Cerpen Sedih - Izinkan Aku Berharap

IZINKAN AKU BERHARAP
Karya Ofi

Matahari di sore ini tunjukkan kebahagiannya, tanpa terasa sudah mengalahkan bahagia seorang wanita cantik yang tinggal di sudut kota itu. Raysa seorang siswa SMA yang pintar, dan selalu dekat dengan agama. Raysa selalu menutup diri pada teman-teman di sekolahnya. Dia jarang bercerita tentang diri dan keluarganya. Sore ini Raysa duduk di beranda depan rumahnya, sambil menatap langit dengan senyuman yang selalu menghiasinya.
"Raysa, kok kamu kelihatan bahagia hari ini?" Sebuah suara menyapanya dari arah belakang. Raysa tampak sedikit terkejut mendengar suara itu, tapi dengan segera dia tersenyum dan melihat ke sumber suara.
"nggak kok bu, seperti biasa aja hari ini." Raysa tersenyum kembali setelah menatap wajah ibunya. Raysa kembali menatap langit yang indah sambil memuji Sang Pencipta. Di jalan depan perumahan anggrek II ini Raysa tinggal bersama seorang ibu yang terkenal dengan tabah dan kuat menghadapi segala masalah dalam hidupnya.

Beberapa tahun terakhir ini Raysa hidup teramat susah karena seorang ayah yang benar-benar ia sayangi menghilang entah kemana. Sejak 5 tahun terakhir ini, sang ayah tidak memberi kabar. Tidak ada secarik surat darinya, tidak ada telvon darinya. Hanya kenangan yang menyatakan ia mengalir dalam darah Raysa. Raysa sebagai anak paling tua, harus menangani semuanya sendiri.
Raysa memiliki adik laki-laki ini yang masih berumur 6 tahun. Setiap hari Rian, adik Raysa yang polos itu menanyakan ayahnya. "kakak, ibu, kenapa ayah lama pulang kerjanya? Ayah nggak rindu ian ya? Ayah jahat ya kak!" Raysa mengingat kata-kata adiknya. Sebenarnya ia ingin menangis, namun sekuat tenaga ia menahan tangisnya. Tidak ingin merusak hari yang begitu indah ini. Raysa menenangkan hatinya kembali dan mengingat hari-hari nya yang indah bersama sahabatnya, seolah dunia begitu indah.

Tanpa terasa hari sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB, saatnya bagi Raysa masuk ke rumah dan bersiap-siap solat magrib. Tidak lama kemudian adzan terdengar nyaring di telinga Raysa. Segera Raysa melaksanakan sholat dan berharap ia bisa khusyuk untuk solat kali ini. Namun yang ia harapkan tidak ia dapatkan, Raysa kembali teringat pada ayahnya. Sekuat tenaga Raysa hilangkan pikiran itu dan melanjutkan solatnya. Selesainya solat Raysa berdo'a sambil menangis. Raysa tidak lagi sanggup menghadapi semuanya sendiri. Raysa tidak lagi kuat melihat ibunya yang sedang dalam keadaan sulit di tinggal oleh ayahnya.
"ayah kemana Ya Allah?" Raysa menangis dan terus menangis. Ia tidak punya harapan lagi, Raysa seolah putus asa dan tidak tau harus bagaimana merawat ibunya lagi. Raysa terdiam dan seketika air matanya mereda, isaknya mulai tidak terdengar lagi. Dan kini dia benar-benar sudah berhenti menangis, menyesali semuanya, kini dia sadar tidak ada gunanya menangis karena hanya menambah kesedihannya.
Raysa menjangkau al-qur’an yang terletak di atas meja belajarnya, membacanya perlahan hingga waktu isya tiba. Hatinya kembali tenang setelah membaca ayat-ayat suci tersebut. Tanpa terasa waktu telah berlalu dan kini saatnya untuk solat isya. Adzan kembali terdengar dengan nyaring, memenuhi sela-sela kamar yang kosong dan hati yang mulai gundah. Raysa solat dengan tenang, tidak lupanya ia berdo’a kepada yang Maha Mengetahui dimana ayahnya berada.
Seperti biasanya Raysa melihat daftar pelajarannya, dan memasukkan buku yang ia butuhkan ke dalam tasnya. Hati raysa bergumam, “tasku benar-benar tampak lusah dan tua, tapi itu tidak penting selagi aku bisa menyandangnya di punggungku” sambil tersenyum bahagia dan penuh semangat ia menyelesaikan kebiasaan yang baik itu. Raysa melihat buku tugasnya dan masih ada pr yang akan ia kerjakan, tanpa berpikir panjang Raysa segera menyelesaikan PR tersebut.
Mata Raysa tampak lelah, dengan tergesa-gesa ia mengerjakan PR tersebut. Raysa memang seorang anak yang rajin, tidak di sesali jika ia mendapatkan peringkat tertinggi di sekolahnya. Raysa juga mendapatkan beasiswa di SMA yang termasuk sekolah bagus diantara sekolah lainnya. Teman-teman Raysa juga sangat menyayangi Raysa, tutur katanya selalu bermanfaat, Raysa memang tidak cerewet tetapi Raysa bukan pendiam.

Dengan langkah gontai Raysa keluar kamar, melihat pintu dan jendela jika masih ada yang belum terkunci. Raysa melirik kamar ibunya dan berniat untuk melihatnya. Namun dia tidak melakukannya karena ia tidak ingin membangunkan ibu nya. Raysa terdiam sambil menatap pintu kamar ibunya. Hati Raysa bergumam kembali "pasti ibu kesepian di kamar, maafin ayah bu". Raysa hendak melangkahkan kaki ke kamarnya, tiba-tiba saja ibunya membuka pintu kamar dan melihat Raysa berada di depan kamarnya.
" kok kamu belum tidur juga? Kamu nggak ngantuk ya? " suara lembut ibunya terdengar dari depan pintu kamarnya.
" Raysa baru selesai bikin PR, bu. "
" PR nya udah selesai ? kalau belum besok pagi aja lanjutin, ntar kamu susah bangun lagi. " ibunya mengingatkan mengingatkan Raysa.
" udah selesai kok bu, Raysa tadi mau meriksa pintu yang belum terkunci. " Raysa menjawab dengan sopan, tidak lupa ia mencium kedua pipi ibunya menandakan bahwa ia sangat mencintai ibunya.
Raysa masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di dipan kecil miliknya, kasur kenangan dari ayahnya yang kini ia tidak tau kemana ayahnya. Kenapa tidak ada kabar darinya. Raysa mencari dan terus mencari informasi mengenai ayahnya, namun tidak ada hasilnya. Tidak ada yang mengetahui dimana ayahnya. Raysa melirik hp yang terletak di dekat kepalanya. Namun ia tidak menyentuhnya, ia berpikir mana mungkin ada yang menghubungi seorang yang seperti dirinya. Raysa berpikir dia cuma di kasihani, bukan disayangi.
Malam semakin larut, Raysa semakin lelah dan ia memejamkan matanya. Seperti hari-hari sebelumnya, dia menyelipkan beberapa kata di dalam buku diary, melukiskan perasaan sendu dan resah di hatinya, menuliskan permintaan untuk Tuhan yang berada di Arasy-Nya.
“Ya Allah, beriakan petunjuk pada hamba mu yang lemah ini, dimana ayahku Ya Allah?” kata-kata yang tertulis berulang kali di setiap lembar buku hariannya. Raysa menutup diarynya dan memejamkan mata, lelah dalam perjalanan hidupnya. Raysa lelah bukan karena fisiknya, tetapi ia lelah karena hati yang selalu membelenggunya.
Saat ini hanya ada suara jangkrik dan katak yang terdengar. Raysa dan Rian sudah masuk ke alam mimpinya, juga ibu Rian yang sudah lelah. Lolongan anjing terdengar dimana-mana, manusia-manusia yang lelah sudah terlelap. Para tikus-tikus mulai dengan aksinya, bersembunyi dan berhati-hati untuk mencuri makanan. Terlihat wajah mengharukan dari kedua adik kakak tersebut. Tampak sebaris luka yang tak bisa kita mengerti.
...............

