BERSAHABAT DENGAN MAUT
Karya Muhammad Taqwim
“Hai!! Kalian dokter baru ya di sini??” tanya Edwin
“Eh…iya Dok. Kami baru bertugas di sini.” jawab Rani malu-malu
“Nama kalian siapa?? Sebelum bertugas, kalian harus melapor dulu pada kami. Kalian tidak tahu ya aturan di sini??” Edwin bertanya kembali dengan nada sedikit ditinggikan. Ia memang senang mengerjai dokter yang baru apalagi dokter cewek.
“Maaf Dok,. Kami tidak tahu kalau ada aturan seperti itu. Nama saya Maharani. Biasa dipanggil Rani.”
“Kalau kamu siapa??” bentak Edwin
“Nama saya Mitha, Paramitha.” jawabnya gugup
“Untung kalian berdua cantik. Kalau tidak saya sudah menghukum kalian. Kenalkan nama saya Edwin. Ini temanku Ridwan. Dia koordinator jaga di rumah sakit ini.”
“Saya Ridwan. Kalian lulusan dari mana??” sapanya dengan ramah.
“Kami lulusan dari Unhas Dok, angkatan 2005.” jawab Rani dan Mitha serempak.
“Kompak amat Dek. Selamat bertugas ya. Nanti kalau ada masalah, kalian bisa langsung konsultasi pada kami. Nanti saya akan mengatur jadwal jaga kalian. Sementara ini kalian lihat-lihat saja dulu kegiatan di sini sambil kenalan dengan semua petugas di sini. Minta tolong saja sama Pak Syam untuk mengantarkan kalian keliling rumah sakit ini.” jelas Ridwan pada mereka
“Siap Dok. Ngomong-ngomong di mana kami bisa ketemu sama Pak Syam??” tanya Mitha malu-malu
“Itu di sana, yang sedang ngobrol dengan pasien. Bilang saja kalau dr. Ridwan meminta tolong untuk mengantar kalian berkeliling sambil bersosialisasi dengan semua staf di sini.”
“Terima kasih Dok. Kalau begitu kami permisi dulu.”
“Mereka manis ya Dok??” goda Edwin
“Kamu tuh Edwin, tidak pernah berubah. Tidak bisa lihat cewek bening sedikit saja.”
“Daripada kamu cowok aneh yang mati rasa sama cewek. Mau sampai kapan kamu ngejomblo??”
“Sudah, ndak usah ngebahas itu lagi. Yok kita ngopi dulu!!! Ngantuk nich semalam tidak dapat tidur nyenyak. Ndak tau semalam pasien berdatangan tidak kenal berhenti.”
“Yok!! Kebetulan saya juga lapar. Kamu yang traktir ya!!!”
“Ok, bos!!!”
“Eh…iya Dok. Kami baru bertugas di sini.” jawab Rani malu-malu
“Nama kalian siapa?? Sebelum bertugas, kalian harus melapor dulu pada kami. Kalian tidak tahu ya aturan di sini??” Edwin bertanya kembali dengan nada sedikit ditinggikan. Ia memang senang mengerjai dokter yang baru apalagi dokter cewek.
“Maaf Dok,. Kami tidak tahu kalau ada aturan seperti itu. Nama saya Maharani. Biasa dipanggil Rani.”
“Kalau kamu siapa??” bentak Edwin
“Nama saya Mitha, Paramitha.” jawabnya gugup
“Untung kalian berdua cantik. Kalau tidak saya sudah menghukum kalian. Kenalkan nama saya Edwin. Ini temanku Ridwan. Dia koordinator jaga di rumah sakit ini.”
“Saya Ridwan. Kalian lulusan dari mana??” sapanya dengan ramah.
“Kami lulusan dari Unhas Dok, angkatan 2005.” jawab Rani dan Mitha serempak.
“Kompak amat Dek. Selamat bertugas ya. Nanti kalau ada masalah, kalian bisa langsung konsultasi pada kami. Nanti saya akan mengatur jadwal jaga kalian. Sementara ini kalian lihat-lihat saja dulu kegiatan di sini sambil kenalan dengan semua petugas di sini. Minta tolong saja sama Pak Syam untuk mengantarkan kalian keliling rumah sakit ini.” jelas Ridwan pada mereka
“Siap Dok. Ngomong-ngomong di mana kami bisa ketemu sama Pak Syam??” tanya Mitha malu-malu
“Itu di sana, yang sedang ngobrol dengan pasien. Bilang saja kalau dr. Ridwan meminta tolong untuk mengantar kalian berkeliling sambil bersosialisasi dengan semua staf di sini.”
“Terima kasih Dok. Kalau begitu kami permisi dulu.”
“Mereka manis ya Dok??” goda Edwin
“Kamu tuh Edwin, tidak pernah berubah. Tidak bisa lihat cewek bening sedikit saja.”
“Daripada kamu cowok aneh yang mati rasa sama cewek. Mau sampai kapan kamu ngejomblo??”
“Sudah, ndak usah ngebahas itu lagi. Yok kita ngopi dulu!!! Ngantuk nich semalam tidak dapat tidur nyenyak. Ndak tau semalam pasien berdatangan tidak kenal berhenti.”
“Yok!! Kebetulan saya juga lapar. Kamu yang traktir ya!!!”
“Ok, bos!!!”
Mereka pun berjalan menuju kantin rumah sakit. Tak sengaja aku melihat Rani dan Mitha berkeliling bersama Pak Syam. Tiba-tiba ada desiran halus di dalam dada Ridwan saat matanya saling bertatapan dengan Mitha. “Kenapa ya??” Ridwan bergumam.
“Mitha, kamu dah ngantuk ya??” Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.
“Belum kok Dok. Pasien malam ini banyak juga ya Dok. Perasaan dari tadi pasien mengalir terus.” jawab Mitha sambil tersenyum
“Hahaha…kamu harus mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini Mitha. Yang ini belum seberapa. Kadang-kadang bahkan untuk duduk ngobrol seperti ini saja sudah tidak sempat.”
“Serius Dok??”
“Yup. Tapi tidak selalu kok. Tergantung musimnya dan tergantung siapa dokter jaganya” hibur Ridwan.
“Hehehe…tergantung dokter jaganya ya Dok??” Mitha tertawa.
“Jangan panggil dokter terus dong. Usia kita kan cuma beda dua tahun. Saya kelihatan tua sekali kalau kamu panggil Dokter.”
“Baik Dok, eh….Kak. Panggil Kakak saja ya Dok, eh…maksud saya Kak?”
“Terserah… Asal jangan panggil Om…hehehe…” canda Ridwan
Malam itu aku dan Mitha secara kebetulan shift jaga bersama. Dr. Wati yang menjadi teman jagaku sedang berhalangan karena anaknya sedang sakit. Akhirnya Mitha yang kebetulan masih junior harus masuk menggantinya.
“Kakak sudah lama bertugas di sini??”
“Lumayan Mitha. Saya sudah bertugas di sini kurang lebih tiga tahun. Kamu sendiri bagaimana kesannya selama sebulan ini di sini??”
“Saya senang di sini Kak. Semua petugas di sini ramah dan baik. Saya merasa berada di rumah sendiri selama berada di sini.”
“Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu pergi istirahat gih sana!!! Matamu kelihatannya sudah tak bisa diajak kompromi. Nanti bisa-bisa kamu yang harus terbaring di brankar.”
“Kakak bisa saja. Kalau begitu Mitha istirahat dulu ya. Nanti kalau ada pasien lagi tolong Mitha dipanggil.”
