Menyulam Rindu di Pengasingan - Cerpen Cinta

MENYULAM RINDU DI PENGASINGAN
Karya Munjiyah Dirga Ghazali

Kusaksikan tubuhmu di situ. Bungkam. Bulir air mata jatuh di bajuku. Orang-orang berkerumun. Gadis itu bergaun daun pisang. Kau temukan kain sulam bertuliskan namamu. Berwarna merah yang kusulam sejak pengasinganku.

Entah bermula dari mana. Dari titik hujan sore itu. Membias dan masuk ke ruang jiwa. Mengatupkan duri dan tak sadar mememariku. Bercerita pada siapa sang pelisan. Tak kunjung datang potret di ujung jalan. Menanti peluh. Menangkap sayap patah. Menjamu dewa matahari bersama sang senja.
Kubenamkan wajahku di atas air yang menawar harapan. Dingin dan malam kian gigil. Aku terperangkap pada satu sinema kehidupan. Kala itu kutemukan diriku di ujung tombak. Takut. Mendesau. Mengkristal. Membuyarkan segala kenalurianku sebagai wanita. Tepat menjelang awal puasa esok. Aku di situ. Denganmu. Memamerkan luka. Meneror memori yang telah usai. Mencandukan air mata menjadi bukit. Sepintas lalu kau tersenyum. Tanganmu menyentuh pipiku. Lembut. Tak bersuara.

Kulangkahkan kakiku menuju pete-pete’. Lepas azhar kutinggalkan Tanah Daeng. Entah jasadmu masihkah di situ. Aku tak berani menatap mata itu. Sebentar lagi matahari akan beranjak dari singgasana. Sang senja mulai gelisah menangkap malam. Kusaksikan sang senja menagkap perangaimu di sana. Jauh. Hilang dan tak nampak lagi perangai tambunmu. Aku lirih.
“Aku di asingkan”. Kau tahu? Pengasingan yang tak pernah kuinginkan. Kuinginkan tubuhmu di sana di tepi danau sore itu. Isyarat yang kutulis pada selembar daun mangga. Isyarat yang kukira hanya sebuah untaian kata. Empat tahun sebuah perjalanan cinta yang cukup melelahkan. Penuh kerikil. Penuh denndam. Penuh amarah. Penuh haru biru yang telah tersamarkan dengan kesetiaan dan kepercayaan. Kudiamkan hatiku di tepi danau itu.

Tanah Boledong. Tempat pengasingan penuh lirih. Kumemarkan tiap-tiap tubuhku hingga kepuasan batin tersalurkan. Jika meringis, bulir-bulir air mata tak sanggup menahannya. Seketika itu akan tumpah ruah. Acap kali menjelma menjadi sebuah dilema. “Kusingkirkan peluh namamu sebentar. Jika bisa aku menuruti kemauan orang tuaku menetap di pengasinganku. Aku tak berdaya.
Penuh suci nafas menyerbu batinku. Otakku yang kupaksa membunuh namamu. Nadi-nadiku yang kuseret. Tidak menyakiti batinku jauh darimu. Sebulan. Hal baru untuk menghabiskan rindu yang memuncak. Ini Sulit. Kain pertamaku dari jiwa yang tenang sudah kusulam. Kuperbaiki dan kuperlihatkan pada ibu potret itu. Sesekali tak kubiarkan ia mengetahuiku benar ada cinta di balik tubuh tambunku. Sepeucuk surat berisi seuntai pusi.

Kukemas perjalanan apik ini. Menapak jalan hidup. Jika saja kita tak berjumpa mungkin takkan seperti ini. Bukan menjelma sebagai kerinduan. Juga bukan menjelma sebagai perpisahan. Kusaksikan peluh tubuhku cacat. Terbelenggu. Bungkam dan mengharamkan kata rindu di pelupuk batinku.
Dini hari, pertama kali sendiri. Mengundang kunang- kunang ke kamarku. Lampion yang dibawanya, ingin emnerangi kehidupanku. Aku terperangkap dalam kaku. Menangis saja sebisaku. Menelanjangi kembali pikiranku dengan segala keacuhanmu. Penuh mistik. Horor dan mitos yang tak kupercaya. Sendau gurau yang kini menyatu dengan lingkunganmu.

