Cerpen motivasi - Kesabaran Kunci Kebahagiaan

KESABARAN KUNCI KEBAHAGIAAN
Karya Iga Oktaviani

Musibah silih berganti menimpa keluargaku yang merana, panasnya terik matahari tak menjadi beban untuk keluargaku demi sesuap nasi, mencoba bertahan hidup diantara sempitnya ruang untuk bergerak, mencoba ada namun tiada.
“Ibu aku yakin suatu saat nanti ada jalan terbaik untuk kita, maafkan aku yang belum bisa menjadi anak yang dapat membahagiakan ibu.” Kataku.
“ini cobaan anakku, ini cobaan untuk kita, ibu tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini.” Kata ibu sambil mengelus kepalaku.
Waktu semakin lama semakin mencengkram untuk keluargaku, kami pun melewatinya dengan hati tenang karena kami yakin tuhan selalu ada untuk kami.

Kakakku yangbernama nizam kadang pulang kadang tak pulang, karena ia tak kuat menjalani hidup yang sangat pahit ini. Suatu ketika disaat ia pulang, ia membuat ibu menangis.
“ibu…ibu…masakan macam apa ini, aku tidak suka dengan keadaan seperti ini, aku malu bu ketika aku bersama teman-temanku dan mereka selalu mengejekku.” Katanya sambil membanting tudung saji.
“maafkan ibu nak, hanya ini yang dapat ibu hidangkan.” Kata ibu.
“sudah kak sudah, kasihan ibu, apa kakak tidak melihat, ibu banyak berkorban untuk kita.” Kata ku sambil memeluk ibu.
“omong kosong apa lagi yang kau katakana, apa dengan kau berkata seperti itu perutku kenyang.” Katanya.

Aku bingung apa yang harus aku lakukan, keluargaku berantakan, ayahku pergi meninggalkan kami dan kakakku yang tidak bisa menerima cobaan ini. Dalam setiap doaku selalu ku selipkan sebait doa agarka hidup keluargaku lebih baik.
“tuhan…..cobaan apalagi yang kau limpahkan kepada keluarga hamba, hamba lelah hamba letih hamba tak tahu apa yang harus hamba lakukan.” Kataku didalam bait doaku.
Embun pagi tetap tersenyum kepada keluarga kami dan kami pun tetap sabar menjalani hidup ini karena kami yakin masih banyak orang disekitar kami yang lebih pedih hidupnya dibandingkan keluarga kami.
“ibu, aku berangkat ngamen dulu ya.” Kataku.
“ia anakku, hati-hati dijalan.” Kata ibuku.
Aku pun memulai kebiasaan sehari-hariku dan bekerja diantara mobil-mobil yang berhenti dengan membawa peralatan pengamen dan membawa bungkus permen yang sudah tak terpakai dan mulai melantunkan sebuah lagu.
Ada yang memberiku Rp. 500,00 dan ada pula yang memberiku Rp. 10.000,00 karena melihat raut wajahku yang malang.
Aku memang sudah lama tidak bersekolah, terkadang aku iri melihat kawan sebayaku memakai seragam sekolah, aku sempat berfikir mengapa begini nasibku, aku ingin sekali bersekolah tetapi apa daya ekonomi tidak mendukung hidupku.

Sekali bersekolah tetapi apa daya ekonomi tidak mendukung hidupku.
“hei kamu, kenapa kau membawa bungkus permen yang sudah tidak ada gunanya lagi.” Kata putrid sambil mengejekku.
“ini peralatan mengamenku, dengan bungkus permen ini rupiah demi rupiah mengalir disini.” Kataku sambil menunduk.
“ha..ha..ha.. apa kau tak ingin seperti kami, hidup mewah bergelimpahkan harta daripada seperti kau yang hanya bisanya minta dipinggiran lampu merah.” Kata putri.
“aku ingin seperti kalian, tapi aku tidak ingin memberatkan beban ibuku.” Kataku membela diri.
“kasihan sekali nasib kau, hidup miskin tak punya apa-apa.” Katanya .
“aku tahu aku memang miskin, aku tak punya apa-apa tapi aku selalu bersyukur, dan aku tahu harta tidak selalu menjamin hidup kita bahagia.”
Aku pun pergi meninggalkan mereka, karena aku tak kuasa menahan air mataku yang jatuh dipipiku, setiap hari mereka selalu mengejekku tak pernah berhenti, aku hanya dapat menitihkan air mata saja.
Aku mengamen, karena aku tak ingin melihat beban keluargaku semakin banyak walaupun tidak seberapa hasil yang aku dapatkan dari mengamen, tetapi aku puas karena aku bisa membeli beras untuk kami makan.

