ANA INGIN JADI WARTAWAN
Karya Dwiana
Takdir telah tercatat 50.000 tahun sebelum manusia dilahirkan, segala kejadian sudah tertuang dalam kitab terbentang (Lauh Mahfudz). Ketentuan pasti terjadi, tinggal jalan mana yang manusia pilih untuk menjemput ketentuan itu. Sepenggal untaian itu Aku ciptakan sendiri untuk menemani semangatku dalam meraih ambisi, menjadi orang sukses dalam perantauan.
Aku memang sedikit berbeda dengan saudaraku yang lebih qona’ah, menjalani kehidupan dengan slow dan nrimo, mungkin karena basic agama kakakku yang lebih kental sehingga menganggap dunia itu bukan ambisi utama yang dikejar. Sementara Aku selalu menganggap semua orang punya hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi sesuatu tanpa terpacu pada materi.
“Keputusanmu sudah bulat Ndok?,” tanya Bapak yang sebenarnya berharap Aku melanjutkan usahanya jualan di Warung dekat SMP Negeri di Kampungku. “Sudah Pak, keputusanku sudah bulat ingin kerja di Bandung dan melanjutkan kuliah disana,” jawabku dengan tegas.
Karya Dwiana
Takdir telah tercatat 50.000 tahun sebelum manusia dilahirkan, segala kejadian sudah tertuang dalam kitab terbentang (Lauh Mahfudz). Ketentuan pasti terjadi, tinggal jalan mana yang manusia pilih untuk menjemput ketentuan itu. Sepenggal untaian itu Aku ciptakan sendiri untuk menemani semangatku dalam meraih ambisi, menjadi orang sukses dalam perantauan.
Aku memang sedikit berbeda dengan saudaraku yang lebih qona’ah, menjalani kehidupan dengan slow dan nrimo, mungkin karena basic agama kakakku yang lebih kental sehingga menganggap dunia itu bukan ambisi utama yang dikejar. Sementara Aku selalu menganggap semua orang punya hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi sesuatu tanpa terpacu pada materi.
“Keputusanmu sudah bulat Ndok?,” tanya Bapak yang sebenarnya berharap Aku melanjutkan usahanya jualan di Warung dekat SMP Negeri di Kampungku. “Sudah Pak, keputusanku sudah bulat ingin kerja di Bandung dan melanjutkan kuliah disana,” jawabku dengan tegas.
Kehidupan keluargaku memang sederhana, Bapak jualan di warung ditemani ibu tiriku. Sejak SMP kelas 1 ibu kandungku sudah dipanggil Allah lewat perantara penyakit komplikasi yang beliau derita. Aku sebenarnya setuju saja tetep tinggal di kota Reog asal Bapak mendukungku melanjutkan bangku pendidikan di Universitas, tapi sayang alasan ekonomi selalu menjadi dalil Bapak untuk menolak proposalku itu. Alhasil dengan tekad sekeras baja saat temen-temen seangkatanku asyik liburan sambil menunggu kelulusan, Aku memilih mencari kerja dengan satu alasan, cari uang untuk beli tiket pergi ke perantauan.
Alhamdulillah dapat, walau kerjaan itu membuat satu hariku seperti sebulan lamanya, pagi jadi pembokat siang jadi pramuniaga di toko kue. Dengan penghasilan Rp 250.000/bulan Aku pertahankan sampai malam takbiran keluar dari ruko itu, “Mas lebih setuju kamu nemenin Bapak jualan saja Na,” sela kakak melihat Aku tampak sibuk membereskan sisa packing karena sebentar lagi Aku segera meninggalkan kota tercintaku ini, “Mas sudah tahu sendiri bagaimana kharakterku, Aku tidak bisa dipaksa Mas,” ungkapku protes.
“Ya sudah terserah Kamu, Saran Mas jangan lupa khodratmu sebagai wanita. Jaga dirimu apalagi disana Kamu sendiri. Dekatkanlah diri pada Allah, insya Allah sesulit apapun akan ada jalan jika Kita berserah diri pada-Nya,” tutur kakakku. “Nggih Mas matur nuwon, Ana berangkat dulu Mas, Pak, Mbok’e,” pamitku sembari mencium tangan mereka satu per satu.
