Cerpen Islam - Tulang Rusuk Yasin

TULANG RUSUK YASIN
Karya  Khusnul Imamah
 
Hari itu Dila berhasil membuat orang-orang terpukau terhadap dirinya. Ketua panitia penyelenggara acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw menugaskannya sebagai pengisi Tilawatil Qur’an. Dan Dila telah melaksanakan tugasnya dengan begitu baik. Suara merdunya dan kefasihannya melantunkan ayat demi ayat, membuat kaum Adam tak bisa tak memperhatikannya.

Dila adalah gadis yang periang dan mudah bergaul dengan siapapun. Gadis yang begitu sederhana dan rendah hati. Gadis berusia 21 tahun itu lebih istimewa dari gadis manapun yang ada pada pandangan Fatqul. Pemuda itu tak henti memperhatikan Dila sejak ia berada di mimbar untuk membacakan ayat pilihannya. Fatqul benar-benar ingin menemuinya. Bahkan ia serius menunggu Dila sampai ia keluar dari Masjid. Hampir 1 jam sejak acara itu usai, Fatqul masih menunggunya.
“Assalamua’alaikum ?”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Dila sembari berpikir apakah ia mengenal orang yang ada di depannya ? orang yang bersalam kepadanya.
“Sepertinya saya pernah melihat anda, tapi dimana ya?” Dila masih mengingat.
“Habibah ? bukan kah kita pernah berada di satu SMA yang sama ?” Jawab Fatqul.
“MasyaAllah,.iya mas saya ingat. Mas Yasin kan ?”
“Fatqul.”
“Bukan tapi Yasin. Nama saya Dila kenapa juga mas panggil Habibah ? jadi, jangan protes jika saya panggil Yasin.” Ujarnya sambil tersenyum.

Fatqul membalas senyumnya. “Ternyata kamu kuliah disini juga ? sudah semester berapa ? ambil jurusan apa ?”
“Alhamdulillah sekarang skripsi. Saya ambil fakultas hukum. Mas sendiri ?”
“Aku sudah lulus satu tahun lalu. Sekarang proses untuk mendapatkan gelar profesi.”
“Profesi...apa ?”
“Dokter. Mohon do’anya ya ?”
“Wow,.keren. Iya pasti akan aku do’akan. Tak pernah disangka ya, kakak kelasku dulu yang juga ketua osis ternyata sekarang calon dokter. Uupss,.sudah sarjana dokter.”
Fatqul tersenyum malu. “Kita dalam satu Universitas yang sama kenapa tidak pernah ketemu ya ? padahal sudah lama sekali lho.”

Dila menundukkan kepala. “Kan kita beda fakultas. Mas Yasin sendiri kenapa bisa nyasar sampai ke tempat saya ?”
“Oohh..tadi aku cari tempat sholat dan kebetulan lewat sini. Ehh,.malah ada pengajian jadi aku terusin buat ikut saja. Sekali-kali jadi penyusup di fakultas kamu nggak apa-apa kan?”
Dila tersenyum malu. Ia masih tertunduk dan enggan menatap Fatqul. “Mas Yasin masih bisa mengenali saya ? padahal saya sudah berbeda kan dari yang dulu ?”
“Maksud kamu ?”
“Ini.” Jawab Dila dengan menunjuk-nunjuk pipi kanannya.
“Oiya,.itu pipi kamu kenapa ?”

