SHADOW IN LOVE
Karya Cindy Andriani
"Aku merasa sudah lelah berlari mencari sesuatu yang diriku sendiri tak mengerti itu apa. Aku ingin berhenti, tapi tak ada yang bisa kujadikan sandaran ketika aku sudah lelah. Kau meninggalkanku sendiri disini tanpa secarik kenangan indah. Ambilah aku jika itu maumu, aku sudah rela pergi meninggalkan dunia kejam ini asalkan bersamamu."
***
Aku terbangun dari mimpiku yang kelam, rasanya penat sekali setiap malam harus didatangi pria itu. Pria yang kucintai, yang meninggal karena kebodohanku sendiri, jika waktu bisa diputar lebih baik aku yang mati daripada Radit. Tuhan, ambil nyawaku saja, aku tak sanggup lagi hidup di dalam kesendirian dan jalan hidup yang tak tentu arah ini.
Drrrt...drrrt...drrrt...It's been said and done...drrrt...drrrt...every beutiful thoughts been already sung...Drrrt..drtt
***
Aku terbangun dari mimpiku yang kelam, rasanya penat sekali setiap malam harus didatangi pria itu. Pria yang kucintai, yang meninggal karena kebodohanku sendiri, jika waktu bisa diputar lebih baik aku yang mati daripada Radit. Tuhan, ambil nyawaku saja, aku tak sanggup lagi hidup di dalam kesendirian dan jalan hidup yang tak tentu arah ini.
Drrrt...drrrt...drrrt...It's been said and done...drrrt...drrrt...every beutiful thoughts been already sung...Drrrt..drtt
Handphoneku terus berdering menyanyikan lagu Selena Gomez, siapa sih yang meneleponku pagi buta seperti ini, dengan malas aku angkat telepon itu.
"Halo, siapa ini?" Ucapku memulai pembicaraan dengan nada yang sedikit malas.
"Halo, ini Liam. Kau tidak menyimpan nomorku di kontakmu?" Kulihat di layar telepon, memang benar itu Liam, editorku. Bodohnya diriku masih bertanya ini siapa!
"Oh, maaf. Aku tidak melihat namamu di layar handphone-ku saat kau menelepon. Ada apa ?"
"Kau harus datang ke kantor saat ini. Ada beberapa kontrak yang harus kau tanda tangani pagi ini dan tidak bisa ditunda. Aku tunggu kau sekarang juga." Telepon langsung terputus sambungannya. Liam, seperti biasa, editorku yang satu ini selalu saja bertindak semaunya tak pernah menanyakan apakah aku bisa atau tidak. Kalau ia bukan sahabatku sudah kutinggalkan dia, dan mencari editor yang lain.
Aku langsung segera membereskan diri dan pergi ke kantor percetakan meninggalkan apartemenku. Kujalankan mobil Jazz putih kesayanganku ke daerah Jakarta Utara tempat dimana kantorku berada.
Sesampainya di kantor aku langsung menuju lantai 4, sebelum sampai di lift, tanpa sadar aku menabrak seseorang pria, barang bawaanya jatuh berserakan di lantai. Tanpa melihat wajahnya aku langsung membantu membereskan barangnya. Setelah itu, aku mengembalikanya kepada dia dan mengucapkan permintaan maaf.
“Maafkan saya , saya tidak melihat anda.”
“Tak apa, terimakasih.” Ucap pria itu, seketika itu aku melihat wajah pria itu, wajahnya sangat tampan seperti dewa turun dari surga. Ia memakai pakaian seperti seorang tuan muda yang kaya raya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa seluruh pikiranku kosong, diriku seakan terhipnotis oleh pria itu.
“Nona, apakah kau baik-baik saja?” Terdengar suara pria itu lagi, aku langsung tersadar dari lamunanku.
“Iya, aku baik-baik saja. Maafkan aku sekali lagi.” Ucapku langsung pergi meninggalkan pria itu.
Aku tidak sadar dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dari dalam hatiku. Aku juga tidak sadar kalau apa yang aku rasakan adalah sesuatu yang amat sangat besar. Sesuatu yang suatu saat nanti dapat mengubah semua jalan hidup yang pernah tertulis oleh takdir. Sesuatu yang dapat membuatku melupakan-nya ...
***
“Lama sekali kau datang Keyla, aku sudah lama menunggumu. Ada banyak kontrak yang harus kau tanda-tangani. Kau ini kan penulis, aset berharga diriku.”
“Lebay banget sih, sorry tadi ada masalah sedikit di jalan.”
