Semangat Baru - Cerpen Ibu Ayah

SEMANGAT BARU
Karya Dyah Lucky Febyantina

“Ibu…” itu kata yang pertama kali terucap saat aku bangun. Aku mamandang sekelilingku. Aku tidak mengenali ruangan ini. Infuse? Tanganku di infus. Kenapa denganku?
”Akbar? Kamu sudah sadar nak? Alhamdulillah.” Pertanyaan ibuku membuatku semakin bingung.
“Akbar dimana Bu? Kenapa tangan Akbar di infus?” tanyaku dengan heran.
“Kamu dirumah sakit. Tadi malam.. kamu kecelakaan.” Terang ibuku.
“Kecelakaan?” tanyaku semakin heran. Seketika itu juga, pikiranku melayang. Mengingat-ingat apa yang tadi malam kulakukan.

Selesai shalat maghrib, Ibu memanggilku untuk makan malam bersama. Kami hanya tinggal berdua. Ayah dan Ibu bercerai dua tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sedangkan aku anak satu-satunya. Aku menyesali perceraian ayah dan ibu. Aku sangat terkejut ketika ayah dan ibu memberitahuku bahwa mereka akan bercerai. Aku tidak pernah melihat ayah dan ibu bertengkar. Di depanku, mereka biasa saja, seperti tidak ada masalah. Mereka tidak pernah memberitahuku. Dan aku terlahir menjadi anak yang cuek. Aku pernah bertanya kepada ibu, mengapa mereka bercerai.
“Ayah dan Ibu sering berbeda pendapat. Sulit untuk bersatu. Kamu memang nggak pernah lihat ayah sama ibu bertengkar, karena ayah sama ibu nggak mau bertengkar didepan kamu. Tapi dibeakang, ayah sama ibu sangat sering bertengkar. Bahkan terkadang hanya karena hal kecil.” Itu kata ibu.

“Bu, nanti Akbar boleh keluar?” aku membuka percakapan di meja makan.
“Mau kemana?”
“Ada reunin sama temen-temen SMP.” Jawabku singkat.
“Kenapa harus malam-malam sih. Siang kan bisa.”
“Mana bisa Bu. Banyak yang pulangnya sore.”
“Kalau nggak ibu kasih ijin?”
“Yahh.. bu… masak nggak boleh. Akbar Cuma ingin ketemu sama temen SMP, kan udah lama nggak ketemu.”
“Tapi kan udah malam Bar. Nanti kalau kamu kenapa-napa gimana?” ibu menjawab dengan nada sedikit tinggi.
“Ibu terlalu khawatir sama Akbar. Akbar udah besar bu. Bisa jaga diri kok. Akbar tau mana yang baik dan mana yang buruk.”
Ibu tidak menjawab. Sibuk memasukkan nasi ke piringku.
“Bu, boleh ya.”
“Nggak lewat dari jam Sembilan malam.” Jawab ibu tanpa memandang wajahku.
Aku tersenyum mendengar jawaban ibu. Meskipun sedikit kecewa karena hanya diberi waktu sebentar. Ahh.. biarlah. Dari pada tidak diberi ijin sama sekali. “Makasih Bu.”

Selesai makan dan shalat isya, aku langsung berangkat. Dengan motor kesayanganku yang dibelikan ayah karena aku berhasil lulus dengan nilai yang sangat baik dan diterima di sekolah terbaik yang ada dikotaku.
“Akbar berangkat ya Bu.” Pamitku.
“Hati-hati ya nak. Pulangnya jangan lewat dari jam Sembilan.” Jawab ibu dengan suara yang khawatir. Aku sangat paham, jika ibu khawatir akan sesuatu, pasti suara ibu sedikit bergetar jika berbicara.
“Iya bu. Ibu nggak usah khawatir, Akbar bisa jaga diri baik-baik kok.”