Inilah yang kerap membuat Dila down. Meskipun berusaha tak menghiraukan keadaan fisiknya, tapi rasa malu itu tetap akan muncul di saat ada yang bertanya apa yang menyebabkan wajahnya seperti itu.
“Kecelakaan 3 tahun yang lalu.” Dila tetap tersenyum menyembunyikan rasa malunya. Ia masih menutupi pipinya, agar bekas operasi sepanjang 4cm itu tak terlihat.
“Kenapa harus ditutupi ? kamu pikir Cuma gara-gara itu aku tidak akan mengenali kamu ? Bekas luka seperti itu tidak akan bisa menutupi kecantikan kamu, Bah. Cantik juga tidak dari fisik tapi akhlak. Suara kamu itu yang juga membuatku langsung mengenali kamu.”
“Benarkah itu ? mustahil jika kecantikan bukan prioritas lelaki dalam memandang seorang wanita.” Celetuk Dila dalam hatinya. Mereka masih tetap berjalan dan berbincang. Tak tahu arah tujuan. Hanya berkeliling halaman kampus. Hingga Dila sadar pada apa yang ia lakukan. “Mas, ma’af saya sudah ada janji untuk revisi. Saya pergi duluan nggak apa-apa kan ?”
“Meskipun aku melarang kamu toh kamu juga akan pergi kan ? ya sudah silahkan. Good luck, Bah.”
Dila berlari. Ia takut jika terlambat melaksanakan janjinya untuk revisi hari itu juga. “Makasih. Lain kali kalau ketemu jangan panggil Bah lagi ya.” Ia masih sempat teriak menjawab kalimat Fatqul.
Bagaimana tidak memanggil dengan nama itu, sejak mereka pertama kali bertemu di SMA. Hanya nama Habibah itu yang Fatqul tahu. Namanya Habibah Hubaidillah, dan hanya nama depan saja yang tertulis pada name take yang dipakai Dila di seragamnya. Semua orang memanggilnya Dila, hanya Fatqul saja yang sudah terbiasa memanggilnya Habibah. Dila pun tak ingin kalah, ia tahu semua orang memanggil pemuda itu “Fatqul”. Nama panjangnya adalah Fatqul Yasin. Karena itu Dila membalasnya memanggil bukan pada nama panggilan.
Mereka tidak berteman dekat. Masing-masing adalah orang yang tidak suka mengganggu privasi orang lain. Mereka sibuk dengan tujuannya sendiri. Hanya saja mereka pernah dalam satu SMA yang sama. Itu pun tidak menjamin mereka kenal begitu saja, sebab Fatqul 2 tingkat di atasnya. Mereka kenal ketika berada pada 1 organisasi yang sama. Sebuah organisasi kajian islam di SMA.
Fatqul sendiri tak pernah menyangka bisa bertemu dengan Dila. 6 tahun, waktu yang cukup lama. Tapi mereka masih saling mengenali. “Mas Yasin.” Fatqul tersenyum-senyum sendiri manakala ia ingat-ingat bagaimana Dila memanggilnya.
Beberapa harinya, sejak pertemuan itu. Ia tak mengerti apa yang telah membuat kakinya melangkah lagi ketempat itu. Apa yang akan ia lakukan di Fakultas Hukum ? “Astagfirullah.” Ketika ia teringat bayangan gadis yang memanggilnya Yasin. Ia tersadar, “Apa karena aku mencarinya ? Ada apa dengan dia ?” Fatqul tetap berkeliling tak menentu. Ia juga bingung apa yang hendak ia lakukan disana. Sedang perasaannya sendiri mengharapkan ada Dila yang akan muncul. Percuma, ia tidak bisa menemukannya. Ia menyadari apa yang telah ia lakukan dan ia meresa itu sebuah kebodohan. Fatqul pun meninggalkan tempat itu.

Demi hari ia merasa semakin ganjal. Kenapa ia rindu untuk pergi ketempat itu. Lagi ia menginjakkan kaki ke Fakultas Hukum. Tapi kali itu ia menemukannya. Seorang gadis yang menangis. Melihatnya begitu, Fatqul takut untuk mendekat. Satu yang ia rasakan. Ia memegang dadanya yang mulai terasa sakit. Sakit jika melihat tetesan air yang keluar dari mata gadis itu.
“Kenapa menangis ?” Fatqul memberanikan diri menyapa.
“Mas Yasin ?” Ia tersenyum menghapus kesedihannya. “Kenapa mas ada disini ?” Lanjutnya.
“Jawab dulu pertanyaanku. Nanti aku jawab pertanyaan kamu.”
“Ini.” Dila menunjukkan sebuah undangan pernikahan.
“Jadi gara-gara ini ? kenapa ? jangan-jangan karena lelaki yang ada di undangan itu adalah lelaki yang kamu cintai tapi dia menikah dengan orang lain ? begitu kan ?”
“Sok tahu.” Dila memukul Fatqul dengan undangan itu. “Mas, bukankah setiap wanita itu diciptakan dari tulang rusuk pria ?”
“Iya. Setiap wanita adalah Hawa. Dan Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Setiap lelaki adalah Adam. Allah mematahkan tulang rusuk Adam sebelah kiri sewaktu beliau masih tidur, ketika sudah terbangun, Hawa sudah berada disampingnya. Kenapa tiba-tiba bertanya begitu ?”
“Kadang saya bertanya-tanya. Pada siapakah kelak tulang rusuk ini kembali. Siapakah tempatku. Seperti apa Adamku ?”
“Huss,..tanya kok seperti itu. Siapapun pemilik kamu, kelak kamu pasti kembali sama dia. Dan dia yang disana juga sedang mencari kamu, yaitu tulang rusuknya.”
“Dia. Orang yang ada di undangan ini adalah teman saya. Mereka sudah pacaran sekian lama dan akhirnya menikah juga.”
“Bukan berarti tulang rusuknya. Meskipun sudah pacaran sekian lama itu tidak menjamin. Kita tidak pernah tahu siapa jodoh kita.” Fatqul memotong kalimat Dila.
“Eemm.” Dila menganggukkan kepala tanda ia mengerti penjelasan Fatqul.
“Terus apa yang membuat kamu menangis ? karena iri ?”
“Saya tak pernah merasakan bagaimana pacaran itu. Tapi saya juga manusia biasa. Normal seperti yang lainnya. Saya juga pernah merasakan suka terhadap laki-laki tapi saya hanya berani memendamnya saja. Dan apa yang saya lakukan itu luar biasa sakitnya. Seperti sebuah perjuangan yang amat berat. Saya melakukan karena takut Allah murka jika saya terbawa perasaan yang akan menjadi nafsu musuh besar manusia. Dan saya yakin bahwa Allah telah menentukan sendiri siapa pasangan saya. Kenapa saya menangis ? karena, kenapa sampai saat ini saya belum terjemput ? saya takut ada apa-apa dengan tempat rusuk ini.”
Fatqul tersenyum mendengar jawabannya. “Ya Allah, begitu luar biasanya dia menjaga kessuciannya. Ia mampu berperang melawan perasaannya karena masih takut dengan Engkau. Aku yakin ia tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun. Dia memang baik sejak aku mengenalnya. Tutur katanya yang lembut dan rasa hormatnya kepadaku sebagai orang yang lebih tua darinya. Seandainya aku punya istri seperti itu.” Fatqul terbawa pikirannya. Membawanya berangan tentang Dila.
“Ya Allah. Bicara apa aku ini.” Ucap Fatqul sambil menepuk kepalanya.
Dila tertawa melihatnya. “Ada apa ? memangnya mas bicara apa ?”