“Siap Dok!!! Selama saya masih ada di sini, semua Insya Allah akan berjalan aman dan terkendali.”jawabku sambil mengerlingkan mataku pada Mitha
“Makasih Kak. Ternyata Dokter eh Kakak tidak sedingin yang Mitha kira.” Mitha lalu beranjak pergi ke kamar jaga sambil tersenyum. Dia memang sangat lelah sekali.
Ridwan tak menangkap maksud dari kata-kata terakhir yang Mitha ucapkan. Begitu Mitha pergi, ia langsung larut dalam laporan yang harus ia ketik untuk diserahkan besok sambil sesekali pergi melihat pasien yang sementara diobservasi di UGD.
“Selamat pagi Kakak!!! Gak tidur ya semalam?? Kok saya tidak dibangunkan?? Apa semalam memang tidak ada pasien baru??”
“Eh…Mitha. Sudah bangun ya?? Tidak kok, keadaan aman dan terkendali. Semalam saya tidak bisa tidur. Lagipula ada banyak laporan yang harus saya selesaikan.”
“Oo…masih banyak ya Kak yang mesti diketik?? Ada yang bisa Mitha bantu??”
“Sudah selesai kok. Ini sudah mau pulang. Kita visite dulu ya pasien yang di ruang perawatan. Kebetulan saya menunggu Mitha untuk visite sama-sama.”
Kami berdua melakukan visite pasien sebelum meninggalkan rumah sakit. Saat sedang melakukan visite pasien, tiba-tiba perutku terasa nyeri sekali.
“Kak, kamu tidak pa-pa??” Mitha terlihat panik.
“Tidak apa-apa Mitha. Biasalah, gastritisku kambuh lagi.” Jawab Ridwan. Ia berbohong pada Mitha. Penyakit yang ia derita ini bukanlah gastritis. Beberapa bulan lalu Ridwan juga baru mengetahui setelah melakukan pemeriksaan secara lengkap. Nyeri perut ini sebenarnya telah ia alami selama setahun terakhir. Awalnya Ridwan juga menganggap penyakitnya sebagai maag biasa. Namun, setelah berulang kali kambuh aku pun memutuskan untuk konsultasi dengan dr. Ibrahim, dokter ahli penyakit dalam di rumah sakit tersebut. Saat melakukan pemeriksaan USG yang dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan barulah diketahui bahwa nyeri perut tersebut berasal dari kanker pankreas. Kasus penyakit ini sangat jarang dan sampai sekarang belum diketahui pengobatan yang paling efektif untuk menanganinya. Hampir sebagian besar kasus penyakit ini berakhir dengan kematian.
“Kak, Kakak tidak apa-apa kan??” Mitha menepuk pundak Ridwan. “Perutnya masih nyeri??”
“Maaf Mitha. Nyerinya sudah agak berkurang. Tolong kamu saja yang lanjutkan visite ya!!! Saya tunggu kamu di sini saja.”
“Iya Kak. Tapi tidak apa-apa Kakak saya tinggalkan di sini??” Mitha terlihat khawatir dengan kondisi Ridwan.
“Tidak apa-apa Mitha. Kayaknya perutku ini hanya minta diisi. Soalnya semalam memang belum pernah diisi.” candanya pada Mitha.
“Kakak bisa saja. Baiklah kalau begitu saya lanjut visite dulu Kak. Nanti kalau ada apa-apa, Kakak tinggal hubungi saya!!” sahutnya.
“Siiiiip!!! Nanti kita sarapan bareng ya??” tawar Ridwan
“Iya Kak. Tolong Kakak kasih tahu perutnya untuk sabar nunggu Mitha selesai visite!!!”
“Hahaha…perutku akan sabar menanti Mitha hingga ujung waktu”
“Hihihihi…Kakak bisa saja.” Mitha pun berjalan melanjutkan visite. Aku hanya duduk di lorong ruang perawatan menahan nyeri yang masih terasa pada perutku.
“Mau makan apa Mitha??” tanya Ridwan pada Mitha. Kami sepakat sarapan di warung yang ada tidak jauh dari rumah sakit.
“Saya bubur ayam saja Kak.”
“Bubur ayam dua ya Mas. Ndak pake lama!!!!” sahut Ridwan pada penjaga warung.
“Minumnya apa Mas, Mba’??” tanya penjaga warung lagi
“Saya teh manis hangat Mas” sahut Mitha
“Sama, Mas. Teh manis juga.” Sahut Ridwan
“Bubur ayam di sini enak lho Mitha. Sudah pernah makan di sini??”
“Sudah pernah Kak sekali bareng Rani. Memang betul bubur ayamnya memang enak.” jawab Mitha sambil sibuk mengutak-atik handphone di tangannya. “Ternyata Kakak tidak sedingin yang saya kira.” Sambung Mitha
“Maksud Kamu??”
“Iya Kak,. Waktu dulu, saya sama Rani mengira Kakak itu orangnya dingin. Rani bahkan bilang Kakak itu orangnya galak. Kami sampai segan menegur Kakak. Senyum saja kadang kami susah kalau berpas-pasan dengan Kakak.” Jelas Mitha polos
“Hahaha….dingin dari Hongkong. Saya tidak sedingin itu kok Mitha. Kamu bisa nanya ke semua perawat dan petugas di rumah sakit. Mereka pasti tertawa.”
“Artinya memang cuma penampilannya saja. Ternyata Kakak itu orangnya ramah.”
“Kalau saya ini galak. Wajah saya mungkin sudah setua Bapak itu.” Candaku sambil menunjuk ke arah seorang Bapak tua yang berjalan lemah di pinggir jalan.
“Hahaha…Kakak benar-benar usil. Masa ngejek Bapak itu.”
Pagi itu kami berdua sarapan bubur ayam sambil bercanda lepas. Entah mengapa aku merasa begitu bahagia pagi itu. Mungkin karena baru kali ini aku makan berdua dengan teman cewek. Memang apa yang dikatakan oleh Mitha tidak semuanya salah. Aku memang orangnya sangat dingin. Sebenarnya tidak dingin, cuma sedikit pendiam. Aku memang terkenal orang yang sedikit komentar. Kadang kalau sedang mengobrol dengan teman-teman sejawat lain ataupun dengan para perawat, aku kadang hanya menanggapi obrolan mereka dengan kata-kata yang super irit. Apalagi sama orang yang baru aku kenal. Makanya tidak heran bahwa banyak orang mengira aku ini dingin dan tertutup.
“Terima kasih ya Kak traktiran buburnya. Mitha mau pulang dulu. Penjemput Mitha sudah datang.” Mitha menunjuk ke arah seorang pria yang telah dari tadi berdiri di depan mobil sportnya.
“Sama-sama Mitha. Saya juga berterimakasih sudah mau menemani saya sarapan.” Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul saat melihat Mitha berangkulan dengan pria itu. “Mungkinkah pria itu pacar Mitha??” aku bergumam
“Dok, bagaimana sebenarnya prognosis dari penyakit yang aku derita??” Sore itu aku memutuskan untuk kembali berkonsultasi pada dr. Ibrahim mengenai penyakitku.
“Seperti sebelumnya Dek. Prognosisnya sangat buruk. Saya sarankan sebaiknya kamu mulai mendapatkan kemoterapi. Semakin lama kamu menundanya, kanker di tubuhmu akan semakin berkembang. Saya juga tidak tahu seberapa lama lagi tubuh kamu mampu bertahan.” Jelas dr. Ibrahim
“Tidak perlu Dok. Saya sudah tahu bahwa pengobatan kemoterapi bukanlah solusi dari penyakitku.”
“Tapi setidaknya kamu berusaha. Daripada kamu hanya membiarkan penyakitmu itu menggerogoti tubuhmu perlahan-lahan.”