“Oiya, apakah kau bisa makan siang bersamaku hari ini? Ada seseorang yang ingin aku kenalkan kepadamu. Dia direktur utama baru kantor ini, dia ingin bertemu secara langsung penulis berbakat sepertimu.” Ucap Liam dengan antusias, dia memang seperti itu segala yang ia perintahkan harus segera aku turuti.
“Baiklah, editorku yang bawel. Aku akan makan siang bersamamu dan direktur baru itu.” Ucapku menahan tawa melihat wajah Liam yang ngambek karena aku meledek dia bawel.
“Aku bawel juga demi kebaikan dirimu.”
“Hahahah, iya maafkan aku.”
***
Siangnya seperti apa yang telah kujanjikan aku akan makan siang bersama Liam dan direktur baru itu, rasanya malas hanya makan siang dan berbincang-bincang mengenai pekerjaan. Padahal hari ini jadwalnya aku untuk ziarah ke makam ayah dan ibuku.
“Hai Keyla, sudah lama menunggu ?” Terdengar suara Liam dari pintu masuk Restaurant. Mataku langsung tertuju pada pria yang di sampingnya. Bukankah itu pria yang tak sengaja kutabrak pagi tadi.
Jantungku berdetak dua kali lipat lebih kencang daripada biasanya, aku langsung gugup seketika ketika ia juga memandangiku. Mukaku merah seperi kepiting rebus, aku harus berani dan tidak boleh gugup. Toh, dia juga belum tentu menaruh perhatian yang sama denganku.
“Tidak, aku baru saja datang 5 menit yang lalu.” Ucapku berbohong, padahal sudah lama aku menunggu mereka kira-kira sudah hampir satu jam.
“Baguslah, kalo begitu, oya, perkenalkan ini Miller, direktur baru perusahaan kita, dan ini Keyla.”
Miller mengajakku untuk berjabat tangan, sungguh sesuatu yang sangat berarti untukku hanya dengan sekejap berjabat tangan. Dia memamerkan senyuman mautnya itu yang membuat jantungku semakin berdegup kencang.
Kami berbicang-bincang cukup lama, ternyata Miller adalah anak terakhir dari keluarganya, ia mempunya seorang kakak laki-laki tapi telah meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan, dan sekarang mau tak mau ia harus mengurus perusahaan ayahnya, karena ayahnya setahun belakangan ini jatuh sakit karena stress akibat kematian kakaknya itu. Aku semakin ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Miller.
“Baiklah, sudah jam 3 sore. Ayo kita pulang, tampaknya Keyla sudah cape hari ini. Liam, bisakah kau pulang sendiri? Aku akan mengantar Keyla pulang hari ini.” Apa ?? Miller mau mengantarku pulang ??
“Ehmm, ngga usah. Aku pulang sendiri aja, biar kau pulang bersama Liam.” Ucapku mencoba menolak supaya tidak terkesan aku cewek murahan yang langsung mau diantar cowo cakep seperti dia.
“Ngga apa-apa Key, aku bisa plang sendri.” Liam juga sepertinya tahu kalau aku ingin diantar pulang sama Miller kalau tidak dia mana mau pulang sendiri, dia itu cowok paling rewel+manja yang pernah aku temui.
“Baiklah, aku akan pulang bersamamu.”
***
Aku menyendiri di kamarku, berusaha untuk berpikir perasaan apa yang sekarang tengah kurasakan. Apakah ini hanya kekaguman saja? Atau ini hanya cinta sesaat yang datang padaku karena setahun belakangan ini aku merasa kesepian?
Apakah aku salah kalau aku mencintsi Miller? Akhirnya aku menuangkan segala kegelisahanku di dalam secarik kertas.
“Untuk suatu harapan”
Saat kedua insan dan perasaan bertemu
Di saat itulah aku belum menyadari atas apa arti takdir sebenarnya
Aku bukan seorang pecundang yang takut mencari tahu
Aku hanya takut cinta lain menghalangku
Kenangan lama yang telah lama kukubur
Membuatku harus terus melihat ke belakang
Aku takut terjebak dalam cinta yang semu , cinta yang tak nyata
Namun,
Tatapanmu adalah sebuah isyarat bagiku untuk maju
Tapi setelah kulihat diriku
Aku hanyalah kerikil
Sedangkani kau adalah penerang di alam semesta ini
Mengapa takdir mempertemukan kita ?
Untuk sebuah harapan
Meskipun aku takkan bisa menggapaimu
Kau akan tetap dihatiku
Kuletakkan kertas itu di atas lantai, dan membiarkan pikiranku terus melayang. Apa yang akan terjadi besok dan lusa? Aku tidak tahu, aku memutuskan untuk menikmati saja cinta yang diberikan Tuhan padaku. Akhirnya aku terlelap dalam alam bawah sadar tanpa didatangi oleh Radit.
