Bebe Gue Mana? - Cerpen Pendidikan

BEBE GUE MANA?
Karya Yayu Fathilal

“Bebe gue mana??!!” Teriakan Nisa kencang sekali, membuat pekak telinga mamanya. “Apa sih, Sa?” tanya sang mama bingung yang langsung menghentikan kegiatannya mengiris bawang merah di dapur. Si Nisa pagi-pagi sudah ribut.
“Ma, lihat bebe Nisa, gak?” Nisa tampak panik. Wajahnya memerah dan cemberut. “Nggak tuh, emang kamu taruh dimana?” tanya mamanya lagi.

Nisa gelisah. Kepalanya yang tak gatal pun digaruk-garuknya. Seluruh perkakas di kamarnya di obrak-abriknya demi mencari benda kesayangannya itu, BlackBerry Gemini Curve 8250 warna putih.
“Coba kamu ingat-ingat lagi. Mungkin kamu lupa menaruhnya dimana,” saran mamanya.

Bebe Gue Mana?
Nisa lantas melongok-longokkan kepalanya ke kolong meja. Tak ada juga. Siapa tahu saja malah ada di situ. Tiap ada tumpukan barang diperiksanya. Kantung celana dan jaketnya yang sudah kotor dan hendak dicuci pagi itu pun diceknya juga. Masih nggak ketemu juga. Hampir satu jam dia begitu terus.
“Sa, sudah nanti biar mama atau si bibi yang mencarikan. Kamu sarapan dulu, terus berangkat sekolah. Lihat sudah jam berapa tuh, hampir pukul 7,” seru mamanya.

Nisa tambah cemberut. Dia makin uring-uringan dan gelisah. “Tapi, masa iya ke sekolah nggak bawa Bebe, nggak seru ah! Ntar nggak bisa BBMan sama teman-teman Nisa,” keluh Nisa. Sekarang, mukanya makin terlipat karena kesal.
“Memangnya kamu mau BBMan sama teman kamu yang dimana sih? Yang masih satu sekolah dan sekelas kan? Ya sudah, nggak pake Bebe sehari juga nggak papa kan masih bisa ketemu di sekolah. Gimana sih ni anak! Nggak pegang Bebe sedetik aja kayak dunia udah mau kiamat!” mamanya jadi kesal. Dan Nisa makin bête dibuatnya.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolahnya, Nisa hanya diam di jok belakang mobil papanya. Siswi SD kelas V ini masih kepikiran Bebe tercintanya. Dia mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali dia memegang Bebenya itu.

Kemarin sore, pulang les matematika, di genggamannya masih ada Bebenya. Lalu dia masuk ke rumah, menuju kamarnya di lantai dua, menaruh tasnya dan Bebenya diletakkannya di meja belajarnya. “Eh, nggak. Salah, salah! Perasaan gue lempar ke kasur deh? Tapi pas gue bobo tadi malam, perasaan nggak ada Bebe gue di situ,” terawangnya.

Pak Hari yang sejak tadi menyupirkan mobil itu, sudah beberapa kali melirik ke belakang. Dia bingung melihat anak bosnya yang dari tadi bengong dan seperti lagi banyak pikiran itu. “Ada apa sih, Neng? Kok dari tadi kayak orang stres saja?” ujar Pak Hari bingung. “Bebe gue mana ya?” gumam Nisa sembari menerawang tanpa menghiraukan pertanyaan Pak Hari. Dan Pak Hari makin bingung. “Apa, Neng?” tanya Pak Hari yang merasa tidak mendengar jelas ucapan Nisa tadi.

“Pak Hari lihat Bebe Nisa nggak?” tanya Nisa. Pak Hari sejenak mengernyitkan keningnya. “Bebe? BlackBerry eneng maksudnya? Nggak tuh, Neng. Memangnya kenapa? Hilang?” tanya Pak Hari. Nisa mengangguk pelan sambil wajahnya masih cemberut.
“Kalau nanti lihat, kasih tahu ya,” pinta Nisa. Pak Hari mengangguk. “Siap, Neng,” kata Pak Hari.
Siangnya, waktu istirahat, semua teman sekelas Nisa keluar ruangan. Mereka bertebaran di mana saja di sekolah itu. Ada yang di kantin, di taman hingga di musala. Rata-rata, semuanya memegang BlackBerry. Walaupun tidak dipencet-pencet, paling tidak ada di genggaman atau di saku seragam.
“Sa, lo ngapain aja sih dari tadi? BBM gue kok gak dibalas-balas. Gue PING lo berkali-kali, tetap aja lo cuekin,” si Dana, teman seangkatan Nisa namun beda kelas bertanya ke Nisa ketika mereka bertemu di kantin sekolah siang itu. “Bebe gue nggak tahu sekarang lagi dimana. Dari tadi pagi gue nyari-nyari nggak ketemu juga. Kayaknya gue lupa naruh deh,” kata Nisa.
“Ya elah, Sa. Gue kan BBM lo penting, mau nanya bahan ulangan matematika hari ini,” sambut Dana. “Kenapa nggak lo telpon aja ke rumah gue? Lo punya kan nomor telepon rumah gue?” tanya Nisa. Dana jadi mewek mendengarnya. “Hmmm…sekarang tu zamannya BlackBerry, BBM,” seloroh Dana sembari berlalu kesal.

