INGIN HAJI
Karya Ilham
Semenjak kedatangan dari rumah tetangga yang mengadakan acara pernikahan, karakter ibu berubah drastis. Canda, tawa, serta kesibukan mengurusi rumah kini sudah sangat langka. Aku heran, kejadian apa yang sebenarnya membuat ibu seperti itu. Kerjanya hanya menopang dagu, serta menatap kosong segala apa yang ditatapnya. Semua tidak berarti apa-apa di matanya. Tiada kata lain yang terucap di mulut ibu kecuali ‘Mekkah ingin Haji’.
Karya Ilham
Semenjak kedatangan dari rumah tetangga yang mengadakan acara pernikahan, karakter ibu berubah drastis. Canda, tawa, serta kesibukan mengurusi rumah kini sudah sangat langka. Aku heran, kejadian apa yang sebenarnya membuat ibu seperti itu. Kerjanya hanya menopang dagu, serta menatap kosong segala apa yang ditatapnya. Semua tidak berarti apa-apa di matanya. Tiada kata lain yang terucap di mulut ibu kecuali ‘Mekkah ingin Haji’.
Memang, tiga hari yang lalu, ibu didatangi dua orang tetangga yang bermaksud untuk mengajak ibu ke rumah tetangga yang mau menikahkan anaknya. Katanya, anak kepala desa yang bungsu dilamar oleh seorang lelaki yang dikenal dengan kekayaannya. Ibu yang sudah menjadi kebiasaannya membantu orang lain jika butuh bantuan, merespon baik ajakan itu. Sehari sebelum acara pernikahan, ibu sudah datang membantu-bantu. Seperti kerjaan biasanya, ibu sering terlihat di dapur mencuci piring dan memasak segala keperluan pak kades menjamu tamu. Dengan segala keikhlasan hati, ibu tetap tersenyum dan bercanda ria bersama ibu-ibu lain yang datang turut membantu. Jangankan siang, malam pun ibu tetap ada di sana untuk membantunya. Bahkan, terkadang keperluan rumah sendiri ibu lupa mengurusinya. Betapa hebat rasa sosial ibu. Sifat yang patut dicontoh ibu-ibu yang lain.
Sebenarnya, kelainan ibu yang aneh berawal ketika hari ijab kabul anak Pak Kades berlangsung. Keinginan melihat kecantikan anak Pak Kades saat mengenakan baju pernikahan tak dapat dilihat ibu hanya disebabkan sibuk mengurusi makanan tamu undangan. Sempat kejengkelan bersarang di hati ibu ketika melihat para ibu-ibu haji yang sama sekali tidak ingin menginjak yang namanya dapur di pernikahan. Kerja mereka hanya di ruang tamu sembari mengipas–ngipas wajahnya yang penuh dengan make up. Sama sekali tak pernah melirik ke arah ibu yang sedang mencuci piring. Padahal jika tak ada ibu, pasti mereka tak akan dapat makan di sana.
Kekesalan ibu semakin bertambah ketika melihat para ibu-ibu haji itu hanya berkumpul dengan para sesama haji saja, termasuk pak kades dan istrinya. Sama sekali mereka tak ingin bergabung dengan ibu-ibu yang tidak memakai kerudung haji di kepala. Ibu sangat iri melihatnya. Sepertinya ibu berfikir keras melihat mereka. Tersenyum aneh terlihat di wajahnya. Rupanya ibu sedang berkhayal sedang berada di tengah-tengah kumpulan haji-haji yang lain dengan mengenakan pakaian haji pula. Lamunannya yang lucu itu terbuyar ketika piring yang ibu cuci berbenturan dengan gelas kaca di rak piring. Seiring khayalan tingkat tinggi ibu lari terbirit-birit, dengan segala kejengkelan hati ibu langsung saja pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan tuan rumah yang lagi sibuk mengurusi tamu-tamu yang lain. Sesampai di rumah, sikap ibu mulai tak wajar lagi. Masih teringat jelas di telinga, perkataan ibu padaku,
“ Sanah, ibu ingin naik haji. Ibu capek jadi pencuci piring terus”. Mendengar semuanya, aku mengira ibu hanya bercanda, sebab sikap gila seperti itu, ibu sendiri sangat membencinya. Mulai dari umur 5 tahun lalu, hingga seperti ini ibu masih saja memperingati aku harus menghindari sifat seperti itu, iri hati. Katanya tak baik. Lebih baik mati dari pada mempunyai penyakit itu. Semuanya masih terekam jelas di telingaku. Aku kasihan sama ibu. Rupanya ibu termakan oleh kata-katanya sendiri. Sekarang aku harus berbuat apa untuk membantunya melepaskan belenggu penyakit yang tidak baik itu.
