Ketika Cinta Menyapa - Cerpen Cinta

KETIKA CINTA MENYAPA
Karya Anggi Dwi Sulistyani

Terlihat olehku pancaran sinar matahari sore ini, angin pun menerpa rambutku. Aku yang sedari tadi duduk termenung di sini. Masih ku ingat kejadian pagi tadi di sekolah.

Lamunan ku semakin lama semakin dalam kurasakan. Hingga aku tak sadar bahwa sedari tadi bunda telah memanggilku. Aku yang masih asyik terus saja terdiam hingga sentuhan jari manis bunda mendarat di bahu. Ku tengok dan terlihat senyuman bunda yang sangat aku suka.
“Ada apa bunda ?” tanyaku dengan menutupi semua kegelisahanku.
“Kamu, ngapain di sini. Kok dari tadi bunda panggil-panggil engga nyahut-nyahut” ucap bundaku.
“Aaah, bunda aku kan lagi itu” jawabku sembari mencari-cari alasan.
“Lagi apa hayooo ?” tanya bunda menggodaku.
“Aaah, bunda kayak engga pernah muda aja” jawabku dengan manja.
Setelah beberapa lama kemudian bundapun pergi dari kamarku dan memasak untuk makan malam nanti. Aku memang anak tunggal yang mungkin sangat disayang oleh bunda dan ayah. Namun, tak bisa ku pungkiri kehidupanku sangat hambar tanpa kehadiran kakak ataupun adik.
 
Ketika Cinta Menyapa
Aku merasa sangat sepi di kala ayah dan bundaku sedang sibuk dengan urusan mereka. Aku memang menyadari bahwa mereka sibuk bekerja untuk kebutuhanku. Namun, lagi-lagi aku kadang tak menyadari bahwa mereka sangat sayang kepadaku.
****

Pagi yang cerah membuatku ingin cepat-cepat bangun dan pergi ke sekolah. Tak sabar aku ingin melihat senyum di wajah rupawannya. Seusai mandi aku segera bersiap-siap dan turun ke bawah untuk sarapan.
“Eh, anak bunda udah cantik” sapa bundaku ketika keluar dari kamar.
“Aahh, bunda bisa aja buat aku terbang” ungkapku dengan manja.
Bundapun segera duduk di sampingku dan mengambil nasi goreng untuk ayah. Akupun juga segera melahap roti tawar yang terhidang di atas meja. Setelah sarapan aku segera keluar rumah bersiap untuk berangkat sekolah.

Sesampainya di sekolah aku bertemu dengan cowok yang mungkin aku suka. Namun, aku tak tahu apakah dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku dan diapun segera naik ke atas tangga karena memang kelas kami berada di atas.
“Ra, udah ngerjain pe-er belum” tanya Revan kepadaku.
“Udah dong gini-gini aku juga rajin, hehehehehe” ucapku dengan senyuman.
“Hahahaha iya deh, percaya” ungkap Revan kemudian.
Teeettt.....teett....teett bel sekolahpun berbunyi aku dan Revan segera masuk ke kelas. Saat sedang terburu-buru tak sadar bahwa novelku. Revanpun segera mengambilnya. Namun, saat dia ingin mengembalikan kepadaku aku sudah asyik mengobrol bersama Viola sahabatku.
Sesaat kemudian pelajaranpun dimulai, aku yang agak bosan dengan pelajaran Geografi tak mengerti dengan apa yang diterangkan ibu guru. Akhirnya pelajaranpun selesai. Segera saja aku bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
Sebentar kemudian akupun sampai di rumah. Setelah aku sampai kamar rintik-rintik hujan membasahi bumi. Ku lihat tetesan air hujan yang mengalir bebas. Mengalir sesuka hatinya, mengalir tanpa beban.

