DERA, TETAPLAH MENJADI MENTARI, YA??
Karya Syaffa Taqiyyah
Aku benci kakak. Aku sangat membenci kakakku. Mengingat wajahnya saja, amarah langsung terpercik di hatiku. Mataku langsung terasa perih. Karena amarah yang kerap kali membuatku menangis. Aku melihat ke bawah, genangan darah mengalir dari kakiku. Karena bingkai yang aku lemparkan, hancur berkeping-keping. Menyisakan sisa kepingan kaca yang berbahaya,
yang dengan mudahnya aku injak agar segera hancur menjadi debu.
***
Hari ini mendung. Aku berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang sekolah. Seratus meter lagi. Dan aku harus kembali menghadapi bayang-bayang kakak yang seolah-olah terus mengikutiku. Dimanapun, kapanpun. Aku merasa, bayangan itu selalu ada. Menghantuiku. Aku menatap langit. Gelap. Kelabu. Seperti suasana hatiku saat ini. Namun hal itu sedikit menghiburku. Bukankah tandanya alam bersimpati padaku dengan menyesuaikan cuaca hari ini?
yang dengan mudahnya aku injak agar segera hancur menjadi debu.
***
Hari ini mendung. Aku berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang sekolah. Seratus meter lagi. Dan aku harus kembali menghadapi bayang-bayang kakak yang seolah-olah terus mengikutiku. Dimanapun, kapanpun. Aku merasa, bayangan itu selalu ada. Menghantuiku. Aku menatap langit. Gelap. Kelabu. Seperti suasana hatiku saat ini. Namun hal itu sedikit menghiburku. Bukankah tandanya alam bersimpati padaku dengan menyesuaikan cuaca hari ini?
Tetesan air jatuh menimpa kepalaku. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Aku menghitung jumlah butiran air di telapak tanganku. Kemudian menengadah melihat langit. Begitu kelabu, hampir hitam. Tetesan air mulai membasahi wajahku. Di sekitarku, sudah banyak orang yang berlari guna menghindari hujan. Namun, aku diam. Memilih untuk berjalan lambat-lambat. Berharap tetesan air mataku dapat membaur dengan tetesan hujan.
Tepat saat bel berbunyi, aku sampai di dalam sekolah. Suasana begitu ramai. Hujan, selalu membuat banyak orang tepat waktu. Namun, kakak begitu menyukai hujan. Kakak menyukai aroma udara setelah hujan. Karena itu, aku benci. Aku benci hujan. Aku membenci apapun yang disukai kakak.
Aku melihat keadaan. Semua orang tampak basah, tapi tidak ada yang sepenuhnya basah seperti aku. Aku melihat pantulan diriku di pintu kaca sekolah. Menyedihkan. Seorang anak perempuan kurus dengan muka pucat pasi. Pakaiannya basah kuyup pula. Mulai dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki. Tiba-tiba, rasa sakit menghantam kepalaku. Perlahan, pandanganku mulai mengabur. Titik-titik hitam menari-nari di pandanganku.
***
Segalanya tampak putih. Dimana ini? Aku segera bangun, tapi lagi-lagi rasa sakit seolah-olah mencengkram kepalaku, hingga aku terjatuh lagi. Aku meneliti keadaan. Bau obat, begitu kental di penciumanku. Perutku terasa teraduk-aduk. Bau ini, selalu mengingatkanku akan kakak. Amarah segera terbit di kepalaku. Tanpa menghiraukan rasa sakit, aku berlari keluar ruangan, dan jatuh tersungkur di lorong. Aku hanya samar-samar merasakan ada seseorang yang memapahku. Membantuku untuk duduk tegak.
Ternyata Ibu Widya. Dokter di UKS sekolah. Ibu Widya tidak menyuruhku untuk kembali ke dalam UKS. Beliau sepertinya menyadari aku yang alergi akan aroma rumah sakit. Beliau tidak berkata apa-apa. Hanya mengantarku menuju kamar mandi, dan membantuku mengganti seragamku yang sudah basah kuyup.
