A CHOICE
Karya Athiya Almas R
“Kak Dio!” Dio yang baru saja bangun tidur langsung keluar begitu mendengar suara cempreng tetangganya yang sangat ia kenal. Sambil berusaha mengumpulkan nyawa, lelaki itu berdiri di ambang pintu rumahnya. “Ih, kakak baru bangun? Udah jam tujuh nih kak, pasti nggak shalat ya?” Dio langsung menautkan alisnya mendengar pernyataan gadis yang lebih muda satu tahun darinya tersebut.
“Kakak itu baru tidur jam lima pagi, jadi habis shalat baru tidur.” Jawab Dio, malam tadi ia memang menderita Insomnia. Ia mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam rumahnya yang tertata apik. “Ini yang bikin malas kalau ke rumah kakak, isinya merah jambu semua. Tapi mau bagaimana lagi, cuma kakak orang yang bisa mengajariku pelajaran MIPA dengan sangat baik.” Dio baru menempati rumah itu sekitar tiga bulan yang lalu, orangtuanya berada di luar negeri, sehingga ia tinggal sendiri di rumah itu, karena kepintarannya Aluna tetangganya yang merupakan adik kelasnya itu belajar padanya.
“Biar saja Lun, merah jambu itu warna yang menenangkan. Lagipula itu juga warna favorit kakak kan?” Aluna memutar kedua bola matanya imajinatif. “Tapi nggak wajar kak, cowok seperti kakak suka warna merah jambu. Orang satu dunia aja tahu kalau merah jambu itu warna cewek yang feminim banget. Nah kakak?” Dio hanya tersenyum sambil mengendikkan bahunya.
“Patrick aja merah jambu nggak ada yang protes kan?” gurau Dio. Aluna mendengus, “Patrick itu jenis kelaminnya nggak jelas.” Dio langsung terbahak mendengar jawaban tetangganya itu. “Eh tunggu, udah jam tujuh? Les Kimia hari ini ditunda dulu ya, kakak mau bikin kue. Kamu duduk aja di sini, kalau bosan nyalakan saja televisinya. Tenang nanti kalau matang kakak kasih deh buat kamu.”
‘Hah? Kue? Astaga kak Dio ini cewek atau cowok sih? Ganteng sih, keren pula. Anak Akselerasi lagi, umurnya lebih tua satu tahun dari aku, tapi dia sekarang udah kelas dua belas, satu angkatan di atasku. Jadi vocalist band sekolah yang berkali-kali memenangkan perlombaan terkenal, tapi warna favoritnya merah jambu? Udah gitu bikin kue? Antik banget nih orang.’ Aluna berkata dalam hati, kemudian tanpa mendengar perkataan Dio gadis itu berjalan menuju dapur Dio.
‘Apron? Yaampun sampai punya apron merah jambu pula, aku yang cewek jarang banget pakai apron kalau di dapur.’ Aluna masih berfikir dalam hati, ia merasa Dio memang aneh. Apalagi melihat kain yang melekat di atas pakaian Dio, kain yang biasa digunakan untuk memasak. “Tadi kan kakak suruh duduk, kok malah ke sini?” tanya Dio membuyarkan segala fikiran Aluna.
‘Hah? Kue? Astaga kak Dio ini cewek atau cowok sih? Ganteng sih, keren pula. Anak Akselerasi lagi, umurnya lebih tua satu tahun dari aku, tapi dia sekarang udah kelas dua belas, satu angkatan di atasku. Jadi vocalist band sekolah yang berkali-kali memenangkan perlombaan terkenal, tapi warna favoritnya merah jambu? Udah gitu bikin kue? Antik banget nih orang.’ Aluna berkata dalam hati, kemudian tanpa mendengar perkataan Dio gadis itu berjalan menuju dapur Dio.