***
Jam wekerku terus berbunti nyaring sejak beberapa menit yang lalu. Tapi aku benar-benar malas untuk mematikannya. Seluruh tubuhku terasa sangat lelah dan kepalaku terasa pusing. Apakah karena tadi malam aku terlaru berpikir keras mengenai Radit dan Miller?
Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatanku yang seakan hilang ditelan bumi. Dengan susah payah aku mengambil jam itu, dan mematikannya. Sudah jam delapan lewat dua puluh menit, dan aku masih di tempat tidur dengan piyama yang masih melekat ditubuhku. Seharusnya sekarang aku sudah bersiap-siap untuk pergi kerja.
Ponselku bergetar di ats meja, aku melihat nama yang tertera di layar handphoneku. Aku menarik napas panjang untuk kedua kalinya sebelum menjawab telepon.
“Iya, Liam ??” ucapku seakan tak bersemangat untuk berbicara.
“Sudah jam berapa ini? Mengapa kau belum datang ke kantor?
Direktur Miller ingin bertemu denganmu. Sebaiknya kau cepat datang kesini, sebelum ada hal buruk yang menimpamu. Jangan lupa juga membawa novel terbaru, aku akan edit ulang.”
“Iya, dua puluh menit lagi aku sampai di kantor.”
Sekuat tenaga aku bangun dari tempat tidurku untuk segera bersiap-siap, 10 menit kemudian aku sudah siap untuk berangkat ke kantor. Sesampainya di kantor aku sudah ditinggu oleh Miller dan Liam.
“Telat lima menit.” Huft, kenapa sih harus ada orang yang sangat bawel seperti Liam. Telat lima menit aja dipermasalahkan.
“Maaf, tadi macet di jalan.” Ucapku mencari alasan supaya Liam bisa diam dan tidak nyerocos melulu.
“Tidak apa-apa. Ada yang ingin kubicarakan berdua denganmu Keyla.” Ucap Miller kepadaku.
“Bisakah kau keluar dulu, Liam” Ucap Miller lagi dan sekarang ditunjukkan kepada editorku yang bawel itu.
“Baik, pak.”
Sesudah Liam keluar dari ruangan Miller, sekarang hanya aku dan Miller saja. Perasaanku tak karuan saat menatap matanya. Aku mencoba menenangkan perasaanku ini.
“Key, aku mau berbicara padamu tentang kita berdua.” Apa? Tentang kita berdua? Aku menjadi penasaran akan apa yang akan Miller sampaikan padaku.
“Memangnya ada apa ??”
“Sudah semalaman, aku berpikir, aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku rasa aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ini lagi. Aku sudah menaruh hati padamu disaat pertemuan kita pertama kali saat kau menabrakku di koridor kantor. Apakah kau mempunyai perasaan yang sama seperti yang kurasakan saat ini terhadapmu?”
“Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti in? Ini masih jam kantor tak seharusnya direktur sepertimu memberikan contoh buruk terhadap karyawanmu. Sebaiknya kita bicarakan pulang kantor saja.”
“Aku tahu ini bukanlah saat yang tepat, tapi aku mohon jawablah pertanyaanku apakah kau mempunyai perasaan yang sama terhadapku?”
“Aku ngga bisa jawab sekarang, butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Aku juga ngga tau apa yan sedang kurasakan sekarang. Mohon mengertilah, besok aku janji akan memberikan jawabanku.” Sebenarnya aku sudah memahami perasaanku bahwa aku mencintai dia, tapi aku terlalu takut. Aku takut semua akan berakhir seperti aku dan Radit. Aku masih trauma akan kejadian itu.
“Baiklah, aku tunggu kamu di Restaurant dekat kantor jam satu siang besok. Semoga jawaban baik yang akan kau berikan kepadaku.”
Aku keluar dari ruangan Miller, semua terjadi begitu cepat. Aku bingung, apa yang barusan terjadi adalah nyata atau mimpi? Tuhan berikan petunjuk kepadaku atas perasaan yang tengah kuhadapi ini!
Ku berjalan memasukki koridor dengan langkah gontai, pikiranku kosong, cinta ini datang kembali menghantuiku setelah berapa lama ini beku. Jawaban apa yang akan kuberikan pada Miller besok.
“Hey, Keyla! Kau dengar aku tidak ?” Lamunanku buyar mendengar suara editorku yang cempreng ini, pasti saja mengganggu disaat aku seperti ini.
“Ada apa?” Tanyaku dengan malas.