Aku beristirahat di ruang BK. Sepertinya Bu Widya sengaja meminta kepada guru BK agar ruangan itu kosong. Karena ruangan yang biasanya ramai itu, kini terasa lengang. Aku duduk berhadapan dengan Bu Widya. Aku bisa merasakan tatapannya yang tertuju padaku. Seperti berupaya mempelajari jiwaku. Sengaja aku berpura-pura sibuk memperhatikan langit di luar yang masih setia menumpahkan tangisnya.
Bu Widya tiba-tiba beranjak pergi menuju lemari yang memuat belasan foto. Beliau mengambil satu, dan meletakkannya di hadapanku. Aku hanya bisa terpaku. Menatap foto itu, amarah kembali terbit dalam dadaku. Bayang-bayang merah seolah mengaburkan penglihatanku. Tidak salah lagi, itu foto kakak. Sedang tertawa bahagia, mengenakan jas dokter milik Ibu Widya. Bertingkah seolah-olah dialah dokternya. Sementara di latar foto, tampaklah aku yang sedang berpura-pura berbaring di tempat tidur.
Prang! Aku melempar bingkai itu, tanpa berpikir apa-apa. Bingkai itu hancur berkeping-keping. Menyisakan kepingan kaca dan kayu, dengan foto yang tersobek. Ibu Widya hanya menghela napas. Kemudian membersihkan keributan kecil yang aku perbuat tanpa berkata apapun. Barulah aku sadar, Bu Widya hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan kakak.
Tetesan air mata kembali terbit di wajahku. Kilasan kenangan akan kakak seolah berebut memasuki pikiranku. Kilas balik itu seolah terasa nyata. Begitu nyata, sampai aku merasakan dekapan kakak di sekelilingku. Begitu nyata, seolah aku mendengar setiap omelannya apabila aku bertingkah ceroboh. Kupejamkan mataku. Namun, hal itu semakin memperparah keadaan. Kenangan itu terlalu nyata. Sakit. Sakit sekali. Amarah, benci, dan rindu yang semakin berkecamuk dalam kepalaku. Aku meremas kepalaku kuat-kuat. Aku sudah tidak tahan! Aku berlari keluar. Menembus hujan yang kian deras. Aku harus lari, terus berlari. Pergi dari kenangan yang terasa semakin nyata. Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Berharap kenangan itu pergi. Ya, kenangan itu pergi. Kalah oleh rasa sakit yang tidak terperi di kepalaku. Perlahan, membuai kesadaranku kian jauh.
***
Aku melihat kakak melambai kepadaku dari seberang jalan. Wajahnya seperti biasa, dipenuhi keceriaan yang berlebihan. Seolah-olah dunia ini tidak pernah kejam padanya. Seolah-olah seluruh kehidupannya telah sempurna. Kakak melambai lagi kepadaku. Seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, aku tidak mendengar apapun. Kemudian, raut wajah kakak berubah. Mengapa ekspresinya menjadi sedih? Seolah beban dunia berada di pundaknya. Dimana keceriaannya? Kebahagiannya? Sejenak aku melupakan amarahku. Aku ingin berada di sisinya. Ingin menghapus kesedihannya. Aku mulai melangkahkan kakiku menyebrangi jalan. Sebisa mungkin aku ingin berada di dekat kakak. Namun, raut wajah kakak berubah lagi. Kakak tersenyum. Kehangatan menjalar di tubuhku. Ah, betapa aku merindukan senyumnya. Penuh kehangatan. Namun, amarah itu kembali terpercik. Pandanganku kembali mengabur.
“Dera itu kuat, kan?” Sayup-sayup aku mendengar suara kakak. “Dera punya banyak teman, kan? Dera harus kuat. Karena kakak yakin, Dera menyimpan kehangatan mentari di dalam diri Dera...”
Ah, ucapan kakak barusan membuat mataku kembali basah. Aku tidak kuat. Aku tidak tegar. Aku lemah. Aku tidak sanggup menanggung kepedihan ini jika hanya seorang diri. Aku kembali menatap kakak. Kakak tersenyum lagi. Namun dengan senyuman yang berbeda. Senyuman penuh tekad. Senyuman yang seolah mampu mengalahkan dunia.