Nisa masih cemberut saja dari tadi. Tangannya gatal, bukan karena habis digigit nyamuk atau ada biang keringat, namun karena dari tadi nggak pegang Bebe. “Bête yah kalau sehari saja tidak BBMan atau browsing, kan di sekolah ada Wifi gretongan (gratis),” seloroh Nisa sambil menyeruput teh botolnya.

Teman sekelasnya yang saat itu semeja dengannya di kantin, Ina, menatap Nisa. Mulutnya terkatup rapat. Dari tadi mi ayam yang dipesan Ina tak juga disentuhnya. “Sa, memangnya harga Bebe sekarang berapa sih?” tanyanya.

Menurut Nisa, jutaan. “Punya gue itu belinya setahun yang lalu, sekitar Rp 2,3 juta. Sekarang kayaknya sudah Rp 1 jutaan sekian deh, di bawah Rp 2 juta kayaknya. Kenapa? Lo mau beli ?” seloroh Nisa.

Ina mengangguk lemas. “Pengen, tapi babe gue nggak bisa beliin, mahal katanya,” Ina berkata pelan. Kedua matanya kemudian jelalatan ke sekelilingnya, banyak temannya maupun kakak kelasnya asyik memegang Bebe. Bahkan, Mang Urip, satpam di sekolahnya juga punya Bebe. Kemarin sore, ketika dia dan beberapa teman di sekitar rumahnya jalan-jalan ke mall, rata-rata mereka memegang Bebe.

Malamnya, usai salat magrib, Ina sekeluarga berkumpul di dapur sekaligus ruang makan mereka. Rumah keluarga Ina hanya kecil, sangat jauh dengan rumah Nisa yang gedongan. Maklum saja, ayah Nisa itu pengusaha sukses di negeri ini. Sementara ayah Ina hanya seorang tukang ojek yang penghasilannya tak menentu. Ibunya hanya buruh cuci dan setrika baju yang penghasilannya juga tak banyak.
“Be, kapan?” tanya Ina ke babenya yang sedang menyantap makan malamnya. Babenya mengangkat kepalanya, menatap anak sulungnya itu. “Apa sih, Na? BlackBerry?” Ina mengangguk cepat.

Babenya menghela nafas. “Babe nggak punya duit banyak, Na. Gimana mau beliin elu Bebe? Sekarang barang-barang serbamahal, jangankan buat beli Bebe, kita sekeluarga bisa makan sekali sehari aja udah syukur,” terang babenya.

Tak jauh dari situ, Nyak yang dari tadi hanya mendengarkan pembicaraan bapak dan anaknya ini menimpali. “Elu itu, Na, gaya pengen punya Bebe juga. Kayak nyak ma babe lo ini orang gedongan aje. Kalau teman-teman elu kayak si Nisa, Dana, itu sih anak konglomerat kan wajar kalau hapenya canggih dan mahal. Nah elo anak kolongmelarat, pake mimpi segala pengen beli Bebe. Emang duitnye ade,” cerocos Nyak. Ina hanya diam, manyun sambil mengaduk-aduk nasinya hingga berantakan.
“Pikir dulu, Na. gimana duitnye babe. Di rumah ini, nggak cuma elu yang perlu babe pikirin biaya hidup, tapi nyak lo, adek-adek lo. Emangnye Bebe murah? Gini-gini, babe juge tau tu hape harganye berape,” tambah babenya lagi.
“Tapi, punya Bebe itu kan keren. Beliin ya, Be?” Ina masih merengek-rengek. Dia memasang muka memelas, mulut manyun. Babenya hanya menghela nafas dan tak ingin berbicara lagi. Ina terus merengek-rengek sampai Babenya bosan.