“Saya mengerti Dok. Terima kasih atas anjurannya. Tapi jujur saya belum mau untuk kemoterapi.”
“Apa kamu takut??”
“Tidak Dok. Saya sudah menyerahkan semuanya pada Sang Khalik. Saya cuma tidak ingin orang lain tahu bahwa sebenarnya saya sakit.”
“Maksud Kamu?? Kamu gengsi ya kalau orang lain tahu??” tanya dr.Ibrahim lagi.
“Saya tidak gengsi Dok. Saya hanya ingin berusaha mencari solusi lain dari penyakit yang saya derita. Meskipun saya tahu bahwa sampai sekarang di negara-negara lain pun juga belum menemukan terapi yang efektif untuk kanker pankreas. Kemoterapi hanya membuat tubuhku semakin lemah. Saya masih memiliki banyak impian yang ingin saya lakukan Dok.”
“Saya terserah pada Kamu Dek. Saya hanya menganjurkan yang terbaik. Ini semua saya serahkan padamu.”
“Terima kasih Dok.”
Sudah berulang kali dr. Ibrahim telah menganjurkan untuk kemoterapi. Tapi berulang kali pula aku menolak. Karena menurutku kemoterapi tidak bisa mengobati kanker pancreas. Aku sudah berulang kali berkonsultasi dengan teman-temanku yang sedang studi di luar sambil terus mencari informasi dari jurnal-jurnal internasional. Namun, memang belum ada yang mampu menemukan pengobatan yang efektif dari Ca Pankreas. Aku bukannya pasrah dan menyerah pada penyakitku dengan menolak tindakan kemoterapi. Namun, aku merasa kemoterapi tidak akan efektif. Justru aku berpikir ketika aku kemoterapi justru aku mempercepat kematianku akibat efek sampingnya.
“Mitha sudah punya pacar Kak. Mereka sudah berhubungan setahun ini.” Rani menyakinkanku
Aku memberanikan diri bertanya pada Rani siang itu. Entah mengapa telah tumbuh perasaan cinta dalam hatiku pada Mitha. Aku tak tahu alasannya. Perasaan ini tiba-tiba muncul tanpa aku sadari seiring dengan berjalannya waktu.
“Kakak naksir sama Mitha ya??” tanya Rani
“Iya Rani. Aku jatuh cinta pada Mitha sejak pertama kali kita berkenalan.” Jelasku dengan tegas pada Rani
“Jujur, menurutku Kakak pelan-pelan saja mendekati Mitha. Saya tidak ingin Kakak kesannya mengganggu hubungan mereka.”
“Iya Rani. Aku sadar posisiku sulit.”
“Jangan putus asa ya Kak. Tetap berusaha saja.” saran Rani
“Terima Kasih ya Rani.”
Keesokan harinya, aku kembali bertugas jaga UGD bersama Mitha malam itu. Sebenarnya aku sedang bebas tugas. Namun, karena Mitha meneleponku untuk menemaninya jaga, aku tak bisa menolaknya.
“Makasih ya Kak, sudah mau menemaniku jaga malam ini.”
“Sama-sama Mitha. Apa sich yang tidak buat kamu.” Gombalku
“Hahaha…ternyata Kakak bisa gombal juga ya. Besok saya traktir Kakak dech makan bubur ayam.”
“Ndak usah ngerayu Mitha. Tapi boleh dech. Lumayan sarapan gratis.” Sahutku sambil tersenyum “O iya…besok Mitha ada kegiatan ndak?? Besok lusa saya mau ngajak Mitha ikut baksos pemeriksaan kesehatan sekaligus anjang sana.”
“Baksos… Boleh juga Kak. Aku ajak Rani boleh ndak??”
“Boleh kok. Semakin banyak semakin bagus. Kalau mau ikut menyumbang boleh juga. Terserah mau uang, pakaian bekas, makanan dan semacamnya.”
“Siap Bos!!! Nanti saya kasih tau Rani juga. Kegiatan rumah sakit ya Dok??”
“Bukan De’. Kegiatan pribadi. Saya bersama beberapa teman-teman sejawat lain angkatanku waktu kuliah yang adakan. Kami telah rutin melakukannya dua kali sebulan.”
“Wah…Mitha boleh ikut gabung ndak?? Mitha juga senang dengan kegiatan-kegiatan sosial.”
“Boleh banget De’. Kalo mau ikutan kami dengan tangan terbuka siap menerima. Kami malah senang dengan semakin banyaknya teman-teman yang mau bergabung. Nanti besok saya hubungi ya kepastiannya.”
“Siap Kakak. Mitha siap membantu!!!”
Hari Minggu itu kami berlima berangkat ke lokasi baksos. Kebetulan kami mengambil lokasi di daerah perkampungan kumuh yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota. Masyarakat di perkampungan tersebut sangat senang dengan kehadiran kami. Mereka kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat, sehingga kehadiran kami cukup membuat mereka terharu. Aku memang sengaja memilih lokasi-lokasi yang cukup terpencil sebagai tempat kami baksos dengan harapan kami bisa lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kami.
“Lelah juga ya Kak hari ini.” keluh Rani pada Bambang
“Iya Rani. Pasien hari ini lumayan banyak. Mungkin ini pasien yang paling banyak yang kami periksa selama ini.” sahut Bambang
“Kegiatan ini rutin ya Kakak adakan??’ tanya Mitha
“Iya. Ini ide dari bapak itu.” Jawab Bambang sambil menunjuk ke arahku.
“Hehehe…tidak juga Mitha. Ini ide kami semua. Gimana Pia??” jawabku sambil melihat Pia. “O iya…saya tinggal dulu ya. Saya mau bicara dengan Kepala Desa dulu.” Aku berdiri sambil berjalan ke salah satu rumah yang ada di pojok jalan.
“Dasar Ridwan. Dia selalu merendah. Benar ini ide dia. Dia cukup bersemangat melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini. Ridwan memang anaknya sosialis banget….eh maksudku jiwa sosialnya besar sekali. Dia bahkan membuat klinik pengobatan gratis di dekat rumahnya yang kebetulan berbatasan dengan permukiman kumuh.” Jelas Pia
“Hehehe…Ridwan memang manusia paling aneh. Banyak pasien yang sering cerita kalau di tempat prakteknya saja kadang dia sama sekali tidak menarik bayaran apabila pasiennya kurang mampu.” Tambah Bambang
“Ternyata benar ya gosip yang ayah cerita.” Sahut Rani
“Memangnya Ayah kamu cerita apa Ran??” tanya Mitha
“Ayah sering cerita bahwa ada seorang dokter yang begitu baik hati yang praktek tidak jauh dari kantor ayah. Ayah pernah bilang kalau namanya dr. Ridwan. Saya tidak menyangka kalau yang ayah maksud itu Kak Ridwan.” Jelas Rani
“Gosip itu benar Rani. Tapi jujur banyak pasien yang senang berobat pada Ridwan. Menurut banyak orang, dia sangat ramah.” Jelas Pia.
“Anak itu memang baik sekali. Kalian pasti senang berteman dengan Ridwan.” Tambah Bambang
“Saya sudah sering dengar cerita dari perawat-perawat di rumah sakit Kak.” Mitha menjawab sambil melihat dari Ridwan yang terlihat asyik bercanda dengan anak-anak yang ada di depan rumah kepala desa.
“Kalian tahu tidak. Dia selalu berkata pada kami bahwa hidup ini akan terasa sangat bermakna ketika kita mampu mendedikasikan hidup kita untuk orang lain. Menurutnya sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Jujur kami terhipnotis dengan kata-kata itu. Kami seakan terbawa oleh semangatnya untuk terus berbuat baik pada semua orang kapan saja dan di mana saja.”
