Cerpen Sedih - Risha

RISHA
Oleh Rosita Karunia

Risha Anastasya. Gadis manis berkulit putih, hidung mancung dan penampilan menarik yang memiliki kakak bernama Asha Alferdo. Tak beda jauh dengan adiknya, Asha juga berpenampilan menarik dan merupakan laki-laki paling keren disekolahnya. Mereka masih punya adik lagi perempuan bernama Shifa Anastasya. Selisih usia mereka hanya 1 tahun, dimana Shifa kelas 3 SMP, Risha 1 SMA dan Asha 2 SMA.

Risha bisa dibilang bukan sebagai anak kesayangan kedua orang tuanya, sebab yang menjadi kesayangan orang tuanya adalah Asha yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu. Tapi Shifa masih beruntung sebab ia adalah anak kesayangan mamanya. Tapi bagi Risha, sungguh kelam baginya, tak ada satupun orang tuanya yang menyayanginya. Baginya dilahirkan di dunia saja sudah merupakan anugerah.
“Sha kok bengong”
“Eh kakak, nggak kok,”
“Bohong”
“Nggak kok.”
“Masuk gih, dah malam nih, nanti kamu sakit lho.”
“Iya deh” Ujar Risha sambil berjalan masuk ke kamarnya. Di ruang tamu, Risha melihat Shifa yang sedang sibuk mengerjakan prnya.

Berjalan dengan langkah gontai menaiki tangga sudah merupakan kebiasaan Risha setiap harinya. Membuat Shifa yang dari tadi asik mengerjakan prnya kini memandangi kakaknya. Asha yang ikut masuk ke dalam rumah pun tak melepaskan pandangannya pada adik yang sangat disayanginya itu.
Sampai di kamar, Risha langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidurnya. Membuat dia kembali berfikir tentang apa yang selama ini ia alami. Hidup tanpa kasih dan perhatian dari orang tua yang terus bekerja, sekalipun menelfon, tak pernah ada kata-kata yang mempertanyakan keadaan Risha. Bahkan Risha pernah bertanya dalam hidupnya, pernahkan dia diharapkan?
Terlarut dalam pikiran membuatnya mengantuk sehingga Risha akhirnya tertidur dengan pulasnya. Kedatangan Asha ke kamar Risha tak membuat Risha terbangun. Risha telah larut dalam mimpi-mimpi indah yang meyelimuti tidurnya.

Pagi hari ini, Risha bangun dengan keadaan yeng seperti biasa. Ia pun segera bangun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Selesai mandi, Risha langsung turun dari kamarnya yang terletak di lantai 2 itu dan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Asha dan Shifa yang dengan setia menunggunya.
“Met pagi kak,” Sapa Shifa dengan hangatnya.
“Pagi juga.”
“Gimana tidur kamu, Sha?” Tanya Asha
“Nyenyak kok kak.” Kata Risha yang kemudian memakan sarapanya.
Seperti biasa, selesai sarapan ketiganya langsung berangkat. Seperti biasa pula mereka berangkat bersama sopir yang sudah setiap harinya mengantar jemput ketiganya. Lingkungan sekolah mereka sama, karena mereka bersekolah di satu yayasan. Kegiatan di sekolah mereka lalui dengan biasa.
Seperti biasa, Shifa pulang lebih dahulu, sedangkan Risha lebih memilih mengikuti kegiatan olahraga sore di sekolahnya. Hal yang sama dilakukan pula oleh Asha. Jam 7 tepat keduanya pulang ke rumah, sopir mereka yang bernama pak Ahmad itu sudah sejak jam 6 menunggu kepulangan mereka kini bersiap pulang. Tapi entah apa yang terjadi pada Risha, tubuhnya kini melemah, hidungnya mengeluarkan darah. Melihat hal itu, Asha langsung panik dan meminta pak Ahmad membawa mereka ke rumah sakit.
***

“Gimana dok keadaan adik saya?”
“Bisa saya bicara dengan orang tuanya?”
“Papa dan mama kami sedang di luar kota dok. Apa sampai separah itu sehingga dokter harus bicara dengan orang tua saya?”
“Mari ke ruangan saya.” Asha pun mengikuti dokter yang berjalan di depannya itu dengan hati gusar, mempersiapkan mental untuk menghadapi kemungkinan apapun yang bisa terjadi. “ Silahkan duduk dik.”

