Cerpen Motivasi - Anak Anak Waktu

ANAK ANAK WAKTU
Karya Yulia Purnarisa

1. Nugget Palsu
Kiki terbelalak. Serta – merta diraihnya remote control, memperkeras volume televisinya.Ini sangat patut disimak. Sebuah stasiun televisi swasta tengah menayangkan liputan tentang beredarnya sosis dan nugget palsu berbahan dasar ayam dan ikan busuk,tepung terigu kadaluarsa,formalin dan bahan kimia lainnya. Kiki mengutuk dalam hati,apalagi saat dia teringat Kai puterinya yang duduk di kelas tiga SD suatu hari pulang sekolah sambil mengunyah sebatang sosis goreng yang dibelinya di gerobak dekat sekolahnya. Ampun! Anaknya sudah menelan racun itu dan Kiki baru tahu sekarang. Mengapa dia begitu bodoh?
“ Mama,mana janjinya? Katanya mau masak sosis gulung mi buat Kai “
Kiki tersadar. Gadis kecil itu sudah berdiri di dekatnya,menatapnya penuh harap. Untuk beberapa saat Kiki hanya diam dalam bimbang. Pandangannya berganti – ganti antara berita di layar televisi dan wajah polos Kai. Jika dibatalkan Kai bisa ngamuk dan mogok melakukan apa pun, terutama belajar. Tapi kalau dituruti….
“ Ihh,Mama! Kok diam aja? Mana janjinya? “
“ Ya,sayang! Ayo ikut Mama ke dapur “
 
Kiki mengalah. Namun sebelum menyalakan api kompor dia menyempatkan diri mengamati kemasan sosis yang baru saja dikeluarkannya dari lemari es itu, hal yang tak pernah dilakukannya. Baiklah, ini adalah sosis bermerk ternama yang sering dibelinya. Apa yang tertera di kemasannya pun nampak meyakinkan. Rasanya hal ini tak perlu dicemaskannya.
Malam harinya, sambil berbaring di tempat tidur, Kiki pun membicarakan berita sosis palsu tadi bersama Gery suaminya. Mereka setuju untuk menjauhkan Kai dari jajanan itu dengan jalan apa pun. Esok paginya, sambil menyiram tanaman di halaman setelah mengantar Kai ke sekolah, Kiki membicarakan si sosis palsu dengan Jeng Ida, tetangga sebelah rumahnya. Tak lama kemudian, Bu Ibrahim dan Bu Mila lewat, hendak ke pasar. Kiki pun memanggil mereka untuk bergabung dalam pembicaraan seru itu.
“ Aduh,Jeng! Padahal Ido cucu saya hampir tiap hari beli jajanan itu, lho! “, keluh Bu Ibrahim cemas.
“ Makanya,Bu. Sekarang jangan ambil resiko, kalau mau beli sosis atau nugget ya, mending sekalian yang mahal sedikit. Soalnya anak – anak ‘kan terlanjur suka sama makanan itu “, usul Kiki.
“ Betul,Bu. Atau kita buatkan saja bekal makanan yang lebih sehat untuk mereka. Repot sedikit tak apalah, dari pada nanti mereka sakit perut atau malah amit – amiitt…keracunan! “
Semuanya manggut – manggut setuju.
Jadwal Kiki pun bertambah. Setiap pagi, setelah menyiapkan sarapan Kiki kini harus membuat bekal makan siang untuk Kai. Tiap hari harus berbeda agar Kai tidak bosan.Sosis gulung,pastel mini, pizza tahu, apa saja yang setahu Kiki disukai oleh anaknya. Pernah satu kali Kiki mengeluh capek pada suaminya. Tapi kemudian Gery pun mengingatkan tentang betapa rentannya kesehatan Kai jika dia dibiarkan jajan makan siang sembarangan. Kiki pun kembali pada komitmen – nya semula.Lagi pula jika dipikir – pikir bukankah kerepotannya yang sekarang tak seberapa dibanding dengan hasil yang akan Kai dapat? Tetap sehat dalam masa pertumbuhannya, lincah, ceria dan berprestasi.
