya. Aku mengerutkan dahi.
“Please Nis…sekali ini aja, gue nggak mau berantem sama lo lagi! Gue mau kita baikan. Maafin gue kalo selama ini gue selalu bikin lo sengsara. Sebenernya, waktu itu gue nggak sengaja, kertas itu jatuh dan nggak sengaja gue injek!” Toni memegang kedua tanganku. Dia menatap mataku tajam. Raut wajahnya terlihat memelas dan pucat. Dia memang tulus. Tapi, ada apa dengan Toni?
“Lo ada masalah, Ton? Kalo lo ada masalah, cerita aja. Mulai saat ini kita berteman kok!” Aku mulai menampakkan senyumku padanya. Dia melepaskan pegangan tanganku. Kali ini dia tak ingin memandangku.
“Tadi malam gue mimpi, gue bakal pergi jauh dan meninggalkan semuanya,” Toni menundukkan kepalanya. Matanya kini mulai berkaca-kaca.
“Pergi? Kemana?”
“Gue nggak tau Nis, tempat itu serba putih dan rasanya di sana nyaman. Di tempat itu cuma ada gue. Di tempat itu kita nggak bisa saling bertemu dan bertengkar. Gue pingin, kalo gue pergi nanti, nggak ada musuh yang ngebenci gue! Gue pingin pergi dengan tenang. Titip temen-temen ya Nis, dan juga mami papi gue,” Toni berbicara tak seperti biasanya. Suaranya lembut dan terkesan patah semangat, tapi bernada tegar. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang Toni bicarakan. Kemarin, dia masih baik-baik saja. Dan tetap masih bersikap kasar kepadaku. Tapi, itulah Toni yang sebenarnya.
“Lo mau ke mana Ton? Jangan bilang gitu dong! Kayak orang mau mati aja,” Saat mengatakan kalimat terakhir itu, aku merinding. Bulu kudukku semua berdiri. Dan tiba-tiba saja jantungku berdegub kencang. Aku tak tau alasan apa sehingga aku bisa mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Nis…semuanya akan berakhir kan? Jangan ingat keburukan gue ya! Selamat tinggal,” Toni tersenyum manis sekali padaku. Ia meninggalkanku saat beribu pertanyaan mulai muncul di benakku. Aku menatap punggung Toni sejenak. Dan aku mulai mengerutkan dahi saat melihat kepala bagian belakang Toni berdarah. Aku ingin memanggilnya, tapi aku tak mampu. Tiba-tiba Toni menghilang dari hadapanku.
•••
Sebuah suara kembali mengagetkanku. Aku masih asyik duduk di tempat dudukku. Tapi, aku baru tersadar bahwa semua tadi hanyalah khayalanku.
“Nis! Ngapain lo? Senyum-senyum sendiri, kayak orang gila tau nggak?” Namanya Dita, teman sekelasku. Ia duduk di sebelahku.
“Eh, enggak. Nggak ada apa-apa kok!” Aku tersenyum sambil mengingat semuanya. Andai saja khayalanku yang tadi terjadi. Betapa bahagianya aku? Aku akan menghabiskan sisa sekolah di SMA dengan bersikap baik pada Toni. Aku akan mulai berteman dengan Toni.
Bel tanda masuk telah berbunyi, kami semua masuk ke kelas. Nampaknya Toni tidak masuk. Aku tak tau apa alasannya. Mungkin dia sakit atau mungkin dia kesiangan.
Bu Susi, wali kelas kami masuk ke kelas dengan perlahan. Kini ia mulai merubah penampilannya. Bu Susi tidak menyukai warna hitam. Tapi, hari ini ia memakai baju hitam.
“Anak-anak! Sebenarnya, berat sekali ibu mengatakan hal ini pada kalian. Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah, ibu menerima telpon. Telpon itu dari salah satu keluarga Toni. Kata mereka, tadi pagi saat berangkat sekolah Toni mengalami kecelakaan. Dan kecelakaan itu telah merenggut nyawanya. Toni meninggal dunia,” Bu Susi menangis. Kurasakan kalimat terakhir itu mulai menusuk hatiku. Semua teman menangis kecuali aku. Aku tak sanggup.