Sedetik menjadi semenit. Menumpahkan segala kesibukan menjadi sejam. Menjelma dalam sehari. Hingga hari menjadi saksi pertemuan minggu dan bulanpun muncul malu-malu. Kulangkahkan kakiku meski tersendat. Mengapa jadi seperti ini yang kau inginkan? Seperti ragaku tergeletak di jalan diserempet mobil truk besar dan polisipun mengmabil daun pisang dan menutupku.

Aku sendiri di pengasingan. Belajar menyulam seperti kata ibuku. “Hidup ini adalah sebuah sketsa, tinggal kita sendiri yang melanjutnkan untuk melukisnya”. Gerai rambut ibu yang di elus- elusnya meyakinkanku. Sesekali ia memandangku penuh lirih. Kata mutiara yang tak kuasa kutahan , tumpah ruah juga di situ.
Kubasahi rambutku. Bergegas. Kumasukkan sajadah, mukena, Al-Qur’an, tasbih, dan foto bersamamu. Kusimpan rapi di kamarku. Ini kali terakhir aku menyulam.

Siang itu, kusaksikan ke dua orang tuaku belajar mendulang. Mendulang Al-Qur’an mencari pahala sebanyak yang ia bisa. Juga kusaksikan Ayahku mendulang sholat yang tak pernah henti di setiap sujudnya.
Sore itu, batin mereka hancur. Sesak dan berteriak. Kusaksikan tubuhmu di situ bungkam dan bulir air mata jatuh di bajuku. Orang-orang berkerumun. Darah berceceran dan gadis itu telah tertutup daun pisang. Kau temukan kain sulam bertuliskan namamu. Berwarna merah yang kusulam sejak pengasinganku. Kini menyulam rindu akan abadi meski tak bersamamu.

Pangkep, 8 Agustus 2012

Penjelasan :
1. Pete’-pete’ : Sebutan untuk angkutan umum di kota Makassar
2. Tanah Daeng : Sebutan untuk Kota Makassar
3. Tanah Boledong : Sebutan untuk Kabupaten Pangkep yang identik dengan Bolu ; Ikan Bandeng, Lemo ; Jeruk, Doang ; Udang

PROFIL PENULIS
Munjiyah Dirga Ghazali, lahir di Pangkajene, 23 Juni 1990. Alumni Fakultas Ilmu Budaya pada Program Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah Kerjasama UNHAS-PEMPROV SULSEL Angkatan 2008.
Sejak SMP sudah menjuarai juara 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Porseni SMP Dan SMA, Juara 2 Lomba baca Puisi dan juara 1 Cipta Puisi yang diadakan oleh BESTRA UNM 2007 se SMA Kabupaten Pangkep. Juara Dongeng pada Lomba Sastra tingkat Penegak SMA Se Kabupaten Pangkep, juara 3 cipta puisi UKMM Menulis FIB UNHAS, Juara 2 Baca Puisi pada Festival Sastra 2010 Se UNHAS. Juara 3 Lomba baca Puisi pada Hari Sastra Nasional Se Sulselbar 2011. Karya-karya puisi dimuat di Koran kampus seperti Surat kabar Kampus Identitas, Buletin Kareba UKMM Menulis FIB. Pemain Teater Manusia-Manusia Perbatasan, Datu Museng dan Maipa Deapati, Aru 21 karya Fahmy Syariff dan Naskah Kematian, Eksekusi dan Keniscayaan karya Yacob Marala.
Bertempat tinggal di Jl. Keadilan, Kec. Pangkajene Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

No. Urut : 1285
Tanggal Kirim : 16/10/2012 19:34:28

Share & Like