Keluargaku memang banyak terlilit hutang, ibu ku banyak sekali meminjam uang kepada rentenir itu, jumlahnya tak sedikit. Suatu ketika rentenir itu pernah mengancam akan mengusir kami dari rumah, karena rumah itu menjadi jaminan dari hutang-hutang itu.
“hei ibu tua, mana janjimu akan melunasi hutang-hutangmu, sepertinya kau tak mendengar perkataanku, apa kau tuli?” katanya membentak ibuku.
“aku belum mempunyai uang, aku mohon beri aku kesempatan lagi.” Kata ibuku sambil memohon.
“halah perkataan itu saja yang kau lontarkan, tidak punya uang tidak punya uang dan selalu begitu.” Kata rentenir itu.
“aku mohon tuan.” Kata ibuku dan terus menerus memohon.
“aku hanya member waktu dua hari untuk kau melunasi semua hutang-hutangmu, rumahmu saja belum tentu dapat mnutupi hutangmu.” Katanya.
“terimakasih tuan, akan aku usahakan.” Kata ibuku sambil tersenyum.
Satu hari pun berlalu kejadian itu.

Saat itu aku melihat ibu-ibu yang sedang berjalan didepan rumahku di mintai uang oleh preman, preman itu tidak lain adalah kakakku sendiri.
“kak, lepaskan ibu itu, ibu itu tidak bersalah!” kataku .
“diam kau anak kecil, kau tidak tahu urusanku, kau tak perlu ikut campur.” Kata kakakku sambil membentakku.
“lepaskan ibu itu, ambil saja uangku ini.” Kataku sambil memberikan uang.
“nah beginikan enak.” Kata kakakku menerima uang itu.
“terimakasih nak, jika tidak ada kamu ibu tak tahu apa yang akan terjadi.” Kata ibu itu.
“ia ibu.” Kataku.
“oh iya nak, mengapa kau tak sekolah, untuk apa kau membawa perlengkapan mengamen ini?”
“aku sudah tak bersekolah lagi bu, inilah pekerjaan ku mengamen.”
“ini rumahmu?” kata ibu itu sambil menunjuk rumahku.
“iya bu, ayo bu mampir kerumahku.” Kataku sambil mempersilahkan ibu itu masuk.

Aku pun memanggil ibuku, kami berbincang-bincang didepan rumahku. Ibuku pun menceritakan kehidupan kami.
“aku turut prihatin dengan kejadian yang ibu alami.” Kata ibu itu.
Ternyata ibu itu adalah sebatang kara yang tinggal sendirian dirumahnya, ibu itu pun mempunyai banyak sekali perusahaan-perusahaan yang dikelolanya sendiri, dan ternyata ibu itu mengajak keluarga kami untuk tinggal dirumahnya. Ibu itupun membayar semua hutang- keluarga kami kepada rentenir itu.
Tetapi sedihnya kakakku sejak kejadian itu, tidak kunjung pulang .
Dan kami mendapat kabar bahwa kakakku ditangkap oleh polisi karena mencuri di sebuah minimarket. Ibu pun sedih, walaupun ia sekarang hidup tidak kekurangan lagi tetapi ia tetap memikirkan nasib kakakku.
Mendekamnya kakakku dipenjara, akhirnya kakakku sadar dan ia meminta maaf kepada keluargaku atas semua kesalahannya.

Hidup kadang bahagia kadang juga menderita, kesabaran kunci utama dalam melawati setiap kejadian.
Allah memberi cobaan kepada kita semua, agar ia dapat mengukur sebatas mana kesabaran kita itu.
Harta tak menjadi jaminan kita bahagia, buat apa banyak harta tetapi kita tak bahagia.
Hidup sederhana, tetapi bahagia sudah cukup untuk membuat kita tersenyum.

PROFIL PENULIS
Nama : Iga oktaviani
Kelas : XII
Alamat : talang padang
TTL : 17 Oktober
Hobi : menulis
Cita-cita : seniman
Alamat twitter : @IggaOcta


Share & Like