B1nt4ng - Cerpen Remaja

B1NT4NG
Karya  Meiliza Inayatur Rohmah

“Kenapa?” Tanya Bintang padaku saat aku mengajaknya ketempat favoriteku sore itu. Aku meletakkan kepalaku dibahu Bintang yang duduk disebelah kananku. Dengan mata masih sembab, aku tak menjawab pertanyaan Bintang, hanya terus memandangi danau yang tenang itu dengan tatapan kosong. “Masih belum mau cerita?” Tanya Bintang lagi. “Emang gue harus cerita apa?” Jawabku ringan. “Iya...Crita apa aja. Crita kancil mencuri timun juga gak pa-pa” Jawab Bintang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Aku tersenyum. “Emang gue pendongeng.” Jawabku kembali tersenyum. “Nah.....Baru muncul dech cahayanya.”Ujar Bintang. “Kan emang dari tadi gue disini?” Jawabku bingung. “Cahaya mentari!!! Siapa yang bilang loe.” Ucap Bintang menatapku. “Maksudnya?” Tanyaku. “Cahaya mentari yang pindah disenyum loe.” Ucap bintang tersenyum. “Idiiiihhhh......! Lebay.” Ucapku sambil memukul bahu Bintang keras-keras. “Aduh.....! Selalu dech. Emang gue segitu lebaynya ya?” Tanya Bintang padaku. “Gak cocok tau loe ngelebay gitu! Gak ada tampang-tampang romantisnya” Ucapku mencibir. “Yeeee....! Itu kan cuma menurut loe doank. Cewek-cewek lain banyak yang bilang gue so sweet kok.” Jawabnya bangga. “So Preet....iya.” Ujarku. “Loe tuch ya. Sekali-kali kek bilang gue so sweet. Nich anak! Kayaknya gue gak ada so sweet-so sweetnya ya ma loe.” Ujar Bintang manyun. “Emang ngak! Lebay iya.” Ucapku singkat. “Tang....! Makasi yach.” Ucapku pada Bintang. “Buat?” Tanyanya. “Buat loe, coz udah mau nemenin gue kesini.” Jawabku. “Terpaksa.....!” Ucap bintang lirih. “Owh....gitu! Ya udah loe pulang aja sono, gue bisa pulang sendiri kok.” Ucapku berdiri dan berkacak pinggang. Bintang tersenyum. “Loe kalo lagi kayak gitu,tambah......” “Gak lucu....!” Ucapku memotong perkataan Bintang. “Iya dech,iya! Gue minta maaf. Gak kok, gue ikhlas. Gak terpaksa. Sumpah!” Ucap Bintang menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya. 

Bintang tersenyum dan melepaskan silangan kedua jarinya ketika aku menatapnya. Aku menyilangkan kedua tanganku didada kemudian memandang lurus kedanau masih dengan tampang sok marah besar pada Bintang. “Udah donk Ca. Gue gak bisa ngerayu nich. Jadi marahnya udahan ya.” Ucap bintang memelas. Aku tersenyum simpul. “Mana bisa cowok kayak loe ngerayu.” Ucapku sambil tertawa menang. “Lima kosong untuk PKI vs Jepang.” Ucapku mengacungkan dua jempolku dan mencibir. “Lima dari mana? Awas aja Loe ntar.” Jawab Bintang singkat. “Jadi......! Kenapa loe nangis?” Tanya bintang sesaat kemudian dan merangkulku sambil berjalan menyusuri pinggiran danau favorite kita berdua itu. Awalnya danau kecil yang jauh dari keramaian kota itu adalah tempat favoriteku, namun setelah berkali-kali aku mengajak Bintang kesana, entah karena kesejukan tempat itu atau karena hal lain akhirnya dia menyukainya juga. “Gak pa-pa.” Ucapku lirih. “Ya udah kalo belum mau berbagi. Tapi janji gak bakalan nangis lagi yach!” Aku mengangguk menjawab ucapan Bintang.
“Gue yang sal.......” Bintang mencoba menghentikan kemarahan cowok dengan helm sporty merahnya. “Diem Loe. Gue gak tanya sama loe.” Bentakan keras dari seorang cowok memecah keheningan malam yang semakin menyayat hatiku. Aku masih dalam dekapan Bintang, tertunduk dengan berlinang air mata. “Sekarang saatnya loe milih. Gak usah nangis, loe yang mulai ini semua, jadi loe juga yang harus ngasi keputusan bagaimana akhirnya.”
 

