SEJAUH HARI MENUTUP
Karya Rosa Rosiani
Kisah beraneka rasa ini ku mulai saat bibirku yang tipis mulai bisa berceloteh sedikit-sedikit tentang sebuah kata yang aneh rasanya bila baru dikenal oleh seorang remaja yang telah memakan waktu 17 tahun dalam mengarungi kehidupannya. Tepat sekali..sebuah kata berurai makna itu ialah “cinta”, hanya terdiri dari 5 huruf namun katanya mampu membius segala keadaan dan mengubah semua persepsi maupun pandangan. Entah dari mana asalnya dan mengapa aku bisa berbicara bahkan merasakannya, setidaknya itu ku yakini setelah aku mempelajari ciri-ciri orang yang sedang dimabuk cinta lewat internet.
Semua karena senyumnya. Senyum yang berbeda dari jutaan senyum yang pernah kulihat sebelumnya. Mungkin ini terlalu berlebihan namun aku juga tak mungkin berbohong pada perasaan yang baru pertama kalinya ku kecap. Dia memang tidak terlalu tampan dan gagah. Dia juga tidak memukau akan prestasi akademik maupun non akademik. Tapi ia memiliki suatu daya tertarik sendiri yang entah apa aku pun juga belum bisa memastikan hal itu. Lelaki yang memiliki lesung pipi ini memiliki nama yang juga manis semanis empunya yaitu “Andika Devansyah” yang lebih sering dipanggil kak Devan karena memang kedudukannya di SMA Tunas Mulia paling tinggi yaitu kelas XII IPA 1. Aku mengenalnya saat aku tengah kebingungan memilih jurusan yang tepat untuk kumasuki di kelas XI karena jujur saja semua pelajaran yang menjamur pada saat kelas X membuatku hampir frustasi bahkan untuk menentukan keinginanku saat dewasa nanti pun belum jelas arahnya.
Namun ternyata Tuhan masih melimpahkan rahmat pada hambanya yang sedang kesusahan. Ia mengirimkan Kak Devan sebagai malaikat penolongku sehingga aku bisa menempati kelas XI IPA 1 sekarang. Ia benar-benar sosok yang dewasa dan mengerti setiap keinginanku meski baru beberapa hari aku mengenalnya. Namun sayangnya, setelah itu aku tak pernah lagi dekat dengannya bahkan bertegur sapa pun sangat jarang, aku tidak mengetahui nomor handphonenya dan aku juga tidak berani untuk memintanya walaupun melalui teman kak Devan sekalipun. Itulah aku, begitu pemalu sampai aku sendiri pusing memikirkan sifatku yang satu ini.
Pagi yang cerah kembali menyapa dibalik deretan pohon rindang yang bergoyang lemah karena sang bayu yang menyegarkan sekujur tubuh. Seperti biasa pukul 6.30 ku langkahkan kakiku menembus dinginnya pagi menuju sekolah tercinta yang hanya berjarak 100 meter dari rumah biruku sehingga aku tidak memerlukan kendaraan dan tidak perlu merasa takut terlambat. Ku lihat di berbagai sudut sekolah yang memang masih sepi, tak ku temukan sosok yang selama ini selalu ku kagumi meski itu hanya didalam hati. Biasanya sosok itu selalu datang ke sekolah lebih awal dariku hanya sekedar untuk membaca novel atau menunggu teman-temannya yang lain datang. Tapi 3 hari belakangan ini kak Devan tak kunjung menampakkan wajah lembutnya yang selalu kurindukan. Kemana ia aku tak tahu dan malu untuk menanyakan hal itu sampai akhirnya aku putuskan untuk berdiam diri saja. Oh.. bodohnya aku saat itu.
“Hei san, kamu udah denger kabar belum tentang kak Devan? ” tiba-tiba kedatangan yang membawa nama sosok pahlawan hatiku itu membuatku sedikit kelagapan namun tersenyum dalam hati. Sejenak ku menarik napas.
“Hm… memangnya ada kabar apa rin? Gak tau tuh” jawabku berpura-pura sedikit cuek namun tak sabar menanti jawaban sahabatku yang bernama Ririn Sabrina itu.