Asha pun segera duduk.
“Jadi begini, entah apa yang membuat adik anda sampai sekuat ini, tapi apa yang telah adik anda alami ini sungguh bukanlah hal yang biasa. Bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan dalam sekali berobat. Apalagi penyakit yang adik anda derita sudah mencapai stadium akhir, yang bisa membuat hidupnya semakin singkat.”
“Jadi maksud dokter?”
“Adik anda mengalami kanker otak stadium akhir.”
“A-ap-apa dok? Ini nggak mungkin dok, dokter pasti salah! Adik saya nggak mungkin sakit kanker otak…” Asha tak kuat menahan air matanya. Asha menangis.
“Maaf, ini memang sebuah kenyataan yang sangat sulit untuk diterima, tapi inilah yang terjadi. Anda harus tabah, dan orang tua anda juga harus diberi tahu agar mereka bisa memantau kegiatan adik anda.”
“Ini nggak mungkin…Risha….apa yang harus kakak lakukan sekarang?” Kata Asha sambil keluar dari ruangan dokter. Di luar, Asha melihat wajah pak Ahmad yang mendadak berubah menjadi bingung melihat majikan mudanya menangis untuk pertama kalinya.
“Ada apa den?”
“Pak, Risha masih di ruangan kan?”
“Iya den, kenapa?” Tanpa menjawab pertanyaan pak Ahmad, Asha langsung berlari menghampiri ruang dimana Risha dirawat.

Sampai di dalam ruangan, tak ada sepetah katapun mampu keluar dari bibir Asha. Melihat adiknya terbaring lemah, dengan masker oksigen menempel di hidungnya. Ia merasa tak kuat lagi untuk tetap bersikap tegar, di belakangnya, pak Ahmad hanya diam, sebab ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Sha, kenapa harus kamu? Kenapa Sha?” Ujar Asha ditengah isak tangisnya. Pak Ahmad melihat Asha dengan heran. Baru kali ini pak Ahmad melihat Asha menangis untuk adiknya. Sejak kecil Asha memang tak pernah menangis, dan baru kali ini Asha menangis bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan adinya, adik tersayangnya. “Risha…., kamu jangan tinggalin kakak, Sha.”
“Ka-ka-k….kok…ka-kak…nangis sih. Risha…nggak…papa..kok…kak” Kata Risha terbata-bata.Asha langsung memegang tangan Risha dan mencium kening adik kesayangannya itu. “Kak…, ja-ngan nangis dong”
“Kenapa kamu nggak bilang ke kakak, Sha?” Asha kembali menangis.
“Buat apa Risha bilang kak? Lagipula nggak akan ada yang peduli kak”
“Kakak peduli, Sha. Kakak ini kakak kamu, kakak akan berusaha melindungimu sebisa kakak, Sha.”
“Kak…Risha…mau pulang” Risha mengalihkan pembicaraan.
“Tapi Sha…”
“Kasihan Shifa sendirian kak” Ujar Risha ditengah kesakitan yang ia rasakan.
Sha, sampai sejauh ini kamu masih perhatian pada Shifa dan kakak yang bahkan sudah selalu menyita perhatian mama dan papa. Seandainya kakak yang jadi kamu, kakak mungkin udah milih pergi dari rumah Sha. Batin Asha dalam hati.
***