Seiring bus Pahala Kencana meninggalkan bumi Reog, semakin meninggikan ambisiku untuk berhasil di kota lautan api itu,” Aku datang ke Bandung untuk sukses, dalam profesi Aku nanti ingin jadi reporter atau wartawan, yang terpenting tidak terikat ruang waktu karena Aku orangnya cepat bosan…,” gumamku menerjemahkan asaku.
Pagi itu, di akhir September 2009 Aku sudah menginjak tanah Leuwi Panjang, kucari kontrakan saudaraku yang sejak 6 tahun lalu kerja disini. Tidak terlalu sulit, karena angkot berlalu lalang ke segala penjuru, “Kalau mau ke Sukamenak Kopo naik yang mana ya Mang,” tanyaku pada salah seorang sopir angkot sembari membaca nama alamat di secarik kertas, “Naik Soreang saja Neng, nanti bilang ke sopirnya turun di Kopo. Patokannya dekat Indomart, nanti tanya lagi dimana Sukamenak, tidak jauh dari situ,” papar Amang itu menjelaskan.
“Assalamualaikum..” salamku sembari mengetuk pintu nomor 52 blok E Sukamenak, “Walaikumsalam….,” jawab pemilik rumah membukakan pintu, “Anaa…..Ya Ampun kamu sudah nyampe sini, gak sms biar dijemput saja di Leuwi Panjang, untung kamu gak nyasar,” celoteh keponakanku Santi. Aku hanya senyum-senyum saja sambil memeluk kangen keponakanku yang udah setahun tidak bertemu.
Kuceritakan ihwal dan niatku merantau disini, saudaraku yang baik hati dengan tulus membantu mencarikan kerjaan, “Apa ajalah yang penting Aku bisa ngumpulin uang biar nanti bisa ngelanjutin kuliah, kuliah kelas karyawan juga ndak apa-apa,” paparku saat ditanya mau kerja apa.
Beberapa lamaran kerja Aku masukkan ke sejumlah pabrik di kabupaten Bandung, hampir sebulan Aku belum mendapat panggilan untuk tes kerja, pikiranku mulai suram, ditambah bekal sakuku semakin menipis… “An coba kamu besok ke pabrik yang ada di daerah Caringin kota Bandung, denger-denger disana ada lowongan,” kata Santi memberiku semangat.
Selesai Subuh, kuisi perut ini dengan sarapan lauk bala-bala dan sambal, kunikmati saja apa adanya karena inilah sari pati hidup, orang harus merasakan perih dulu jika ingin senang. Lalu kucari alamat pabrik X seorang diri karena Santi ada kerja lembur tak bisa menemani.
No. 18 N, ini dia pabriknya, “Permisii…” kataku setengah teriak, “Yaa ada apa” jawab security dari dalam, “Maaf pak saya mau memasukkan lamaran kerja,” terangku. Pak Satpam itu kemudian membukakan pintu gerbang dan Aku dipersilahkan untuk masuk dulu ke post security, “Komandan ini ada wanita mau memasukkan lamaran kerja,” kata satpam itu pada komandannya.
Kemudian Aku diinterview seputar keahlianku, “Kamu bisa jahit” tanya komandan, “Tidak bisa Ndan,” “Wah repot kalau gitu. Disini syaratnya harus bisa jahit,” papar komandan, “Gini aja coba kamu berdiri,” Aku turuti sambil komandan itu memperhatikan postur tubuhku, “Tinggi cukup, badan cukup, wajah juga cukup,” gumam komandan mengomentariku. “Kamu jadi security girl aja mau, nanti biar Saya yang ngurus ini itunya,” kata komandan menawarkan.
Pulang dari Pabrik Aku memikirkan tawaran komandan, “Security girl,” Aku bayangkan diriku memakai seragam biru, memberi hormat jika owner perusahaan lewat, lalu harus terlihat galak pada karyawan,” huuffft Aku sulit memutuskan. Disatu sisi Aku harus segera kerja, di sisi lain bukan bidang ini yang Aku inginkan. Dengan segala pertimbangan akhirnya ku ambil tawaran itu.