“Saat Dera sendiri, ketahuilah. Ada begitu banyak tangan yang mendorong Dera dari belakang. Ada begitu banyak senyuman yang diperuntukkan bagi Dera. Dera itu seperti mentari, memancarkan kehangatan...” Ujar kakak dengan wajah penuh tekad.
Aku terpaku. Ingatanku berlarian ke masa itu. Saat-saat terakhir kami berdua. Kenangan yang susah payah aku kubur di dalam palung terdalam ingatanku, menyeruak begitu saja ke permukaan. Kenangan itu... Reka ulang yang sangat jelas. Terpampang di depan mataku.
***
Kami adalah dua bersaudara yang hanya terpisahkan dua tahun. Saat itu aku kelas 10, sementara kakak kelas 12. Kami selalu bersama. Sejak kecil, hanya kakak seoranglah yang selalu menarik tanganku disaat aku terjatuh. Hanya kakak seoranglah yang selalu mendukungku, dan menyelamatkanku. Karena aku terlahir dengan fisik yang lemah, aku jarang sekali bermain dengan teman-temanku di luar. Hanya kakak, temanku satu-satunya.
Saat itu, hari cerah. Juga hari terakhir kakak di pekan ujian nasional. Sepulang sekolah, kakak mengajakku pergi. “Ayo kita menikmati hari yang cerah ini! Sayang kan jika hanya dihabiskan di dalam rumah,” ucap kakak sambil melemparkan senyum jahilnya kepadaku. Awalnya aku tidak mau. Suasana hatiku sedang kacau. Aku memikirkan kakak yang akan pergi meninggalkan rumah untuk kuliah sebentar lagi. Namun, seperti biasa. Kakakku itu pemaksa yang ulung. Akhirnya aku menganggukkan kepalaku.
Semuanya berjalan dengan cepat. Seolah ada seseorang yang menekan tombol fastforward. Terlalu klise. Kami mengalami kecelakaan. Seharusnya, akulah yang pergi. Seharusnya, akulah yang tidak akan pernah lulus dari SMA. Akulah yang tidak bisa membuka sabuk pengamanku sendiri. Namun, kakakku adalah orang terbodoh yang pernah aku kenal. Tidakkah dia tahu aku menyayanginya? Tidakkah dia tahu bahwa aku rela memberikannya apapun? Bahkan termasuk nyawaku sekalipun. Aku menyayanginya. Lebih dari apapun. Namun kakakku yang bodoh itu mengorbankan dirinya. Menyelamatkanku di saat terakhir. Melindungi aku dari ledakan mobil dengan tubuhnya sendiri. Walaupun kakak bisa saja pergi meninggalkan aku yang terjebak dengan sabuk pengamanku sendiri. Aku masih ingat dengan jelas. Ucapan terakhir kakak. “Tetaplah hidup, Dera sayang...” Aku menyaksikan bagaimana cahaya di mata kakak yang mulai meredup. Senyuman terakhirnya, yang menyiratkan kemenangan karena merasa telah menyelamatkanku.
Sampai akhirnya kesadaranku pun habis. Hal terakhir yang aku ingat hanyalah rasa panas. Yang menjalar di dalam tubuhku. Begitu panas.
***
Kubuka mataku. Lagi-lagi putih, tapi kali ini aku tidak mencium aroma rumah sakit. Karena rumah sakit, hanya mengingatkanku akan kakak. Mimpinya untuk menjadi dokter, hanyalah sebatas mimpi belaka. Aku membencinya. Karena dia telah membuang nyawanya hanya demi anak lemah sepertiku. Karena meninggalkan papa mama yang sangat menyayangi dan bangga padanya.