“Semangat, sedikitlah. Dari kemarin aku melihatmu murung terus. Ceritalah kepada editormu ini.”
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa cape saja hari ini.”
“Ngga usah bohong, aku sudah menjadi editormu selama lima tahun, aku tahu kapan kau sedang lelah dan kapan kau sedang punya masalah. Apalagi setahun yang lalu adalah masa sulitmu karena kematian Radit. Apakah ini semua karena Radit?? Kau teringat Radit ? Anggap saja aku sebagai tembok dan kau boleh bercerita kepadaku, ataupun memukulku kalau kau kesal.” Aku tak menyangka, Liam begitu baik terhadapku. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku teringat lagi terhadap Radit. Orang yang selalu ada di sampingku ketika aku sedih seperti ini. Tapi sekarang dia telah tiada akibat aku.
“Jangan nangis Key, aku akan selalu ada untukmu disaat kau sedih dan senang. Aku tak tahu apa masalah yang sekarang kau hadapi sekarang ini. Tapi percayalah Tuhan tak akan memberi cobaan di luar kemampuan umatnya.” Liam memelukku, saat ini aku hanya bisa menangis dan menangis walaupun banyak orang yang melihatku.
***
Hari ini aku akan memberikan jawaban kepada Miller, ada rasa ketakutan yang menyelimutiku. Sekarang aku sudah berada di restaurant tempat dimana yang sudah dijanjikan Miller.
Aku melihat sekeliling, Miller memilih tempat duduk paling pojok. Aku langsung menghampirinya. Dia menyapaku sewaktu aku berjalan mendekatinya.
“Apakah kau mau memesan makanan ?” Tanyanya terhadapku.
“Tidak usah , hanya orange juice saja.”
“Apakah kau sudah memikirkan apa yang akan kusampaikan kemarin?”
“Jelas sudah, aku sudah berjanji akan memberimu jawaban hari ini.”
“Lalu apa jawabanmu ?”
“Hmm”
“Gimana Key ?”
“Iya, aku juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu.”
“Kau tidak sedang mempermainkan aku kan?”
“Tentu saja tidak. Aku tulus.”
“Baiklah, ayo !”
“Kemana ?” Tanya ku dengan bingung.
“Ke rumahku?”
“Untuk apa?”
“Akan kuperkenalkan kau kepada keluargaku.” Miller langsung menarik tanganku tanpa persetetujuan dariku dulu.
***
Setengah jam kemudian, aku telah sampai di rumahnya. Rumahnya sangat megah dan mewah, seperti istana kerajaan. Sewaktu aku masuk ke dalam ruang tamu, disana banyak terpampang foto keluarga. Pandanganku langsung tertuju pada sebuah foto pria. Dia Radit !! Aku yakin sekali.
“Miller, itu siapa ?”
“Oh, itu kakakku yang meninggal setahun lalu. Bukannya aku sudah menceritakan kepadamu waktu itu.”
Dunia seketika itu terasa berhenti berputar, aku mencintai adik dari Radit. Pria yang meninggal karena diriku. Aku merasa diriku tak pantas untuk beranding bersama Miller, aku penyebab kakaknya meninngal, aku penyebab ayahnya jatuh sakit seperti ini. Aku langsung berlari meninggalkan rumah itu, air mataku turun begitu derasnya. Mengapa takdir Tuhan begitu kejam ?
Aku tak menghiraukan saat Miller berlari mengejarku dan meninggalkanku, aku berlari dan terus berlari. Samapi tak kuduga, tangan Miller sudah menahan tanganku untuk berlari lagi. Tak kusangka larinya begitu cepat sehinnga begitu mudah untuk menyusulku.
“Mengapa kau pergi dari rumahku dan menangis seperti ini??”
“Lebih baik kita putus, aku tak pantas untukmu.”
“Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti itu? Aku tak mengerti.”
“Miller!! Aku penyebab kakakmu meninggal, aku lah gadis yang kakamu selamatkan ketika aku mencoba bunuh diri. Kau tak seharusnya mencintaiku, kau sepantasnya membenciku.”
“Apa kau tahu kalau ayahku adalah orang yang kaya?” Aku bingung apa yang sedang dimaksudkan oleh Miller. “Sudah pasti ayahku menyusut habis kasus mengapa kakakku meninggal, dan apa itu penyebabnya. Aku sudah mengetahui itu dari awal, kau bukanlah seorang pembunuh, pasti ada rencana indah Tuhan dibalik sebuah cobaan, jadi berhenti menyalahi dirimu sendiri, aku akan tetap mencintaimu.”