Aku tak menjawab, sebuah kata seakan tercekat dikerongkonganku karena tangisku yang tiada henti. “Rey.......Gue tau, gue yang salah. Jadi biar gue yang.....” Bintang kembali mencoba bicara pada Reynar. “Diem Loe penghianat!!!” Sebuah tinju mendarat dipipi kanan Bintang. “Rey........Maafin gue.” Aku berucap lirih dan memapah Bintang yang baru saja terpental karena tinju Reynar. “Oke, malam ini gue tau jawaban loe.” Ucap Reynar dan berlalu pergi dari hadapanku, aku mencoba menghentikan langkah Reynar dengan menarik sebelah tangannya namun sia-sia Reynar melepaskan tanganku dengan lembut. “Jaga diri baik-baik, gue rasa kita cukup sampai disini.” Ucapnya padaku. Kupandangi Reynar yang semakin jauh dari penglihatanku yang berkaca-kaca. Bintang kembali merangkulku, mengajakku untuk kembali kerumah. Aku membenamkan wajahku dalam pelukan Bintang dan kembali tersedu-sedu. Bintang membelai lembut rambutku, berkata tanpa berucap bahwa aku harus bisa menghadapi semuanya. “Gue yakin loe pasti bisa.” Ucap Bintang dengan senyumnya. Aku membalas senyum Bintang. Saat ku beranjak hendak memasuki gubuk kecilku, langkahku terhenti mendengar panggilan Bintang. Aku berbalik dan Bintang menarikku kedalam pelukannya. “Gue Sayang Loe” Ucapnya padaku. Aku melepaskan pelukan Bintang dan tersenyum berat padanya. Tepat ketika jam dinding kamarku menunjukkan jam tiga lewat lima menit, aku membenamkan wajahku dalam sujudku. Menengadahkan kedua tanganku, memohon ampun pada Sang Pemaaf atas segala dosa-dosaku, memohon padanya agar selalu memberiku kekuatan iman dan kekuatan hati tuk jalani hidup yang telah IA berikan padaku.

Satu minggu aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan ditemani Reynar. Bintang yang ternyata aku sayang, Bintang yang selalu membuatku teduh dalam pelukannya, Bintang yang selalu memberikanku kekuatan saat aku rapuh. Kini tak ada disampingku, tak ada bersamaku, tak menemaniku, tak menghiburku dengan kekonyolannya. Dia tak ada kabar, bahkan saat aku tanya pada teman-teman mafianya yang sering membuat keonaran dikampus tak ada yang tau dia berada dimana saat ini. “Ngelamun aja.............Kenapa?” Ucapan Reynar padaku. Aku menggeleng. “Gue mau keluar sebentar, loe mau apa?” Tanya Reynar membelai rambutku. “Pengen ketemu Bintang” Ucapku dalam hati. “Hei...............!” Reynar sedikit mengguncang lenganku karena aku tak menjawab pertanyaannya. “Pengen rujak,” Ucapku. “Loe lagi sakit masak mau makan rujak sich. Gak.....!!! Yang lain aja.” “Ya udah l’ gak mau bli’in. Gue cuma pengen itu.” Jawabku. “Ya udah, gue keluar bentar ya.” Ucap Reynar mengecup keningku dan berlalu pergi. Saatku terbaring menatap langit-langit kamar rumah sakit tempatku dirawat, aku berfikir keras berada dimanakah sebenarnya Bintang saat ini. “Ca......!” Sesosok wanita seumuranku membuyarkan lamunanku. “Teteh......!” Aku merangkul erat teman curhatku yang bernama lengkap Apriliana Putri itu, cewek yang sering aku panggil teteh itu membalas pelukanku. Aku menagis dalam pelukannya, dia melepaskan pelukanku dan menghapus air mataku seakan ia tau apa yang aku rasakan saat ini, ia mengeluarkan secarik kertas biru lusuh dari dalam tasnya lalu memberikannya padaku.
Loe tau harus nyari gue kemana jika gue gak ada.
Bintang. 
 
Ketika itu juga danau kecil favoriteku dan Bintang terlintas dibenakku. Aku menarik jarum infus dipergelangan tanganku sekenanya. “Mau gue anterin?” Tanya Putri padaku. “Aku mau sendiri kesana teh......” “Loe yakin? Loe kuat? Loe tau dia dimana?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana perasaanku pada Bintang. Saat aku sampai di danau kecil favoiteku, aku tak melihat Bintang. Aku terduduk lemah di tanah,memeluk erat kedua lututku, perkiraanku salah. Tak ada Bintang, aku membenamkan wajahku kedalam kedua telapak tanganku yang mulai memucat. “Happy Birth Day...............!” Suara dari samping kananku mengagetkanku. Aku mencubit pipi cowok dengan kue tart kecil berwarna biru serta dilengkapi lilin berangka 17 itu. “Loe apaan sich?” Tanya Bintang padaku. “Gue gak mimpi kan Tang?” Ucapku. “Loe di dunia mimpi, buruan tiup lilinnya, ntar keburu ada yang bangunin.” Ucap Bintang. “Emang gue ultah yach?” tanyaku. “Yee, dasar pikun loe......! buruan dech tiup dulu lilinnya.” Ucap Bintang lagi. Saat aku hendak meniup lilin berangka 17 itu, Bintang malah membungkam mulutku. “Make a Wish dulu donk.” Ucapnya. Aku menjotos lengan Bintang. Setelah make a wish dan meniup lilin berangka 17 itu, aku menengadahkan sebelah tanganku tepat didepan wajah bintang. “Apaan?” Tanyanya. “Kado buat gue mana?” pintaku. “Kado buat loe, ada disini.” Ucap Bintang menggenggam tanganku dan meletakkan tanganku didadanya. “Lebay Loe......!” Ucapku tersenyum simpul.