“Haciiimm ...” bersin Raysa sudah terdengar. Seperti biasanya, Raysa bangun dan selalu bersin-bersin. Di setiap mesjid-mesjid di kota ini, mulai mengumandangkan azan yang sangat merdu. Membangunkan seluruh kota dari alam mimpi mereka masing-masing. Mendengar suara azan, Raysa tidak melanjutkan tidurnya, melainkan membangunkan adiknya untuk shalat
“raysa sudah bangun?” suara ibu terdengar dari balik pintu kamarnya.
“sudah bu.” Raysa menjawab walaupun belum sepenuhnya dia sadar. Raysa merebahkan diri. Belum sempat ia tertidur, suara iqamat terdengar membangunkan setiap sudut-sudut kota. Kini Raysa bangun dan meloncat dari kasur empuknya, melipat selimut hangatnya, dan merapikan seprai yang kusut seperti piyamanya.
Dengan mata yang masih terpejam, Raysa berjalan ke arah kamar mandi dan hampir menabrak dinding kamar mandi. Rian tersenyum geli melihat kakaknya yang linglung. Rian berencana mengganggu kakaknya. Bergegas ia menyelip masuk ke kamar mandi, dengan perasaan menang Rian tertawa dalam hati. Raysa kesal sambil menunggu adik nakalnya.
“rian... cepat dikit... kok kamu usil banget sih??” raysa marah-marah di depan pintu kamar mandi. Tidak lama setelah itu, Rian keluar sambil memercikkan air ke muka kakaknya. Rian tertawa dan langsung kabur ke kamarnya. Raysa berjalan masuk ke kamar mandi masih dengan rasa kesal.
Seperti biasanya raysa dan rian mengaji dan tidak lupa menghafal satu ayat. Hal-hal kecil ini dilakukannya saat ayah mereka hilang. Walaupun ada beberapa gosip di masyarakat bahwa ayah mereka sudah menikah dengan wanita lain. Wanita yang kaya raya, yang memiliki perusahaan besar. Raysa tidak percaya gosip murahan seperti itu. Jelas saja ia tidak percaya, ia begitu mencintai ayahnya. Walaupun ayahnya sering pulang malam dan tidak terbuka pada ibunya.

Raysa menutup al-Qur’an nya dan bersiap-siap untuk mandi. Tidak lupa ia membersihkan kamarnya.
“rian... kamu atau kakak yang mandi duluan?”
“ian aja yang duluan mandinya kakak, ntar kakak dingin lho..” rian tertawa memamerkan sederet giginya yang masih putih.
“jangan lama-lama ya!” Raysa mengingatkan Rian.
Raysa selesai dengan pekerjaannya, ia berdiri di depan jendela menghirup udara segar sambil menikmati indahnya pagi ini. Matahari belum muncul di pagi ini, masih terlalu dingin. Raysa melihat embun segar membasahi mukanya. Sejuknya pagi ini, membuatnya sangat bersemangat.
“raysa, nanti kalau ibu telat pulang kerja, kamu masak aja sambal buat makan malam ya!” raysa membalikkan badannya. Sedikit rasa heran membebani otaknya.
“iya bu, tapi kenapa ibu telat pulangnya?” raysa mengangkat alis matanya.
“ibu ada pekerjaan tambahan, nak!” ibunya berkata sambil berlalu pergi meninggalkan Raysa yang masih kebingungan. Raysa terduduk di kasurnya, berbagai macam pikiran terlintas di benaknya. Begitu kacau dan tak menentu. Raysa begitu mengkhawatirkan ibunya. Dalam hati raysa dia berkata “ibu, jangan ibu pergi seperti ayah, raysa butuh ibu...”.
“kakak...” suara Rian memecah kesunyian di pagi hari ini. Tanpa menjawab sapaan Rian bergegas Raysa mengambil handuk bajunya dan pergi. Rian heran melihat Raysa bertingkah aneh. Dengan gaya sok dewasa, Rian menggelengkan kepalanya. Adik yang begitu lucu.

Ibu menyiapkan sarapan untuk Raysa dan Rian. Tampak wajah letih ibunya, lebih tepatnya wajah kesedihan. Walaupun tidak ia tunjukkan kepada Raysa dan Rian, setidaknya di gambarkan pada sikapnya yang selalu diam. Pagi ini ibunya memasak nasi goreng. Makanan kesukaan Rian.
“kakak, cepat dikit.. ntar telat!” Rian yang usil itu berbicara di depan pintu kamar mandi. Raysa yang dari tadi bermenung di dalam kamar mandi segera membasahi badannya. Tanpa buang-buang waktu, Raysa menyelesaikan mandinya. Dingin air di pagi ini sempat membuatnya kaget. Namun ia jadi semangat dan penuh semangat. Tidak ada yang perlu di takutkannya lagi.

Raysa selesai dengan cepat, bergegas ia memasuki kamar. Jam menunjukkan pukul 06.50. Raysa selesai memakai baju, ia duduk di atas kasurnya. Raysa bingung dengan perkataan ibunya tadi. Ia tidak rela jika ibunya harus terlambat pulang kerja. Raysa berpikir bagaimana ia bisa bekerja.
“tidak ada waktu pagi ini Ryasa.” Ibunya memandang dari luar kamarnya.
“ehh... ehh... iya bu.” Raysa segera keluar untuk sarapan. Tidak butuh waktu lama bagi Raysa untuk menyelesaikan sarapan paginya. Raysa memasang sepatunya dan berpamitan. Raysa berlari-lari ke jalan raya dan menunggu angkutan kota. Belum beberapa saat dia menunggu, angkot dengan plat kuning itu berjalan ke arahnya. Dengan segera ia menghulurkan tangannya menyuruh angkot untuk berhenti. Raysa bersiap-siap menaiki angkot, tapi angkot itu malah pergi.
Raysa menyesal pergi pada jam segini, biasanya pada jam 07.00 ini angkot selalu penuh dan sangat sedikit lewat di depan rumahnya. Raysa menunggu dengan sangat lama, ia melihat jam tangannya sudah menunjukkan arah jarum jam ke angka 07.10 WIB. Raysa putus asa, beberapa saat kemudian ia melihat di kejauhan mobil biru tua dengan plat kuning.
“sepertinya itu mobil angkot.” Raysa berbicara sendiri.
Tanpa sadar ada yang memperhatikannya dari kejauhan. Raysa merasa ada sesuatu yang tidak beres. Lalu ia melihat ke sekelilingnya. Raysa beradu pandangan dengan seorang pria tua yang sangat miskin. Wajah pria itu kusut, masam, dan tidak ramah. Bajunya pun kumal dan tidak teratur. Raysa seperti mengenali orang itu, namun angkot biru itu sudah berada di depannya. Terpaksa ia masuk agar ia tidak terlalu terlambat. Raysa mengingat wajah orang tua tadi, namun ia tetap tidak bisa mengenalinya.