Kiki tak tahu apa yang dipikirkannya. Gara – gara tulisan sale besar di sebuah mall dia jadi kalap, gelap mata dan asyik memilih baju serta peralatan dapur yang digelar di sana. Kiki lupa harus menjemput Kai sepuluh menit lagi. Ketika dia, kembali dengan kalap, menghambur ke pintu keluar hujan deras telah menyambutnya. Tak mungkin mengendarai motor maticnya dalam keadaan hujan begini, apalagi tangan kanan dan kirinya digelantungi macam – macam kantong plastic berisi belanjaan yang berat. Duuh, Gery pasti marah jika mengetahui hal ini. Kai yang malang! Dia pasti tengah berdiri di teras sekolahannya dengan perut lapar. Tak ada yang bisa Kiki lakukan selain berdiri dan menunggu di depan mall sambil berdoa hujan cepat reda. Sepuluh menit,dua puluh, akhirnya setengah jam. Hujan sedikit berkurang. Tak ada jalan lain. Kiki harus nekat kali ini, demi Kai!
Setelah berjuang keras menyusuri jalanan yang licin dengan lubang parah di sana – sini dan ber – usaha menyelip – nyelip di antara kendaraan lain, Kiki sampai juga di gerbang sekolah Kai. Hujan baru saja reda, di teras Kiki menemui penjaga sekolah yang tengah sibuk membuang air hujan yang tergenang di lantai.
“ Maaf, Pak. Anak – anak sudah pulang semua, ya? ”
“ Oh, sudah lama Bu Kiki! “
“ Bapak lihat Kai nggak? “
“ Tadi non Kai jalan kaki hujan – hujanan, mungkin sekarang sudah sampai rumah, Bu. Maaf tadi saya nggak sempat ngantar, Pak Kepsek nyuruh saya ngurus ruang kelas yang bocor.”
Kiki mau menangis rasanya. Terbayang tubuh mungil Kai yang kelaparan, cemas menanti ibunya yang tak kunjung datang, akhirnya memutuskan untuk berjalan pulang sendiri, menempuh jarak dua kilo meter dalam guyuran hujan. Ooohh, dengan kecepatan penuh Kiki pun melaju di jalan raya menyusul Kai pulang. Belum jauh dari gerbang sekolah, Kiki terpaksa menepi. Ada yang aneh dengan ban motornya. Benar! Ban belakangnya kempes! Tidak mungkin! Dari semua hari untuk mengalami ban kempes mengapa harus hari ini? Saat dia harus menyusul Kainya….
Tukang tambal ban itu tersentak dari kantuknya. Kiki nyaris membentak untuk membangunkannya. Syukurlah Tuhan masih bermurah hati! Tempat tambal ban ini buka juga walau sepi. Dengan perasaan galau di awasinya sang tukang menambal ban kempesnya. Sedang apa Kai sekarang? Tak ada masakan apa pun di meja makan. Hanya mi instan di lemari. Duh, andai bisa menghubungi Kai! Gery telah memutuskan mencabut telepon rumah sejak dia dan Kiki punya ponsel, tapi mereka merasa Kai masih terlalu kecil untuk dibekali ponsel. Begini jadinya! Kiki dilanda kecemasan yang makin menjadi.
“ Tadi ada kecelakaan di depan situ, Bu! “, ujar tukang itu membuka percakapan. Kiki tak berminat menanggapi.
“ Anak perempuan kecil, keserempet motor. Kasihan, udah badannya basah kuyup kehujanan! “
“ Apa, Pak?? Anak peremuan? Ciri – cirinya? “
“ Yaah, pakai seragam SD, rambutnya ombak gitu kayak Ibu ini, dikuncir dua pakai pita kuning, tasnya merah hati. Kenapa, Bu? Kenal? “
“ Gi … gimana keadaannya, Pak? “, tanya Kiki dengan pandangan mulai kabur.