Setelah puas aku melihat hujan akupun segera beranjak ke meja belajarku. Ku buka tasku dan ku cari novel yang sangat aku suka. Namun, saat aku mencarinya tak jua ku temukan novel itu.
“Novelku kemana nih” ucapku dalam hati.
Kemudian aku ingat-ingat sewaktu tadi aku di sekolah. Mungkin novelku jatuh dari tas. Namun, jika itu benar siapa yang memungutnya. Setelah lama ku ingat-ingat jangan-jangan Revan yang ngambil. “Mati, sudah aku” ucapku lirih.

Segera saja aku ambil ponselku dan mengirim pesan kepada Revan. Sesaat kemudian ponselku bergetar.
“Iya, tadi aku nemu novel terus tak kira punya kamu. Tapi, pas aku mau ngembaliin kamu baru serius ngobrol. Jadi, ya aku nggak enak :D”
Setelah aku baca pesan itu seketika tanganku langsung dingin seperti orang yang ketakutan. Aku takut jika dia membaca satu kertas yang terselip di novel itu. Aku tak mau dia tau perasaan aku yang sesungguhnya. Dan aku juga tak ingin sahabatku mengetahui hal itu. Karena dia juga mempunyai perasaan yang sama seperti aku kepada Revan.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah sampai di sekolah. Segera aku menunggu Revan dan segera meminta novelku. Setelah beberapa saat aku menunggu terlihat olehku Revan dengan keren menaiki sepeda wim cycle.
“Van, mana novelku ?”
“Eh, Clara iya ini baru di tas”
“Ya, cepet ambilin dong aku baru pengen baca ceritanya”
“Iya ini”
“Kamu belum baca kertas yang terselip di novel ini kan ?”
“Kertas apa ?”
“Oooh, ya udah syukur deh”
Setelah mendapatkan novelku aku segera berlari ke atas dan duduk di kelas. Setelah sampai segera aku ambil kertas itu dan aku buang ke tempat sampah. Aku tak ingin ada orang yang mengetahui bahwa aku menyukai Revan.
Ketika aku sedang membuang kertas itu tak sengaja aku bertemu dengan Revan. Diapun tersenyum kepadaku dan tak pernah bisa untuk ku pungkiri senyumannya sungguh menawan. Namun segera saja kuenyahkan perasaan itu, aku tak mau ada kesalah pahaman antara aku dan Wenda.
Waktu demi waktu terus berjalan hingga kini masih tak bisa ku lupakan seorang Revan yang sangat aku cinta. Namun, aku harus sadar bahwa mungkin dia tak suka denganku.

Saat aku tengah terlena dalam alam khayalku, ponselku pun bergetar. Dan ku lihat pesan yang masuk. Ku baca Revan mengirim pesan kepadaku.
“Clara, aku boleh tanya sesuatu nggak sama kamu ?”

Ku baca sms dari Revan entah kenapa lagi-lagi tanganku dingin dan jantungku berdegup dengan kencang. Tanganku pun gemetaran saat aku menulis pesan balik untuknya.
“Apa ?”
“Menurutmu aku orangnya gimana sih ?”
“Ya kayak cowok kebanyakan, nggak ada yang spesial kok dari kamu :P”
“Ya, deh. Eh ra sebenernya aku tuh lagi suka sama seseorang lho”
“Siapa ?”
“Dia deket sama aku kok”
“Wenda, Viola atau siapa ?”
“Uuuumm.. Viola”
“Oooh”
Tak bisa ku pungkiri setelah Revan mengirim pesan bahwa dia suka dengan Viola hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Tak pernah ku sangka orang yang aku suka ternyata suka dengan sahabatku sendiri.