Fatqul menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak. Tidak apa-apa. Habibah, beruntungnya dia yang memiliki tulang rusuk seperti kamu.”
“Beruntung dari mana ? siapa yang mau dengan gadis yang wajahnya cacat seperti saya ini ?”
“Habibah,.baru aku memuji kamu. Eh,.ternyata aku salah. Apa yang menyesali dengan keadaan kamu yang seperti itu ? bukankah kamu pandai, mengerti sekali tentang agamamu. Dengan menyebut sendiri bahwa wajah kamu cacat, kamu sudah menghina diri kamu sendiri beserta Tuhanmu. Dulu kamu cantik sempurna, karena sebuah takdir wajah kamu terluka. Tapi meskipun begitu, kamu tetap cantik. Akhlak kamu yang akan menutupi semua kekurangan itu. Apalagi Cuma bekas luka 4cm saja. coba kalau seluruh wajah kamu. mau ?”
“Beruntung ya, tulang rusuk mas Yasin. Coba disana ia tahu betapa baik tempat dirinya.”
“Terus, kalau ingin bekas itu hilang kenapa tidak operasi plastik saja ?”
“Karena saya tidak ingin membuang uang hanya untuk masalah bodoh seperti ini. Banyak hal yang lebih bermanfaat yang harus saya lakukan dengan mengorbankan uang.”
“Kamu tidak bisa menipuku, Bah. Dasarnya baik tetap saja baik.”
Dila tersenyum. Saling puji memuji membuatnya tidak akan nyaman. Sementara Fatqul merasa senang bisa melihatnya tersenyum lagi.

Ia menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Dila. Fatqul tak ingin mengacaukan skripsinya, sehingga ia harus menunda mengatakannya pada Dila. Menunggu hingga waktunya tiba.
“Bah, Dila ingin menikah.”
Abahnya terkejut. Sepulang dari kota tiba-tiba saja Dila membawa oleh-oleh kalimat itu. “Menikah dengan siapa ? apa ada yang meminangmu, nduk ?”
“Ndak ada, Bah. Seandainya ada yang melamar Dila, tapi abah mengijinkan kan ?” Dila masih sempat bercanda dengan abahnya.
“Ya ndak apa, nduk. Umi sangat bahagia. Pernikahan itu adalah wadah yang suci bagi orang yang jatuh cinta. Jangan-jangan,..” Sela Uminya.
“Jatuh cinta itu sudah dari dulu, mi. Dari SMA Dila juga sudah suka.”
“Ya Allah. Anak ini,..ampuni anakku Gusti. Jadi dari dulu kamu sudah,..” Uminya terkejut.
“Aduh,.” Dila mengelus punggung yang dipukul Uminya. “Dila masih ada dijalan yang bener, mi, bah. Dila ndak pernah kok yang begituan, pacar-pacaran.”