Seminggu Aku menjalani diklat lapangan dan test klasikal, lari 5 putaran, PBB, dan latian fisik lainnya. Untung di SMA dulu Aku aktif di Pramuka dan PALA jadi ini tidak terlalu berat bagiku. Tugas pertamaku di sebuah Pabrik Tekstil di Daerah Cimahi. Aku berkenalan dan berteman dengan security yang lebih senior di area sini. Ada 15 security pria dan 1 security wanita, mereka cukup ramah dan baik padaku.
Menjalani pertemanan dengan seniorku dari berbagai daerah, diantaranya Bandung, Cirebon, Garut, Tasikmalaya, Subang, Purwokerto, Timur Leste, dan daerah sebrang, Aku cukup nyaman dengan suasana ini. Dari cerita mereka, profesi security kebanyakan dipilih karena pelarian Tentara dan Polisi yang gagal atau tidak lulus tes.
Berteman dengan mayoritas pria dan profesi yang lazim disandang pria membuat kharakterku semakin tomboy, “Ana, dilihat kau tidak pantas jadi satpam. Pantasnya nerusin sekolah saja. Sayang masih muda sudah jadi satpam. Ini pekerjaan keras,” ujar seniorku bang Heri.
Kata-kata dari Bang Heri mengusik pikiranku, seakan Aku diingatkan kembali terhadap mimpi dan asaku untuk apa Aku datang ke Bandung. Sedih kurasakan, “Bapak ternyata hidup di kota itu tak semudah yang Aku bayangkan,” lirihku menatap cermin di kamar sambil berlinang air mata.
“Aku harus bangkit lagi, Aku harus mengejar cita-citaku jadi wartawan atau reporter,” tekatku menutupi rasa sedih.
Besoknya kuceritakan mimpi-mimpiku pada teman-teman satpam dan karyawan di pabrik itu, “Ahh mimpi di siang bolong kamu mah. Mau jadi wartawan kesiangan..hahaha,” mereka mengejekku. Aku tersentak dengan respon mereka..memang harapanku terlalu tinggi mengingat asal-usul, kemampuan dan pendidikanku, “Bang Wandy, apa Ana terlalu bermimpi ya untuk jadi kuli tinta,” tanyaku pada Wandy, satpam yang paling dekat denganku, “Jangan nyerah Na sebelum kamu memulai dan mencoba..tidak ada yang tidak mungkin kok..tidak apa-apa bermimpi..tidak salah bermimpi setinggi-tingginya, masalah jatuhnya di kubangan mana itu haq Allah,” tutur Wandy memberiku semangat, “Kalau Ana memang serius ingin jadi wartawan, Ana pindah di area tugas yang ada ladang ilmunya. Saya dapat informasi dari kawan, 2 mingguan lagi di Area Skol Kristen daerah Pasteur membutuhkan 07 (satpam perempuan), karena 07 yang sekarang mau cuty hamil. Paling tidak itu lebih baik dari tempat kerja sekarang,” Informasi dari bang Wandy itu segera ku chek croscek. Tak berfikir lama segera Aku mengajukan diri pindah tugas.
Seminggu sebelum aq over tugas ke Skol Kristiani itu, pagi hari ketika Aku hendak berangkat tugas terdengar teriakan orang, teriakan bukan hanya dari satu orang, melainkan ramai banyak orang, “Kami menagih haq Kami yang kalian rampas..Kembalikan uang Kami..” terdengar keras teriakan itu semakin Aku mendekati area kerja. Rupanya suara itu berasal dari puluhan orang yang demo di area kerjaku. Dari cerita bang Wandy, para pendemo itu Eks karyawan yang sudah pensiun namun hingga 1 Tahun sejak mereka resigh uang pensiun belum dibayarkan oleh Pabrik.