Aku memandangi keadaan di sekitarku. Bukan sekolah. Bukan rumah sakit. Namun, terasa akrab. Aku kembali menelaah isi kamar itu. Mataku terasa panas. Ini kamar kakak. Tidak salah lagi. Kamar yang sudah satu setengah tahun tidak kukunjungi. Amarah kembali terpercik dalam diriku. Teriakan rasanya tidak sanggup mengeluarkan seluruh amarahku. Aku menendang segala benda yang berada di atas tempat tidur. Sampai mataku tertumbuk pada sehelai kertas putih, yang terlipat di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Aku menarik kertas itu perlahan. Tulisan di awal surat itu... Aku terkesiap melihatnya. Untuk seseorang... Tidak salah lagi, ini tulisan kakak. Aku ingin segera membuang kertas itu. Namun rupanya, rinduku mengalahkan segala amarahku akan kakak.
Hari ini, mendung datang di kehidupanku yang selalu cerah. Aku menyaksikan adik kecilku terbaring lemah dengan perban-perban yang menghiasi tubuhnya. Walaupun saat ini kondisiku jauh lebih buruk darinya, setidaknya mataku tidak berhiaskan perban seperti Deraku tersayang. Aku gagal. Aku telah gagal menyelamatkan Deraku tersayang. Aku telah merenggut cahaya dari matanya. Aku telah membuatnya kehilangan masa depannya. Perbuatanku yang terakhir, rupanya tidak cukup untuk melindunginya. Maka dari itu, aku berharap perbuatanku kali ini dapat membantunya. Aku berharap, Deraku akan menjadi pribadi yang kerap tersenyum. Aku harap, mendung akan segera pupus dari wajah cantiknya. Akan aku persembahkan kedua mataku. Aku mungkin telah tiada, tapi aku tetap hidup. Lewat mata yang akan menjadi milik Deraku tersayang.
Dera cantik, tetaplah hidup. Berjuanglah... Karena Dera adalah mentari bagi kakak, juga bagi semua orang...
Bahkan air mata tidak cukup untuk meringankan kesedihan hebat yang melandaku. Dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku memegang kedua mataku. Sampai saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah kakak yang tiada setelah mengucapkan kalimat terakhirnya padaku. Kakak yang dengan bodohnya menantang maut dengan melindungiku. Karena mama mengatakan bahwa mataku memang sedikit bermasalah, tapi akan segera sembuh, ucapnya saat aku terbangun dari koma dengan mata tertutup perban.
Wajahku berlinang air mata, rasanya aku tidak sanggup menahan tangisan ini. Aku berjalan menuju cermin. Menatap lekat kedua mata ini. Kupejamkan kedua mataku, dan wajah kakak muncul dalam kepalaku. Tersenyum seolah mengucapkan terimakasih. Senyuman yang begitu hangat. Yang memupuskan semua amarah. Menggantinya dengan kehangatan, dengan kekuatan, dengan tekad.
Tok tok.. Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Pintu kamar terbuka, menampakkan mama dan papa. Aku memandang mereka satu persatu. Teringat betapa aku terlalu sering mengacuhkan mereka semenjak kakak pergi. Betapa aku menumpahkan amarahku akan kakak kepada mereka. Namun, mereka selalu ada. Sadarlah aku, bahwa aku tidak sendiri. Aku berlari menuju mama dan papa. Memeluk keduanya, merasakan kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan.
Tepat saat bel berbunyi, aku sampai di dalam sekolah. Suasana begitu ramai. Hujan, selalu membuat banyak orang tepat waktu. Namun, kakak begitu menyukai hujan. Kakak menyukai aroma udara setelah hujan. Karena itu, aku benci. Aku benci hujan. Aku membenci apapun yang disukai kakak.
Aku melihat keadaan. Semua orang tampak basah, tapi tidak ada yang sepenuhnya basah seperti aku. Aku melihat pantulan diriku di pintu kaca sekolah. Menyedihkan. Seorang anak perempuan kurus dengan muka pucat pasi. Pakaiannya basah kuyup pula. Mulai dari ujung kepala, sampai ke ujung kaki. Tiba-tiba, rasa sakit menghantam kepalaku. Perlahan, pandanganku mulai mengabur. Titik-titik hitam menari-nari di pandanganku.