“Kakak kok lama benget sih latihannya”
“Maaf ya Shifa, tadi kakak yang ajak kak Asha buat keluar bentar”
“Nggak papa kok kak, oh ya kak Asha ditunggu sama mama.”
“Ntar ah, kakak mau antar Risha ke kamar dulu.”
“Ngapain antar Risha? Risha bisa naik sendiri kok kak,” Kata Risha sambil tersenyum. “Jangan bilang sama siapapun ya kak” Bisik Risha pada Asha. Sambil berlari kecil menuju kamarnya. Mamanya yang melihatnya hanya diam tanpa bicara sepatah katapun.
“Sha, mama mau bicara sama kamu.” Kata mama setelah melihat Asha berjalan menghampirinya. Asha pun langsung duduk dan bersiap mendengarkan perkataan mamanya.
Di dalam kamar, Risha menangis. Sakit baginya menahan perasaan yang selama ini hanya ada di hatinya, dan tak mampu terucapkan bila ia bertemu kedua orang tuanya. Terlalu lelah baginya dengan kondisi yang seperti itu, membuatnya langsung tertidur pulas. Asha yang telah selesai berbincang-bincang dengan mamanya langsung menghampiri kamar Risha. Melihat adiknya yang tidur dengan begitu tenang dan pulasnya membuat hatinya menjadi getir.
Sha, kakak pengen banget bisa nemeni kamu di sini. Kakak takut kalau-kalau besok kakak nggak bisa lihat senyuman manis kamu lagi, nggak bisa liat wajah ceria kamu lagi. Kakak nggak mau kamu tinggalin kakak, kakak sayang banget sama kamu Sha.betapa bodohnya mama sama papa yang nggak pentingin kamu. Kamu itu berharga buat kakak, bahkan jauh lebih berharga dibandingkan dengan hidup kakak sendiri. Seandainya kakak boleh gantiin kamu, kakak mau Sha. Batin Asha sambil mengusap rambut adiknya.
***

Tak terasa waktu terus berlalu dengan cepat, kini Risha telah memasuki kelas 2 SMA dan telah berkali-kali pula Risha mengikuti kemoteraphy. Asha pun tak lelah mengantar Risha dalam mengikuti kemoteraphy. Asha sangat menyayangi Risha, lebih dari Asha menyayangi Shifa.
Pagi hari merupakan awal dari setiap kegiatan baru setelah pergantian hari. Pagi ini, setelah Risha bangun, dia langsung menuju mobil setelah mengambil roti buatan pembantunya untuknya. Asha pun langsung menyusul Risha, begitu pula dengan Shifa. Setelah ketiganya masuk dalam mobil, mobilpun melaju ke sekolah mereka.
Setelah sampai, Shifa terlihat sangat gembira sekali, dia melihat Robby. Teman sekelas Risha yang merupakan cowok yang pintar tapi juga tampan. Shifa segera menyapa Robby. Hal yang sama dilakukan Robby, hanya saja Robby langsung memandang ke arah Risha. Melihat hal itu, Shifa langsung menuju ke kelasnya tanpa pamit pada Risha maupun Asha.

Risha yang melihatnya menjadi heran, tapi kemudian karena Robby mengajaknya ke kelas membuat Risha mengurungkan niatnya untuk mengejar Shifa. Dalam setiap kegiatan kelas, Risha selalu bersama sahabatnya yang bernama Melly. Mereka sudah berteman sejak kelas 2 SMP. Melly sahabat yang baik bagi Risha, sebab Melly selalu berada di sisi Risha tidak hanya disaat Risha tertawa bahagia, tapi juga saat Risha menangis dalam kesendirian.
“Sha, kenapa sih? Kok murung terus? Kemarin juga gitu.”
“Nggak papa kok, Mel. Cuma lagi males aja.”
“Males kenapa?”
“Nggak tau.”
“Dasar aneh.”
“Mel, kayaknya Shifa marah deh sama aku”
“Emang kamu kenapa?”
“Tadi pagi, Shifa sapa Robby, tapi malah Robbynya deketin aku, Shifa langsung lari tanpa pamit sama aku ataupun kak Asha.”
“Shifa suka sama Robby ya?” Tanya Melly, Risha hanya mengangkat bahu tanda bahwa ia tidak tahu.