Raysa begitu takut kalau sampai ia terlambat. Rasanya ia ingin membawa mobil itu sekencang-kencangnya.
“namun apa dayaku” sahut Raysa pilu. Begitu mendengar seseorang bicara, sopir tersebut segera menoleh ke belakang. Belum sempat ia berbicara, Raysa segera berbicara pada bapak tua itu.
“bapak, bisa cepat sedikit? Saya sudah telat pak.” Raysa berkata dengan nada memohon.
“oh... iya nak”
Raysa lega ternyata bapak itu baik. Raysa berpikir supir berkumis tebal itu akan memarahinya. Walaupun tampangnya mengerikan, tetapi hatinya tulus dan baik. Raysa mempelajari satu hal di balik kejadian ini. Ia sadar hanya melihat penampilan di luar seseorang itu tidak penting, jika kita tidak tahu hati di balik penampilan itu.
Tidak lama lagi Raysa akan bertemu dengan sekolah yang besar dan megah. sekolah Raysa yang sangat ternama itu. Tepat di jalan masuk ke sekolahnya, Raysa turun dari angkot.
“terima kasih, pak” raysa tersenyum sambil menyodorkan selembar uang 2000 rupiah kepada supir angkot itu. Dengan di balas senyuman oleh bapak tua itu. Angkot itu meluncur bersamaan langkah kaki Raysa yang berlari-lari ke gerbang sekolahnya.

Dengan napas yang masih sesak, Raysa tiba di depan satpam dan teman-teman lain yang terlambat. Satpam itu berdiri di depan gerbang dan membuka pintu gerbang. Satpam menatap sangar pada semua murid yang terlambat. Satu persatu murid itu ditanya atas alasan apa ia terlambat. Raysa dan temannya seperti tersangka yang sedang di interogasi.
suara berat dan menakutkan terdengar di telinga Raysa. Ia takut dan penuh sesal. Menyesal saat ia sadari kelalaiannya pagi tadi, dalam hati dia terus saja mengatakan dia salah.
“hei... kenapa terlambat Raysa?” satpam berdiri di depan Raysa. Dalam hati Raysa mengaku dia salah, tapi dia tidak setuju dengan wajah galak satpam itu. Mau tidak mau Raysa harus menjawab pertanyaan itu.
“tadi pagi saya ketinggalan angkot, pak!” Raysa menjawab dengan gugup.
“masuk! Bersihkan semua taman yang ada di belakang sekolah!” suara satpam yangg mengerikan itu terdengar sangat keras. Ia menunjuk taman belakang dan membagi tugas. Raysa berpikir pasti hari ini melelahkan.

Raysa sangat kesal dan benci, bagaimanapun ia harus menyelesikan taman belakang itu. Ia sedih jika harus ketinggalan pelajarannya. Raysa dan teman-teman lainnya bekerja keras agar taman itu cepat selesai. Raysa ingin segera masuk kelas, dia ingin menceritakan orang yang di jumpainya tadi pagi. Raysa mencuri pandang saat dia bekerja. Melihat kedua sahabatnya sedang serius memperhatikan guru di depannya.
Jam 09.10 Raysa diperbolehkan masuk ke kelasnya. Raysa berharap guru biologinya tidak marah. Raysa tau guru biologinya tidak pemarah, ia pemaaf dan baik hati. Raysa berjalan ke arah kelasnya dan mengetuk pintu kelas kemudian mengucapkan salam.
“masuk...” terdengar suara bu siti dari dalam kelas. Segera Raysa membuka pintu dan meminta izin masuk. Guru itu memperbolehkan Raysa masuk dan menyuruhnya duduk. Hati Raysa begitu senang saat diperbolehkan masuk kelas. Terdengar kembali suara bu Siti di depan. Untuk pelajaran plantae kita sudah selesai. Minggu depan kita akan masuk Sub Bab yang baru, yaitu tentang ekosistem. Raysa kecewa karena ia harus ketinggalan pelajaran biologi itu. Raysa yang paling hobi pelajaran biologi itu cemberut, dan meminjam catatan Rahmi yang lumayan rapi.

Seperti biasanya bu siti memberikan latihan sesudah pelajaran hari ini berakhir. Raysa seorang cewek yang jenius itu mengerjakan soal dengan mudah, karena ia sudah membaca catatan Rahmi tadi. Rahmi dan Tiwi heran di buatnya, mungkin di hati mereka terbesit rasa iri.
“teet... teet... teet...” suara bel meriuhkan suasana kelas, latihan yang mereka kerjakan belum selesai. Cuma ada beberapa murid yang selesai, termasuk Raysa. Raysa mengumpulkan tugas itu.
“yang belum selesai, jadikan PR. Assalamu’alaikum.” bu Siti berkata dan mengucapkan salam saat keluar kelas. Salam bu Siti di jawab serentak oleh para murid. Sambil menunggu guru lain masuk, Raysa dan kedua temannya berbagi cerita. Kali ini Raysa yang paling bersemangat bercerita. Raysa memulai aksinya dengan bercerita sok serius. Kedua temannya menanggapi dengan serius. Raysa menyebutkan ciri-ciri orang yang tadi pagi di temuinya di dekat rumahnya. Tiwi yang sangat hobi comic conan itu, berpura-pura berpikir bagaimana cara menyelidiki orang itu. Dia juga sering mencari informasi tentang ayah Raysa.
“raysa... kemaren aku pergi ke rumah saudara ku, aku melihat orang yang sama dengan ciri-ciri orang yang kamu sebutkan tadi. Perbedaan antara keduanya hanya pada pakaiannya.” Raysa ingin pergi ke tempat yang Tiwi katakan tadi, namun niat itu tidak ia lakukan. Sebelum jam 5 sore, Raysa harus pulang dan memasak makan malam. Mata Raysa berputar-putar, jelas kalau dia sedang berpikir. Akhirnya bola mata hitam legam yang indah itu berhenti berputar. Tetapi tetap diam, tidak menemukan jawaban di otaknya.

Lamunan panjang Raysa di hentikan seiring dengan masuknya guru bahasa indonesia yang sangat menyebalkan itu. Bukannya kejam, tapi dia hobi bercanda sambil meremehkan murid. Raysa bukannya tidak suka, tapi kesal aja kalau sampai dia yang kena. Bergegas Raysa memperbaiki duduknya. Tidak hanya sekedar guru bahasa Indonesia, dia juga wali kelas Raysa.
Guru itu mulai dengan gayanya, Raysa memperhatikan setiap kata-katanya. Setiap kata-kata yang di ucapkannya memiliki makna. Lama-kelamaan Raysa bosan dan mulai tidak memperhatikannya. Saat ini, Raysa hanya menatap kosong ke papan tulis. Tidak berniat memperhatikan guru yang sedang menjelaskan di depannya. Pikirannya menerawang, banyak hal yang menjadi bebannya. Dengan perasaan yang kacau ini, Raysa tetap terlihat baik dan ramah.

Hati kecilnya mulai bertanya-tanya, “mengapa dan apa alasan ayah pergi? Kenapa ayah meninggalkan kami yang bersusah payah? Haruskah ayah pergi begitu saja tanpa pesan dan alasan? Ayah pengecut!” Raysa merasakan dirinya pusing. Perlahan-lahan gelap, dan hanya gelap yang ada di hadapannya.
“raysa bangun... aku mohon bangunlah... semua orang khawatir sama kamu...!” samar-samar Raysa mendengar suara Rahmi di telinganya. Perlahan mata Raysa terbuka dan ia melihat temannya kemudian tersenyum. Rahmi dan Tiwi memeluk Raysa sambil tersenyum lega. Melihat senyum Raysa yang mulai rekah kembali. Kedua temannya tidak tega melihat Raysa yang pucat dan tak berdaya itu.