“ Payah kamu San, padahal kabar ini udah tersebar sampe keluar sekolah. Hm.. kak Devan katanya sekarang lagi frustasi berat gara-gara diputusin sama Sherin gara-gara si Sherin selingkuh sama sahabatnya Kak Devan sendiri”
“ apa? Kamu serius rin?” aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu, aku tidak mengetahui sama sekali kalau ternyata selama ini kak Devan telah memiliki kekasih yang amat dicintainya sampai-sampai ia frustasi karena diselingkuhi oleh pacarnya itu.
“Iya lah Sandria, aku serius banget. Udah 3 hari kak Devan gak masuk gaa-gara selalu mengurung diri dikamarnya. Pokoknya kasihan banget deh. Aku kira kak Devan itu kuat dan tegar ternyata baru digituin sama cewek aja udah melempem..huu” aku hanya terdiam mendengar perkataan sahabatku yang paling aktif kalau bicara itu, aku berpikir keras dan mencoba merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin yang dibicarakan Ririn itu bukanlah kak Devan. Bukanlah kak Devan yang selalu indah dimataku akan semangatnya yang setiap detik tak pernah absen membara. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal kebenaran yang diungkapkan Ririn, kak Devan amat mencintai kekasihnya dan kini ia harus memetik hasil yang tidak seimbang dengan rasa yang benar-benar tulus itu. Dan itu sungguh tidak adil setidaknya untuk aku yang setia mengaguminya. Aku tidak rela kalau sosok yang ku kagumi itu berubah drastic hanya gara-gara cinta. cinta yang tak pernah menghargai makna cinta. aku bertekad. Aku bertekad untuk mengembalikan kak Devanku yang dulu meski aku belum tahu caranya. Yang pasti mentari indahku harus kembali seperti pertama kali ia menatapku.
Pagi yang cerah kembali menyapa dibalik deretan pohon rindang yang bergoyang lemah karena sang bayu yang menyegarkan sekujur tubuh. Seperti biasa pukul 6.30 ku langkahkan kakiku menembus dinginnya pagi menuju sekolah tercinta yang hanya berjarak 100 meter dari rumah biruku sehingga aku tidak memerlukan kendaraan dan tidak perlu merasa takut terlambat. Ku lihat di berbagai sudut sekolah yang memang masih sepi, tak ku temukan sosok yang selama ini selalu ku kagumi meski itu hanya didalam hati. Biasanya sosok itu selalu datang ke sekolah lebih awal dariku hanya sekedar untuk membaca novel atau menunggu teman-temannya yang lain datang. Tapi 3 hari belakangan ini kak Devan tak kunjung menampakkan wajah lembutnya yang selalu kurindukan. Kemana ia aku tak tahu dan malu untuk menanyakan hal itu sampai akhirnya aku putuskan untuk berdiam diri saja. Oh.. bodohnya aku saat itu.
“Hei san, kamu udah denger kabar belum tentang kak Devan? ” tiba-tiba kedatangan yang membawa nama sosok pahlawan hatiku itu membuatku sedikit kelagapan namun tersenyum dalam hati. Sejenak ku menarik napas.
“Hm… memangnya ada kabar apa rin? Gak tau tuh” jawabku berpura-pura sedikit cuek namun tak sabar menanti jawaban sahabatku yang bernama Ririn Sabrina itu.
“ Payah kamu San, padahal kabar ini udah tersebar sampe keluar sekolah. Hm.. kak Devan katanya sekarang lagi frustasi berat gara-gara diputusin sama Sherin gara-gara si Sherin selingkuh sama sahabatnya Kak Devan sendiri”
“ apa? Kamu serius rin?” aku benar-benar tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatku itu, aku tidak mengetahui sama sekali kalau ternyata selama ini kak Devan telah memiliki kekasih yang amat dicintainya sampai-sampai ia frustasi karena diselingkuhi oleh pacarnya itu.