Sejak jam pelajaran dimulai, Risha merasa ada yang aneh hari itu, Robby terus menerus melihat ke arahnya. Hal itu membuatnya merasa tak nyaman. Hingga akhirnya saat istirahat, Robby membawa Risha ke belakang sekolah. Tak sengaja, ada salah seorang murid mengetahuinya, sehingga membuatnya penasaran dan mengikuti keduanya.
“Sha, aku mau ngomong sama kamu”
“Ngomong apa Rob?”
“Sha, kamu mau nggak jadi pacarku?”
“Huh? Kamu bilang apa?”
“Aku pengen kamu jadi pacarku, kamu mau kan?”
Hal itu sempat membuat Risha shock, Risha tak mampu berkata apa-apa lagi. Orang yang tadi melihat mereka segera memberi kabar pada seisi sekolah. Segeralah berita itu tersebar ke seluruh sekolah. Shifa yang ada di kantin langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kelasnya.

Sepulang sekolah, Shifa langsung masuk mobil dengan keadaan bad mood. Akhirnya Risha dan Asha pun ikut masuk. Sebab mereka nggak ada jadwal latihan. Risha melihat Shifa yang terlihat marah tak berani bertanya. Hingga akhirnya setelah sampai rumah, Risha memberanikan diri untuk bertanya.
“Fa, kamu kenapa?”
“Kakak masih tanya aku kenapa?”
“Emang kamu kenapa? Kakak nggak ngerti.”
“Ada apa sih kok baru datang langsung ribut”
“Ini nih ma, kakak.”
“Fa, kakak kenapa? Kakak nggak tahu maksud kamu.”
“Jangan bohong deh kak! Tadi kak Robby nembak kakak kan? Shifa tau kak, jadi kakak nggak perlu bohong sama Shifa.”
“Tau dari mana kamu?”
“Udah ah, nggak penting Shifa tau dari mana, yang pasti Shifa benci sama kakak!!” Ujar Shifa sambil berlari. Mamanya hanya melihat pertengkaran keduanya. Setelah kemudian mama berbicara pada Risha.
“Robby itu siapa?”
“Temen Risha, ma.” Kata Risha yang langsung berlari ke kamarnya. Sampai di kamarnya ia menangis.
Risha seneng banget bisa bicara sama mama, walau nggak lama ma. Batin Risha.
Setelah tangisnya berhenti, Risha mengingat kembali kejadian yang telah terjadi. Ia ingat barusan ia bertengkar dengan Shifa. Hal itu membuat hatinya sedih. Segera ia menuju meja belajarnya, ia ambil kertas dan ia menuliskan sesuatu di kertas itu. Sambil menangis dan tanpa disadari keluar darah dari hidungnya.
Setelah selesai menulis sesuatu yang bisa dikatakan sebagai surat itu, Risha langsung bersiap keluar dari rumahnya. Melihat ke kanan dan ke kiri, setelah dirasa aman, Risha langsung keluar dari rumah. Berjalan tanpa arah dan tujuan yang tentu. Dengan hanya berbekal kaus dan jaket dan uang sebesar Rp.100.000,00 disakunya.
***

Asha bangun dari tidur siangnya, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 18.00. Setelah mandi Asha langsung menuju ke kamar Risha. Dan di dalam kamar, tak didapatinya keberadaan Risha. Yang ada hanya lipatan kertas yang di atasnya ada tulisan buat orang tersayang Risha. Asha segera berlari turun, didapatinya kedua orang tua dan adiknya tengah berada di ruang keluarga.
“Ma, pa. Risha nggak ada. Tapi Asha nemuin ini” Kata Asha sambil menyodorkan kertas yang dibawanya kepada mamanya. Dibukanya kertas itu dan dibacanya dengan bersuara.
Dear mama, papa, kak Asha dan Shifa