Raysa heran saat ia terbangun, dia heran saat ia sadar bahwa tadi ia pingsan. Dia melihat tangannya dan tetap heran kenapa dia pingsan dan apa sebabnya.
“hei... tadi aku pingsan ya?” Raysa bertanya dan menunjuk dirinya.
“iya Raysa... kamu jangan pikir yang berat-berat dulu ya.” Tiwi menatap Raysa dengan penuh perhatian. Masalah Ayah mu itu biar kami berdua yang bantu selesaikan. Tanpa terasa air bening mengalir perlahan dari mata Raysa. Butiran air itu berjatuhan membasahi hati siapapun yang mengetahui perasaan haru itu. Begitu indah dunia dengan adanya dirimu sahabat. Raysa memeluk kedua sahabatnya sambil menangis dan tertawa. Menangis karena haru dan tertawa karena bahagia.
Kedua sahabatnya mencubit pipinya dan mengajaknya keluar dari UKS. Kuatnya cinta akan menguatkan seseorang, namun jika cinta melemah seseorang akan terjatuh dan tidak sadarkan diri. Raysa baru tersadar saat ia tau kalau ini sudah waktunya pulang. Dia mengambil tas dan berlari menemui temannya.
“kenapa tidak bangunkan aku dari tadi?” kedua teman Raysa bingung dan heran. Mereka berpikir mungkin Raysa baru kali ini pingsan.
“aduh Raysa... kamu kenapa sih? Kamu tu yang gk mau bangun...” Rahmi berkata sambil menepuk pundak Raysa. Tanpa pikir panjang, Raysa segera pergi dan melambaikan tangan pada sahabatnya. Dengan heran bercampur bingung, kedua temannya juga meninggalkan sekolah itu.
Temannya sudah berniat menyelidiki orang yang tadi di ceritakan Raysa. Rahmi yang sebenarnya penakut, jadi berani saat melihat temannya terkulai lemah di UKS tadi. Ia akan berubah demi Raysa yang selalu membantunya, membantunya mengerjakan PR. Membantunya saat tidak ada yang berpihak padanya. Di saat yang selalu dia butuhkan, Raysa hadir dengan membawa berjuta keberhasilan. Raysa yang selalu kuat menghadapi segala masalah. Ia begitu mengesankan dengan perasaannya yang tulus menolong Rahmi dalam kesusahan.
Seorang teman Raysa yang bernama Tiwi itu, yang begitu suka hal-hal yang menegangkan. Emosinya naik saat melihat Raysa terjatuh dari bangku dan tidak sadarkan diri. Tiwi sadar begitu sakitnya kehilangan ayah, pria yang paling penting dalam keluarga. Tanpa dia hidup penuh kerisauan dan kesedihan, tidak ada belaian kasih sayang, tidak ada kekuatan untuk bangkit tanpa ayah. Hanya akan menolong Raysa tujuannya kali ini. Tidak ada tujuan lain selain mengeluarkan Raysa dari masalah yang selama 5 tahun ini mengekangnya. Raysa mungkin sudah di batas sabarnya. Wajahnya tidak selalu semangat seperti dulu.
..........................

Raysa tiba di rumahnya dan melihat Rian dan beberapa temannya yang lain sedang bermain di teras rumahnya. Seharusnya ibu sudah pulang saat ini, untung saja ibu menitip Rian pada bu Fathimah, Raysa membatin. Raysa melangkah masuk rumah dan melihat kulkas. Ada wortel dan sayur bayam terletak disana. Raysa mengganti baju dan pergi memasak ke dapur.
Tiba-tiba saja perut Raysa sakit, dan ia sadar kalau tadi siang ia tidak makan. Ia melihat ke bawah tudung nasi, tidak ada yang bisa ia makan.
“assalamu’alaikum Raysa...” raysa kaget mendengar suara laki-laki mengucapkan salam, Raysa mengmbil jilbab dan berjalan dengan cepat ke pintu rumahnya. Tapi ia hanya menemukan sebungkus nasi dan secarik surat. Raysa melihat ke kiri dan kanan mencari siapa pelakunya. Tidak ada hasil, Rian juga sedang bermain sepeda dengan temannya, mana mungkin dia tau. Raysa tidak berpikir panjang, ia membuka surat itu dan membacanya. Surat itu begitu singkat.
“Raysa, aku harap kamu bisa makan nasi yang ku belikan ini, karena aku tau tadi siang kamu pingsan dan belum makan hingga sore ini. Dari yang mencintaimu” muka Raysa bersemu merah, tetapi ia masih ragu kenapa dia tidak berani bicara langsung padaku. Saat ini pikiran Raysa cuma satu yaitu makan. Raysa membuka nasi itu dan begitu senang melihat sambal dendeng di atasnya. Tidak lupa ia menyisihkan sepotong daging untuk ibu dan adiknya.
Teringat pesan ibunya, Raysa hanya makan beberapa suap dan melanjutkan tugasnya yaitu memasak sambal. Dengan sigap ia menyelesaikan semuanya. Bau yang begitu menggoda tercium di setiap ruangan dalam rumahnya. Raysa membuat bayam dan wortel, juga telur dadar. Setelah semuanya selesai, barulah Raysa makan dengan tenang. Ia masih berpikir-pikir, siapa orang yang berbaik hati mengirim nasi bungkus ini kepadanya? Raysa hampir lupa mengirim pesan pada kedua sahabatnya, karena ia tadi buru-buru jadi tidak sempat berpamitan.

Raysa masuk kamarnya dan menulis pesan maaf untuk kedua sahabatnya. Tidak beberapa lama kemudian salah seorang dari mereka menjawab.
“gk apa-apa kok, kami lagi menyelediki kasus tadi pagi. Kita akan berjuang bersama.” Membaca sms itu, membuat Raysa senang dan menyadari banyak yang menyayanginya disini. Tidak hanya temannya, bahkan pengirim nasi misterius itu datang hanya untuk mengantarkan nasi bungkus itu padanya.
Sore ini hujan gerimis ingatkan Raysa tentang suatu rindu yang membelenggu hatinya. Rindu ayah yang selalu menemaninya saat hujan mulai deras. Ayah dan Raysa menunggu hujan deras dan terjun ke air yang menghujaninya. Ibu melihatnya sambil tersenyum dan mengambil camera. Raysa begitu sakit saat melihat hujan mulai deras. Tetap saja ia sakit dan memutuskan berjalan-jalan di tengah derasnya hujan. Di saat semua orang memakai payung dan berlari-lari sambil melindungi kepalanya. Para pengendara motor berhenti dan memakai mantel untuk melindungi diri dari derasnya hujan. Berbeda dengan Raysa yang saat ini dengan santainya berjalan di tengah derasnya hujan.

Di kejauhan Raysa melihat Rian dan teman-temannya sedang bermain bola. Ia membiarkan Rian bermain bola dan tetap tertawa. Rian sejak kecil hanya beberapa kali bertemu ayahnya. Sungguh menyedihkan jika dia harus menanggung sendiri beban itu. Biarkan dia tertawa lepas, biarkan dia berlari dan bergembira. Hujan mulai mereda, Raysa tetap tertegun melihat adik satu-satunya yang ia miliki. Raysa mengambil kesimpulan kembali, yang berlalu biarlah jadi luka sekaligus pelajaran juga kenangan, tertawalah saat ini karena esok tawa inilah yang akan menjadi kenangan.
Rona merah di senja ini, menyuruh para buruh tani berhenti bekerja. Bersiap-siap untuk menyambut adzan magrib berkumandang. Burung-burung pulang ke sarang, dan para binatang kembali ke kandang masing-masing. Rian yang dari tadi asyik bermain, berhenti saat menyadari hari sudah mulai sore. Ia pulang dengan badan penuh keringat. Raysa yang baru selesai mandi sore menyuruh adiknya mandi. Hati Raysa makin ragu, ibunya belum pulang.
Beberapa saat lagi, adzan akan terdengar, ibu yang sangat di cintainya belum juga pulang. Harap cemas Raysa menunggu ibunya, takut terjadi apa-apa pada ibunya. Kini adzan terdengar penuh semangat. Raysa yang diliputi rasa takut, segera mengambil hp dan menghubungi ibunya.
“nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Raysa bingung kenapa ibu harus mematikan handphone nya. Ia tidak memiliki harapan, ia berjalan ke kamar mandi dan berwudhu’. Raysa melirik ke kamar Rian, adiknya sedang melaksanakan solat magrib. Dengan cepat Raysa berjalan ke kamar mandi, berwudhu’ dan menghilangkan perasaan buruknya terhadap ibu.