“ Hanya lecet, Bu. Sudah dibawa ke klinik sama Mbak Mimin, terus sekarang ditaruh dulu di rumahnya “
“ Mbak Mimin itu siapa,Pak? “
“ Tukang jualan sosis sama nugget goreng di depan SD “
“ Ru… rumahnya di mana, Pak? “
“ Di gang ini, nomer 7…. “
Sebelum tukang tambal ban itu menyadari Kiki sudah berlari masuk ke dalam gang yang tadi ditunjukkannya. Tak sulit menemukan rumah nomor 7, bangunan kecil sederhana yang terbuat dari tripleks yang dicat biru. Di lantai terasnya yang kusam, Kiki melihat beberapa sandal jepit dan….sepatu Kai!
“ Maaf, permisi! Apa di sini ada anak SD yang tadi kecelakaan? “, tanya Kiki pada seorang dua orang gadis tanggung yang sedang duduk sambil menyulam payet di atas selembar kerudung.
“ Iya, Bu. Itu di dalam kamar sama Emak saya! “
Kiki langsung minta diantar ke kamar. Lutut Kiki terasa lemas, separuh lega separuh lagi merasa bersalah. Yah, salahnyalah semua ini terjadi! Di dalam kamar yang kecil dan pengap itu dia melihat Kai berbaring di atas kasur kumal, tangannya diperban, namun dia kelihatan riang saat menerima nasi dengan lauk entah apa yang disuapkan ke mulutnya oleh seorang wanita berusia sekitar 40an. Wajah wanita itu memancar lembut dan tulus, seolah Kai adalah anaknya. Kiki ge – metar mendekat. Tapi Kai telah menyadari kehadirannya.
“ Mama! “, soraknya.
“ Kai sayang…”, bisik Kiki. Matanya dipenuhi air mata. Dia menghambur ke tempat tidur dan memeluk Kai erat.
“ Mama ke mana tadi? Kenapa nggak jemput Kai? Kai takut tadi, ada motor yang ngebut terus Kai disrempet. Terus Kai ditolongin sama Mbak Mimin, Ma! “, celoteh Kai polos.
“ Maafkan Mama, sayang. Mama tadi belanja sampai lupa waktu. Tapi sekarang jangan takut ya, Mama nggak akan pernah ninggalin Kai lagi. Mana yang sakit, sayang? Masih sakit? “, Kiki memeriksa perban di tangan Kai.
“ Nggak kok, Ma. Hanya perih sedikit. ‘Kan tadi sudah ditolongin sama Mbak Mimin, Kai dibawa ke dokter, terus dikasih obat, terus Mbak Mimin bayarin obatnya, Ma “
Kiki berpaling kepada wanita bernama Mimin itu. Luapan perasaannya tak tertahan lagi, dia pun bersimpuh di kaki Mbak Mimin, menangis penuh syukur dan terima kasih.
“ Terima kasih banyak, Mbak! Saya memang keterlaluan hari ini, menelantarkan anak sendiri begini. Saya malu, Mbak! “, isaknya.
“ Eh, ayo bangun Bu, jangan menyembah saya! Sudah sepantasnya saya menolong Neng Kai, saya ‘kan juga punya anak, Bu! Saya malah yang minta maaf, saya nggak tahu nomer telepon Ibu jadi nggak bisa ngasih kabar tadi.”
“ Mbak Mimin sudah menolong anak saya, dengan apa saya harus membalas? “
Wanita sederhana itu membimbing Kiki duduk kembali di tepi tempat tidur.
“ Nggak usah membalas apa – apa, Bu. Yang penting neng Kai selamat dan baik – baik saja. Eh, maaf, ini tadi belum selesai nyuapin makan neng Kai. Mau makan lagi, neng? “, tanya Mbak Mimin pada Kai.