“Subhanallah!!!” sahut Mitha dan Rani bersamaan.
“Dok!!! Tolong Dokter!!! Pak Dokternya di sana jatuh pingsan.” sahut salah seorang warga yang datang menghampiri mereka.
“Ridwan?? Maksud Bapak dr. Ridwan??” sahut Pia tidak percaya. Bambang tanpa banyak komentar berlari menuju tempat yang ditunjuk oleh warga tersebut. Mitha dan Rani juga ikut menyusul berlari. Pia masih berdiri terbengong masih tidak percaya.
“Ridwan!!! Ridwan!!! Kamu kenapa??” Bambang terus-menerus memanggil nama Ridwan. “Tidak ada respon. Kalian coba periksa tanda vitalnya. Saya pergi ambil mobil dulu.”
“Kakak!!! Kak Ridwan…..!!!” Mitha memanggil Ridwan sambil menangis
“Nadinya lemah, akral dingin. Harus segera dibawa ke rumah sakit.” Sahut Rani
“Kenapa secepat ini kawan?? Bukannya kamu bilang kamu akan tetap hidup untuk waktu yang cukup panjang.” Pia telah ada di samping Ridwan melihat tubuh Ridwan yang terbaring lemah.
“Kak Ridwan sakit apa kak…..??? Jawab Kak!!!” Mitha mengguncang bahu Pia sambil menangis.
“Kalian jangan ngobrol!!! Kita harus segera bawa Ridwan ke rumah sakit.” Bambang telah kembali. Dia pun meminta tolong kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh Ridwan ke mobil. Tanpa pikir panjang, Bambang langsung menjalankan mobilnya dengan cepat kembali ke kota.
Di perjalanan, mereka semua terdiam. Rani dan Pia saling berangkulan menangis melihat tubuh Ridwan. Mitha terus-menerus memanggil nama Ridwan.
“Mitha, saya sayang kamu. Saya minta maaf karena perasaan ini tiba-tiba saja muncul tanpa saya sadari.” Ridwan mengatakannya dengan tegas malam itu. Mitha kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Saat itu Ridwan datang ke rumah Mitha malam hari sepulang dari jaga siang di rumah sakit. Masih teringat jelas kejadian malam itu. Ridwan menunggu di depan rumahnya di tengah derasnya hujan yang mengguyur kota malam itu. Malam itu Mitha terlambat pulang ke rumah. Mitha sedang ada kegiatan bersama teman-temannya. Ia baru pulang saat larut malam. Ia terkejut dengan kehadiran Ridwan, basah kuyup di depan rumahnya duduk di sepeda motor kesayangannya.
Setelah lama mengobrol, Ridwan lalu menyatakan perasaan yang telah ia pendam selama ini. Pernyataannya malam itu cukup sederhana, lugas dan sedikit romantis. Pernyataan cinta yang ia katakan terdengar begitu tulus. Mitha cukup terharu dengan kata-kata yang Ridwan ungkapkan malam itu. Mitha sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama dengan perasaan Ridwan, namun Mitha masih bimbang karena ia juga masih menyayangi pacarnya. Mitha memutuskan untuk tidak menerima pernyataan cinta dari Ridwan. Ia tidak bisa menduakan hatinya bersama Ridwan dan pacarnya.
Airmata terus-menerus mengalir dari kedua matanya. Entah mengapa perasaan cinta yang tersimpan rapi dalam hatinya ingin memberontak keluar. Selama ini Mitha berusaha mengalihkan perasaannya dengan menganggap Ridwan sebagai seorang kakak kandungnya. Namun, lama-kelamaan Mitha harus menyerah pada perasaan hatinya. Ia tidak dapat membohongi hatinya terus-menerus. Perasaan sayang yang dimilikinya kepada Ridwan sebagai seorang kakak justru semakin menyuburkan benih-benih cinta yang ada di dalam dirinya. Mitha tidak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Ridwan. Mitha berharap masih mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Ridwan.
“Ridwan harus mendapatkan perawatan intensif di ICU. Keadaannya cukup kritis. Sebaiknya kita harus banyak berdoa untuk keselamatannya.” pernyataan dr. Ibrahim cukup menyayat hati kami.
“Dok, sebenarnya anak kami sakit apa Dok??” tanya ayah Ridwan dengan sedih.
“Maaf ya Pak, Bu. Sebenarnya Ridwan tidak mau penyakitnya diketahui oleh orang lain termasuk orang tuanya. Namun, ada baiknya saya terus terang sekarang. Sebenarnya anak Bapak menderita kanker pankreas. Ridwan baru mengetahuinya setahun ini. Saya sudah berulang kali menganjurkannya untuk kemoterapi, namun ia tidak mau. Ia tidak mau orang lain tahu penyakitnya. Ia juga menganggap bahwa kemoterapi bukan solusi dari penyakit yang ia derita.”
“Apa?? Kanker Pankreas Dok??” Ayah dan Ibu Ridwan terkejut
“Kenapa Ridwan selama ini tidak pernah cerita??? Kenapa???” Ibu Ridwan berteriak sambil menangis dengan tersedu-sedu. Ia memeluk erat tubuh adik Ridwan. Kelihatan bahwa mereka sangat terpukul dengan pernyataan dr. Ibrahim, terpukul oleh kenyataan pahit yang disembunyikan oleh anaknya selama ini.
Mitha juga sangat terpukul mendengar penjelasan dari dr. Ibrahim. Air matanya mengalir tambah deras dari kedua matanya. Mitha juga mengetahui dengan jelas bahwa kanker pankreas itu penyakit langka namun begitu mematikan. Ternyata Ridwan, sosok yang begitu ia sayangi menderita penyakit yang begitu berat. Ridwan begitu pandai menyembunyikan penderitaan tubuhnya darinya, dari rekan-rekannya. Kelihatannya dari semua orang yang dikenal Ridwan tak ada yang tahu selain dr. Ibrahim dan Ridwan sendiri.
“Sabar ya Mitha!!! Ridwan merahasiakan penyakitnya selama ini dari kalian semua. Termasuk orang tuanya dan Kamu, wanita yang begitu ia sayangi.” Pia berkata lirih “Saya juga baru tahu tiga bulan yang lalu. Saat itu, saya tidak sengaja melihat rekam medisnya sendiri yang kebetulan ia bawa dan tertinggal di kamar dokter jaga. Saat saya tanya pada Ridwan, ia cuma tersenyum. Ia menyuruh saya untuk berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun.” Pia berhenti untuk menghapus air matanya. Kelihatan Pia begitu sedih dengan keadaan sahabat terbaiknya itu.
“Dia pernah bilang padaku. Saya tidak akan pernah menyerah dengan penyakitku. Saya akan tetap bertahan hidup dan berjuang untuk meraih mimpi-mimpinya. Umurku masih cukup panjang untuk membahagiakan orang-orang yang sangat ia sayangi.” Pia menarik nafasnya begitu dalam. “Ridwan adalah sosok pria yang begitu tegar. Tidak pernah terlihat bahwa dirinya sedang menanggung beban penyakit yang begitu berat. Ia tetap percaya pada setiap mimpi-mimpinya untuk terus berjuang, untuk tetap berbuat baik, yang terbaik untuk orang banyak. Ia ingin berjuang untuk membahagiakan orang lain. Sungguh sosok pria, sosok sahabat yang sangat hebat.”
“Ckckck….Ridwan…Ridwan… Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku??” Bambang juga begitu terpukul. Sahabat yang begitu ia kagumi ternyata memiliki masalah penyakit yang tak pernah ia ceritakan kepadanya.