“Iya lah Sandria, aku serius banget. Udah 3 hari kak Devan gak masuk gaa-gara selalu mengurung diri dikamarnya. Pokoknya kasihan banget deh. Aku kira kak Devan itu kuat dan tegar ternyata baru digituin sama cewek aja udah melempem..huu” aku hanya terdiam mendengar perkataan sahabatku yang paling aktif kalau bicara itu, aku berpikir keras dan mencoba merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin yang dibicarakan Ririn itu bukanlah kak Devan. Bukanlah kak Devan yang selalu indah dimataku akan semangatnya yang setiap detik tak pernah absen membara. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal kebenaran yang diungkapkan Ririn, kak Devan amat mencintai kekasihnya dan kini ia harus memetik hasil yang tidak seimbang dengan rasa yang benar-benar tulus itu. Dan itu sungguh tidak adil setidaknya untuk aku yang setia mengaguminya. Aku tidak rela kalau sosok yang ku kagumi itu berubah drastic hanya gara-gara cinta. cinta yang tak pernah menghargai makna cinta. aku bertekad. Aku bertekad untuk mengembalikan kak Devanku yang dulu meski aku belum tahu caranya. Yang pasti mentari indahku harus kembali seperti pertama kali ia menatapku.
Malam itu aku duduk di kursi taman di bawah hangatnya sinar rembulan yang menyelinap dalam setiap celah hatiku. Aku menggenggam sebuah spidol berwarna merah dan memangku sebuah kertas putih berukuran cukup besar yang sesekali terjatuh karena tertiup angin. Tepat pukul 21.00 aku mulai menorehkan tinta spidol itu ke atas kertas putih yang perlahan penuh dengan rangkaian huruf A-Z secara acak. Setelah hampir satu jam pikiran dan hati serta jemari tangan kananku berkutat saling bahu membahu, akhirnya tulisan itu selesai dan siap untuk ku persembahkan kepada seseorang yang mungkin tak pernah mengetahui bahwa ada seseorang yang telah menuliskan 100 puisi yang bercerita tentang keindahan dan kesempurnaan hadirnya.
Bungkusan itu kini telah terlihat indah dan sempurna dipandang mata. Dengan sampul kado berwana biru dan pita cantik berwarna merah yang membalutnya ku harap mampu membuat senyum dan semangat itu kembali meski itu memang belum pasti. Ku langkahkan kedua kakiku perlahan meunuju sebuah rumah berwarna merah dengan mengendari sebuah sepeda motor pemberian almarhum ayahandaku. Setelah 30 menit menempuh perjalanan akhirnya aku tiba juga di depan gerbang sebuah rumah yang memiliki penghuni seorang lelaki muda yang manis dan mempesona bagiku. Ku perhatikan rumah yang nampaknya sepi itu, begitu dingin dan tak terasa kehangatan sama sekali. Mungkin itu hanya perasaanku saja atau memang benar adanya aku tak tahu. Aku pun mengetuk gerbang rumah itu dan terlihat seorang wanita tua yang sepertinya adalah pembantu rumah tangga disana berlari menuju gerbang dan segara membukakannya untuk menyambut kehadiranku.
“Maaf ada yang bisa saya bantu mbak?” sapa lembut wanita yang terlihat berusia kepala 4 itu kepadaku.
“oh iya bik, bik saya boleh minta tolong untuk memberikan bingkisan ini kepada Kak Devan?” bibi itu tersenyum dan mengambil bingkisan yang ku bawa itu dari tanganku.
“Iya mbak nanti saya sampaikan sama den Devan, maaf dari mba siapa ya?” aku terdiam sesaat dan memutuskan untuk tidak memberitahukan namaku. Aku tak ingin kak Devan tahu aku yang mengirimkan bingkisan itu kepadanya.
“Bilang saja dari orang yang mengaguminya yah bik. Saya permisi dulu bik, terima kasih sebelumnya” aku berlalu pergi tanpa menunggu jawaban dari bibi yang terlihat kebingungan melihat tingkahku. Yang terpenting sekarang aku hanya bisa berdo’a supaya apa yang ku berikan itu mampu menjadi sedikit obat penyemangat kak Devan agar kembali tersenyum walau bukan untukku.