‘Apron? Yaampun sampai punya apron merah jambu pula, aku yang cewek jarang banget pakai apron kalau di dapur.’ Aluna masih berfikir dalam hati, ia merasa Dio memang aneh. Apalagi melihat kain yang melekat di atas pakaian Dio, kain yang biasa digunakan untuk memasak. “Tadi kan kakak suruh duduk, kok malah ke sini?” tanya Dio membuyarkan segala fikiran Aluna.
“Bosan sendirian.” Jawab Aluna sekenanya. Kemudian ia mendekati Dio yang sedang mulai membuat adonan. “Kakak bisa bikin kue? Kok cowok bikin kue sih kak?” lagi-lagi Dio tertawa. “Memang menurut kamu ada berapa batasan hal yang hanya boleh dilakukan oleh cewek saja? Menurut kakak ini sah-sah aja dilakukan cowok. Kalau kamu suatu hari lihat kakak menggunakan rok sepaha dan sepatu higheels, baru deh kamu boleh protes ke kakak.”
“Selain suka merah jambu, suka merapikan sesuatu, dan suka bikin kue apalagi pekerjaan cewek yang kakak kuasai?” tanya Aluna tidak memperdulikan jawaban Dio. “Hmm, apa ya? Semua pekerjaan rumah kakak kuasai dengan baik, memasak dan menjahit kakak juga bisa.” Dan detik itu juga, Aluna makin meragukan jenis kelamin tetangganya itu.
“Kenapa? Aneh? Bukan hanya kamu yang bilang seperti itu. Tapi menurut kakak itu adalah sebuah kebebasan, kalau kamu lihat chef rata-rata itu laki-laki kan? Itu impian kakak suatu hari, tapi kemudian kakak melihat bagaimana seorang pattisier bekerja dan menghias kue. Kakak membalik impian dari seorang chef menjadi seorang pattisier yang berhasil.” Meski bercakap-cakap, tangan Dio tidak berhenti untuk membuat dan mengolah adonan kue tersebut, ia melakukan kegiatan itu dengan sangat ahli dan terlatih.
“Benar juga sih, Donghae ‘Super Junior’ juga berakting sebagai pattisier kan, di drama terbarunya? Dan menurutku itu malah kelihatan gentle sekali. Aku malah langsung menilai buruk pada orang yang berdandan sok cowok secara berlebihan. Apalagi kalau mereka menggunakan tato di seluruh badan, takut melihatnya.”
“That’s it! Cowok keren itu bukan cowok yang harus merokok, bertato, bertindik, ikut geng Motor dan sebagainya. Cowok keren menurut kakak, adalah cowok yang memiliki banyak keahlian dan dapat mengembangkan keahlian yang ia miliki dengan caranya sendiri. Kamu melihat kakak yang seperti ini saja udah ilfeel apalagi kalau melihat teman kakak? Dia itu seorang penari balet, orang pasti akan berfikir ‘Cowok, menari balet? Mengenakan baju ketat berwarna merah jambu? Berlenggak-lenggok dengan lemah-gemulai?’ padahal bukan seperti itu. Teman kakak adalah penari terkenal, bahkan ia memenangkan sebuah kejuaraan di Inggris. Sama seperti cewek yang bekerja di bengkel, pasti ada saja orang yang mencelanya. Padahal hidup itu penuh dengan pilihan, selama masih wajar, tidak boleh kita menilai dengan pandangan kita sendiri tentang apa yang orang lain lakukan. Bisa jadi, hal tersebut tidak baik untuk kita tapi baik untuk mereka yang melakukannya.”
“Nah itu benar! Malas banget kalau ada orang yang menilai idolaku itu banci, padahal wajah orang Korea itu emang cantik. Mana banyak yang mencela kalau suka Korea itu alay, padahal yang suka kita kenapa mereka yang ribut?” Aluna langsung berapi-api kalau membahas hal tersebut, ia bahkan sampai mengepalkan tangan. “Haha, sekarang kamu bilang seperti itu padahal tadi kamu juga mencela kakak dalam bahasa halus kan?”