4 tahun sudah ia belajar menekuni ilmu hukum. Ini lah yang ia nanti selama ini. Menjadi seorang sarjana. Mungkin, akan menjadi seorang istri juga.
“Aku tidak akan banyak bicara. Jika kamu tanya apa aku serius, aku sudah sungguh serius. Insya Allah aku telah yakin. Habibah, aku mencintai kamu. Aku ingin menikahi kamu.”

Dila terdiam tak menjawab sepatah kata pun. Meskipun ia tak bisa berbohong jika yang dimaksud dengan orang yang ia sukai sejak SMA adalah Fatqul. “Apa mas yakin dengan yang mas katakan ? mas belum mengenal saya. Tentang keluarga dan kehidupan saya.” Dila mulai berani menjawab.
“Iya. Aku menunggu jawaban kamu.”
“Beri saya waktu. Selama itu mas akan tahu tentang saya. Dan apakah mas benar-benar yakin dengan ini semua.”
Apa Dila benar-benar tahu dengan apa yang telah dikatakannya itu. Seharusnya ia menjawab dengan “Ya”. Ia tak bisa berbohong jika dia memang ingin menikah. Apalagi dengan Fatqul. Bukankah dia juga mencintainya. Memendamnya selama bertahun-tahun.
Ternyata Dila tahu dengan apa yang telah dilakukannya. Fatqul tahu menikah itu urusan yang tidak mudah. Orangtuanya juga berhak menilai siapa calon istrinya. Apakah dia wanita yang sholeha ? bagaimana juga keluarganya.
Hal yang tak pernah Fatqul sangka. Kalimat Dila, “Selama itu mas akan tahu tentang saya.” Ini kah yang Dila maksud ?
“Habibah ?”

Dila menunduk saja. “Apa yang kamu lakukan disini ?” Tanya Fatqul.
“Saya memang tinggal disini. Lalu, mas sendiri ?” Dila berbalik tanya. Tangannya masih memegang sapu rayung. Ia memang sedang membersihkan halaman panti yang kotor.
“Aku ada baksos untuk pemeriksaan gratis buat anak-anak yatim piatu. Maksud kamu tinggal disini ?”
“Ini lah rumah saya. Memang saya tinggal disini. Tempat yang layak untuk seorang yang tidak memiliki ayah dan ibu seperti saya.”
Fatqul hanya diam mendengarnya. “Aku tidak peduli.” Itu yang menyumbat pikirannya. Bukan masalah Dila seorang yatim piatu atau bukan.
“Saya mau menjawab tawaran mas yang lalu. Saya mau. Tapi, sebelumnya mas harus meminta petunjuk yang di Atas dulu. Benarkah saya tulang rusuk mas Yasin ? mas juga harus katakan semuanya pada orangtua mas. Apa mereka menerima saya yang hanya seorang yatim piatu ?”

Demi cintanya. Ia ingin menikahi gadis itu. Tak peduli apa yang terjadi. Tak peduli ia tak memiliki keluarga. Siapa dia, Fatqul tak peduli. Tapi orangtuanya bagaimana ? susahnya adalah Fatqul anak yang benar-benar menurut pada orangtua. “Mama hanya ingin kamu menikah dengan wanita yang sederajat. Mama ingin bahagia melihat kamu menikah dengan seorang wanita yang tepat.”
“Tapi dia benar-benar baik, ma. Wanita yang sholeha.”
“Banyak wanita yang sholeha. Sekarang wanita rata-rata berjilbab semua. Kamu mudah saja mendapatkan wanita yang cantik sama dokternya. Dan mama telah memilihkannya untuk kamu.”
Apa yang harus ia katakan pada Dila. Fatqul berat terhadap ibunya. Ia memang tak pernah sekalipun membangkang kata-kata ibunya. Cita-cita menjadi seorang dokter itu pun karena kemauan ibunya. Ia rela mengikuti kemauan ibunya dan mengorbankan keinginannya menjadi seorang pengacara. Semua ia lakukan agar ibunya bahagia. Hal terberat seumur hidup yang akan ia rasakan selama hidupnya kali ini telah terjadi. Ia tidak bisa menikah dengan Dila. Wanita yang ia cintai.
“Aku sudah mendapatkan petunjuknya.” Fatqul menyampaikan kalimat itu dengan murung.