“Pernah satu waktu ia bercerita padaku. Ia begitu bersyukur telah dianugerahkan penyakit ini. Tidak pernah sama sekali ia menyesali segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Ia tetap menatap musibah yang ia alami dengan hati lapang dan pikiran positif. Memang dia itu laki-laki yang aneh namun mengagumkan.” Pia tertunduk sedih. “O iya, Mitha. Ia selalu bercerita tentang kamu setiap saat. Ia sangat mencintai kamu. Baginya, kamu adalah semangat hidupnya. Kamu adalah salah satu alasan dirinya untuk tetap bertahan hidup sampai saat ini.” Pia kembali tertunduk. Kelihatan ia sangat sedih sekali. Ia sudah tidak mampu meneruskan ceritanya. Suaranya semakin tertahan oleh tangisnya yang begitu pilu.
“Mitha, kamu dah ngantuk ya??” Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.
“Belum kok Dok. Pasien malam ini banyak juga ya Dok. Perasaan dari tadi pasien mengalir terus.” jawab Mitha sambil tersenyum
“Hahaha…kamu harus mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini Mitha. Yang ini belum seberapa. Kadang-kadang bahkan untuk duduk ngobrol seperti ini saja sudah tidak sempat.”
“Serius Dok??”
“Yup. Tapi tidak selalu kok. Tergantung musimnya dan tergantung siapa dokter jaganya” hibur Ridwan.
“Hehehe…tergantung dokter jaganya ya Dok??” Mitha tertawa.
“Jangan panggil dokter terus dong. Usia kita kan cuma beda dua tahun. Saya kelihatan tua sekali kalau kamu panggil Dokter.”
“Baik Dok, eh….Kak. Panggil Kakak saja ya Dok, eh…maksud saya Kak?”
“Terserah… Asal jangan panggil Om…hehehe…” canda Ridwan
Malam itu aku dan Mitha secara kebetulan shift jaga bersama. Dr. Wati yang menjadi teman jagaku sedang berhalangan karena anaknya sedang sakit. Akhirnya Mitha yang kebetulan masih junior harus masuk menggantinya.
“Kakak sudah lama bertugas di sini??”
“Lumayan Mitha. Saya sudah bertugas di sini kurang lebih tiga tahun. Kamu sendiri bagaimana kesannya selama sebulan ini di sini??”
“Saya senang di sini Kak. Semua petugas di sini ramah dan baik. Saya merasa berada di rumah sendiri selama berada di sini.”
“Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu pergi istirahat gih sana!!! Matamu kelihatannya sudah tak bisa diajak kompromi. Nanti bisa-bisa kamu yang harus terbaring di brankar.”
“Kakak bisa saja. Kalau begitu Mitha istirahat dulu ya. Nanti kalau ada pasien lagi tolong Mitha dipanggil.”
“Siap Dok!!! Selama saya masih ada di sini, semua Insya Allah akan berjalan aman dan terkendali.”jawabku sambil mengerlingkan mataku pada Mitha
“Makasih Kak. Ternyata Dokter eh Kakak tidak sedingin yang Mitha kira.” Mitha lalu beranjak pergi ke kamar jaga sambil tersenyum. Dia memang sangat lelah sekali.
Ridwan tak menangkap maksud dari kata-kata terakhir yang Mitha ucapkan. Begitu Mitha pergi, ia langsung larut dalam laporan yang harus ia ketik untuk diserahkan besok sambil sesekali pergi melihat pasien yang sementara diobservasi di UGD.
“Selamat pagi Kakak!!! Gak tidur ya semalam?? Kok saya tidak dibangunkan?? Apa semalam memang tidak ada pasien baru??”
“Eh…Mitha. Sudah bangun ya?? Tidak kok, keadaan aman dan terkendali. Semalam saya tidak bisa tidur. Lagipula ada banyak laporan yang harus saya selesaikan.”
“Oo…masih banyak ya Kak yang mesti diketik?? Ada yang bisa Mitha bantu??”
“Sudah selesai kok. Ini sudah mau pulang. Kita visite dulu ya pasien yang di ruang perawatan. Kebetulan saya menunggu Mitha untuk visite sama-sama.”
Kami berdua melakukan visite pasien sebelum meninggalkan rumah sakit. Saat sedang melakukan visite pasien, tiba-tiba perutku terasa nyeri sekali.
“Kak, kamu tidak pa-pa??” Mitha terlihat panik.
“Tidak apa-apa Mitha. Biasalah, gastritisku kambuh lagi.” Jawab Ridwan. Ia berbohong pada Mitha. Penyakit yang ia derita ini bukanlah gastritis. Beberapa bulan lalu Ridwan juga baru mengetahui setelah melakukan pemeriksaan secara lengkap. Nyeri perut ini sebenarnya telah ia alami selama setahun terakhir. Awalnya Ridwan juga menganggap penyakitnya sebagai maag biasa. Namun, setelah berulang kali kambuh aku pun memutuskan untuk konsultasi dengan dr. Ibrahim, dokter ahli penyakit dalam di rumah sakit tersebut. Saat melakukan pemeriksaan USG yang dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan barulah diketahui bahwa nyeri perut tersebut berasal dari kanker pankreas. Kasus penyakit ini sangat jarang dan sampai sekarang belum diketahui pengobatan yang paling efektif untuk menanganinya. Hampir sebagian besar kasus penyakit ini berakhir dengan kematian.
“Kak, Kakak tidak apa-apa kan??” Mitha menepuk pundak Ridwan. “Perutnya masih nyeri??”
“Maaf Mitha. Nyerinya sudah agak berkurang. Tolong kamu saja yang lanjutkan visite ya!!! Saya tunggu kamu di sini saja.”
“Iya Kak. Tapi tidak apa-apa Kakak saya tinggalkan di sini??” Mitha terlihat khawatir dengan kondisi Ridwan.
“Tidak apa-apa Mitha. Kayaknya perutku ini hanya minta diisi. Soalnya semalam memang belum pernah diisi.” candanya pada Mitha.
“Kakak bisa saja. Baiklah kalau begitu saya lanjut visite dulu Kak. Nanti kalau ada apa-apa, Kakak tinggal hubungi saya!!” sahutnya.
“Siiiiip!!! Nanti kita sarapan bareng ya??” tawar Ridwan
“Iya Kak. Tolong Kakak kasih tahu perutnya untuk sabar nunggu Mitha selesai visite!!!”
“Hahaha…perutku akan sabar menanti Mitha hingga ujung waktu”
“Hihihihi…Kakak bisa saja.” Mitha pun berjalan melanjutkan visite. Aku hanya duduk di lorong ruang perawatan menahan nyeri yang masih terasa pada perutku.
“Mau makan apa Mitha??” tanya Ridwan pada Mitha. Kami sepakat sarapan di warung yang ada tidak jauh dari rumah sakit.
“Saya bubur ayam saja Kak.”
“Bubur ayam dua ya Mas. Ndak pake lama!!!!” sahut Ridwan pada penjaga warung.
“Minumnya apa Mas, Mba’??” tanya penjaga warung lagi
“Saya teh manis hangat Mas” sahut Mitha
“Sama, Mas. Teh manis juga.” Sahut Ridwan
“Bubur ayam di sini enak lho Mitha. Sudah pernah makan di sini??”
“Sudah pernah Kak sekali bareng Rani. Memang betul bubur ayamnya memang enak.” jawab Mitha sambil sibuk mengutak-atik handphone di tangannya. “Ternyata Kakak tidak sedingin yang saya kira.” Sambung Mitha
“Maksud Kamu??”