Hai ma, pa. Risha ternyata pengecut ya? Yang cuma berani nyapa mama dan papa lewat surat, padahal setiap hari kan kita ketemu. Lucu ya. Ma, pa, mungkin saat mama sama papa baca tulisan ini, Risha udah nggak di rumah lagi, atau mungkin Risha udah terbaring di rumah sakit, atau bahkan malah Risha udah nggak ada di dunia ini lagi. Ma, pa, Risha mau bilang makasih banyak sama mama sama papa, karena selama ini udah mau sayang sama RIsha, udah ngebolehin Risha tinggal di rumah mama sama papa yeng besar. Risha juga mau minta maaf sama mama sama papa kalau Risha nyebelin, maaf kalau Risha nggak bisa jadi anak yang dibanggakan. Risha sayang sama mama sama papa. Risha juga tau kok kalau mama sama papa sebenarnya sayang sama Risha, hanya saja mama sama papa belum bisa tunjukin rasa sayang mama sama papa buat Risha. Saat Risha nggak ada nanti apa papa sama mama akan merasa kehilangan? Tapi sepertinya nggak ya. Kan masih ada Shifa sama kak Asha. Lagipula selama ini ada Risha juga nggak berarti apa-apa kan buat mama ataupun papa? Tapi nggak masalah kok. Yang penting Risha bisa liat mama sama papa bahagia setiap hari itu udah lebih dari culup.
Buat Shifa, maafin kakak ya. Kakak nggak bermaksud buat rebut Robby dari kamu. Kamu tahu kan kalau Robby itu teman kakak? Mungkin memang harus kakak akui kalau kakak juga suka sama Robby. Tapi ternyata kamu juga suka. Jadi lebih baik Robby buat kamu aja. Kakak nggak mau kita bertengkar cuma gara-gara cowok. Kakak sayang sama kamu, Fa. Jadi kakak akan berusaha melakukan apapun itu asal kamu merasa bahagia. Kakak nggak mau liat kamu sedih, liat kamu marah-marah. Kamu itu berharga buat kakak. Kakak nggak peduli kalau kamu mau benci sama kakak, kamu nggak mau lagi liat kakak lagi. Tapi satu hal yang kakak minta. Tolong maafin kakak ya, Fa.
Buat kak Asha, makasih ya, kak. Kakak udah selalu baik sama Risha. Kakak selalu ada buat Risha, baik saat Risha sedih maupun saat Risha senang. Kakak juga udah mau jagain Risha, lindungin Risha, selalu kasih semangat ke Risha. Risha merasa beruntung bisa punya kakak seperti kak Asha. Kak maafin Risha ya, kalau Risha nggak bisa sama-sama kakak terus, maaf kalau Risha pergi dari rumah. Risha sayang banget sama kakak. Maaf kalau Risha nggak bisa tepatin janji Risha sama kakak. Risha nggak cukup kuat untuk bertahan. Bahkan sekarang Risha nggak tahu, apakah Risha masih bisa melihat indahnya pelangi, melihat indahnya matahari terbenam atau tidak. Risha takut nggak bisa lihat kakak lagi, nggak bisa lihat senyuman papa sama mama lagi, nggak bisa lihat Shifa lagi. Risha takut kak.
Oh ya, bentar lagi kakak akan ada lomba basket ya? Maaf ya Risha nggak bisa nonton. Tapi Risha tahu kok, kakak pasti menang. Kakak kan hebat. Sampaikan semangat kakak lewat permainan kakak. Shifa juga mau lomba nyanyi ya? Semoga menang! Kakak tahu kamu pasti bisa.
Makasih ya buat semuanya, makasih buat papa, mama, kak Asha sama Shifa yang selama ini udah sayang sama Risha. Risha juga sayang sama kalian. Maaf kalau Risha punya salah sama kalian, Risha nggak bermaksud buat bikin kalian jengkel. Makasih sekali lagi buat kalian semua.