“Bagaimana dengan ayahmu?” Ucapku masih dengan sesenggukan karena tangis ini.
“Aku sudah menceritakan kepadanya, dia mengerti apa yang sedang kurasakan. Dia juga tak menyalahkanmu atas kematian kakakku, itu semua takdir Tuhan tak ada yang bisa mencegahnya.”
“Miller, maafkan aku. Aku mencintaimu.” Ucapku dengan malu-malu.
“Aku juga mencintaimu.” Kami berdua berpelukan saat itu juga.
Mulai sekarang aku akn terus menjaga cinta ini, anugrah yang diberikan Tuhan terhadapku. Terimakasih Tuhan kau telah memberikanku cinta lagi. Terimakasih Radit, karenamu aku mengerti apa itu cinta. Kau akan tetap abadi dihatiku. Segaris senyum muncul saat itu juga dari bibirku.
"Halo, siapa ini?" Ucapku memulai pembicaraan dengan nada yang sedikit malas.
"Halo, ini Liam. Kau tidak menyimpan nomorku di kontakmu?" Kulihat di layar telepon, memang benar itu Liam, editorku. Bodohnya diriku masih bertanya ini siapa!
"Oh, maaf. Aku tidak melihat namamu di layar handphone-ku saat kau menelepon. Ada apa ?"
"Kau harus datang ke kantor saat ini. Ada beberapa kontrak yang harus kau tanda tangani pagi ini dan tidak bisa ditunda. Aku tunggu kau sekarang juga." Telepon langsung terputus sambungannya. Liam, seperti biasa, editorku yang satu ini selalu saja bertindak semaunya tak pernah menanyakan apakah aku bisa atau tidak. Kalau ia bukan sahabatku sudah kutinggalkan dia, dan mencari editor yang lain.
Aku langsung segera membereskan diri dan pergi ke kantor percetakan meninggalkan apartemenku. Kujalankan mobil Jazz putih kesayanganku ke daerah Jakarta Utara tempat dimana kantorku berada.
Sesampainya di kantor aku langsung menuju lantai 4, sebelum sampai di lift, tanpa sadar aku menabrak seseorang pria, barang bawaanya jatuh berserakan di lantai. Tanpa melihat wajahnya aku langsung membantu membereskan barangnya. Setelah itu, aku mengembalikanya kepada dia dan mengucapkan permintaan maaf.
“Maafkan saya , saya tidak melihat anda.”
“Tak apa, terimakasih.” Ucap pria itu, seketika itu aku melihat wajah pria itu, wajahnya sangat tampan seperti dewa turun dari surga. Ia memakai pakaian seperti seorang tuan muda yang kaya raya. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa seluruh pikiranku kosong, diriku seakan terhipnotis oleh pria itu.
“Nona, apakah kau baik-baik saja?” Terdengar suara pria itu lagi, aku langsung tersadar dari lamunanku.
“Iya, aku baik-baik saja. Maafkan aku sekali lagi.” Ucapku langsung pergi meninggalkan pria itu.
Aku tidak sadar dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dari dalam hatiku. Aku juga tidak sadar kalau apa yang aku rasakan adalah sesuatu yang amat sangat besar. Sesuatu yang suatu saat nanti dapat mengubah semua jalan hidup yang pernah tertulis oleh takdir. Sesuatu yang dapat membuatku melupakan-nya ...
***
“Lama sekali kau datang Keyla, aku sudah lama menunggumu. Ada banyak kontrak yang harus kau tanda-tangani. Kau ini kan penulis, aset berharga diriku.”
“Lebay banget sih, sorry tadi ada masalah sedikit di jalan.”
“Oiya, apakah kau bisa makan siang bersamaku hari ini? Ada seseorang yang ingin aku kenalkan kepadamu. Dia direktur utama baru kantor ini, dia ingin bertemu secara langsung penulis berbakat sepertimu.” Ucap Liam dengan antusias, dia memang seperti itu segala yang ia perintahkan harus segera aku turuti.
“Baiklah, editorku yang bawel. Aku akan makan siang bersamamu dan direktur baru itu.” Ucapku menahan tawa melihat wajah Liam yang ngambek karena aku meledek dia bawel.
“Aku bawel juga demi kebaikan dirimu.”
“Hahahah, iya maafkan aku.”
***
Siangnya seperti apa yang telah kujanjikan aku akan makan siang bersama Liam dan direktur baru itu, rasanya malas hanya makan siang dan berbincang-bincang mengenai pekerjaan. Padahal hari ini jadwalnya aku untuk ziarah ke makam ayah dan ibuku.