Sebagai keamanan Aku turut mengawasi jalannya demo agar tidak rusuh… Uppzz, mataku tertuju pada sosok pria disela kerumpulan orang demo itu, tapi dia tidak ikut berteriak lantang maupun membawa poster-poster yang berisi kecaman, pria yang kira-kira berumuran ¼ abad dengan jaket hitam itu tampak sibuk mengambil gambar melalui kamera Canon yang ia tendeng, setelah itu dia mewancarai seorang pendemo menggunakan recorder kecil, tampak sangat gagah, tanpa sadar Aku tersenyum simpul sendiri… “Heiii…tunggu,” teriakku nyamperin Dia setengah berlari, karena tampaknya Dia sudah selesai dengan kepentingannya…”Kamu memanggil Saya?” jawabnya menoleh padaku, “Iya..Kamu, Kamu wartawan? Boleh Aku kenal Kamu, Aku ingin jadi wartawan,” ucapku cepat karena Dia terlihat tergesa..”Ini kartu namaku, maaf Aku duluan ada liputan lain..,” kata dia sembari pergi meninggalkan gerbang pabrik…
Kubaca lekat setiap kata dan nomor telpon yang tertera di kartu nama itu. Nama laki-laki gagah itu Dany, seorang wartawan Mingguan yang bertugas lintas daerah. Hatiku bergemuruh, jantungku berdetak lebih cepat, bukan karena pria itu tapi karena Aku akan menemukan jalan menuju puzzle mimpiku.
“Assalamualaikum maaf ini dengan Kak Dany, Wartawan Koran X?” kataku setelah Ia mengangkat teleponku, “Walaikumsalam ya benar Saya sendiri, Anda siapa” jawabnya… dialog itu berujung kita janjian di suatu tempat, tepatnya hari Sabtu, karena Aku sekarang sudah pindah tugas di Skol Kristiani dan mendapat libur hari Sabtu Minggu.
“Kenapa Kamu ingin jadi wartawan An,? tanya Dany, “Karena Wartawan itu tugasnya mulia, menyampaikan dan mendidik masyarakat dengan berita yang ia bawakan, trus wartawan itu tempatnya kaum inteleq, dan kerjanya tidak terikat ruang waktu jadi tidak monoton,” jawabku dengan lancar. Jawaban itu kulontarkan berdasarkan pengalaman pribadi sewaktu SMA dulu masih aktif di Ekskul Journalist dan Announcer, walau lingkupnya hanya kecamatan setidaknya ada basic di bidang itu, “Iya betul memang seperti itu, tapi Kamu siap dengan resiko seorang wartawan,” tanyanya lagi kali ini dengan nada lebih ditekan, “Apa memang resikonya Kak,” tanyaku balik karena belum tahu konsekwensi yang ia maksud, “Penjara atau Kuburan” jawabnya dengan mata tajam. Aku agak tersentak dengan pernyataan Dany, namun ambisi dan mimpi menaklukan ketakutanku, “Aku siap kak,”.
Setelah kesiapanku, Dany mengajariku tentang Journalist dari ilmu yang Ia dapat sewaktu di Universitas dan ilmu dia praktek di lapangan. Setiap Sabtu Minggu kuhabiskan waktu dengannya, dengan pelajaran tertulis tentang dasar-dasar journalis, cara membuat berita, kode etik wartawan dan bahkan di bulan ke-4 sejak kita mulai belajar, Dany mengajakku langsung terjun ke lapangan. Aku mengamati bagaimana cara dan alur Dany ketika mewawancarai narasumber. Aku begitu bahagia bisa bertemu dan kenal dengan Dany. Pria gagah yang baik hati itu menemaniku menjemput mimpi. Aku sangat berharap persahabatan dan agenda rutinitas Kita setiap Sabtu Minggu bisa bertahan lama, paling tidak sampai Aku mandiri dan tidak jadi wartawan amatiran lagi. Tapi rupanya takdir berkata lain, bulan ke-7 sejak kita belajar bersama, Dany dipindah tugaskan di Bogor, “Jujur Aku sedih harus jauh dari kakak. Kak Dany adalah semangatku dalam mengejar asa ini. Aku tidak tahu gimana ngelanjutin pembelajaran ini tanpa kakak,” tuturku diiringi tangis melepas kepergian Dany, “Ana, Saya hanya perantara dari Allah untuk menjemput cita-cita Kamu. Kalau kamu yakin bahwa Allah Maha adil jangan pernah putus asa,” itu nasihat terakhir yang Dany sampaikan sebelum Ia menuju kota hujan.