Ya, Dila sudah tahu apa yang akan terjadi. Seorang dokter tidak pantas menikah dengan wanita seperti dirinya. Keluarganya akan mencari yang setara dengan gelarnya. Dila menangis.
“Itulah kenapa saya tidak ingin tergesa-gesa. Lalu bagaimana ?”
Sakit rasanya melihat air mata itu lagi. Fatqul tak tahan jika menatap Dila bersedih seperti itu. “Aku bukan tempat kamu. Mungkin aku terlalu baik sebagai pemilik tulang rusuk seperti kamu. Kamu bukan tulang rusukku, Bah. Aku yakin, disana sebuah tubuh dengan serangkain tulung rusuk telah mencari satu tulang rusuknya yang hilang. Mencari kamu. dan aku masih harus mencari tulang rusukku.”
Semuanya telah Fatqul utarakan. Setelah kalimat itu, ia langsung saja berbalik badan meninggalkan Dila. “Orang yang selama ini terpendam di hati saya adalah mas Yasin. Saya merasa seperti tulang rusuk yang telah terbuang.” Dila mengatakannya dengan terisak.
Ya Allah. Berdosakah Fatqul yang menghancurkannya. Ia cepat-cepat pergi dari hadapan Dila. Tak ingin lebih merasakan sakit apalagi ketika Dila bilang seperti itu. “Aku seperti tulang rusuk yang telah terbuang.”

6 tahun kemudian,......
“Dokter Fatqul, hari ini jadwal anda memeriksa pasien yang ada di kamar Mawar no.2, pasien wanita yang mengidap penyakit leukimia.”
“Iya suster,.kita segera kesana.”

Langkah kakinya yang semakin dekat dengan kamar itu. Kenapa Fatqul tiba-tiba merasakan sakit di dadanya. Lebih sakit ketika ia tahu siapa pasien yang ada di hadapannya.
“Apa kabar ?” Tanya wanita itu. Wajahnya pucat tapi senyumnya masih merekah indah.
“Baik.”
“Mas Yasin sudah menemukan tulang rusuk mas ?” Tanya Dila.

Memang sejak itu mereka tidak menikah. Fatqul menikah tapi dengan wanita pilihan ibunya yang juga berprofesi sebagai dokter. Tidak lama mereka menikah tapi setelah itu bercerai. Ternyata wanita yang ia nikahi bermain api dibelakangnya. Dan Dila belum menikah sampai saat ini, sejak lulus S1 ia lalu melanjutkan S2 nya di Kota lain. Kali ini mereka kembali bertemu tapi dengan keadaan Dila yang terbaring sakit.
“Sudah. Sekarang, aku baru sadar. Siapa tulang rusukku.” Fatqul menjawab dengan meneteskan air matanya. Ia juga tetap memegang dadanya yang kian sakit.
“Kamu mungkin telah menemukan tulang rusuk kamu. Tapi kamu malah menghancurkannya dan membuangnya. Ketika kamu menyadarinya, kamu tidak akan lagi bisa memiliki tulang rusuk itu.”
Dila harus istirahat. Tak satu pun orang diperbolehkan bicara padanya. Sementara Fatqul bicara pada abah dan uminya Dila.
“Dila dulu bilang pada saya bahwa dia yatim piatu.”
“Dia memang yatim piatu. Sejak kecil ia sudah kurawat dan menjadi anakku. Saat kuliah S1 ia tinggal di Panti asuhan milikku. Ia yang mengurus semuanya disana membantu istriku.”

Menyesal ? apa yang Fatqul sesali ? “Kenapa Dila tidak menceritakan semuanya ?” seandainya Dila bercerita mereka mungkin akan jadi menikah. Dila punya orangtua angkat, seorang Kiyai yang memiliki pondok pesantren dan panti asuhan.
“Dila tidak ingin di pandang karena ada kami. Dia tidak mau oranglain memperhatikannya karena dia anakku. Dia ingin diperhatikan sebagai Dila.” Ucap abah Dila.
“Abah,..” Teriak Umi histeris.
Mereka semua masuk kekamar dimana Dila terbaring. “Dila, bah.” Umi masih menangis histeris.
“Innalilahi wainna illa’ihi roji’un,..” Abah ikut menangis. “Inikah jalanmu, nduk. Allah sayang sekali dengan kamu. Dila adalah anak abah yang baik.”
Fatqul kembali merasa sakit di dadanya. Akhirnya ia sadar, bahwa sakitnya itu adalah karena Dila. Tulang rusuknya sendiri yang telah dengan bodohnya ia patahkan.

Tamat.

PROFIL PENULIS
Nama : Khusnul Imamah
TTL : Sidoarjo,10 Oktober 1992
Alamat : Sidoarjo
Mahasiswi FKIP Universitas MAYJEN SUNGKONO MOJOKERTO
facebook : Khusnul imamah
E_mai : Chusnul_imamah@yahoo.com

Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.
Share & Like