Dirumah sakit yang sama aku berdiri khawatir didepan pintu ruang UGD dengan tangan masih memegang sebelah perutku yang mulai terasa sakit. Putri merangkulku ikut berdiri disampingku menguatkan aku. Reynar tetap memaksaku untuk kembali mendapat perawatan karena pucat diwajah dan sakit yang aku tahan tak bisa aku sembunyikan darinya. Aku masih tetap dalam pendirianku, tak mau mendapat perawatan sebelum aku tau keadaan Bintang yang tiba-tiba pingsan saat mengantarku kembali kerumah sakit. Dokter keluar dari ruang UGD dengan diikuti beberapa suster dibelakangnya. “Ada yang bernama Cahaya?” Tanyanya. “Saya dok......!” Jawabku singkat. “Anda diminta masuk oleh pasien.” Aku hendak memasuki ruangan dengan aroma obat itu dengan ditemani Reynar, namun dokter menghentikan Reynar yang memapahku untuk memasuki ruangan itu. Aku memasuki ruang UGD sendirian, dan melihat Bintang duduk bersender pada tumpukan bantal. Ia tersenyum padaku. “Pucet gitu tambah jelek aja loe Ca.....!” Ucapnya padaku. Aku tersenyum simpul padanya. “Loe sakit apa sich?” Tanyaku. Bintang tak menjawab pertanyaanku. Ia memberikan sebungkus kado biru padaku. “Makasi dunk.....! masak dikasi kado gak makasi?” Ucap Bintang. “Makasi........!” Ucapku tersenyum manis. “Waduh.......!” “Kenapa Tang? Ada yang sakit? Gue panggil dokter ya?” tanyaku panik. “Gak kok, gak ada yang sakit. Senyummu ca....mengalihkan duniaku.” Ucapnya kembali tersenyum nakal padaku. “Dasar......! Nyebelin loe.” Ucapku kembali menyunggingkan senyum termanisku.
 
Aku ingin ada disaat kau sedih, aku ingin menjadi sandaran disaat kau tak mampu membendung air mata, meski tak selalu. Kau yang terakhir dihidupku, aku harap aku bisa menjadi penyempurna hari-harimu, meski ragaku tak dapat temanimu. Jangan pernah teteskan air matamu di akhir nafasku karena sedihmu adalah kekhawatiranku, berikan senyum terbaikmu tuk mengantarku menggapai kedamaian sejatiku. Kuberikan hatiku untukmu, agar kau terus bisa merasakan bagaimana indahnya sayang itu, agar kau selalu ingat bahwa hatiku hanya untukmu.
Cahaya Bintang mampu menyinari dunia, dan cahaya yang ada pada senyummu mampu menyejukkan hatiku.
CahayaKu, jangan pernah bosan memberikan senyummu ya....!
Aku sayang Kamu!!!
Bintang 
 
Air mataku tak hentinya membasahi pipiku, saat aku membaca surat yang berada didalam kado yang diberikan Bintang padaku saat di rumah sakit. “Aku? Sejak kapan loe brubah bilang aku? Preman kampus bisa juga bilang aku?” Ucapku tersenyum simpul. Aku kembali tertunduk melihat nisan bertuliskan BINTANG AGUSTIN wafat 14 Mei 2003, menahan tangis dan tersenyum dengan menggenggam 14 bintang biru yang Bintang berikan dihari ulang tahunku. “Hari ini gue milik loe sepenuhnya.” Ucapku pada Reynar. Ia memelukku. Aku kembali tersedu. “Maafin gue Ca....!” Ucapnya. Semenjak hari itu aku tidak lagi berlangganan masuk rumah sakit karena penyakit Liverku dan pastinya karena Bintang telah merelakan hatinya untukku, memberikan kado yang takkan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.
 
Reynar melamarku untuk menjadi tunangannya, niat baik dia disambut baik oleh orang tuaku. Setiap hari jum’at dan tanggal 14, Reynar mengantarku berziarah kemakam Bintang dengan tulus. Kini dia tau ketulusan hati Bintang padaku. B1NT4NG, kini menjadi nama dan tanggal yang akan selalu aku ingat sampai aku juga menggapai kedamaian sejatiku. See You Later in Heaven My Star.

PROFIL PENULIS
Nama : Meiliza Inayatur Rohmah
FB : Meilizaelfidahz@ymail.com

Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.
Share & Like