Malam berjalan dengan cepat, Raysa dan adiknya hanya makan malam berdua. Rian tidak menanyakan ibunya, ia hanya menceritakan kisah selama ia di sekolahnya tadi. Ia bercerita tentang cokelat yang di kasih gurunya karena ia anak yang paling jujur di kelasnya. Rian bercerita dengan sangat bahagia. Ibunya masih belum pulang hingga saat ini.
“kak... ibu juga ninggalin kita ya?” Rian bertanya dan berjalan ke arah kakaknya. Raysa semakin kacau, ia tidak dapat menjawab. Matanya berkaca-kaca, hampir saja ia menangis mendengar pertanyaan adiknya.
“kakak gak tau dek...” Raysa bingung harus menjawab apa. Ia membereskan piringnya dan piring adiknya. Kemudian mencuci piring setelah makan malam yang tidak semangat sedikitpun. Rian yang dari tadi hanya melongo di kursinya bangkit dan menolong kakaknya. Raysa heran dengan sikap Rian, Rian tampak lebih dewasa dari yang sebelumnya. Bahkan Rian hanya bertanya sekali saja tentang ibunya.
Malam semakin larut, Raysa mulai lelah. setelah solat isya, ia tidur di kursi depan sambil menunggu ibunya. Namun tidak kunjung datang dan Raysa tertidur di sana. Rian yang memperhatikan Raysa tertidur, membawakan selimut pada kakaknya. Rian tidak segera tidur di kamarnya. Ia mengunci semua pintu dan jendela, dan akhirnya juga tertidur di sofa. Malam yang hening itu sebagai pengantar tidur dan mengajak untuk hidup baru.

Hingga pagi yang sangat menyedihkan tiba, ibu tidak berada di rumah, ayah tidak ada di rumah. Semuanya pergi dan menghilang, Raysa merasakan hampa yang begitu dalam saat ia menyadari semua telah hilang. Hilang seiring bisikan setan yang terus menjebak manusia dalam kebingungan. Bukan sifat Raysa lari dalam masalah, Raysa segera solat tahajud. Dalam do’a yang begitu tulus ia menginginkan ayah dan ibu untuk kembali. Begitu suara azan mengalun-alun pelan saat Raysa melantunkan ayat-ayat suci itu. Raysa membangunkan Rian dan mengajaknya solat. Rian yang patuh itu menuruti kakaknya, lebih tepatnya ia patuh pada Tuhan yang telah menciptakannya.
Raysa dan Rian solat, seperti biasa Rian membaca Al-Qur’an setelah solat. Pagi ini Raysa harus memasak sendiri. Ia memasak nasi goreng kesukaan Rian, walaupun tidak secepat ibunya memasak Raysa setidaknya tau apa saja bumbu yang akan di gunakannya. Tanpa pikir panjang Raysa segera memasak nasi goreng itu. Raysa selesai memasak dan ia melihat Rian dengan pakaian seragam TK nya sudah selesai mandi. Raysa kaget melihat perubahan Rian, ia tidak menyangka Rian bisa sedewasa ini.
“kakak... cepat mandinya... pulang sekolah jangan lama-lama ya... ian takut sendiri di rumah” dengan wajah polos yang ia tunjukkan pada kakaknya. Raysa mengambil piring untuk Rian dan berjalan ke kamar mandi. Ia begitu tenang karena Rian sudah mengerti dan tidak menanyakan ayahnya lagi. Rian tidak peduli lagi apakah dia mirip dengan ayahnya, atau tidak peduli dengan wajah ayahnya. Rian hanya menjalani hidup normal seperti anak-anak yang lain. Tidak ada keraguan di hatinya, ia sangat kuat dan tegar dengan umurnya yang masih 6 tahun itu.

Raysa tidak menaruh dendam pada orang tuanya, ia hanya ingin orang tua nya kembali lagi. Kembali memeluknya dan memeluk Rian yang masih butuh kasih sayang dari keduanya. Raysa selesai dengan seragam sekolahnya. Rian yang sedang makan itu mengacungkan jempolnya dan menyuruh Raysa makan. Raysa tertawa dan duduk di samping adiknya.
“kakak hebat kan Rian?” raysa bertanya dan menatap Rian.
“iya kak, seperti masakan ibu.” Rian menjawab sambil tersenyum.
Dengan senang Rian memasang sepatu dan pergi ke rumah temannya untuk pergi sama-sama. Raysa mengunci pintu rumah dan berangkat ke sekolah. Raysa langsung mendapatkan mobil. Ia duduk di kursi paling belakang, ia hanya ingin memandang jauh ke belakang. Raysa yang cantik itu tau dia akan jadi pusat perhatian, karena ia begitu cantik dan anggun. Setiap yang melihatnya akan tertegun. Beda hal nya dengan cewek lain yang sudah bersusah payah untuk cantik, tapi tetap terlihat tidak cantik karena mukanya yang tidak bercahaya.
Tidak heran bagi Raysa dia tidak disukai oleh beberapa cewek yang tinggal di dekat rumahnya, karena mereka iri dengan kecantikan yang dimilikinya. Mereka iri saat semua mata dan pujian hanya tertuju pada Raysa yang hidupnya sangat sederhana ini. Raysa yang ramah pada setiap orang, penyapa dan bertutur kata lembut pada siapapun. Memberi yang lebih lemah, tidak pilih kasih terhadap siapapun.
Hanya butuh waktu 2 menit lagi bagi Raysa untuk tiba di sekolahnya. Kali ini Raysa yakin dia tidak akan terlambat lagi, dia berjalan dengan santai ke arah gerbang sekolahnya. Melangkah masuk ke kelasnya dan di sambut kedua temannya. Raysa tersenyum dan kemudian menunjukkan wajah sedihnya. Kedua sahabatnya yang selalu menemaninya di saat sedih ataupun senang bertanya pada Raysa.
“sob, kamu kenapa?” Tiwi dan Ratih bertanya sambil menatap mata Raysa. Ada sebaris luka yang tidak bisa ia ungkapkan. Hanya perasaan yang tunjukkan dia sedang terluka. Dengan air mata yang tidak bisa ia tumpahkan, tidak bisa mengerti arti dari sebuah pelarian. Hanya senyum yang dapat hiasi setiap goresan di lubuk hatinya.
Air mata itu perlahan turun, seiring dengan cerita sendu yang memilukan. Raysa tidak lagi mampu menahan air matanya. Ia begitu sedih dan terluka, hanya Rian yang mengerti perasaannya malam itu. Malam yang paling menyedihkan bagi Raysa dan Rian. Walaupun Rian tidak menunjukkan ras sedihnya, tetap saja saat itu hatinya menangis. Hati yang butuh sentuhan, butuh keikhlasan, butuh kasih sayang dari orang tua.