“Iya Kak,. Waktu dulu, saya sama Rani mengira Kakak itu orangnya dingin. Rani bahkan bilang Kakak itu orangnya galak. Kami sampai segan menegur Kakak. Senyum saja kadang kami susah kalau berpas-pasan dengan Kakak.” Jelas Mitha polos
“Hahaha….dingin dari Hongkong. Saya tidak sedingin itu kok Mitha. Kamu bisa nanya ke semua perawat dan petugas di rumah sakit. Mereka pasti tertawa.”
“Artinya memang cuma penampilannya saja. Ternyata Kakak itu orangnya ramah.”
“Kalau saya ini galak. Wajah saya mungkin sudah setua Bapak itu.” Candaku sambil menunjuk ke arah seorang Bapak tua yang berjalan lemah di pinggir jalan.
“Hahaha…Kakak benar-benar usil. Masa ngejek Bapak itu.”
Pagi itu kami berdua sarapan bubur ayam sambil bercanda lepas. Entah mengapa aku merasa begitu bahagia pagi itu. Mungkin karena baru kali ini aku makan berdua dengan teman cewek. Memang apa yang dikatakan oleh Mitha tidak semuanya salah. Aku memang orangnya sangat dingin. Sebenarnya tidak dingin, cuma sedikit pendiam. Aku memang terkenal orang yang sedikit komentar. Kadang kalau sedang mengobrol dengan teman-teman sejawat lain ataupun dengan para perawat, aku kadang hanya menanggapi obrolan mereka dengan kata-kata yang super irit. Apalagi sama orang yang baru aku kenal. Makanya tidak heran bahwa banyak orang mengira aku ini dingin dan tertutup.
“Terima kasih ya Kak traktiran buburnya. Mitha mau pulang dulu. Penjemput Mitha sudah datang.” Mitha menunjuk ke arah seorang pria yang telah dari tadi berdiri di depan mobil sportnya.
“Sama-sama Mitha. Saya juga berterimakasih sudah mau menemani saya sarapan.” Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul saat melihat Mitha berangkulan dengan pria itu. “Mungkinkah pria itu pacar Mitha??” aku bergumam
“Dok, bagaimana sebenarnya prognosis dari penyakit yang aku derita??” Sore itu aku memutuskan untuk kembali berkonsultasi pada dr. Ibrahim mengenai penyakitku.
“Seperti sebelumnya Dek. Prognosisnya sangat buruk. Saya sarankan sebaiknya kamu mulai mendapatkan kemoterapi. Semakin lama kamu menundanya, kanker di tubuhmu akan semakin berkembang. Saya juga tidak tahu seberapa lama lagi tubuh kamu mampu bertahan.” Jelas dr. Ibrahim
“Tidak perlu Dok. Saya sudah tahu bahwa pengobatan kemoterapi bukanlah solusi dari penyakitku.”
“Tapi setidaknya kamu berusaha. Daripada kamu hanya membiarkan penyakitmu itu menggerogoti tubuhmu perlahan-lahan.”
“Saya mengerti Dok. Terima kasih atas anjurannya. Tapi jujur saya belum mau untuk kemoterapi.”
“Apa kamu takut??”
“Tidak Dok. Saya sudah menyerahkan semuanya pada Sang Khalik. Saya cuma tidak ingin orang lain tahu bahwa sebenarnya saya sakit.”
“Maksud Kamu?? Kamu gengsi ya kalau orang lain tahu??” tanya dr.Ibrahim lagi.
“Saya tidak gengsi Dok. Saya hanya ingin berusaha mencari solusi lain dari penyakit yang saya derita. Meskipun saya tahu bahwa sampai sekarang di negara-negara lain pun juga belum menemukan terapi yang efektif untuk kanker pankreas. Kemoterapi hanya membuat tubuhku semakin lemah. Saya masih memiliki banyak impian yang ingin saya lakukan Dok.”
“Saya terserah pada Kamu Dek. Saya hanya menganjurkan yang terbaik. Ini semua saya serahkan padamu.”
“Terima kasih Dok.”
Sudah berulang kali dr. Ibrahim telah menganjurkan untuk kemoterapi. Tapi berulang kali pula aku menolak. Karena menurutku kemoterapi tidak bisa mengobati kanker pancreas. Aku sudah berulang kali berkonsultasi dengan teman-temanku yang sedang studi di luar sambil terus mencari informasi dari jurnal-jurnal internasional. Namun, memang belum ada yang mampu menemukan pengobatan yang efektif dari Ca Pankreas. Aku bukannya pasrah dan menyerah pada penyakitku dengan menolak tindakan kemoterapi. Namun, aku merasa kemoterapi tidak akan efektif. Justru aku berpikir ketika aku kemoterapi justru aku mempercepat kematianku akibat efek sampingnya.
“Mitha sudah punya pacar Kak. Mereka sudah berhubungan setahun ini.” Rani menyakinkanku
Aku memberanikan diri bertanya pada Rani siang itu. Entah mengapa telah tumbuh perasaan cinta dalam hatiku pada Mitha. Aku tak tahu alasannya. Perasaan ini tiba-tiba muncul tanpa aku sadari seiring dengan berjalannya waktu.
“Kakak naksir sama Mitha ya??” tanya Rani
“Iya Rani. Aku jatuh cinta pada Mitha sejak pertama kali kita berkenalan.” Jelasku dengan tegas pada Rani
“Jujur, menurutku Kakak pelan-pelan saja mendekati Mitha. Saya tidak ingin Kakak kesannya mengganggu hubungan mereka.”
“Iya Rani. Aku sadar posisiku sulit.”
“Jangan putus asa ya Kak. Tetap berusaha saja.” saran Rani
“Terima Kasih ya Rani.”
Keesokan harinya, aku kembali bertugas jaga UGD bersama Mitha malam itu. Sebenarnya aku sedang bebas tugas. Namun, karena Mitha meneleponku untuk menemaninya jaga, aku tak bisa menolaknya.
“Makasih ya Kak, sudah mau menemaniku jaga malam ini.”
“Sama-sama Mitha. Apa sich yang tidak buat kamu.” Gombalku
“Hahaha…ternyata Kakak bisa gombal juga ya. Besok saya traktir Kakak dech makan bubur ayam.”
“Ndak usah ngerayu Mitha. Tapi boleh dech. Lumayan sarapan gratis.” Sahutku sambil tersenyum “O iya…besok Mitha ada kegiatan ndak?? Besok lusa saya mau ngajak Mitha ikut baksos pemeriksaan kesehatan sekaligus anjang sana.”
“Baksos… Boleh juga Kak. Aku ajak Rani boleh ndak??”
“Boleh kok. Semakin banyak semakin bagus. Kalau mau ikut menyumbang boleh juga. Terserah mau uang, pakaian bekas, makanan dan semacamnya.”
“Siap Bos!!! Nanti saya kasih tau Rani juga. Kegiatan rumah sakit ya Dok??”
“Bukan De’. Kegiatan pribadi. Saya bersama beberapa teman-teman sejawat lain angkatanku waktu kuliah yang adakan. Kami telah rutin melakukannya dua kali sebulan.”
“Wah…Mitha boleh ikut gabung ndak?? Mitha juga senang dengan kegiatan-kegiatan sosial.”
“Boleh banget De’. Kalo mau ikutan kami dengan tangan terbuka siap menerima. Kami malah senang dengan semakin banyaknya teman-teman yang mau bergabung. Nanti besok saya hubungi ya kepastiannya.”
“Siap Kakak. Mitha siap membantu!!!”