Sampai di tempat janjian, aku langsung bergabung bersama teman-temanku yang rata-rata sudah datang. Hanya canda tawa yang mengisi pertemuan kami, mengingat masa-masa SMP dulu. Hingga aku lupa waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 20.55, lima menit lagi jam Sembilan. Pasti aku akan membuat ibu mengkhawatirkanku. Saat itu juga aku buru-buru pamit pulang dengan teman-temanku. Aku melaju dengan kencang, sampai akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan terpelesat saat akan belok ditikungan yang tajam. Setelah itu, aku tidak mengingat apa-apa lagi. Dan sekarang aku sudah terbaring tak berdaya dirumah sakit ini. Seluruh tubuhku rasanya sakit sekali, apalagi ketika aku bergerak.
“Pasti tadi malam kamu ngebut-ngebut kan?” ibu membuyarkan lamunanku. Sepeti biasa suaranya bergetar.
“Maaf bu, Akbar lupa waktu. Akabr buru-buru karena udah hampir jam Sembilan. Akbar takut ibu marah karena Akbar pulang telat.” Aku menjelaskan dengan perasaan bersalah.
“Tapi kan nggak harus ngebut-ngebut. Kalaupun kamu terlambat pulang, kamu bisa jelaskan sama ibu baik-baik.” Ibu membelai rambutku.
Ahh.. ibuku memang baik. Sangat baik. Juga hebat. Sangat hebat. Disaat seperti ini, ibu berusaha untuk tidak memperlihatkan kekhawatirannya, meskipun tidak berhasil. Dia selalu berbicara dengan tersenyum. Membuat perasaan bersalahku sedikit berkurang.

Aku dirawat dirumah sakit selama dua minggu lebih. Akibatnya, aku ketinggalan begitu banyak pelajaran. Aku juga harus mengikuti banyak ulangan susulan. Hampir seluruh mata pelajaran. Karena saat aku dirawat dirumah sakit, saat itu pula guru-guru banyak yang mengadakan ulangan harian. Aku sangat stress, belum lagi tugas-tugas yang belum ku kumpulkan. Disaat seperti ini, aku kembali menyesali kecelakaan itu. Seandainya saja waktu itu aku menuruti kata ibu untuk tidak pergi, pasti sekarang tidak seperti ini.
“Kok malah ngelamun? Bukannya dikerjain tugasnya.” Ibu masuk ke kamarku mambawa sepiring nutrijel coklat kesukaanku.
“Bosan Bu. Tiap hari ulangan, tugas, ulangan, tugas.” Keluhku.
“Itu kan resiko kamu. Kalau kemarin kamu nggak sakit, pasti nggak seperti ini kan?”
Perkataan ibu semakin membuatku menyesali kecelakaan itu. Aku semakin merasa berdosa kepada ibu.

Aku semakin frustasi. Akibat terlalu banyaknya ulangan dan tugas yang menumpuk, belajarku justru tidak maksimal. Nilai ulangan susulanku jatuh. Setiap malam aku selalu tidur diatas jam 11. Mengerjakan tugas yang tak pernah berhenti, tapi sebelum selesai mengerjakan tugas dan hanya sempat satu kali membaca untuk persiapan ulangan, mataku sudah lelah. Tidak hanya mata, tubuhku juga. Bahkan muak karena setiap hari belajar, belajar dan belajar.
Sayup-sayup aku mendengar suara azan. Sudah subuh. Ibu masuk kekamarku. Membangunkanku dangan lembut.
“Akbar, bangun. Shalat subuh.” Ibu membelai pelan kepalaku.

Aku menggeliat pelan. Bangun. Mengikuti ibu mengambil air wudhu. Kami shalat berjamaah. Aku yang menjadi imam. Selesai memimpin do’a, aku mencium tangan ibu.
“Bu, Akbar nggak sekolah ya.” Kataku saat mencium tangan ibu.
“Kenapa?” tanya ibu sambil mengernyitkan dahinya.
“Pusing.” Jawabku singkat.
“Pusing? Karena banyak tugas?” tanya ibu lagi. Ahh,,, ibu. selalu saja tahu.
Aku tidak menjawab. Aku langsung ke kamar lagi. Tidur lagi. Keputusanku bulat, hari ini aku tidak akan sekolah.

Sayup-sayup aku mendengar pintu kamar terbuka.”Akbar, kamu tidur lagi?” ibu menarik selimut yang menutupi seluruh tubuhku.
“Bu, Akbar pusing.” Kataku sambil mencoba untuk membuka mata.
“Kamu beneran nggak mau sekolah?” tanya ibu memastikan. Aku hanya menggeleng.
“Masalah itu ada, untuk dihadapi. Bukan untuk dihindari. Kamu boleh menyesali semua yang terjadi, tapi apa hanya dengan menyesali lalu semua akan kembali seperti semula? Nggak kan?”
“Akbar?”
“Bu, sehariiii…. Aja. Akbar janji, besok Akbar pasti sekolah. Boleh ya Bu?” bujukku pada ibu agar ibu memberiku ijin untuk tidak sekolah. Ibu diam, tidak menjawab. Dan beberapa menit kemudian pergi meninggalkanku yang masih menunggu jawabannya.