Raysa tiba-tiba saja berhenti menangis dan sepertinya ia teringat sesuatu. Surat dan nasi bungkus misterius itu. Ia memperlihatkan tulisan itu dan menceritakan kejadian kemarin. Raysa bingung kenapa ia tidak menangis seperti bayi lagi. Tiwi dan Ratih akan melakukan rencana besar untuk sahabat yang tulus ini. Pandangan Raysa teralihkan pada seorang yang dari tadi memperhatikannya. Saat mata mereka bertemu, laki-laki tadi menghilang entah kemana. Raysa menyadari sesuatu yang aneh, tanpa di sengaja feeling nya bekerja.
“apakah dia si pengirim surat dan nasi bungkus itu?” Raysa bertanya-tanya sambil berpikir. Kedua temannya ingin tertawa saat Raysa berbicara sendiri.
“woi... apa kamu sedang jatuh cinta? Sampai-sampai berbicara seperti itu.” Ratih menggodanya dan mencubit lengannya. Sejak mereka berteman, Raysa tidak pernah mengatakan dia fall in love pada seseorang. Raysa cemberut, sejak kapan dia suka pada seseorang. Dia hanya mencintai keluarganya, tidak lebih dari itu. Walaupun yang menyatakan cinta padanya sudah sangat banyak, terlebih 3 tahun terakhir ini.
“apa gunanya jatuh cinta? Akhirnya dia juga akan pergi seperti ayah dan ibu.” Ratih merasa bersalah sudah menanyakan itu. Lalu membujuknya agar ia tidak menyesali takdir yang sudah di janjikan tuhan padanya. Raysa sudah terlalu kuat untuk menghadapinya, sampai kapan ujian ini membelenggunya. Sudah cukup sabar bagi Raysa untuk hidupnya dan adiknya.

Hari ini Raysa pulang lebih awal dibanding hari-hari sebelumnya. Tidak ada latihan basket ataupun makan mie goreng di warung bi Minah bersama temannya. Pikirannya hanya satu, pulang dan menemani adiknya. Ratih dan Tiwi melakukan rencana besarnya, mereka mulai menerka-nerka dimana ibu Raysa kira-kira. Mereka memutuskan untuk pergi ke rumah saudara Tiwi. Mereka ke sana karena Tiwi pernah bertemu orang yang sama dengan orang yang di lihat Raysa.

Rumah saudara Tiwi itu lumayan jauh dari sekolah mereka, lalu mereka memutuskan untuk pergi dengan angkot. Ratih ingat perkataan Raysa 2 tahun lalu, saat masih menduduki bangku SMP. Raysa mengajaknya ke daerah ini dan ia memperlihatkan rumah kakek dan neneknya. Saat itu, rumah itu kosong karena kakek dan neneknya sudah tiada.
“Tiwi, aku rasa ibunya Raysa akan ke rumah ini. Karena rumah ini hanya di Rawat oleh seorang yang begitu kenal dengan neneknya Raysa.” Kebetulan sekali rumah itu dekat dengan rumah saudaranya Tiwi. Tiwi mengajak Ratih masuk ke Rumah saudaranya dan menunggu kedatangan ibunya Raysa.
Pukul 5 sore hari, di beranda depan rumah Tiwi. Terdengar langkah kaki di depan rumah itu, ternyata dugaan mereka benar. Ibunya Raysa masih dengan pakaian kantornya berjalan ke arah rumah tua itu. Ibu itu tidak keluar lagi, untuk beberapa lama kedua temannya menunggu perubahan. Tidak ada hasilnya, lalu memutuskan untuk berjalan ke arah rumah mewah yang sangat di impikan Raysa. Semua orang yang melihat rumah ini pasti akan sangat tertarik, terlebih dengan gaya bangunannya yang unik.
“Ratih... itu orang yang sama aku lihat dengan yang di lihat Raysa.” Tiwi menunjuk orang itu dan memutuskan untuk mengikutinya dari belakang. Mereka tidak menyangka orang itu masuk ke rumah besar itu. Mereka kaget dan tidak menyangka dia orang yang memiliki rumah ini. Mereka heran kenapa orang itu selalu mengubah-ubah penampilannya. Perasaan tidak enak menghantui mereka berdua. Tidak ada yang mengajak maupun di ajak, keduanya secara spontan masuk ke rumah saudara Tiwi.
...............................

Sepulang sekolah Raysa mengganti baju dan makan nasi goreng yang sudah dingin itu. Rian juga melakukan hal yang sama. Beberapa teman Rian datang ke rumahnya dan mengajak Rian bermain. Rian menatap kakaknya dan menunggu jawaban. Raysa mengangguk dan melarang Rian pergi main jauh-jauh. Rian senyum dan pergi ke dekat temannya. Raysa sudah tahu tempat bermain Rian makanya ia memperbolehkan Rian untuk bermain.

Raysa memikirkan bagaimana cara ia mendapatkan uang. Saat ini ia tidak memiliki uang sedikitpun, bahkan untuk ongkos pergi ke sekolah besok ia tidak punya. Karena lelah Raysa merebahkan tubuhnya di depan televisi. Ia menghidupkan televisi dan menukar-nukar channel nya. Tidak ada yang menarik bagi Raysa, pikirannya menerawang. Pandangan Raysa hanya ke langit-langit rumahnya. Ia tidak berniat menonton televisi saat ini, hanya ingin menghilangkan sedihnya namun ia tidak bisa. Raysa yang lelah akhirnya tertidur di depan televisi.
Sore sudah mendekat, Raysa belum bangun dari tidurnya. Sudah lama ia tidak tidur siang. Hari ini mungkin ia begitu lelah dan banyak pikiran.
“assalamu’alaikum...” terdengar sahutan salam dari luar rumah Raysa. Raysa terbangun dan melirik ke jendela, ia tidak menemukan seorangpun. Raysa penasaran dan membuka pintu rumahnya. Raysa melihat sebungkus nasi dan sebuah surat lagi. Kali ini Raysa kaget bercampur heran. Heran kenapa dia selalu mengantarkan nasi jam 4 sore. Raysa membuka surat itu dan tidak percaya isi surat itu. Apa dia tidak salah lihat, atau dia sedang bermimpi.