Sementara Nyak dari tadi hanya mengomel-ngomel. Dia juga menasehati Ina agar jangan gampang terpengaruh dengan teman-temannya. Kalau teman-temannya di sekolah memang banyak yang anak orang kaya, mereka mampu membeli Bebe semahal apa pun. “Nah, Babe lo, Na, emangnye orang kaye? Loe pikir dong, Ina! Belum lagi nanti perlu berapa duit buat ngaktifin BBMnya? Kan mahal tuh,” seru Nyak. Dan Ina hanya terdiam sambil mengaduk-aduk nasi dan lauknya tanpa berminat memakannya.
Namun Ina seperti pantang menyerah. Dia terus memohon bahkan merengek ke Babenya supaya permintaannya itu dikabulkan. Akhirnya, dengan terpaksa Babenya membelikannya juga sebuah BlackBerry.

Ina girang bukan kepalang. BlackBerry itu barang bekas alias tangan kedua. Dulu milik seorang teman bermainnya di sekitar rumahnya, si Gugun. Karena orangtua Gugun perlu duit, akhirnya itu HP dijualnya Rp 800.000 ke Babe Ina. Babenya membayarnya secara cicilan. Konon, Bebe milik Gugun itu barang gelap, black market dari Batam. Namun tetap saja Ina senang, yang penting kan BlackBerry.

Dia pun membuat perjanjian dengan orangtuanya, kalau untuk biaya paket BlackBerry, diusahakannya sendiri. Beli pulsanya pakai uang jajannya sendiri. Karena merasa kurang mampu, Ina terpaksa harus menabung dan menghemat uang jajannya demi bisa membeli paket Bebe harian seharga Rp 5.000. Orangtuanya enggan bertanggungjawab soal itu karena merasa keberatan dan Ina pun menyanggupi perjanjian itu. Lagi pula, agar Ina lebih mandiri dan merasa bahwa mencari uang itu tak mudah.
Sekarang, banyak temannya di sekolah melirik-lirik ke Ina ketika dia mengeluarkan Bebenya dari tas lusuhnya. “Cieeeee, Ina ya. Pake Bebe juga loe, Na?” sapa Dana di kantin sekolah mereka, pada suatu hari. Ina pastinya senyam-senyum bangga. “Bagi PINnya dong,” pinta Dana. Mereka lantas saling bertukar PIN Bebe.

Namun Ina tak bisa berlama-lama di kantin. Perutnya lapar sekali tetapi dia tak bisa membeli makanan di sana. Uang jajannya tinggal Rp 7.000 dan dia harus menyisakan Rp 5.000 untuk membeli paket Bebe buat besok. Dia hanya bisa menelan ludahnya melihat teman-temannya yang sedang asyik menyantap makan siang mereka.

Pulang sekolah, Nisa, duduk termangu di jok belakang mobil papanya. Bebenya yang hilang beberapa pekan lalu sudah ditemukan dua hari silam. Ternyata ada di saku celananya dan parahnya lagi, dia lupa mengeluarkannya. Hasilnya, malah masuk ke mesin cuci bersama baju-baju kotornya. Jadilah Bebe itu rusak, digiling mesin cuci dan itu sukses membuatnya bête setengah mati.

Namun dia sudah meminta dibelikan lagi Bebe ke papanya. Tetapi, papanya tak bisa segera membelikannya karena sedang berada di luar negeri. Kalau mamanya tak berani membelikan karena harus menunggu kedatangan papanya dulu.
“Bete ya nggak ada BBMan sehari saja. Si Ina yang bokapnya cuma tukang ojek aja sekarang bisa punya Bebe,” rutuknya manyun. Nisa cuma diam. Dia merasa jika keberadaan Bebe telah berhasil menguasai hidupnya.

Kebetean yang sama ternyata juga dirasakan oleh Ina. Di rumahnya, siang itu, Ina tampak uring-uringan. Charger Bebenya rusak sementara Bebenya lowbat. Tambah kesal lagi, uang jajannya habis banyak hanya untuk menghidupi paket Bebe. Mau minta duit sama Babe atau Nyak pasti nggak dikasih soalnya tarikan Babe lagi sepi.

Dia manyun saja dan merutuki Bebenya yang barang black market. Kualitas baterenya juga diakuinya tidak bagus-bagus amat. “Masa baru seminggu beli chargernya sudah rusak,” keluhnya. Ina membanting kesal Bebe dan chargernya ke kasur kapuknya yang tampak sudah usang.
Seharian ini dia tampak uring-uringan saja. Dia penasaran setengah mati ingin tahu ada gambar apa saja lagi yang dibagikan teman-temannya di grup BBM. Biasanya, banyak teman di sekolahnya membagikan berbagai gambar ke grup, semuanya jadi bahan bercanda mereka dan Ina selalu senang berinteraksi dengan mereka di sana. Semacam autis Bebe gitu deh kalau dia sudah asyik BBMan, sampai lupa segalanya.