“Eh, lo lo pada tau nggak? Kalo Nisa tu anak orang miskin, bapak-nya cuma abang kancil dan ibu-nya pembantu di rumah gue. Dia bisa sekolah di sekolah elite kayak gini karena dia pinter dan katanya sih, dia itu juga kerja sampingan. Eh, tapi inget ya…kadang-kadang dia juga ngamen di jalan raya,” Toni menjelek-jelekkan aku di depan semua teman.
“Ah…yang bener lo Ton?” Teman-teman pun mulai percaya dengan apa yang Toni bicarakan. Semakin hari aku semakin membenci dirinya. Mulai hari itu dia selalu mengganggu kehidupanku. Dasar Toni biadab!
Keluarga kami memang berbeda, dia kaya dan aku miskin. Dia bisa mendapatkan segalanya dengan satu kata. Tapi aku, aku harus memendam segalanya dalam harapanku. Aku harus menabung dan percaya bahwa semua itu akan tercapai. Tapi aku tak mau mengalah. Walaupun secara materi dia lebih unggul daripada aku, aku selalu merasa bahwa aku lebih baik daripada dia. Toni sangat manja sekali. Apalagi kalo mami-nya datang ke sekolah, dia akan berlagak sebagai orang paling sempurna se-dunia.
“Hai mom…jauh nggak sekolahannya? Aduh…pasti mom capek ya…makasih ya udah mau ngambil raport Toni. Sampe dibelain datang jauh-jauh dari Afrika loh!”
Hek!! Hal itu selalu Toni ungkapkan pada teman-teman kalo mami-nya datang ke sekolah. Ya, beda-beda sih! Kadang dari Afrika, Malaysia, Singapura, Paris bahkan Korea. Toni anaknya memang sombong. Semua anak satu sekolah tau kalo dia anak orang kaya. Tapi, tidak perlu berlebihan seperti itu kan?
•••
“Hai Nis…” Sebuah suara mengagetkanku dalam lamunanku. Tak terasa aku sudah berdiri di depan kelas.
“Ih…kesambet apaan lo pagi ini? Malaikat atau kucing garong?” Aku masuk ke kelas setelah mengetahui bahwa yang menyapaku tadi dia. Anak manja itu mungkin salah minum obat. Biasanya, dia berteriak dan bersikap kasar padaku. Dan Toni hampir tidak pernah tersenyum manis padaku. Aku menuju ke tempat dudukku.
“Kok gitu sih Nis?” Anak manja itu mengikuti langkahku. Aku hanya diam saja lalu duduk tanpa menghiraukannya “sorry …gue minta maaf!” Dia duduk di sebelahku.
“Lo kenapa sih Ton? Salah minum obat? Biasanya kalo ketemu gue, lo buang muka terus bersikap kasar sama gue. Tapi sekarang…” Belum selesai aku berbicara, dia dengan segera menutup bibirku dengan jari telunjuknya. Aku mengerutkan dahi.
“Please Nis…sekali ini aja, gue nggak mau berantem sama lo lagi! Gue mau kita baikan. Maafin gue kalo selama ini gue selalu bikin lo sengsara. Sebenernya, waktu itu gue nggak sengaja, kertas itu jatuh dan nggak sengaja gue injek!” Toni memegang kedua tanganku. Dia menatap mataku tajam. Raut wajahnya terlihat memelas dan pucat. Dia memang tulus. Tapi, ada apa dengan Toni?
“Lo ada masalah, Ton? Kalo lo ada masalah, cerita aja. Mulai saat ini kita berteman kok!” Aku mulai menampakkan senyumku padanya. Dia melepaskan pegangan tanganku. Kali ini dia tak ingin memandangku.
“Tadi malam gue mimpi, gue bakal pergi jauh dan meninggalkan semuanya,” Toni menundukkan kepalanya. Matanya kini mulai berkaca-kaca.
“Pergi? Kemana?”
“Gue nggak tau Nis, tempat itu serba putih dan rasanya di sana nyaman. Di tempat itu cuma ada gue. Di tempat itu kita nggak bisa saling bertemu dan bertengkar. Gue pingin, kalo gue pergi nanti, nggak ada musuh yang ngebenci gue! Gue pingin pergi dengan tenang. Titip temen-temen ya Nis, dan juga mami papi gue,” Toni berbicara tak seperti biasanya. Suaranya lembut dan terkesan patah semangat, tapi bernada tegar. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang Toni bicarakan. Kemarin, dia masih baik-baik saja. Dan tetap masih bersikap kasar kepadaku. Tapi, itulah Toni yang sebenarnya.