Ku coba tuk tak menetaskan air mata namun, kesedihan ini tak bisa ku tahan. Air mataku jatuh seperti hujan di luar sana. Deras sekali dan aku juga menahan sesak. Tapi, aku harus bisa menahan semua ini. Aku harus bisa menjadi Clara yang dulu, Clara yang selalu bahagia, ceria, dan Clara yang selalu tegar.
“Clara nggak boleh kayak gini. Clara harus kuat, Clara harus bisa hidup tanpa Revan. Inget Clara revan itu buka segelanya buat kamu.” Rintihku dalam hati.
***

Pagi ini ku coba untuk tersenyum. Meskipun bekas mata yang sedari tadi malam menangis belum hilang. Segera aku bangun dan berangkat ke sekolah.
Beberapa saat kemudian mobilku sampai di depan pintu sekolah. Tak terlihat olehku seseorang yang tadi malam membuat aku menangis. Dengan langkah kakiku yang terasa sangat berat, ku langkahkan kakiku naik ke atas dan memasuki kelas. Terlihat olehku Viola yang menghampiriku.
“Mata kamu kenapa ra ?”
“Bukan urusan kamu. Aku benci sama kamu.”

Segera ku tinggalkan Viola yang berdiri mematung. Dan terlihat olehku dia sangat kebingungan.
“Sorry, la aku udah terlanjur sakit” gumanku lirih.

Sesaat kemudia setelah Viola ku tinggalkan kemudian Revan datang dan menghampiri Viola. Akupun segera berlari karena aku tak ingin menangis lagi seperti tadi malam. Ketika Viola sedang berjalan dengan Revan ia pun bertanya kepada Revan tentang keadaanku.
“Van, tau nggak ada apa dengan Clara ?”
“Engga lha emang kenapa ?”
“Tadi tuh aku tanya kenapa matanya merah, tapi, dia malah njawab bukan urusan kamu”
“Mungkin dia lagi nggak mood buat cerita”
“Mungkin”
Teeett... teett...teett.. Bel tanda masuk pun berbunyi segera aku duduk di sebelah Wenda. Hari ini aku tukar tempat dengan Tasya karena aku tak ingin 1 meja dengan Viola.
Hari ini terasa olehku pelajaran sangat lambat. Moodku dari tadi malam sudah tiada karena dua orang yang sudah membuat perasaanku hancur berkepinng-keping.

Saat guru sedang menjelaskan pelajaran terlihat olehku Viola tersenyum manis kepadaku. Namun, segera saja aku bersikap acuh tak acuh dengannya. Aku pun meminta izin kepada ibu guru untuk izin ke toilet. Viola pun menyusulku dan menyusulku ke toilet.
“Clara, kamu tuh kenapa sih ? sekarang kamu berubah”
“Ooh ya, aku yang berubah apa bukan kamu ?!”
“Clara, apa sih salahku ?”
“Kamu mau tau salah kamu apa, salah kamu itu banyak. Kamu itu munafik, dan ak nggak mau punya sahabat atau temen kayak kamu. Tega ya kamu ngerebut orang yang selama ini dicintai sama temen kamu sendiri”
“Maksud kamu ?”
“Alah udah lah aku udah muak sama kamu !”
Setelah itu ak segera masuk ke dalam kelas dan izin pulang karena aku memang sedang tak enak badan akibat tadi malam. Setelah mendapat izin aku diperbolehkan pulang.
Ketika aku sedang duduk di kamar ponselku berdering dan ku lihat panggilan masuk dari Revan. Segera aku matikan panggilan itu dan aku singkirkan ponselku dari hadapanku.
Entah kenapa aku benci dengan Revan dan Viola. Mereka yang aku kira teman baik ternyata aku salah mereka nggak lebih dari penghianat.

Ting tong.. ting tong.. segera aku turun dan aku lihat siapa yang dari tadi menekan tombol rumahku. Terlihat olehku cewek putih dengan tingga semampai. Ya itu lah Wenda.
“Clara, kamu engga apa-apa kan ?”
“Eeh, Wenda iya engga apa-apa”
“Kamu tadi kenapa di sekolah ?”
“Aah, ayo ke kamarku aku ceritain semuanya”