Hari berganti hari kujalani dengan semangat yang menurun drastis. Sebagai tentara langit biru di area skol, tugasku menerima tamu sebelum menghantarkan tamu itu ke recepsionist di sekolah kristiani tempat Aku mengais rejeki, “Siang mbak, Saya ada janji dengan Pak Marlon guru fisika mengajar kelas 12,” kata seorang tamu menghampiriku, Aku belum pernah melihat tamu ini sebelumnya. Sekilas dia seperti keturunan Chinese, tapi masih ada darah Indonesia dilihat dari warna kulitnya sawo matang typical khas kulit orang Indonesia, “Siang Pak, tapi jam istirahat teacher masih 2 jam lagi,” tuturku pada tamu itu, “Iya tidak apa-apa memang janji kita jam 12 nanti, cuma tadi ada keperluan yang terpending jadi saya putuskan kesini saja sambil menunggu Pak Marlon,” ujarnya.
Sambil menanti jam istirahat, tamu yang memperkenalkan diri dengan nama Robert itu mengajakku berbincang. Dia seorang dosen di Universitas Teologi, “Mbak gerejanya dimana,” tanya Robert, Aku kaget dengan pertanyaan itu, “Maaf Pak saya muslim,” jawabku, “Okh anda islam, Saya tadi tidak menyangka lho kalau mbak islam. By the way mbak masih muda kenapa mau jadi security,?” pertanyaan Robert kembali membuatku gugup. Kuceritakan saja perjalanan hidupku selama di rantauan ini karena Pak Robert orangnya cukup care sehingga Aku tidak canggung, “Wahh sayang ya mbak, orang dengan ambisi dan semangat yang kuat seperti mbak tidak terakomodasi. Kalau di Kita orang-orang seperti mbak pasti akan diperhatikan,” terangnya, “Maksud Bapak gimana?” tanyaku tak mengerti terhadap statement pak Robert, “Maksudnya kalau mbak ikut keyakinan Kami mbak akan sukses. Kebetulan saya dosen dan banyak jaringan, kalau mbak mau ikut keyakinan Kami saya bisa usahakan beasiswa journalist SI di UN yang mbak bisa pilih sendiri dan beasiswa S2 di Amerika. Tapi dengan membawa visi dari keyakinan Kami,” papar Pak Robert. Aku hanya melongo dan terdiam mencerna setiap kata yang Pak Robert lontarkan.
Aku akui, walaupun KTP islam tapi Aku belum mengenal Allah, kewajibanku 5 waktu saja masih banyak bolongnya. Tawaran itu mengikis imanku, bayangan kuliah, journalist, keliling dunia terbayang di kelopak mataku.
Aku diberi waktu sebulan untuk mengambil atau menolak tawaran itu. Saat ada tawaran besar seperti ini Aku sangat membutuhkan teman untuk share, bukan keluarga karena keluargaku tidak mengerti ambisiku. Aku teringat Kak Dany, kuhubungi nomornya, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan” suara operator seluler yang selalu Aku dengarkan setiap menghubungi nomor kak Dany telah memutus persahabatan Kami. Aku benar-benar kehilangan sosok teman yang sangat baik dan Aku butuhkan sarannya.
Mendekati hari pertemuan dengan Pak Robert Aku putuskan untuk mengambil tawaran itu, “Yach hanya dengan cara itu mimpi-mimpiku bisa jadi nyata. Hidupku hanya sekali dan akan Aku manfaatkan hidup ini sesuai keinginanku,” ucapku membakar semangat diri.
Hari H bertemu dengan Pak Robert, kita janjian di Universitas tempat beliau mengajar. Perjalanan ke Universitas Aku naik angkot, disamping tempat dudukku, ada seorang wanita berjilbab seusiaku tampak serius membaca sebuah buku, Aku perhatikan raut wajah wanita itu tampak bercahaya, tidak terlalu rupawan tapi sangat sejuk dipandang, “Afwan, Ukhti dari tadi mengamati Saya, ada yang bisa saya bantu,?” tutur wanita itu menyadarkanku bahwa dari tadi Aku telah terpana dengan cahaya di wajahnya, “Oh maaf, itu bukunya bagus,” kataku salah tingkah, “Ini buku tentang dasar-dasar islam, kalau mau Ukhti bisa membacanya,” kata wanita itu dengan santun, “Oya Ukhti hendak kemana,?” tanyanya, “Astagfirullah hal adzim” ucapku dengan tangis terisak sambil memeluk wanita itu…….