Tapi…
“Tadi Ibu udah telpon wali kelas kamu.”
Ahh.. ibu. selalu saja melakukan apa yang tidak ku duga.
“Makasih Bu…. Akbar sayaaang ibu…”

Sejak subuh tadi aku hanya dikamar. Aku baru keluar ketika sarapan pagi bersama ibu tadi. Hari ini ibu tidak berangkat kerja. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin libur, atau.. ah.. entahlah. Seperti biasa, aku tidak akan bertanya kenapa ibu tidak berangkat kerja.
Terdengar suara mobil masuk ke pekarangan rumahku. Aku mengintip dari jendela. Mataku membulat. Aku tahu siapa itu, aku kenal, sangat kenal siapa pemilik mobil itu. Ayah datang.
Ku dengar ibu membuka pintu. Apakah karena ayah akan datang, ibu tidak berangkat kerja? Apapun itu alasannya, saat ini aku sangat bahagia. Ayah datang. Itu artinya, aku bisa bercerita banyak hal kepada ayah. Meskipun mungkin hanya untuk hari ini.
Aku langsung keluar kamar. Ku lihat ayah sudah duduk manis di kursi ruang tamu. Aku langsung menyalami tangan ayah dan duduk di samping ayah.
“Loh, Akbar nggak sekolah?” tanya ayah dengan nada heran.

Aku hanya nyengir.
Menggeleng.
“Kenapa? Sakit?” tanya ayah lagi.
Aku hanya tersenyum kecil. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Ibu keluar dari dalam, membawa tiga gelas teh hangat, sepiring nutrijel dan sepiring pisang goreng yang juga masih hangat.
“Ayah kok jarang kesini?”

Ayah tidak menjawab. Hanya tersenyum kecil sambil mengacak rambutku.
“Waktu Akbar sakit, ayah kenapa nggak jenguk Akbar?”
“Siapa bilang? Ayah jenguk kamu kok. Tapi waktu kamu lagi tidur. Pasti ibu nggak bilang.”
Aku menggeleng. Ibu yang baru duduk hanya tersenyum melihatku yang kecewa tidak diberitahu ayah datang.
Suasana hening. Tidak ada yang bersuara. Aku melihat ibu dan ayah. Sepertinya mereka sama-sama berpikir untuk mengatakan sesuatu, tetapi bingung harus memulai dari mana.
“Akbar?” ayah memutus keheningan di ruang ini.

Aku hanya melirik ayah.
“Kamu bisa mulai beres-beres barang kamu sekarang.”
Aku melipat dahi. Entah jadi berapa lipat, aku tidak tahu. Aku tidak mengerti, tidak peham dengan penuturan ayah barusan. Aku menatap wajah ayah, meminta penjelasan.
“Kita akan pindah rumah.” Lanjut ayah.
“Kita?” tanyaku semakin tidak mengerti.
“Ya, kita. Kamu, ayah dan ibu. kita akan tinggal satu rumah lagi.”
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutku terkunci rapat. Hanya senyum yang mengembang lebar. Aku menyeringai senang. Bahagia.

Minggu pagi…
Alarm Hp-ku memekik kencang. Berteriak membangunkanku. Ketika aku membuka mata, kamarku begitu terang. Tertimpa cahaya mentari pagi yang masuk lewat jendela kamarku yang sudah terbuka lebar. Pasti ibu yang membukakannya. Aku bangkit dari tempat tidur. Gosok gigi dan cuci muka. Mandi? Itu urusan setelah sarapan nanti.
Kuliahat ayah sudah duduk di depan meja makan sambil membaca Koran saat aku keluar dari kamar.
“Pagi Yah..”
“Pagi Akbar. Baru bangun tuan raja?” ayah menggodaku.
Aku hanya nyengir. Aku duduk tepat dihadapan ayah. Ibu duduk di samping ayah. Di meja makan sudah tersedia nasi goreng special buatan ibu.
Hari ini aku sungguh bahagia. Keluargaku kembali utuh. Kehidupanku bersama ayah ibu kembali seperti sedia kala. Masalahku disekolah? Aku akan mengatasinya. Karena sekarang, aku punya semangat baru.

PROFIL PENULIS
Nama : Dyah Lucky Febyantina
TTL : Sungai Kuning, 11 Februari 1996
Alamat : Ds. Sungai Kuning, Kec. SIngingi, Kab. Kuantan Singingi, Riau


Share & Like