“Hai Keyla, sudah lama menunggu ?” Terdengar suara Liam dari pintu masuk Restaurant. Mataku langsung tertuju pada pria yang di sampingnya. Bukankah itu pria yang tak sengaja kutabrak pagi tadi.
Jantungku berdetak dua kali lipat lebih kencang daripada biasanya, aku langsung gugup seketika ketika ia juga memandangiku. Mukaku merah seperi kepiting rebus, aku harus berani dan tidak boleh gugup. Toh, dia juga belum tentu menaruh perhatian yang sama denganku.
“Tidak, aku baru saja datang 5 menit yang lalu.” Ucapku berbohong, padahal sudah lama aku menunggu mereka kira-kira sudah hampir satu jam.
“Baguslah, kalo begitu, oya, perkenalkan ini Miller, direktur baru perusahaan kita, dan ini Keyla.”
Miller mengajakku untuk berjabat tangan, sungguh sesuatu yang sangat berarti untukku hanya dengan sekejap berjabat tangan. Dia memamerkan senyuman mautnya itu yang membuat jantungku semakin berdegup kencang.
Kami berbicang-bincang cukup lama, ternyata Miller adalah anak terakhir dari keluarganya, ia mempunya seorang kakak laki-laki tapi telah meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan, dan sekarang mau tak mau ia harus mengurus perusahaan ayahnya, karena ayahnya setahun belakangan ini jatuh sakit karena stress akibat kematian kakaknya itu. Aku semakin ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Miller.
“Baiklah, sudah jam 3 sore. Ayo kita pulang, tampaknya Keyla sudah cape hari ini. Liam, bisakah kau pulang sendiri? Aku akan mengantar Keyla pulang hari ini.” Apa ?? Miller mau mengantarku pulang ??
“Ehmm, ngga usah. Aku pulang sendiri aja, biar kau pulang bersama Liam.” Ucapku mencoba menolak supaya tidak terkesan aku cewek murahan yang langsung mau diantar cowo cakep seperti dia.
“Ngga apa-apa Key, aku bisa plang sendri.” Liam juga sepertinya tahu kalau aku ingin diantar pulang sama Miller kalau tidak dia mana mau pulang sendiri, dia itu cowok paling rewel+manja yang pernah aku temui.
“Baiklah, aku akan pulang bersamamu.”
***
Aku menyendiri di kamarku, berusaha untuk berpikir perasaan apa yang sekarang tengah kurasakan. Apakah ini hanya kekaguman saja? Atau ini hanya cinta sesaat yang datang padaku karena setahun belakangan ini aku merasa kesepian?
Apakah aku salah kalau aku mencintsi Miller? Akhirnya aku menuangkan segala kegelisahanku di dalam secarik kertas.
“Untuk suatu harapan”
Saat kedua insan dan perasaan bertemu
Di saat itulah aku belum menyadari atas apa arti takdir sebenarnya
Aku bukan seorang pecundang yang takut mencari tahu
Aku hanya takut cinta lain menghalangku
Kenangan lama yang telah lama kukubur
Membuatku harus terus melihat ke belakang
Aku takut terjebak dalam cinta yang semu , cinta yang tak nyata
Namun,
Tatapanmu adalah sebuah isyarat bagiku untuk maju
Tapi setelah kulihat diriku
Aku hanyalah kerikil
Sedangkani kau adalah penerang di alam semesta ini
Mengapa takdir mempertemukan kita ?
Untuk sebuah harapan
Meskipun aku takkan bisa menggapaimu
Kau akan tetap dihatiku
Kuletakkan kertas itu di atas lantai, dan membiarkan pikiranku terus melayang. Apa yang akan terjadi besok dan lusa? Aku tidak tahu, aku memutuskan untuk menikmati saja cinta yang diberikan Tuhan padaku. Akhirnya aku terlelap dalam alam bawah sadar tanpa didatangi oleh Radit.
***
Jam wekerku terus berbunti nyaring sejak beberapa menit yang lalu. Tapi aku benar-benar malas untuk mematikannya. Seluruh tubuhku terasa sangat lelah dan kepalaku terasa pusing. Apakah karena tadi malam aku terlaru berpikir keras mengenai Radit dan Miller?
Aku menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatanku yang seakan hilang ditelan bumi. Dengan susah payah aku mengambil jam itu, dan mematikannya. Sudah jam delapan lewat dua puluh menit, dan aku masih di tempat tidur dengan piyama yang masih melekat ditubuhku. Seharusnya sekarang aku sudah bersiap-siap untuk pergi kerja.
Ponselku bergetar di ats meja, aku melihat nama yang tertera di layar handphoneku. Aku menarik napas panjang untuk kedua kalinya sebelum menjawab telepon.