Melihat tingkahnya yang terus aneh, bapak yang baru datang dari sawah langsung menyapa ibu yang sedang menopang dagu. Bapak yang sebenarnya mulai agak heran melihat ibu seperti itu sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika ingin mengabulkan permintaan ibu, terasa mustahil bagi keluargaku. Andai dapat, tak mungkin juga akan mudah secepat itu. Sebab semua orang juga tahu, butuh lima tahun lagi untuk dapat menunaikan rukun islam yang kelima itu. Sambil meletakkan cangkul di samping kursi, bapak mencoba membuyarkan lamunan ibu,
“ Ibu.. Ibu...! ibu lagi berfikir apa? Tidak baik menopang dagu seperti itu, Pemali,” sapa bapak dengan sangat hati-hati. Ibu yang mulai tersadar dari lamunan, seketika menggertak bapak yang tubuhnya masih dipenuhi lumpur sawah.
“ Pak, ibu ingin naik haji. Ibu sudah capek terus-terusan jadi pencuci piring di rumah orang. ibu ingin seperti istri-istri orang yang sudah naik haji. Kerjanya hanya duduk, makan, dan mengurusi dandanannya. Ibu ingin di lengan ini dipenuhi gelang-gelang emas. Leher dan telinga ibu indah dengan kilau emas, seperti ibu haja yang lain, agar ibu dapat duduk dengan santai jika ada pesta pernikahan nanti ”, kalimat mimpi ibu yang membuat bapak seketika heran mendengarnya.
“ Astagfirullah bu, istigfar. Mana mungkin kita mampu mewujudkan keinginan ibu seperti itu. Apalagi, niat ibu keliru, haji bukan ajang untuk memamerkan harta kekayaan,” Bapak mencoba memperingati ibu. Namun,
“ Ah, Ibu tidak mau tahu pak, pokoknya ibu ingin naik haji tahun ini juga. Apapun caranya. Titik.”
Mendengar perkataan ibu yang tetap teguh, kupandangi bapak hanya menggelengkan kepalanya. Langkah kecil sembari meraih cangkul yang menjadi saksi keirian hati ibu dipegang bapak dengan erat lalu berjalan menuju kadang ayam yang tak berpenghuni lagi.
Melihat tingkah ibu, aku jadi kasihan pada bapak. Andai dapat, baju dan sepatu bonekaku akan kujual untuk mengabulkan segala permintaan ibu untuk naik haji. Tasku yang bergambar dora akan kujual demi membelikan kalung dan perhiasan emas lain permintaan ibu, agar ibu sadar bahwa segala keinginan akan dapat terwujud dengan indah jika diawali dengan sikap ketulusan hati. Kasihan ibu, keinginan naik haji hanya karena persoalan sudah tak mau lagi mencuci piring menjadi bumerang dikeluargaku. Bapak, apalagi. Tidak jarang aku melihatnya naik turun tangga dari rumah para tetangga di kampungku hanya sekedar meminjam uang untuk biaya pemberangkatan ibu ke tanah Mekkah. Kebun dan sebidang tanah milik keluarga satu-satunya sudah terbang melayang siap membawa ibu ke tanah suci. Namun sayang, biaya untuk beribadah sudah sangat mahal harganya.
“ Tuhan.... andai dapat, hapuslah rukun islam yang kelima itu. Agar apa yang menjadi penyakit ibu-ibu haji di kampungku tidak tertular pada ibuku. Aku kasihan sama ibu tuhan... Menjadikan tanah sucimu sebagai salon kecantikan yang hanya sekedar merubah penampilan orang-orang sekampung. Kabulkanlah do’aku ini tuhan, agar aku juga tidak menjadi golongan haji-haji penghindar cuci piring jika aku dewasa nanti. Amiiin!”