Hari Minggu itu kami berlima berangkat ke lokasi baksos. Kebetulan kami mengambil lokasi di daerah perkampungan kumuh yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota. Masyarakat di perkampungan tersebut sangat senang dengan kehadiran kami. Mereka kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat, sehingga kehadiran kami cukup membuat mereka terharu. Aku memang sengaja memilih lokasi-lokasi yang cukup terpencil sebagai tempat kami baksos dengan harapan kami bisa lebih bersentuhan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan uluran tangan kami.
“Lelah juga ya Kak hari ini.” keluh Rani pada Bambang
“Iya Rani. Pasien hari ini lumayan banyak. Mungkin ini pasien yang paling banyak yang kami periksa selama ini.” sahut Bambang
“Kegiatan ini rutin ya Kakak adakan??’ tanya Mitha
“Iya. Ini ide dari bapak itu.” Jawab Bambang sambil menunjuk ke arahku.
“Hehehe…tidak juga Mitha. Ini ide kami semua. Gimana Pia??” jawabku sambil melihat Pia. “O iya…saya tinggal dulu ya. Saya mau bicara dengan Kepala Desa dulu.” Aku berdiri sambil berjalan ke salah satu rumah yang ada di pojok jalan.
“Dasar Ridwan. Dia selalu merendah. Benar ini ide dia. Dia cukup bersemangat melakukan kegiatan-kegiatan seperti ini. Ridwan memang anaknya sosialis banget….eh maksudku jiwa sosialnya besar sekali. Dia bahkan membuat klinik pengobatan gratis di dekat rumahnya yang kebetulan berbatasan dengan permukiman kumuh.” Jelas Pia
“Hehehe…Ridwan memang manusia paling aneh. Banyak pasien yang sering cerita kalau di tempat prakteknya saja kadang dia sama sekali tidak menarik bayaran apabila pasiennya kurang mampu.” Tambah Bambang
“Ternyata benar ya gosip yang ayah cerita.” Sahut Rani
“Memangnya Ayah kamu cerita apa Ran??” tanya Mitha
“Ayah sering cerita bahwa ada seorang dokter yang begitu baik hati yang praktek tidak jauh dari kantor ayah. Ayah pernah bilang kalau namanya dr. Ridwan. Saya tidak menyangka kalau yang ayah maksud itu Kak Ridwan.” Jelas Rani
“Gosip itu benar Rani. Tapi jujur banyak pasien yang senang berobat pada Ridwan. Menurut banyak orang, dia sangat ramah.” Jelas Pia.
“Anak itu memang baik sekali. Kalian pasti senang berteman dengan Ridwan.” Tambah Bambang
“Saya sudah sering dengar cerita dari perawat-perawat di rumah sakit Kak.” Mitha menjawab sambil melihat dari Ridwan yang terlihat asyik bercanda dengan anak-anak yang ada di depan rumah kepala desa.
“Kalian tahu tidak. Dia selalu berkata pada kami bahwa hidup ini akan terasa sangat bermakna ketika kita mampu mendedikasikan hidup kita untuk orang lain. Menurutnya sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Jujur kami terhipnotis dengan kata-kata itu. Kami seakan terbawa oleh semangatnya untuk terus berbuat baik pada semua orang kapan saja dan di mana saja.”
“Subhanallah!!!” sahut Mitha dan Rani bersamaan.
“Dok!!! Tolong Dokter!!! Pak Dokternya di sana jatuh pingsan.” sahut salah seorang warga yang datang menghampiri mereka.
“Ridwan?? Maksud Bapak dr. Ridwan??” sahut Pia tidak percaya. Bambang tanpa banyak komentar berlari menuju tempat yang ditunjuk oleh warga tersebut. Mitha dan Rani juga ikut menyusul berlari. Pia masih berdiri terbengong masih tidak percaya.
“Ridwan!!! Ridwan!!! Kamu kenapa??” Bambang terus-menerus memanggil nama Ridwan. “Tidak ada respon. Kalian coba periksa tanda vitalnya. Saya pergi ambil mobil dulu.”
“Kakak!!! Kak Ridwan…..!!!” Mitha memanggil Ridwan sambil menangis
“Nadinya lemah, akral dingin. Harus segera dibawa ke rumah sakit.” Sahut Rani
“Kenapa secepat ini kawan?? Bukannya kamu bilang kamu akan tetap hidup untuk waktu yang cukup panjang.” Pia telah ada di samping Ridwan melihat tubuh Ridwan yang terbaring lemah.
“Kak Ridwan sakit apa kak…..??? Jawab Kak!!!” Mitha mengguncang bahu Pia sambil menangis.
“Kalian jangan ngobrol!!! Kita harus segera bawa Ridwan ke rumah sakit.” Bambang telah kembali. Dia pun meminta tolong kepada beberapa warga untuk mengangkat tubuh Ridwan ke mobil. Tanpa pikir panjang, Bambang langsung menjalankan mobilnya dengan cepat kembali ke kota.
Di perjalanan, mereka semua terdiam. Rani dan Pia saling berangkulan menangis melihat tubuh Ridwan. Mitha terus-menerus memanggil nama Ridwan.
“Mitha, saya sayang kamu. Saya minta maaf karena perasaan ini tiba-tiba saja muncul tanpa saya sadari.” Ridwan mengatakannya dengan tegas malam itu. Mitha kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Saat itu Ridwan datang ke rumah Mitha malam hari sepulang dari jaga siang di rumah sakit. Masih teringat jelas kejadian malam itu. Ridwan menunggu di depan rumahnya di tengah derasnya hujan yang mengguyur kota malam itu. Malam itu Mitha terlambat pulang ke rumah. Mitha sedang ada kegiatan bersama teman-temannya. Ia baru pulang saat larut malam. Ia terkejut dengan kehadiran Ridwan, basah kuyup di depan rumahnya duduk di sepeda motor kesayangannya.
Setelah lama mengobrol, Ridwan lalu menyatakan perasaan yang telah ia pendam selama ini. Pernyataannya malam itu cukup sederhana, lugas dan sedikit romantis. Pernyataan cinta yang ia katakan terdengar begitu tulus. Mitha cukup terharu dengan kata-kata yang Ridwan ungkapkan malam itu. Mitha sebenarnya juga memiliki perasaan yang sama dengan perasaan Ridwan, namun Mitha masih bimbang karena ia juga masih menyayangi pacarnya. Mitha memutuskan untuk tidak menerima pernyataan cinta dari Ridwan. Ia tidak bisa menduakan hatinya bersama Ridwan dan pacarnya.
Airmata terus-menerus mengalir dari kedua matanya. Entah mengapa perasaan cinta yang tersimpan rapi dalam hatinya ingin memberontak keluar. Selama ini Mitha berusaha mengalihkan perasaannya dengan menganggap Ridwan sebagai seorang kakak kandungnya. Namun, lama-kelamaan Mitha harus menyerah pada perasaan hatinya. Ia tidak dapat membohongi hatinya terus-menerus. Perasaan sayang yang dimilikinya kepada Ridwan sebagai seorang kakak justru semakin menyuburkan benih-benih cinta yang ada di dalam dirinya. Mitha tidak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Ridwan. Mitha berharap masih mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Ridwan.
“Ridwan harus mendapatkan perawatan intensif di ICU. Keadaannya cukup kritis. Sebaiknya kita harus banyak berdoa untuk keselamatannya.” pernyataan dr. Ibrahim cukup menyayat hati kami.
“Dok, sebenarnya anak kami sakit apa Dok??” tanya ayah Ridwan dengan sedih.
“Maaf ya Pak, Bu. Sebenarnya Ridwan tidak mau penyakitnya diketahui oleh orang lain termasuk orang tuanya. Namun, ada baiknya saya terus terang sekarang. Sebenarnya anak Bapak menderita kanker pankreas. Ridwan baru mengetahuinya setahun ini. Saya sudah berulang kali menganjurkannya untuk kemoterapi, namun ia tidak mau. Ia tidak mau orang lain tahu penyakitnya. Ia juga menganggap bahwa kemoterapi bukan solusi dari penyakit yang ia derita.”