Risha

NB : Maaf ya, banyak banget bekas tetesan air mata dan darah.

Mama yang membacanya langsung menangis, Shifa juga tak mengerti apa yang sedang terjadi, kenapa Risha harus membuat surat yang mengisikan tentang seluruh keluarga mereka. Suasana menjadi hening sesaat, yang ada hanya isak tangis. Papa yang mendengar surat yang telah dibacakan mama tadi hanya terdiam dan termenung, hingga akhirnya ponsel Asha berdering.
Dokter Andi. Nama yang tertulis di layar ponselnya.
“Halo”
“Halo, ada apa ya?”
“Asha, bisa kamu ke rumah sakit sekarang?”
“Memangnya ada apa ya?”
“Adik kamu, Risha. Sekarang sedang terbaring di kamar nomor 15.”
“A-apa?”
“Sudah, cepatlah, nanti saya jelaskan.”
“I-iya, dok. Saya kesana sekarang.”
“Ada apa, Sha?” Tanya mama.
“Risha. Risha ada di rumah sakit sekarang.”
“Rumah sakit? Memang kenapa sama Risha?”
“Ma, sebenarnya, sebenarnya Risha sakit ini udah lama, bahkan sebelum Asha tahu. Risha nggak pernah mau ada orang lain tahu soal ini. Sehingga Risha tak pernah memberi tahu siapapun tentang penyakitnya ini. Penyakit Risha ini udah sampai stadium akhir, ma. Hidupnya udah nggak lama lagi.”
“Risha sakit apa Sha?” Tanya mama, tangisannya semakin menjadi-jadi.
“Risha, dia sakit kanker otak.” Jawab Asha yang membuat mama membelalakkan mata dan kemudian semakin menangis. Shifa dan papa yang mendengarkannya ikut kaget. “Awalnya Asha juga nggak percaya, tapi ternyata semua itu benar ma.”
“Tapi, selama ini Risha bisa setegar itu.”
“Itulah ma, Risha nggak mau orang lain tahu.” Kata Asha. “Asha mau ke rumah sakit, ma. Mama mau ikut?”
“Iya, ayo, pa, Fa.”
Kemudian mereka langsung menuju rumah sakit. Selama perjalanan, mama tak henti-hentinya menangis dan menyesali semua perbuatannya, hal yang sama dilakukan papa dan Shifa. Setelah sampai, Asha langsung menuju ke kamar nomor 15, di depan kamar Asha bertemu dokter Andi. Dokter Andi pun menjelaskan kejadian yang telah terjadi. Bahwa ada 2 orang yang menemukan Risha tergeletak di pinggir jalan.

Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter Andi. Asha meminta diizinkan masuk ke kamar Risha. Dari pintu mama melihat anak perempuan terbaring lemah di atas tempat tidur, dengan banyak kabel menempel di tubuhnya. Hidung dan bibirnya tertutup masker oksigen. Semakin membuat mama menangis tak tahan melihat anaknya ada di sana. Mama segera menghampiri tempat tidur Risha, membelai rambut Risha sambil terus menangis, Shifa yang ada di sebelahnya ikut menangis dan memegang tangan kakaknya itu.
“Sha, maafkan mama, selama ini mama nggak pernah menganggap kamu, mama nggak pernah peduli kalau selama ini kamu sangat menyayangi mama. Maafkan mama Risha. Betapa jahatnya mama pada kamu. Bahkan mungkin kamu nggak mau panggil mama “mama” lagi.”
“Shifa juga kak, Shifa nggak marah kok sama kakak, Shifa tadi cuma kesel kak. Shifa itu sayang sama kakak. Kakak cepet sadar dong kak.”
“Sha, kamu dengar kan, di sini sekarang ada papa, mama dan Shifa. Mereka semua sayang sama kamu Sha. Mereka ada di sini buat kamu, kamu cepetan sadar dong.” Kata Asha, pegangan tangan mama dan Shifa semakin kuat. Dan semakin terasa pula gerakan tangan Risha yang diikuti dengan usahanya membuka mata.
“Ma-ma, pa-pa, Shi-fa. Kok kalian ada di sini sih?” Ujar Risha terbata-bata.
“Maafkan mama ya Sha, maafin papa juga.”
“Shifa juga minta maaf ya kak.”
“Maaf buat apa?”
“Maaf karena mama nggak pernah ada waktu buat kamu. Maaf ya Sha” Ujar mama sambil terus menangis.
“Shifa juga, karena Shifa udah marah-marah sama kakak tadi siang.”
“Nggak ada yang perlu dimaafin kok ma, pa, Fa. Kalian semua nggak salah. Jadi buat apa minta maaf?” Jawab Risha enteng sambil tersenyum.