“Iya, Liam ??” ucapku seakan tak bersemangat untuk berbicara.
“Sudah jam berapa ini? Mengapa kau belum datang ke kantor?
Direktur Miller ingin bertemu denganmu. Sebaiknya kau cepat datang kesini, sebelum ada hal buruk yang menimpamu. Jangan lupa juga membawa novel terbaru, aku akan edit ulang.”
“Iya, dua puluh menit lagi aku sampai di kantor.”
Sekuat tenaga aku bangun dari tempat tidurku untuk segera bersiap-siap, 10 menit kemudian aku sudah siap untuk berangkat ke kantor. Sesampainya di kantor aku sudah ditinggu oleh Miller dan Liam.
“Telat lima menit.” Huft, kenapa sih harus ada orang yang sangat bawel seperti Liam. Telat lima menit aja dipermasalahkan.
“Maaf, tadi macet di jalan.” Ucapku mencari alasan supaya Liam bisa diam dan tidak nyerocos melulu.
“Tidak apa-apa. Ada yang ingin kubicarakan berdua denganmu Keyla.” Ucap Miller kepadaku.
“Bisakah kau keluar dulu, Liam” Ucap Miller lagi dan sekarang ditunjukkan kepada editorku yang bawel itu.
“Baik, pak.”
Sesudah Liam keluar dari ruangan Miller, sekarang hanya aku dan Miller saja. Perasaanku tak karuan saat menatap matanya. Aku mencoba menenangkan perasaanku ini.
“Key, aku mau berbicara padamu tentang kita berdua.” Apa? Tentang kita berdua? Aku menjadi penasaran akan apa yang akan Miller sampaikan padaku.
“Memangnya ada apa ??”
“Sudah semalaman, aku berpikir, aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku rasa aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ini lagi. Aku sudah menaruh hati padamu disaat pertemuan kita pertama kali saat kau menabrakku di koridor kantor. Apakah kau mempunyai perasaan yang sama seperti yang kurasakan saat ini terhadapmu?”
“Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti in? Ini masih jam kantor tak seharusnya direktur sepertimu memberikan contoh buruk terhadap karyawanmu. Sebaiknya kita bicarakan pulang kantor saja.”
“Aku tahu ini bukanlah saat yang tepat, tapi aku mohon jawablah pertanyaanku apakah kau mempunyai perasaan yang sama terhadapku?”
“Aku ngga bisa jawab sekarang, butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Aku juga ngga tau apa yan sedang kurasakan sekarang. Mohon mengertilah, besok aku janji akan memberikan jawabanku.” Sebenarnya aku sudah memahami perasaanku bahwa aku mencintai dia, tapi aku terlalu takut. Aku takut semua akan berakhir seperti aku dan Radit. Aku masih trauma akan kejadian itu.
“Baiklah, aku tunggu kamu di Restaurant dekat kantor jam satu siang besok. Semoga jawaban baik yang akan kau berikan kepadaku.”
Aku keluar dari ruangan Miller, semua terjadi begitu cepat. Aku bingung, apa yang barusan terjadi adalah nyata atau mimpi? Tuhan berikan petunjuk kepadaku atas perasaan yang tengah kuhadapi ini!
Ku berjalan memasukki koridor dengan langkah gontai, pikiranku kosong, cinta ini datang kembali menghantuiku setelah berapa lama ini beku. Jawaban apa yang akan kuberikan pada Miller besok.
“Hey, Keyla! Kau dengar aku tidak ?” Lamunanku buyar mendengar suara editorku yang cempreng ini, pasti saja mengganggu disaat aku seperti ini.
“Ada apa?” Tanyaku dengan malas.
“Semangat, sedikitlah. Dari kemarin aku melihatmu murung terus. Ceritalah kepada editormu ini.”
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa cape saja hari ini.”
“Ngga usah bohong, aku sudah menjadi editormu selama lima tahun, aku tahu kapan kau sedang lelah dan kapan kau sedang punya masalah. Apalagi setahun yang lalu adalah masa sulitmu karena kematian Radit. Apakah ini semua karena Radit?? Kau teringat Radit ? Anggap saja aku sebagai tembok dan kau boleh bercerita kepadaku, ataupun memukulku kalau kau kesal.” Aku tak menyangka, Liam begitu baik terhadapku. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku teringat lagi terhadap Radit. Orang yang selalu ada di sampingku ketika aku sedih seperti ini. Tapi sekarang dia telah tiada akibat aku.