Keesokan harinya yang sedikit mendung tak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu cerah nan mempesona. Hari ini tepat 5 hari aku tak bisa melihat sosok yang memiliki senyum bak pelangi yang mencerahkan hari sehabis hujang dan mendung menyelimuti langit. Ku langkahkan kedua kakiku dengan sedikit lesu menuju sekolah yang selama ini menjadi tempat primadona yang paling sering ku kunjungi untuk menuntut ilmu di usia remaja. Saat tiba di gerbang sekolah, tiba-tiba kedua mataku dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang sangat berbeda dari 5 hari sebelumnya. Ya pemandangan yang 5 hari lalu masih sempat ku nikmati dan kini ia kembali. Kak Devan kembali. Dan yang paling membahagiakan adalah ia kembali dengan senyuman manisnya. Dengan semangat membaranya dan tawa khas miliknya. Betapa bahagianya hatiku saat itu sampai aku tidak bisa melangkah dan berkata-kata. Terima kasih tuhan, engkau kembalikan ia bersama kilau cahaya indahnya.
Istirahat pertama ku habiskan bersama ke 4 sahabatku, Rena, Ririn, Cinta dan Shasya dengan makan di kantin sekolah dan aku yang mentraktir mereka. Mereka sempat heran mengapa aku tiba-tiba sangat royal hari itu padahal biasanya selalu aku yang minta di traktir. Tapi kali ini aku katakana pada mereka bahwa aku ingin merayakan persahabtanku bersama meraka yang telah berjalan selama 2 tahun ini meskipun sebenarnya ini semua untuk kembalinya mentari pagiku kepada sangkar emas tabiatnya.
Sambil menikmati makanan yang ada dihadapan kami, kami berbincang-bincang mengenai hal apa saja sampai pada akhirnya, Shasya sahabatku yang paling baik tiba-tiba menyebut nama kak Devan dalam rangkaian kalimatnya.
“ Wah,, aku seneng banget loh akhirnya kak Devan bisa masuk sekolah lagi dan gak frustasi kayak kemarin-kemarin lagi”
“Hm.. kok bisa yah kak Devan gak frustasi lagi, apa emangnya yang bisa buat dia balik semangat lagi?” sambung Ririn penasaran ingin tahu.
“Kalau itu sih aku kurang tahu juga, tapi yang jelas kak Devan bilang sama aku tadi pagi kalau yang buat dia bisa bersemangat menjalani aktivitas lagi itu adalah bingkisan yang dikirim seorang gadis misterius untuknya” tiba-tiba aku tersedak mendengar perkataan Shasya itu dan berpura-pura bersikap sewajarnya karena teman-temanku mulai memperhatikan tingkah anehku.
“Kamu kenapa San? Keselek ya? Makanya hati-hati dong kalo makan itu” sahut Cinta yang begitu peduli kepada sahabatnya. Dalam hati aku berbisik bahagia, akhirnya aku mampu memberikan sedikit sinar untuk menyinari kelamnya hari sang malaikat penolongku. Untuk yang kedua kalinya, terima kasih tuhan
Tiga bulan penuh ku lalui hari-hariku setelah peristiwa indah dalam hidupku itu terjadi. Meskipun sampai detik ini aku belum juga mampu menyapa dan bertutur kata kepadanya. Namun aku bahagia karena setidaknya aku tak kehilangan senyuman dari bibir indahnya. Dan aku juga bahagia karena sudah hampir 200 puisi berhasil aku tulis tentangnya, tentang kesempurnaan hadirnya dalam perjalanan cinta hidupku. Hari ini tanggal 10 februari tepat 5 bulan setelah aku mengenalnya. Tidak terasa waktu ku untuk mengaguminya sudah cukup lama dan mungkin ini tidak akan berubah entah sampai kapan aku tidak tahu. Saat tengah menikmati indahnya sore berpayung sang rona jingga, Shasya datang ke rumahku dan langsung bergabung duduk berdua di teras kamarku.
“Hei.. tumben kamu main kesini sob, ada angin pa nih? “ Tanyaku mengawali pembicaraan.
Sahabatku itu malah tersenyum sendiri dan rona kebahagiaan Nampak jelas dari wajahnya.
“Aku sedang jatuh cinta San, dan kali ini aku benar-benar bahagia merasakan indahnya cinta itu” jelasnya dengan senyum yang terus menggantung di bibir merahnya.