“ Sanah, ibu ingin naik haji. Ibu capek jadi pencuci piring terus”. Mendengar semuanya, aku mengira ibu hanya bercanda, sebab sikap gila seperti itu, ibu sendiri sangat membencinya. Mulai dari umur 5 tahun lalu, hingga seperti ini ibu masih saja memperingati aku harus menghindari sifat seperti itu, iri hati. Katanya tak baik. Lebih baik mati dari pada mempunyai penyakit itu. Semuanya masih terekam jelas di telingaku. Aku kasihan sama ibu. Rupanya ibu termakan oleh kata-katanya sendiri. Sekarang aku harus berbuat apa untuk membantunya melepaskan belenggu penyakit yang tidak baik itu.
Melihat tingkahnya yang terus aneh, bapak yang baru datang dari sawah langsung menyapa ibu yang sedang menopang dagu. Bapak yang sebenarnya mulai agak heran melihat ibu seperti itu sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Jika ingin mengabulkan permintaan ibu, terasa mustahil bagi keluargaku. Andai dapat, tak mungkin juga akan mudah secepat itu. Sebab semua orang juga tahu, butuh lima tahun lagi untuk dapat menunaikan rukun islam yang kelima itu. Sambil meletakkan cangkul di samping kursi, bapak mencoba membuyarkan lamunan ibu,
“ Ibu.. Ibu...! ibu lagi berfikir apa? Tidak baik menopang dagu seperti itu, Pemali,” sapa bapak dengan sangat hati-hati. Ibu yang mulai tersadar dari lamunan, seketika menggertak bapak yang tubuhnya masih dipenuhi lumpur sawah.
“ Pak, ibu ingin naik haji. Ibu sudah capek terus-terusan jadi pencuci piring di rumah orang. ibu ingin seperti istri-istri orang yang sudah naik haji. Kerjanya hanya duduk, makan, dan mengurusi dandanannya. Ibu ingin di lengan ini dipenuhi gelang-gelang emas. Leher dan telinga ibu indah dengan kilau emas, seperti ibu haja yang lain, agar ibu dapat duduk dengan santai jika ada pesta pernikahan nanti ”, kalimat mimpi ibu yang membuat bapak seketika heran mendengarnya.
“ Astagfirullah bu, istigfar. Mana mungkin kita mampu mewujudkan keinginan ibu seperti itu. Apalagi, niat ibu keliru, haji bukan ajang untuk memamerkan harta kekayaan,” Bapak mencoba memperingati ibu. Namun,
“ Ah, Ibu tidak mau tahu pak, pokoknya ibu ingin naik haji tahun ini juga. Apapun caranya. Titik.”
Mendengar perkataan ibu yang tetap teguh, kupandangi bapak hanya menggelengkan kepalanya. Langkah kecil sembari meraih cangkul yang menjadi saksi keirian hati ibu dipegang bapak dengan erat lalu berjalan menuju kadang ayam yang tak berpenghuni lagi.
Melihat tingkah ibu, aku jadi kasihan pada bapak. Andai dapat, baju dan sepatu bonekaku akan kujual untuk mengabulkan segala permintaan ibu untuk naik haji. Tasku yang bergambar dora akan kujual demi membelikan kalung dan perhiasan emas lain permintaan ibu, agar ibu sadar bahwa segala keinginan akan dapat terwujud dengan indah jika diawali dengan sikap ketulusan hati. Kasihan ibu, keinginan naik haji hanya karena persoalan sudah tak mau lagi mencuci piring menjadi bumerang dikeluargaku. Bapak, apalagi. Tidak jarang aku melihatnya naik turun tangga dari rumah para tetangga di kampungku hanya sekedar meminjam uang untuk biaya pemberangkatan ibu ke tanah Mekkah. Kebun dan sebidang tanah milik keluarga satu-satunya sudah terbang melayang siap membawa ibu ke tanah suci. Namun sayang, biaya untuk beribadah sudah sangat mahal harganya.
“ Tuhan.... andai dapat, hapuslah rukun islam yang kelima itu. Agar apa yang menjadi penyakit ibu-ibu haji di kampungku tidak tertular pada ibuku. Aku kasihan sama ibu tuhan... Menjadikan tanah sucimu sebagai salon kecantikan yang hanya sekedar merubah penampilan orang-orang sekampung. Kabulkanlah do’aku ini tuhan, agar aku juga tidak menjadi golongan haji-haji penghindar cuci piring jika aku dewasa nanti. Amiiin!”
Sekian!
PROFIL PENULIS
KETUA GERAKAN MAHASISWA BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS AL ASYARIAH MANDAR SULAWESI BARAT. WARGA PADEPOKAN SASTRA MPU TANTULAR MENGGUGAT MANDAR POLEWALI MANDAR.