Raysa melihat 2 lembar uang 100ribu. Raysa hanya bisa bersujud pada yang Maha Pengasih dan meneteskan air mata kebahagiaan. Tanpa menunggu lama, Raysa membuka surat dari si pengirim misterius. Walaupun misterius, tapi bagi Raysa dia nyata dalam hidupnya dan bukan sebuah mimpi yang hilang disaat kita terbangun.
“Raysa, maaf jika kamu tidak suka dengan cara ku seperti ini. Tapi ini yang bisa ku lakukan untukmu, uang itu untuk keperluan kamu, pergilah ke pasar untuk membeli sambal besok. Carilah pekerjaan untukmu, aku rasa ada sebuah restoran kecil yang tidak jauh dari sekolah kita sedang mencari pegawai. Jangan menyerah! Dari yang mencintaimu.” Raysa melipat surat itu dan menyimpannya di tempat koleksi suratnya. Hati Raysa senang saat ia tau masih ada yang peduli dirinya, masih ada yang menyayangi dirinya, masih ada cinta yang ia dapatkan. Untuk yang kesekian kalinya Raysa bersyukur Allah telah mengirimkan kasih sayangnya melalui orang misterius itu.
“kakak... Ian udah pulang...!” suara Rian terdengar di pintu masuk rumahnya. Raysa tersenyum dan menyuruh Rian mandi kemudian solat ashar.
“kakak gak solat?” Rian bertanya dengan polosnya.
“gak adek... nanti kalau udah selesai solat kita makan... oke!” Raysa mengalihkan pembicaraan adiknya. Rian mengeluarkan jempolnya tanda ia setuju pada kakaknya. Raysa membersihkan rumahnya, biasanya ibu sudah membersihkan rumah pagi-pagi sekali. Sekarang Raysa hanya bisa membersihkan rumah setelah pulang sekolah. Raysa mulai terbiasa hidup susah, hidup hanya berdua dengan adik satu-satunya. Hidup tanpa bantuan orang tua, tanpa bimbingan dan bantuan orang tua.
Sesudah solat magrib, Rian menghampiri kakaknya dan melempar bola plastik ke muka kakaknya. Rian yang usil itu selalu saja seperti itu pada kakaknya. Raysa membalas lemparan Rian namun dengan cepat ia menahannya dengan tangan.
“kak... ayolah kita makan!” Rian menarik tangan Raysa ke arah meja makan, namun akhirnya Rian berhenti. Ia teringat kata-kata kakaknya saat makan siang tadi. Saat makan tadi siang Raysa mengatakan pada adiknya malam ini kita tidak akan makan. Rian menyaksikan wajah Raysa yang tampak sedih tadi. Namun sore ini ia terlihat begitu bahagia, ia tampak bersemangat. Raysa membuka tudung nasi dan membiarkan Rian melihatnya. Rian heran melihat dua nasi bungkus terletak di atas meja itu. Ia tidak bertanya melainkan mengambil salah satunya. Rian membukanya dan melihat ayam bumbu yang terletak di atas nasi putih itu.

Rian tersenyum dan terlihat begitu bahagia, karena lapar ia makan dengan lahap. Raysa membuka nasi bungkus satu lagi, ia melihat sambal yang sama dengan sambal Rian. Raysa berpikir orang yang memberinya baik dan tidak pilih kasih. Sama seperti dirinya pada orang lain.
Akhirnya Raysa menyadari sesuatu yang selama ini tidak diketahuinya. Jika kita bersikap baik pada orang lain, orang lain juga akan bersikap baik pada diri kita. Raysa yang selalu memberi dan membantu orang yang membutuhkan, sekarang ia di bantu saat dia sedang susah. Raysa yang selalu menyayangi siapapun, kini saat ia kehilangan kasih sayang datang seseorang yang menyayanginya.

Terdengar langkah kaki mendekat ke arah pintu rumah Raysa. Raysa berpikir apakah itu ibu atau orang misterius atau orang lain lagi. Raysa berhenti memikirkan itu dan terdengar ketukan dari luar.
“tok.. tok.. tok.. Assalamu’alaikum” terdengar suara seseorang di luar pintu. Suara itu seperti suara seorang laki-laki. Rian menghentikan makannya dan membuka pintu rumah. Sebenarnya Raysa sedikit takut, dia tidak biasa menerima tamu saat malam hari.
“Rian... jangan di buka pintunya dulu... liat dari jendela itu!” Raysa menghentikan langkah Rian, dan melihat ke arah jendela.
“tidak apa-apa kak, aku rasa dia baik” dengan santai Rian membuka pintu dan belum jadi ia bertanya, orang itu menanyakan ibunya. Raysa dan Rian kaget dan heran pada orang yang bertanya. Dia memang gagah, sepertinya dia kaya, melihat penampilannya saja kita tahu bahwa dia seorang yang kaya. Namun yang sangat mengherankan, ia bertanya ibu Raysa.
“dia tidak pulang 2 hari lalu, emangnya kenapa om?” Raysa bertanya dan berharap sebuah jawaban akan hal itu. Apa yang diharapkannya tidak ia dapatkan, orang itu hanya menjawab tidak ada apa-apa. Dia mengatakan akan membantu Raysa dan Rian mencari ibu mereka, namun Raysa tetap kecewa pada orang itu.

Perkataan Rian tentang orang tadi ada benarnya, saat ia senyum ia mirip dengan foto ayahnya yang ada di kamar Rian. Rian terus melihat foto itu sepanjang malam, sampai ia tertidur dengan lelap. Raysa mengunci semua pintu dan memastikan adiknya sudah tertidur atau belum. Saat Raysa melihat adiknya sambil memeluk foto ayah dan ibunya. Raysa tidak mampu lagi menahan air matanya, ia merasakan rindu adiknya pada orang tua nya itu. Ia selama dua hari ini hanya menahan tangisnya agar kakaknya tidak susah. Ia menahan semuanya sendiri, tidak ada tempat baginya untuk menangis.
“maafkan kakak dek...” suara lirih terdengar di kamar kecil yang lumayan nyaman itu. Tidak ada pemandangan yang lebih indah, selain seorang adik kecil yang polos sedang tersenyum dalam tidurnya. Suara lirih dan tangisan itu bagaikan sebuah nyanyian hati yang tidak bisa di tumpahkan, tidak mampu di ungkapkan oleh seorang adik polos yang tidak tau apa-apa.
Raysa melirik jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Matanya mulai lelah karena menangis, Raysa beranjak dari kamar adiknya dan masuk ke kamarnya setelah mematikan seluruh lampu di ruang tengah dan dapur. Raysa melirik sejenak ke daftar pelajarannya dan memasukkan buku ke dalam tas dengan sangat malas.

Malam semakin larut namun bayangan ayah dan ibu kembali teringat dengan jelas di kepala Raysa. Kini terasa bagaimana rasanya jadi yatim piatu, terasa bagaimana fakir miskin, terasa sangat kehilangan. Ia harus kuat menghadapinya, ia harus kuat menjalani semua ini. Ia tidak peduli apakah ini ujian ataukah hukuman yang Allah tetapkan padanya. Ia tetap berdo’a dan berusaha menjadi kuat dan sabar dalam menghadapi segalanya.
Keluh kesah batinnya terdengar menenangkan hatinya. Hati yang sedang bergemuruh, hati yang sedang menangis sepi. Hanya do’a dikala sujud, hanya harapan di saat bermimpi yang mampu membuatnya tenang.
“Ya Allah, aku ingin mereka kembali memeluk aku dan Rian...” satu pinta, satu harapan yang ingin ia tunjukkan dalam tangisnya. Hening sejenak di kamar kecil yang tidak begitu besar, namun tetap tersusun rapi. Binatang malam terdengar memberi nyanyian, bersahut-sahutan menenangkan Raysa dengan datangnya malam yang sepi.
Malam ini saat do’a, harapan dan usaha menjadi satu dalam sujud Raysa. Akankah semua kemudahan tertuju padanya? Bisakah ia kembali bahagia seperti hari-hari 5 tahun lalu saat ia di tinggal oleh ayahnya? Semua pertanyaan yang menghujam batinnya. Semua keluh kesah yang tak mampu ia hilangkan. Moga malam ini do’a yang di panjatkannya pada Sang Tuhan dikabulkan oleh Nya.
“berikan aku dan dia kebahagian yang dulu kami rasakan, ingin aku menangis mengadu padamu Ya Rob, tapi hanya dalam sujud ini ku bisa mengadu pada Mu.” Raysa menangis hingga lelah dan tertidur hingga pagi datang menjemputnya.
...........