“ Aduh, jadi ngerepotin, Mbak! “
“ Hanya nasi sama nugget goreng, kebetulan tadi ada sisa dagangan jadi saya pakai nyuapin. Kasihan tadi Neng Kai ngeluh lapar katanya “
Kiki menatap piring di tangan Mbak Mimin. Ada beberapa suap nasi dan dua potong nugget ayam yang salah satunya sudah tinggal setengah. Seketika Kiki teringat pada berita menyeramkan di televisi waktu itu, tentang nugget palsu dari bahan – bahan berbahaya. Kiki merinding, bukankah pedagang nugget kecil – kecilan seperti Mbak Mimin ini tak mungkin membeli nugget bermerk untuk dagangannya? Sudah bukan rahasia lagi kalau nugget murah dan tak jelaslah yang menjadi sandaran hidup orang – orang seperti dia. Pikiran semacam itu membuat Kiki menatap ragu pada isi piring itu. Mbak Mimin pun menyadari hal itu.
“ Maaf, ya Bu. Saya tahu di rumah mungkin Neng Kai makanannya lebih baik, sedangkan ini hanya nugget murah. Saya hanya kasihan lihat Neng Kai kelaparan. Maafkan saya, Bu! “, kata Mbak Mimin lirih penuh penyesalan.
Kiki diam dan berpikir. Mungkin benar demikian, makanan ini memang tidak sehat. Tapi wanita yang tulus ini telah menyelamatkan jiwa anaknya, ikhlas memberi dari ketiadaannya. Apalah artinya segala kecemasan Kiki itu? Saat ini nugget murah itulah yang menyelamatkan Kai dari kelaparan, bukan makanan sehat yang biasa disajikan ibunya. Rasa bersalah semakin berjejal di hati Kiki. Ini bukan saatnya mengutuk atau menghakimi makanan macam apa yang masuk ke perut Kai, tapi inilah saat untuk bersyukur bahwa Kai selamat dari rasa sakitnya dan rasa laparnya.
“ Saya nggak peduli itu nugget murah atau mahal, Mbak. Ketulusan Mbak Miminlah yang paling penting, itu lebih besar dari segalanya. Saya merasa malu sama Mbak! “, Kiki kembali memeluk Mbak Mimin. Kai menatap dua wanita yang berpelukan dan bertangisan itu dengan tak mengerti.
Berhari – hari kemudian, suatu malam yang tenang. Gery sedang bingung dengan sikap istrinya yang di luar kebiasaan. Setelah insiden kecelakaan Kai itu dia memang merasakan perubahan pada diri Kiki, dia lebih lembut dan perhatian pada keluarga, serta jam bergosipnya berkurang jauh. Tapi tadi sore itu hal yang luar biasa.
Kiki pulang arisan membawa segepok uang. Rupanya bulan ini dia yang dapat arisan. Tapi reaksinya benar - benar di luar dugaan Gery. Jika biasanya Kiki mengoceh tentang apa saja yang akan diborongnya tiap kali mendapat arisan, kali ini tidak. Dia hanya datang, mencium tangan Gery, menyimpan uang arisannya di lemari baju dan melupakannya begitu saja. Dia malah menghampiri Kai dan diajaknya gadis kecil itu membuat kue muffin di dapur.
Setelah makan malam yang ceria, Kiki mengajak anak dan suaminya menanton DVD Discovery Channel di ruang tengah sambil menikmati kue muffin coklat buatannya tadi. Gery menyadari Kiki tak benar – benar menonton, tangannya sibuk membuat coretan – coretan di atas kertas HVS yang dilipat.
“ Catatan apa itu, Ma? “
Kiki tersenyum sambil menatap suaminya sebelum menjawab.
“ Mama ‘kan dapat arisan dua juta setengah, besok mau tanya ke tukang bakso gerobak, kira – kira berapa bikin gerobak kecil yang agak bagus. Mama usahain gak sampai sejuta, sih. Nanti sisanya bisa buat modal Mbak Mimin beli dagangan nugget yang lebih bermutu, Pa “, ujar Kiki dengan mata berbinar serius namun penuh ketulusan.