“Apa?? Kanker Pankreas Dok??” Ayah dan Ibu Ridwan terkejut
“Kenapa Ridwan selama ini tidak pernah cerita??? Kenapa???” Ibu Ridwan berteriak sambil menangis dengan tersedu-sedu. Ia memeluk erat tubuh adik Ridwan. Kelihatan bahwa mereka sangat terpukul dengan pernyataan dr. Ibrahim, terpukul oleh kenyataan pahit yang disembunyikan oleh anaknya selama ini.
Mitha juga sangat terpukul mendengar penjelasan dari dr. Ibrahim. Air matanya mengalir tambah deras dari kedua matanya. Mitha juga mengetahui dengan jelas bahwa kanker pankreas itu penyakit langka namun begitu mematikan. Ternyata Ridwan, sosok yang begitu ia sayangi menderita penyakit yang begitu berat. Ridwan begitu pandai menyembunyikan penderitaan tubuhnya darinya, dari rekan-rekannya. Kelihatannya dari semua orang yang dikenal Ridwan tak ada yang tahu selain dr. Ibrahim dan Ridwan sendiri.
“Sabar ya Mitha!!! Ridwan merahasiakan penyakitnya selama ini dari kalian semua. Termasuk orang tuanya dan Kamu, wanita yang begitu ia sayangi.” Pia berkata lirih “Saya juga baru tahu tiga bulan yang lalu. Saat itu, saya tidak sengaja melihat rekam medisnya sendiri yang kebetulan ia bawa dan tertinggal di kamar dokter jaga. Saat saya tanya pada Ridwan, ia cuma tersenyum. Ia menyuruh saya untuk berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun.” Pia berhenti untuk menghapus air matanya. Kelihatan Pia begitu sedih dengan keadaan sahabat terbaiknya itu.
“Dia pernah bilang padaku. Saya tidak akan pernah menyerah dengan penyakitku. Saya akan tetap bertahan hidup dan berjuang untuk meraih mimpi-mimpinya. Umurku masih cukup panjang untuk membahagiakan orang-orang yang sangat ia sayangi.” Pia menarik nafasnya begitu dalam. “Ridwan adalah sosok pria yang begitu tegar. Tidak pernah terlihat bahwa dirinya sedang menanggung beban penyakit yang begitu berat. Ia tetap percaya pada setiap mimpi-mimpinya untuk terus berjuang, untuk tetap berbuat baik, yang terbaik untuk orang banyak. Ia ingin berjuang untuk membahagiakan orang lain. Sungguh sosok pria, sosok sahabat yang sangat hebat.”
“Ckckck….Ridwan…Ridwan… Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku??” Bambang juga begitu terpukul. Sahabat yang begitu ia kagumi ternyata memiliki masalah penyakit yang tak pernah ia ceritakan kepadanya.
“Pernah satu waktu ia bercerita padaku. Ia begitu bersyukur telah dianugerahkan penyakit ini. Tidak pernah sama sekali ia menyesali segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Ia tetap menatap musibah yang ia alami dengan hati lapang dan pikiran positif. Memang dia itu laki-laki yang aneh namun mengagumkan.” Pia tertunduk sedih. “O iya, Mitha. Ia selalu bercerita tentang kamu setiap saat. Ia sangat mencintai kamu. Baginya, kamu adalah semangat hidupnya. Kamu adalah salah satu alasan dirinya untuk tetap bertahan hidup sampai saat ini.” Pia kembali tertunduk. Kelihatan ia sangat sedih sekali. Ia sudah tidak mampu meneruskan ceritanya. Suaranya semakin tertahan oleh tangisnya yang begitu pilu.
Mitha menangis tersedu-sedu mendengarnya. Ia tidak mampu lagi mendengar semua kenyataan pahit mengenai Ridwan, sosok yang juga ia kagumi, sosok yang kini selalu ada dalam pikirannya setiap saat. Rani hanya dapat terdiam sedih memeluk Mitha. Pia, Bambang dan Edwin yang baru tiba, serta keluarga Ridwan larut dalam diam, larut dalam kesedihan yang begitu dalam. Doa tidak henti-hentinya terucap dari mulut mereka untuk keselamatan Ridwan.
Tak lama berselang salah seorang perawat ICU keluar bersama dr. Ibrahim dengan wajah sedih.
“Maaf Pak, Ibu, Teman-teman sekalian. Ridwan telah berpulang ke Sang Khalik. Kami tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Sang Khalik telah menjemputnya pulang menghadap-Nya. Kami turut berduka cita. Mitha lalu berlari masuk ke dalam ruang ICU. Tangisan Mitha seakan terhenti. Ia melihat wajah Ridwan yang begitu damai dan tenang. Senyuman yang begitu menyejukkan tetap menghiasi wajahnya. Wajahnya begitu tegar menyambut maut yang menjemput dirinya. Ridwan seakan ingin menunjukkan pada dunia bahwa tak perlu bersedih dengan kepergiannya. Ridwan ingin agar semua orang-orang yang ia cintai mengikhlaskan kepergiannya.
“Menurut kamu apa sebenarnya kematian itu Mitha??” terlintas pertanyaan Ridwan pada dirinya beberapa hari lalu saat mereka berdua sedang duduk berdua di koridor rumah sakit. Mitha yang kaget dengan pertanyaan tersebut hanya tersenyum, terdiam menunggu penjelasan Ridwan. “Kematian itu hanyalah sebuah fase yang mengantarkan kita pada kehidupan yang sebenarnya De’. Kematian bukanlah akhir dari kehidupan, namun justru kematian adalah awal dari segalanya. Makanya kita jangan terlalu sedih dengan kematian. Justru saat maut menyapa kita, kita seharusnya menyambutnya dengan hangat layaknya seorang sahabat yang telah lama kita nanti.” Mitha terkesima dengan pernyataan Ridwan. Ia tidak menyangka bahwa Ridwan sedang menceritakan kondisi dirinya sendiri yang menanti malaikat maut yang akan menjemput dirinya. “Terima kasih kak Ridwan. Terima kasih untuk pembelajaran hidup yang telah Kamu ajarkan kepada kami. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang telah Kamu berikan kepadaku dengan tulus tanpa mengharapkan balasan. Sosokmu akan selalu menjadi sosok kakak yang akan selalu kusayangi. Sosokmu akan selalu menjadi sosok pria yang aku cintai sekarang dan untuk selamanya.” Mitha menghapus air mata yang masih mengalir lembut dari matanya. “Selamat tinggal Kak Ridwan!!! Selamat tinggal pejuang kehidupan!!! Semoga kita dapat dipertemukan kembali di kehidupan kemudian!!!
PROFIL PENULIS
Nama : dr. Muhammad Taqwim Mulwan
Tempat / Tgl. Lahir : Ujung Pandang, 22 Mei 1985
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan 3 BTN Hamzy blok N/7, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Makassar 90245
Add Facebook : Muhammad Taqwim
Follow Twitter : @taqwim
Agama : Islam
Tempat / Tgl. Lahir : Ujung Pandang, 22 Mei 1985
Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan 3 BTN Hamzy blok N/7, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Makassar 90245
Add Facebook : Muhammad Taqwim
Follow Twitter : @taqwim
Agama : Islam
No. Urut : 1496
Tanggal Kirim : 17/11/2012 19:22:27
Tanggal Kirim : 17/11/2012 19:22:27
Baca juga Cerpen Motivasi yang lainnya.