“Jangan nangis Key, aku akan selalu ada untukmu disaat kau sedih dan senang. Aku tak tahu apa masalah yang sekarang kau hadapi sekarang ini. Tapi percayalah Tuhan tak akan memberi cobaan di luar kemampuan umatnya.” Liam memelukku, saat ini aku hanya bisa menangis dan menangis walaupun banyak orang yang melihatku.
***
Hari ini aku akan memberikan jawaban kepada Miller, ada rasa ketakutan yang menyelimutiku. Sekarang aku sudah berada di restaurant tempat dimana yang sudah dijanjikan Miller.
Aku melihat sekeliling, Miller memilih tempat duduk paling pojok. Aku langsung menghampirinya. Dia menyapaku sewaktu aku berjalan mendekatinya.
“Apakah kau mau memesan makanan ?” Tanyanya terhadapku.
“Tidak usah , hanya orange juice saja.”
“Apakah kau sudah memikirkan apa yang akan kusampaikan kemarin?”
“Jelas sudah, aku sudah berjanji akan memberimu jawaban hari ini.”
“Lalu apa jawabanmu ?”
“Hmm”
“Gimana Key ?”
“Iya, aku juga mempunyai perasaan yang sama terhadapmu.”
“Kau tidak sedang mempermainkan aku kan?”
“Tentu saja tidak. Aku tulus.”
“Baiklah, ayo !”
“Kemana ?” Tanya ku dengan bingung.
“Ke rumahku?”
“Untuk apa?”
“Akan kuperkenalkan kau kepada keluargaku.” Miller langsung menarik tanganku tanpa persetetujuan dariku dulu.
***
Setengah jam kemudian, aku telah sampai di rumahnya. Rumahnya sangat megah dan mewah, seperti istana kerajaan. Sewaktu aku masuk ke dalam ruang tamu, disana banyak terpampang foto keluarga. Pandanganku langsung tertuju pada sebuah foto pria. Dia Radit !! Aku yakin sekali.
“Miller, itu siapa ?”
“Oh, itu kakakku yang meninggal setahun lalu. Bukannya aku sudah menceritakan kepadamu waktu itu.”
Dunia seketika itu terasa berhenti berputar, aku mencintai adik dari Radit. Pria yang meninggal karena diriku. Aku merasa diriku tak pantas untuk beranding bersama Miller, aku penyebab kakaknya meninngal, aku penyebab ayahnya jatuh sakit seperti ini. Aku langsung berlari meninggalkan rumah itu, air mataku turun begitu derasnya. Mengapa takdir Tuhan begitu kejam ?
Aku tak menghiraukan saat Miller berlari mengejarku dan meninggalkanku, aku berlari dan terus berlari. Samapi tak kuduga, tangan Miller sudah menahan tanganku untuk berlari lagi. Tak kusangka larinya begitu cepat sehinnga begitu mudah untuk menyusulku.
“Mengapa kau pergi dari rumahku dan menangis seperti ini??”
“Lebih baik kita putus, aku tak pantas untukmu.”
“Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti itu? Aku tak mengerti.”
“Miller!! Aku penyebab kakakmu meninggal, aku lah gadis yang kakamu selamatkan ketika aku mencoba bunuh diri. Kau tak seharusnya mencintaiku, kau sepantasnya membenciku.”
“Apa kau tahu kalau ayahku adalah orang yang kaya?” Aku bingung apa yang sedang dimaksudkan oleh Miller. “Sudah pasti ayahku menyusut habis kasus mengapa kakakku meninggal, dan apa itu penyebabnya. Aku sudah mengetahui itu dari awal, kau bukanlah seorang pembunuh, pasti ada rencana indah Tuhan dibalik sebuah cobaan, jadi berhenti menyalahi dirimu sendiri, aku akan tetap mencintaimu.”
“Bagaimana dengan ayahmu?” Ucapku masih dengan sesenggukan karena tangis ini.
“Aku sudah menceritakan kepadanya, dia mengerti apa yang sedang kurasakan. Dia juga tak menyalahkanmu atas kematian kakakku, itu semua takdir Tuhan tak ada yang bisa mencegahnya.”
“Miller, maafkan aku. Aku mencintaimu.” Ucapku dengan malu-malu.
“Aku juga mencintaimu.” Kami berdua berpelukan saat itu juga.
Mulai sekarang aku akn terus menjaga cinta ini, anugrah yang diberikan Tuhan terhadapku. Terimakasih Tuhan kau telah memberikanku cinta lagi. Terimakasih Radit, karenamu aku mengerti apa itu cinta. Kau akan tetap abadi dihatiku. Segaris senyum muncul saat itu juga dari bibirku.