“Wah ternyata sahabatku lagi ditaburi dengan benih-benih cinta nih, selamet ya.. sama siapa nih?” tanyaku ikut merasakan senang yang tak terkira.
“Itu masih rahasia sayang, nanti kalau semuanya udah seperti yang aku inginkan, aku pasti cerita sama kamu dan juga sahabat yang lain” ucap Shasya yang ternyata benar-benar sedang di mabuk asmara sama seperti aku yang mungkin lebih dulu merasakannya hingga kini.
“Baiklah kalau begitu. Aku turut bahagia sobat, terus ada yang bisa aku bantu untuk perasaanmu itu? “ tawarku yang segera disusul oleh anggukan bahagia sahabat manisku.
“Kamu benar sekali sobat, aku memang butuh bantuanmu saat ini. Hm.. kamu kan jagonya buat puisi tentang cinta nih, aku mau dong dibuatin satu puisi yang isinya tentang kekaguman sama seseorang” seketika jiwaku bergetar mendengar permintaan sahabatku itu, ternyata ia benar-benar merasakan apa yang ku rasakan pada kak Devan dan aku segera menggangguk tersenyum menyetujui hal itu.
“tentu saja dengan senang hati sobat” Shasya menanggapi kesanggupanku dengan pelukan kecil. Cinta itu memang indah apalagi kini aku tak sendiri merasakannya.
Hari minggu kembali datang, senyum kebebasan dari bertumpuknya pelajaran di sekolah mulai dirasakan. Hari ini aku berencana untuk mengunjungi Shasya dirumahnya untuk mendengarkan curahan hati sahabatku itu mengenai pujaan hatinya yang belum ku ketahui siapa orang yang beruntung itu.
Sesampai dirumahnya aku langsung menemui Shasya dikamar putihnya setelah sebelumnya aku sedikit bercengkrama dengan ibunda Shasya. Tapi yang ku lihat saat di kamarnya, Shasya sedang menangis saat membaca pesan singkat di handphone nya. Langsung saja aku menghampirinya dan menanyakan apa yang terjadi dan Shasya malah memelukku sambil menangis keras.
“Shasya kamu kenapa sobat? Ayo katakan kamu kenapa? “ tanyaku coba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Dia.. diaa kecelakaan San… “
“Apa? Dia siapa? Siapa yang kecelakaan” tanyaku kembali saat terkejut mendengar perkataan sahabatku itu.
“Orang yang selama ini ku sayangi.. ku cintai.. Kak Devan kecelakaan.
Bagai tersambar petir yang menghujam dari kedua arah. Terasa aliran darahku berhenti di sekujur tubuhku. Pandanganku kaku dan bibirku kini kelu. Semua yang kudengar bagai dua sayatan sembilu yang begitu menoreh luka di sanubariku. Tuhan.. mengapa ini harus terjadi, dua hal yang menyakitkan harus ku dengar dan ku ketahui dalam waktu yang bersamaan. Rasanya tak mampu lagi ku tahan air mata saat itu. Semua rasa bagai ingin tertumpah dalam balutan kecewa yang bernanah dan mematikan. aku terdiam berpikir keras dalam sisa tenagaku. Dan aku mulai menyadari bahwa tak ada guna kini aku menangisi apa yang telah terjadi. Pangeran hidupku yang juga Cahaya indah Shasya tengah berjuang melawan kematian di sana. Sementara kami yang benar-benar menyayanginya hanya mampu menangis. Tidak, aku harus bangkit, tak peduli apa perasaanku saat ini yang terpenting hanyalah aku bisa melihat Kak Devan sembuh dan tersenyum kembali.
Kamu berdua tiba di rumah sakit dan disana hanya ada kakak dan pembantu Kak Devan. Terakhir ku dengar kedua orang tua kak Devan telah meninggal dunia pada kecelakaan pesawat. Raut wajah Kak Revan yang merupakan saudara kak Devan benar-benar mencemaskan kami terutama aku yang tak akan rela kalau harus kehilangan senyumnya.
“Kak gimana keadaan kak Devan? “ Tanya Shasya saat berada disamping Kak Revan.