“kakak... bangun...” Rian membangunkan Raysa dan menggoyangkan tubuhnya. Raysa antara sadar dan tidak sadar. Ia mengucek matanya dan menguap. Seperti pagi sebulumnya, ia selalu bersin-bersin saat bangun tidur.
Raysa sadar semalam ia tertidur karena ia lelah menangis. Pagi ini ia melihat matanya yang masih sembab karena terlalu lama menangis.
“kakak tadi malam menangis ya?” Rian bertanya dengan polos. Raysa tidak menjawabnya melainkan beranjak pergi ke kamar mandi.
“izinkan aku berharap kakak!” suara Rian terdengar lagi. Tapi kini suara itu lebih menyentuh. Suara itu terasa pilu dan sendu namun begitu berharap pada harapan yang tidak nyata itu.
Raysa yang sudah berada di pintu kamar mandi tersentak mendengar kata-kata adiknya. Ia tidak menyangka seperti itu juga perasaan adiknya. Ia tidak menyangka adiknya bisa berpikiran dewasa.
Rian sudah menghilang di balik pintu kamar Raysa. Raysa lupa kalau ia harus memasak, tapi saat ini ia tidak mungkin masak. Raysa dapat ide, ia baru saja ingat uang kemaren, ia berpikir untuk membawa adiknya membeli nasi goreng di depan rumahnya.
Raysa membersihkan rumah dan menyapu setiap sudut ruangan di rumahnya. Pagi ini ia tidak masak, makanya ia terlihat begitu santai dengan piyama birunya. Raysa tidak sepenuhnya santai hari ini, tapi ia tidak ingin terlihat sedih.
Raysa selesai mandi dan segera menghampiri adiknya yang juga sudah selesai mandi. Raysa menyuruhnya memakai sepatu dan mengambil tasnya. Rian hanya menurut pada kakaknya. Raysa dan Rian berjalan ke arah warung di depan rumahnya. Keduanya membeli nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah selesai makan, mereka berdua beranjak pergi. Raysa menyelipkan selembar uang 5 ribu ke tangan Rian, sambil berpesan harus hemat.
.......................

Raysa tiba di sekolahnya, dan kedua temannya segera menghampirinya. Tiwi dan Ratih berebutan ingin menceritakan kejadian kemaren. Raysa heran bercampur tidak mengerti apa yang mereka katakan.
“huh.. satu-satu dong bicaranya” sahut Raysa bingung. Setelah Tiwi menjelaskan pada Raysa apa yang mereka berdua alami kemaren barulah Raysa mengerti. Raysa sudah tau suatu saat ibu akan mencari ayah. Raysa sudah menerka dari dulu, namun hal ini terjadi begitu saja, tanpa peduli kami yang lapar dan kehausan.
Raysa berpikir bagaimana cara membawa ibunya pulang. Raysa tidak serius mengikuti pelajaran hari ini, pikirannya tidak fokus pada pelajaran. Sampai kapan Raysa akan belajar seperti ini, tidak memperhatikan, dan pikirannya pergi entah kemana-mana.

Pulang sekolah, Raysa dan kedua sahabatnya sudah berencana untuk pergi menjemput ibu Raysa. Raysa pulang untuk menjemput Rian dan bertemu di taman kota. Raysa sangat senang karena ia sudah bisa kembali memeluk ibunya.
“teeet.....” bunyi tanda berakhirnya jam pelajaran hari ini terdengar nyaring di telinga Raysa. Raysa melompat kegirangan, ia sangat menunggu jam terakhir ini. Raysa tanpa sadar menoleh ke belakang, ia tidak percaya Faris ketua osis sekolah ini memperhatikannya sambil tersenyum. Raysa menundukkan kepala dan mengambil tas ranselnya.
“Raysa, kesinilah sebentar!” Faris memanggilnya dari belakang. Raysa tidak beranjak dari tempat duduknya. Terpaksa Faris yang beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan ke arah Raysa.
Hati Raysa berdegup kencang, Raysa heran kenapa dia jadi begini. Tiba-tiba saja gugup itu datang dan tidak tau berasal dari mana.
“Raysa, maaf sebelumnya. Nasi bungkus dan surat itu, aku orangnya. Kalau mau marah silahkan, aku sudah minta maaf” Faris mengatakan kejujuran dan meminta maaf. Raysa bingung harus menjawab apa. pipinya menjadi merah, merah seperti buah tomat yang indah.
“tidak apa-apa kok, makasih ya. Uang nya mau aku kembalikan?” Raysa bertanya dengan menunduk, takut kalau sampai-sampai Faris tau mukanya merah. Dengan cepat, Faris menjawab tidak usah di kembalikan. Raysa berpamitan pada Faris dan segera meninggalkan Faris sendiri.

Kedua temannya menunggu di depan kelas, karena Raysa belum keluar kelas, Tiwi melihat ke dalam kelas untuk mengetahuinya. Tiwi senyum dan menyuruh Ratih melihat ke dalam kelas. Ratih tersenyum namun mengingatkan Tiwi pada sifat Raysa yang unik.
“yaah..masa kamu lupa Tiwi, mana mau dia pacaran.dia anak yang baik. Walaupun dia menyukai seseorang, ia tidak akan pernah mengatakannya kepada kita.” Ratih mengingatkan Tiwi. Akhirnya perbincangan kedua anak itu berakhir seiring datangnya Raysa.
“yuk.. kita pulang.” Raysa menarik kedua lengan temannya.
Raysa berlari-lari masuk ke rumahnya dan menceritakan semuanya pada adiknya. Walaupun Rian tidak terlalu mengerti apa yang dikatakan kakaknya, ia senang akhirnya ia akan bertemu ibunya kembali. Rian akan bersiap-siap pergi ke tempat ibunya, namun terdengar seseorang di luar pintu.
“assalamu’alaikum” Raysa membuka pintu dan sangat terkejut melihat orang yang di depannya itu ayahnya. Raysa tidak percaya dan sedikit bingung dengan kenyataan yang ia hadapi.
Ayahnya memeluk Raysa erat-erat menangis sambil meminta maaf. Raysa menangis saat melihat ayahnya kembali, ayahnya ada di depannya. Ayahnya begitu nyata dan ini bukanlah sekedar mimpi. Raysa memanggil Rian dan membawanya ke tempat ayah.

Rian awalnya takut, tapi akhirnya ia mengatakan kesedihannya selama ini.
“ayah jahat! Ayah tinggalkan ian sendiri!” Rian menangis sambil memukul punggung ayahnya. Rian menyadari sesuatu, ibunya tidak disini. Rian kembali marah dan menangis melepaskan sedih dan kecewanya pada ayahnya itu.

Mereka bertiga akan menjemput ibu ke tempat yang telah di tunjukkan teman Raysa. Namun saat mereka keluar rumah, tampak seorang wanita cantik dan anggun datang ke arah mereka.
Ibu Raysa datang dan air matapun memasahi pipi mereka masing-masing. Tidak ada yang mampu mengungkapkan bahagia ini, hanya air mata yang ungkapkan segala sedih dan bahagia.
Satu pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini, kenapa ayah pergi 5 tahun lalu. Akhirnya ibu meminta maaf pada ayahnya, ternyata ibunya Raysa yang bersalah. Masalah keuangan keluarga, ibu selalu saja tidak puas dengan uang yang di berikan ayahnya. Namun tidak sepenuhnya salah ibu, karena ayah juga tidak terbuka pada ibu tentang masalah ini.
Raysa dan Rian tersenyum bahagia...

PROFIL PENULIS
Mama saya Rofifatul Alimah, panggil aja ofi. Saya tinggal di daerah Sumbar, tepatnya di payakumbuh. umur Saya 15 tahun. saya anak ke 2 dari 3 org bersaudara. sejak kecil saya sangat suka membaca dan menulis, ini Pertama kalinya saya mengirimkan cerpen saya. maklum aja kalo masih banyak kata-kata yang salah.. hehee
Cita-cita saya jadi seorang psikolog dan penulis.. moga tercapai dehh.. :D

Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
Share & Like