“Lo mau ke mana Ton? Jangan bilang gitu dong! Kayak orang mau mati aja,” Saat mengatakan kalimat terakhir itu, aku merinding. Bulu kudukku semua berdiri. Dan tiba-tiba saja jantungku berdegub kencang. Aku tak tau alasan apa sehingga aku bisa mengucapkan kalimat terakhir itu.
“Nis…semuanya akan berakhir kan? Jangan ingat keburukan gue ya! Selamat tinggal,” Toni tersenyum manis sekali padaku. Ia meninggalkanku saat beribu pertanyaan mulai muncul di benakku. Aku menatap punggung Toni sejenak. Dan aku mulai mengerutkan dahi saat melihat kepala bagian belakang Toni berdarah. Aku ingin memanggilnya, tapi aku tak mampu. Tiba-tiba Toni menghilang dari hadapanku.
•••
Sebuah suara kembali mengagetkanku. Aku masih asyik duduk di tempat dudukku. Tapi, aku baru tersadar bahwa semua tadi hanyalah khayalanku.
“Nis! Ngapain lo? Senyum-senyum sendiri, kayak orang gila tau nggak?” Namanya Dita, teman sekelasku. Ia duduk di sebelahku.
“Eh, enggak. Nggak ada apa-apa kok!” Aku tersenyum sambil mengingat semuanya. Andai saja khayalanku yang tadi terjadi. Betapa bahagianya aku? Aku akan menghabiskan sisa sekolah di SMA dengan bersikap baik pada Toni. Aku akan mulai berteman dengan Toni.
Bel tanda masuk telah berbunyi, kami semua masuk ke kelas. Nampaknya Toni tidak masuk. Aku tak tau apa alasannya. Mungkin dia sakit atau mungkin dia kesiangan.
Bu Susi, wali kelas kami masuk ke kelas dengan perlahan. Kini ia mulai merubah penampilannya. Bu Susi tidak menyukai warna hitam. Tapi, hari ini ia memakai baju hitam.
“Anak-anak! Sebenarnya, berat sekali ibu mengatakan hal ini pada kalian. Tadi pagi, sebelum berangkat sekolah, ibu menerima telpon. Telpon itu dari salah satu keluarga Toni. Kata mereka, tadi pagi saat berangkat sekolah Toni mengalami kecelakaan. Dan kecelakaan itu telah merenggut nyawanya. Toni meninggal dunia,” Bu Susi menangis. Kurasakan kalimat terakhir itu mulai menusuk hatiku. Semua teman menangis kecuali aku. Aku tak sanggup.
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja bu Susi katakan. Tadi pagi Toni masih di sini. Ia tersenyum dan berbicara padaku. Tapi, sesaat aku baru sadar kalau yang tadi hanya khayalanku saja. Itu semua semu dan tidak nyata. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. Hatiku terasa tertusuk-tusuk. Dan akhirnya air mataku jatuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku mulai meronta dan memanggil nama Toni.
Toni takkan bisa menjawab panggilanku karena ia telah pergi. Ia memang benar. Ia pergi ke tempat paling jauh dimana kami tidak bisa bertemu lagi.
SELESAI
PROFIL PENULIS
Nama : Ary Yunita
Nama Pena : PeriAi
TTL : Surakarta, 12 Januari 1993
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Pendidikan : Mahasiswi Semester 3 Jurusan Matematika FMIPA UNS
Alamat : Jl. Fajar Indah V C67A, Perumahan Josroyo Indah, Jaten, Kra
Facebook : Peri Ai
Nama Pena : PeriAi
TTL : Surakarta, 12 Januari 1993
Agama : Islam
Anak ke : 4 dari 4 bersaudara
Pendidikan : Mahasiswi Semester 3 Jurusan Matematika FMIPA UNS
Alamat : Jl. Fajar Indah V C67A, Perumahan Josroyo Indah, Jaten, Kra
Facebook : Peri Ai
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.