***
Segalanya tampak putih. Dimana ini? Aku segera bangun, tapi lagi-lagi rasa sakit seolah-olah mencengkram kepalaku, hingga aku terjatuh lagi. Aku meneliti keadaan. Bau obat, begitu kental di penciumanku. Perutku terasa teraduk-aduk. Bau ini, selalu mengingatkanku akan kakak. Amarah segera terbit di kepalaku. Tanpa menghiraukan rasa sakit, aku berlari keluar ruangan, dan jatuh tersungkur di lorong. Aku hanya samar-samar merasakan ada seseorang yang memapahku. Membantuku untuk duduk tegak.
Ternyata Ibu Widya. Dokter di UKS sekolah. Ibu Widya tidak menyuruhku untuk kembali ke dalam UKS. Beliau sepertinya menyadari aku yang alergi akan aroma rumah sakit. Beliau tidak berkata apa-apa. Hanya mengantarku menuju kamar mandi, dan membantuku mengganti seragamku yang sudah basah kuyup.
Aku beristirahat di ruang BK. Sepertinya Bu Widya sengaja meminta kepada guru BK agar ruangan itu kosong. Karena ruangan yang biasanya ramai itu, kini terasa lengang. Aku duduk berhadapan dengan Bu Widya. Aku bisa merasakan tatapannya yang tertuju padaku. Seperti berupaya mempelajari jiwaku. Sengaja aku berpura-pura sibuk memperhatikan langit di luar yang masih setia menumpahkan tangisnya.
Bu Widya tiba-tiba beranjak pergi menuju lemari yang memuat belasan foto. Beliau mengambil satu, dan meletakkannya di hadapanku. Aku hanya bisa terpaku. Menatap foto itu, amarah kembali terbit dalam dadaku. Bayang-bayang merah seolah mengaburkan penglihatanku. Tidak salah lagi, itu foto kakak. Sedang tertawa bahagia, mengenakan jas dokter milik Ibu Widya. Bertingkah seolah-olah dialah dokternya. Sementara di latar foto, tampaklah aku yang sedang berpura-pura berbaring di tempat tidur.
Prang! Aku melempar bingkai itu, tanpa berpikir apa-apa. Bingkai itu hancur berkeping-keping. Menyisakan kepingan kaca dan kayu, dengan foto yang tersobek. Ibu Widya hanya menghela napas. Kemudian membersihkan keributan kecil yang aku perbuat tanpa berkata apapun. Barulah aku sadar, Bu Widya hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan kakak.
Tetesan air mata kembali terbit di wajahku. Kilasan kenangan akan kakak seolah berebut memasuki pikiranku. Kilas balik itu seolah terasa nyata. Begitu nyata, sampai aku merasakan dekapan kakak di sekelilingku. Begitu nyata, seolah aku mendengar setiap omelannya apabila aku bertingkah ceroboh. Kupejamkan mataku. Namun, hal itu semakin memperparah keadaan. Kenangan itu terlalu nyata. Sakit. Sakit sekali. Amarah, benci, dan rindu yang semakin berkecamuk dalam kepalaku. Aku meremas kepalaku kuat-kuat. Aku sudah tidak tahan! Aku berlari keluar. Menembus hujan yang kian deras. Aku harus lari, terus berlari. Pergi dari kenangan yang terasa semakin nyata. Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Berharap kenangan itu pergi. Ya, kenangan itu pergi. Kalah oleh rasa sakit yang tidak terperi di kepalaku. Perlahan, membuai kesadaranku kian jauh.
***
Aku melihat kakak melambai kepadaku dari seberang jalan. Wajahnya seperti biasa, dipenuhi keceriaan yang berlebihan. Seolah-olah dunia ini tidak pernah kejam padanya. Seolah-olah seluruh kehidupannya telah sempurna. Kakak melambai lagi kepadaku. Seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, aku tidak mendengar apapun. Kemudian, raut wajah kakak berubah. Mengapa ekspresinya menjadi sedih? Seolah beban dunia berada di pundaknya. Dimana keceriaannya? Kebahagiannya? Sejenak aku melupakan amarahku. Aku ingin berada di sisinya. Ingin menghapus kesedihannya. Aku mulai melangkahkan kakiku menyebrangi jalan. Sebisa mungkin aku ingin berada di dekat kakak. Namun, raut wajah kakak berubah lagi. Kakak tersenyum. Kehangatan menjalar di tubuhku. Ah, betapa aku merindukan senyumnya. Penuh kehangatan. Namun, amarah itu kembali terpercik. Pandanganku kembali mengabur.