Tidak bisa BBMan, dia tetap setia memencet-mencet Bebenya. Kemana pun dibawanya, sekadar untuk main permainan. Itu bebe bahkan selalu berada di genggamannya kemana pun dia pergi. Ke kamar mandi aja juga dibawa.
“Gimana nggak rusak tu charger ma baterenya, kemana-mana dibawa trus dipencet-pencet melulu. Dipakai terus jelas aje baterenye cepat abis,” omel si Babe melihat kelakuan Ina yang asyik terus dengan Bebenya.

Ina tampak cuek, masih asyik dengan smartphone-nya itu. Babenya manyun aja dicuekin anaknya. “Dasar anak sekarang, HP mahal dibawa kemana-kemana. Dipegang aja, ditaruh sembarangan. Emang duit segepok buat beli HP sekarang murah ya?” rutuknya dalam hati melihat kebiasaan Ina yang suka menaruh Bebenya sembarangan, seperti di atas kasur, di bawah selimut atau bantal, di atas meja, kursi, dan lain-lain.

Waktu terus berlalu dan autisnya makin menjadi. Dia bahkan sampai suka cuek ke siapa saja yang di sekitarnya. Sepupu dan saudara-saudara jauhnya yang sudah lama tak bertemu, ketika datang ke rumahnya pun dicuekin. Dia tenggelam dalam dunia bebenya. “Ampun dah ni anak. Itu pada sibuk di dapur lagi banyak saudara, dia masih aja sibuk BBMan. Nyak banting aja deh ya tu bebe,” ucap Nyak geram. Dengan gerakan cepat, Nyak langsung menyambar bebe Ina dan membantingnya ke lantai. Ina kaget dan langsung histeris. “Bebe gueeeee,” tangisnya.

Di rumah Nisa, ternyata kejadian yang sama juga terjadi. Beberapa hari lalu, papanya pulang dan membelikannya bebe baru.

Saking senangnya punya bebe baru lagi, autis bebenya kambuh lagi, membuat mamanya gerah dan marah-marah saja. Nisa hanya manyun di depan mamanya yang sejak tadi ngomel-ngomel gara-gara Nisa dipanggil berkali-kali tak juga menyahut. Ternyata dia asyik BBMan sama browsing internet.

Nisa hanya terduduk lesu di depan bebenya yang sekarang sudah hancur. Tadi, dibanting mamanya. “Tidak ada lagi bebe!” seruan mamanya itu masih tergiang di telinganya.

Hari-hari selanjutnya, kedua anak ini terpaksa harus menelan ludah pahit ketika melihat teman-teman mereka di sekolah asyik BBMan. Mereka berdua pun saling curhat.
“Bebe benar-benar mencuri hidup gue, Na. Menyita semua pikiran gue, otak gue, tangan gue, mata gue, dan semua anggota badan gue. Bahkan jantung dan hati gue. Rasanya, kalau nggak ada bebe, seperti pengen mati aja, hampa, bête, kesannya nggak gaul en kampungan gitu,” keluh Nisa kepada Ina, suatu hari di taman sekolah usai sekolah bubar.
“Ho oh, gue jadi kaya hidup sendiri pas lagi asyik sama bebe. Nggak peduli lagi sama yang di sekitar, sampai nyak babe gue marah-marah terus. Kasihan juga sih mereka, capek-capek kerja buat ngebeliin gue bebe, eh guenya malah kayak gitu. Autis!” sahut Ina. Nisa hanya diam mendengar ucapan Ina itu, menerawang, merenungi kesalahannya selama ini.

Mereka lantas terdiam untuk beberapa lama. Tak lama, Ina membuka mulut. “Sa, nanti sore, ke rumah gue yuk! Gue sudah janjian sama teman-teman gue, mau main gobak sodor. Daripada bengong terus bête nggak punya bebe lagi, mendingan kita rame-rame main gobak sodor,” seru Ina.
Mata Nisa membelalak penasaran. “Gobak sodor? Apaan tuh?” “Udah, pokoknya ntar datang aja. Gue tunggu jam 3 di lapangan bola dekat rumah gue,” ajak Ina. Nisa mengangguk setuju, sebelum akhirnya kedua anak itu pulang ketika diteriaki Mang Diman, penjaga sekolah mereka karena gerbang sekolah hendak segera digembok. (*)

PROFIL PENULIS
Nama: Yayu Fathilal
Alamat: Jalan Pramuka Komplek Kemuning Raya No 1, Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Pekerjaan: Swasta

Share & Like