Aku dan Wenda segera naik ke tangga dan pergi ke kamarku. Setelah sampai aku ceritakan dari awal tentang perasaanku kepada Revan ke Wenda. Kemudian aku juga menceritakan tentang perasaanku yang hancur berkeping-keping karena Viola.
“Jadi, karena itu ?”
“Iya, sorry kalo aku suka sama orang yang kamu suka”
“Eeeh, engga itu Cuma gosip lagian aku udah punya pacar”
“Yang bener ?”
“Iiih, serius tauk”
“Hahahaha iya deh”
Setelah bercerita panjang lebar dengan Wenda akhirnya merasa lega. Aku tak bisa terus seperti ini aku tak bisa menyalahkan Viola ataupun Revan aku harus sadar bahwa Revan memang tak menyukaiku. Namun, lagi-lagi tak bisa aku sadari mengapa harus Viola yang Revan suka kenapa nggak orang lain aja.
***

Pagi ini aku kembali ke sekolah. Pagi ini ku lihat Viola sedang duduk di depan kelas. Ku lihat tak ada senyuman di wajahnya, tatapan kosong tampak di matanya.

Sayup-sayup ku dengar tangisan seseorang aku segera berlari dan menuju kelas. Terlihat olehku tangisan di wajah manis Viola. Ketika Viola melihatku ia segera menghampiriku dan memelukku dengan tangisannya.
“Lepasin aku !!”
“Ra, aku mohon maafin aku ra, aku nggak tau kalau selama ini Revan suka sama aku. Kalau aku tau aku juga nggak bakalan nerima dia”
“Udahlah muak aku sama semua omong kosong kamu !”
“Ra, aku mohon. Aku bakalan ngelakuin apa aja buat kamu”
“Ok, aku mau kamu jadian sama Revan”
“Apa ra kamu nggak salah ?”
“Sorry, la aku baru sadar kalau cinta itu emang nggak pernah bisa buat dipaksain”
“Iya, ra aku tau. Tapi, aku emang nggak suka sama Revan”
“Udah lah la aku tau selama ini kamu suka sama dia”

Setelah beberapa lama aku berbicara dengan Viola. Kemudian datanglah Revan dan Wenda.
“Van, jaga Viola baik-baik ya, aku harus pergi”
“Iya, ra, tapi, kamu mau pergi kemana ?”
“Aku, mau pergi jauh”
“Maksud kamu ?”
“Sudahlah besok kalian akan mengerti”
Setelah mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba sesak di dadaku muncul dan tubuhku terasa sangat ringan. Kemudian sayup-sayup suara mereka tak ku dengar lagi.

Sesaat kemudian aku bangun. Ku lihat disekelilingku sudah ada ayah, bunda, Viola, Wenda, serta Revan. Terlihat siratan kekhawatiran terukir di wajah mereka.
“Clara, kamu engga papa sayang ?”
“Engga ma, Clara nggak apa-apa”
Dokterpun datang dan menceritakan semua yang terjadi kepadaku. Aku mengidap kanker otak statidum 4 dan umurku tak akan panjang lagi. Aku memang sudah mengetahui hal itu. Akan tetapi aku tidak mau becerita dengan siapa-siapa apalagi dengan mama. Karena aku engga mau membuat mereka semua khawatir.

Setelah dinyatakan baik akupun diperbolehkan oleh dokter. Di akhir sisa-sisa waktuku aku ingin bersama ayah dan bunda menghabiskan waktuku. Sewaktu aku ingin pergi ke puncak bersama bunda dan ayah. Tiba-tiba ku rasakan lagi sesak yang begitu mendalam dan pusing yang mencekam. Tak kuat ku tahan rasa ini dan akhirnya aku jatuh hingga sampai di sinilah hidupku.

Setelah kepergianku mungkin semua akan menjadi lebih baik. Kini mungkin sahabat-sahabat baikku telah menemukan cinta mereka yang sesungguhnya.

****Tamat****
 
PROFIL PENULIS
Nama : Anggi Dwi Sulistyani
Facebook : Anggi Dwi Sulistyani
 

Share & Like