Dalam hal seperti ini aja kamu masih bisa tersenyum, Sha. Coba kalau ini kakak yang alami, kakak nggak mungkin setegar kamu, Sha. Batin Asha.
“Ma, pa. makasih ya udah mau perhatian dan sayang sama Risha. Risha seneng banget bisa ngobrol sama mama sama papa kayak gini. Risha sayang sama kalian semua. Risha juga sayang sama Shifa. Kamu adik kakak yang paling kakak sayangi. Kak Asha juga kakak yang paling Risha sayangi. Risha sayang sama kalian. Risha seneng banget bisa lihat senyuman ka-“ Tiba-tiba kata-katanya terputus.
“Jangan dipaksaain, Sha”
“Nggak! Gimana kalau nanti Risha udah nggak bisa lihat kalian semua? Pokoknya biar apapun yang terjadi. Risha sayang banget sama kalian semua….” Kata-kata Risha terputus lagi, darah mengalir dari hidungnya diikuti dengan keluarnya air mata. Monitor penunjuk detak jantung di sampingnya menunjukkan pergerakan yang tidak stabil. Risha memejamkan mata sejenak sambil menarik nafas. Tangannya terasa dingin.

Tiit…..tiit….tiit….tiiiiiiiiit……suara keluar dari monitor penunjuk detak jantung menunjukkan garis lurus yang tak berhenti berjalan. Asha nggak percaya mendengar suara itu. Asha segera memanggil dokter. Sedangkan mama hanya menangis dalam pelukan papa. Dokter Andi pun segera datang dan memeriksa Risha.
“Maaf, tapi inilah yang terjadi. Risha telah tiada.”
“Nggak mungkin! Dokter pasti salah, dok tolong selamatkan adik saya dok.”
“Maaf Asha, tapi memang inilah akhirnya. Risha sudah meninggal.”
Mama langsung menangis, tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia langsung memeluk tubuh dingin Risha. Asha hanya mampu terduduk lemas di lantai tak berdaya. Air matapun tanpa disadari keluar dari matanya. Shifa hanya mampu menangis dan memeluk papanya.
Kasih sayang singkat yang mampu Risha rasakan membuatnya tersenyum dalam tidurnya yang panjang itu. Apapun yang ia telah rasakan selama ia hidup, kini tak ada artinya dibanding kasih sayang papa, mama, kakak, dan adiknya disaat terakhir hidupnya.

Sekalipun selama aku hidup mama dan papa tak memberi perhatian sedikitpun kepadaku. Tapi aku sangat senang karena disaat akhir hidupku. Papa dan mama ada untuk menunjukkan kasih sayang mereka kepadaku.-Risha.


PROFIL PENULIS
Nama : Rosita Karunia
TTL :Semarang, 15 September 1995
Sekolah : SMA MASEHI KUDUS
Alamat Facebook : hanacute67@yahoo.co.id

Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
Share & Like