“Dera itu kuat, kan?” Sayup-sayup aku mendengar suara kakak. “Dera punya banyak teman, kan? Dera harus kuat. Karena kakak yakin, Dera menyimpan kehangatan mentari di dalam diri Dera...”
Ah, ucapan kakak barusan membuat mataku kembali basah. Aku tidak kuat. Aku tidak tegar. Aku lemah. Aku tidak sanggup menanggung kepedihan ini jika hanya seorang diri. Aku kembali menatap kakak. Kakak tersenyum lagi. Namun dengan senyuman yang berbeda. Senyuman penuh tekad. Senyuman yang seolah mampu mengalahkan dunia.
“Saat Dera sendiri, ketahuilah. Ada begitu banyak tangan yang mendorong Dera dari belakang. Ada begitu banyak senyuman yang diperuntukkan bagi Dera. Dera itu seperti mentari, memancarkan kehangatan...” Ujar kakak dengan wajah penuh tekad.
Aku terpaku. Ingatanku berlarian ke masa itu. Saat-saat terakhir kami berdua. Kenangan yang susah payah aku kubur di dalam palung terdalam ingatanku, menyeruak begitu saja ke permukaan. Kenangan itu... Reka ulang yang sangat jelas. Terpampang di depan mataku.
***
Kami adalah dua bersaudara yang hanya terpisahkan dua tahun. Saat itu aku kelas 10, sementara kakak kelas 12. Kami selalu bersama. Sejak kecil, hanya kakak seoranglah yang selalu menarik tanganku disaat aku terjatuh. Hanya kakak seoranglah yang selalu mendukungku, dan menyelamatkanku. Karena aku terlahir dengan fisik yang lemah, aku jarang sekali bermain dengan teman-temanku di luar. Hanya kakak, temanku satu-satunya.
Saat itu, hari cerah. Juga hari terakhir kakak di pekan ujian nasional. Sepulang sekolah, kakak mengajakku pergi. “Ayo kita menikmati hari yang cerah ini! Sayang kan jika hanya dihabiskan di dalam rumah,” ucap kakak sambil melemparkan senyum jahilnya kepadaku. Awalnya aku tidak mau. Suasana hatiku sedang kacau. Aku memikirkan kakak yang akan pergi meninggalkan rumah untuk kuliah sebentar lagi. Namun, seperti biasa. Kakakku itu pemaksa yang ulung. Akhirnya aku menganggukkan kepalaku.
Semuanya berjalan dengan cepat. Seolah ada seseorang yang menekan tombol fastforward. Terlalu klise. Kami mengalami kecelakaan. Seharusnya, akulah yang pergi. Seharusnya, akulah yang tidak akan pernah lulus dari SMA. Akulah yang tidak bisa membuka sabuk pengamanku sendiri. Namun, kakakku adalah orang terbodoh yang pernah aku kenal. Tidakkah dia tahu aku menyayanginya? Tidakkah dia tahu bahwa aku rela memberikannya apapun? Bahkan termasuk nyawaku sekalipun. Aku menyayanginya. Lebih dari apapun. Namun kakakku yang bodoh itu mengorbankan dirinya. Menyelamatkanku di saat terakhir. Melindungi aku dari ledakan mobil dengan tubuhnya sendiri. Walaupun kakak bisa saja pergi meninggalkan aku yang terjebak dengan sabuk pengamanku sendiri. Aku masih ingat dengan jelas. Ucapan terakhir kakak. “Tetaplah hidup, Dera sayang...” Aku menyaksikan bagaimana cahaya di mata kakak yang mulai meredup. Senyuman terakhirnya, yang menyiratkan kemenangan karena merasa telah menyelamatkanku.
Sampai akhirnya kesadaranku pun habis. Hal terakhir yang aku ingat hanyalah rasa panas. Yang menjalar di dalam tubuhku. Begitu panas.