“Keadaannya semakin memburuk Sya, dia kehilangan banyak darah sementara rumah sakit sedang kehabisan stok golongan darah B” ucap kak Revan perlahan seperti habis harapan.
“Kak, golongan darah aku sama kayak kak Devan. Aku mau mendonorkannya” ucapanku yang spontan keluar dari bibirku itu disambut dengan terbitnya senyum kecil nan sejuk dibibir kak Revan. Kak Revan langsung memelukku lalu mengucapkan terima kasih.
Proses pendonoran darah itu berlangsung cukup lama. Di dalam hati aku selalu tak henti-hentinya berharap agar kak Devan, sang penyemangatku itu kembali dapat beraktivitas seperti biasa. Meski hatiku juga kini sangat terluka karena sayatan cinta yang juga tertuju pada kak Devan dari seorang sahabtat yang juga kucinta. Sejak detik itu, aku membuang semua perasaan kagumku kepada kak Devan. Aku relakan semua rasaku terlimpahkan dari sahabatku untuk sang penyemangat hidupku.
3 hari setelah dirawat akhirnya kak Devan berhasil selamat dari kecelakaan maut itu. Kini senyum manis mulai kembali terbit di bibir tipisnya. Aku bahagia sangat bahagia saat berada dihadapan kak Devan yang masih terbaring lemah namun tetap dengan senyum manis yang menghiasi.
“Devan.. kamu tahu siapa yang mendonorkan darah untuk menyelamatkanmu?”
“siapa kak? “ jawab kak Devan pelan. Saat itu tiba-tiba saja pandanganku berubah menjadi aneh. Semua yang ada disekitarku terlihat berputar dan perutku seakan digoncang dengan hebatnya. Dan akhirnya semua gelap.
Saat aku membuka kedua mataku, tiba-tiba aku melihat banyak orang yang mengerumuni seseorang yang tengah terbujur kaku diatas kasur rumah sakit yang putih. Orang-orang itu menangis sesenggukan. Dan disana juga ada kak Devan. Ya kak Devan.. ia menangis dengan keras dan seperti menyalahkan dirinya sendiri. Aku kebingungan dan tak tahu apa yang terjadi. Saat aku mencoba mendekat kepada kerumunan itu. Tiba-tiba Cinta dan Ririn datang dan langsung berlari ke arah sosok yang terbaring kaku itu. Namun betapa terkejutnya aku saat mereka menangis mereka memanggil manggil namaku dengan cukup keras padahal aku ada didekat mereka. Aku langsung mendekati mereka dan mecoba berbicara namun aku kembali dikejutkan dengan hal yang tak ku duga, mereka tak bisa mendengarku bahkan melihatku, mereka seolah olah tak menganggap aku ada disisi mereka. Aku hanya terdiam semakin heran memikirkan semua yang sedang terjadi. Dan saat itu kak Devan kemudian membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh orang yang terbujur kaku itu. Dan saat terbuka.. serentak detak jantungku seakan berhenti dan pandanganku menganga tak percaya. Itu aku. Aku yang sedang berbaring disana. Aku yang sedang mereka tangisi. oh tuhan aku hampir tak percaya ternyata aku telah kembali kepadaMu, kembali untuk menemuiMu, dan berpisah selamanya dengan mereka.
Peristiwa itu telah merenggut nyawaku. Aku bahagia, aku sangat bahagia karena sisa terakhir dalam hidupku ternyata ku persembahkan untuk orang yang sangat ku sayangi. Meski kak Devan tak mengetahui tentang 200 puisi itu, tentang bingkisan itu, tentang kekaguman itu, dan tentang perasaan ini. Kini hanya satu yang bisa aku sadari. Bahwa ternyata sejauh hari menutup aku mampu mengaguminya. Selamat tinggal kak Devan tetaplah tersenyum untuk semua orang yang menyayangimu. Disini aku akan selalu merindukanmu dan berharap selalu yang terbaik untukmu.
PROFIL PENULIS
Nama lengkapku Rosa Rosiani, lebih suka dan memang selalu dipanggil Ocha. Sekarang aku tengah menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Menulis adalah duniaku.
Menulis adalah duniaku.