“Hehe peace kak, aku lagian yang suka merah jambu bukan kakak aja kok, contohnya Sungmin!” Dio menautkan alisnya kembali, “Udah sana, malah bahas Super Junior. Kakak nggak paham Lun, lebih baik kamu duduk tenang. Daripada kamu berbicara terus, kakak malah jadi bingung mau memasukkan bahan apa?” Aluna langsung mengerucutkan bibirnya lucu. “Orang yang banyak omong daritadi kan kakak.”
Namun Aluna menurut, ia memilih diam dan memperhatikan Dio dari belakang. Bagaimana tangan lelaki itu terlatih memasuk dan mengeluarkan adonan dari oven. Kemudian bermain dengan krim beraneka rasa dan hiasan-hiasan kecil.
‘Tidak kusangka aku berdiam sudah 45 menit memperhatikan kak Dio, siapapun yang menikah sama kak Dio pasti bahagia hidupnya. Cakep, suaranya merdu, pintar, bisa memasak lagi! Kalau aku pasti sudah bahagia, tidak perlu belajar memasak lagi kalau sudah jadi istrinya hehe. Jadi mau deh nikah sama kak Dio, eh apa-apaan sih Aluna? Masih kelas sepuluh nggak boleh berfikir yang aneh-aneh!’ Aluna menggetok kepalanya sendiri, kemudian memejamkan mata dan berusaha menghapus apa yang ada di fikirannya.
“Tada! Kamu kenapa Lun? Sudah jangan pukul kepala sendiri, ini kue kakak jadi. Kamu coba deh gimana rasanya, kakak jadi berfikir mau bikin toko kue online.” Aluna langsung melihat hasil karya Dio, ternyata dari tangan lelaki itu terciptalah kue berbagai rasa dan berbagai bentuk. Bahkan ada yang berbentuk kelinci, begitu lucu. “Hmm, ini enak sekali! Aku yakin kakak pasti jadi pattisier yang terkenal, rasanya besok selain MIPA aku mau minta kursus belajar kue sama kakak. Atau setiap aku ke sini, siapkan kue yang seperti ini ya hihi.”
“Nanti kamu tambah gembul haha, sudah makan sambil duduk sana. Kalau nilai MIPA kamu baik semua di ulangan nanti, kakak janji bikin banyak kue untuk kamu. Sekarang belajar yang baik dulu, dan ingat pesan kakak! Jangan pernah menghakimi seseorang karena pekerjaan apa yang ia pilih, karena setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda, oke?”
“Ay Ay Captain!” Dio tertawa mendengar jawaban yang sangat kekanak-kanakan dari mulut Aluna. “Kalau kakak jadi membuka toko kue, aku mau jadi asisten kakak deh. Tapi yang tugasnya cuma mencicipi hehehe.” Dio langsung mencubit pipi Aluna gemas. “Mending kakak nggak punya asisten.” Aluna cemberut lagi.
‘Namun hari ini, ada banyak pelajaran yang aku terima. Dilarang menghakimi pilihan orang lain, karena kemampuan setiap orang berbeda. Dan pelajaran paling akhir yang kudapatkan adalah, ayo mencari calon kekasih yang mirip kak Dio sebanyak-banyaknya! Kekasih yang seperti kak Dio, adalah kekasih yang menguntungkan setiap gadis di dunia ini bukan? Eh tapi aku hanya bercanda kok. Biar saja hubungan yang terjalin di antara kami berkembang dengan sendirinya, seperti membiarkan air mengalir dari tempat lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Dan sekarang saat bagi kalian termasuk bagiku untuk meraih dan mengembangkan keinginan kita, semangat!’
PROFIL PENULIS
Athiya Almas Rona, lahir di Surabaya 06 April 1997. Penulis pemula yang akan terus berusaha.. https://www.facebook.com/athiya.almas.