***
Kubuka mataku. Lagi-lagi putih, tapi kali ini aku tidak mencium aroma rumah sakit. Karena rumah sakit, hanya mengingatkanku akan kakak. Mimpinya untuk menjadi dokter, hanyalah sebatas mimpi belaka. Aku membencinya. Karena dia telah membuang nyawanya hanya demi anak lemah sepertiku. Karena meninggalkan papa mama yang sangat menyayangi dan bangga padanya.
Aku memandangi keadaan di sekitarku. Bukan sekolah. Bukan rumah sakit. Namun, terasa akrab. Aku kembali menelaah isi kamar itu. Mataku terasa panas. Ini kamar kakak. Tidak salah lagi. Kamar yang sudah satu setengah tahun tidak kukunjungi. Amarah kembali terpercik dalam diriku. Teriakan rasanya tidak sanggup mengeluarkan seluruh amarahku. Aku menendang segala benda yang berada di atas tempat tidur. Sampai mataku tertumbuk pada sehelai kertas putih, yang terlipat di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Aku menarik kertas itu perlahan. Tulisan di awal surat itu... Aku terkesiap melihatnya. Untuk seseorang... Tidak salah lagi, ini tulisan kakak. Aku ingin segera membuang kertas itu. Namun rupanya, rinduku mengalahkan segala amarahku akan kakak.
Hari ini, mendung datang di kehidupanku yang selalu cerah. Aku menyaksikan adik kecilku terbaring lemah dengan perban-perban yang menghiasi tubuhnya. Walaupun saat ini kondisiku jauh lebih buruk darinya, setidaknya mataku tidak berhiaskan perban seperti Deraku tersayang. Aku gagal. Aku telah gagal menyelamatkan Deraku tersayang. Aku telah merenggut cahaya dari matanya. Aku telah membuatnya kehilangan masa depannya. Perbuatanku yang terakhir, rupanya tidak cukup untuk melindunginya. Maka dari itu, aku berharap perbuatanku kali ini dapat membantunya. Aku berharap, Deraku akan menjadi pribadi yang kerap tersenyum. Aku harap, mendung akan segera pupus dari wajah cantiknya. Akan aku persembahkan kedua mataku. Aku mungkin telah tiada, tapi aku tetap hidup. Lewat mata yang akan menjadi milik Deraku tersayang.
Dera cantik, tetaplah hidup. Berjuanglah... Karena Dera adalah mentari bagi kakak, juga bagi semua orang...
Bahkan air mata tidak cukup untuk meringankan kesedihan hebat yang melandaku. Dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku memegang kedua mataku. Sampai saat ini, aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah kakak yang tiada setelah mengucapkan kalimat terakhirnya padaku. Kakak yang dengan bodohnya menantang maut dengan melindungiku. Karena mama mengatakan bahwa mataku memang sedikit bermasalah, tapi akan segera sembuh, ucapnya saat aku terbangun dari koma dengan mata tertutup perban.
Wajahku berlinang air mata, rasanya aku tidak sanggup menahan tangisan ini. Aku berjalan menuju cermin. Menatap lekat kedua mata ini. Kupejamkan kedua mataku, dan wajah kakak muncul dalam kepalaku. Tersenyum seolah mengucapkan terimakasih. Senyuman yang begitu hangat. Yang memupuskan semua amarah. Menggantinya dengan kehangatan, dengan kekuatan, dengan tekad.
Tok tok.. Ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Pintu kamar terbuka, menampakkan mama dan papa. Aku memandang mereka satu persatu. Teringat betapa aku terlalu sering mengacuhkan mereka semenjak kakak pergi. Betapa aku menumpahkan amarahku akan kakak kepada mereka. Namun, mereka selalu ada. Sadarlah aku, bahwa aku tidak sendiri. Aku berlari menuju mama dan papa. Memeluk keduanya, merasakan kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan.
PROFIL PENULIS
Syaffa Taqiyyah (lahir di Jakarta pada tanggal 29 Agustus tahun 1995) adalah seorang penulis muda yang menjadi pelajar di SMA Negeri 1 Tangerang.