Gery mengerti. Ini semua tentang Mbak Mimin, orang yang telah menolong Kai waktu itu. Rupanya Kiki berniat mengalokasikan uang arisan itu untuk membantu Mbak Mimin.
“ Mama yakin nggak mau beli baju atau perabotan? Lagi ada sale di Kitchen Palace, lho! “, kata Gery sengaja untuk menggoda atau lebih tepat menguji Kiki. Tapi Kiki menatapnya dengan tajam dan berkata – kata serius penuh penekanan.
“ Papa, selama ini Mama hanya bisa belanja dan belanja. Mama ingin mengubah itu, Mama nggak mau tutup mata lagi. Mama serius ingin menolong Mbak Mimin, pertama karena dia sudah menolong Kai, ke dua karena Mama yakin dari keseriusan Mama ini segalanya akan jadi lebih baik, kehidupan Mbak Mimin dan keluarganya, juga jajanan anak – anak di sekolahan itu jadi lebih berkualitas. Mama kali ini nggak mau uang arisan habis untuk beli perabotan yang akhirnya cuma numpuk di lemari. Nggak sehat buat Kai, Pa. Mama juga mau ambil sebagian untuk dikasih ke Mbak Mimin! “
Gery tak berkata apa – apa. Dia hanya meraih bahu istrinya dan direngkuhnya penuh cinta. Inilah mutiara yang terpendam itu, yang membuatnya jatuh cinta pada Kiki, dan tetap mencintainya bahkan pada saat Kiki terhanyut pada arus konsumtif masyarakat.
“ Papa rasanya harus berterima kasih pada Mbak Mimin, Ma. Dalam waktu singkat saja dia berhasil menggali kebaikan Mama yang sesungguhnya. “
“ Ini jalan Tuhan, Pa. Melalui ketulusan Mbak Mimin Mama bisa merubah diri jadi lebih baik “
Akhirnya mereka berangkulan bahagia. Tiba – tiba Gery mendapat ide untuk menjahili istrinya.
“ Eh, Ma. Kata Mama ‘kan Mbak Mimin itu janda, gimana kalau Papa lamar aja? “
“ Papa! “
Kiki mendaratkan jemarinya di perut dan pinggang Gery, menggelitiknya sampai Gery minta ampun. Sumpah demi apa pun, Gery lebih baik dipukuli dari pada digelitiki. Mereka masih terus saling bercanda, tak menyadari Kai yang menatap kedua orangtuanya sambil cekikikan.

2. Pernikahan Bodoh
Hujan. Oma mengenakan sweaternya dengan tergesa – gesa, setengah berlari ke dapur bergaya bar di bagian tengah rumahnya yang besar dan hangat, meraih mug besar kesayangan dan dengan cepat membuat cokelat panas yang lezat untuk dirinya. Masih sambil tergesa – gesa dia berjalan menuju ruang keluarga. Dia pun siap menikmati ritualnya, menikmati segelas cokelat panas sambil duduk di ruang keluarga yang bersekat kaca lebar sehingga kebun rimbun di bagian samping rumah terlihat jelas. Menatap tirai hujan yang menyirami rumput dan semak berbunga warna – warni sungguh menenangkan batin. Musim hujan yang baru memasuki awal ini menjanjikan banyak kesenangan semacam itu bagi Oma. Kalau saja dia bisa kembali ke masa kanak – kanak di mana segalanya adalah permainan, maka Oma akan berlari ke tengah – tengah guyuran hujan, menikmati air dingin sejuk yang tercurah langsung dari langit itu. Tapi dengan kondisi tulang tuanya yang sudah ringkih begini, rasanya Oma harus puas duduk saja seperti ini, menatap hujan dari tempatnya yang aman.
Pandangan Oma tertuju pada tumpukan majalah di atas meja kopi dari kayu sonokeling tak jauh dari sofa. Di atas majalah teratas ada sekotak cokelat Jerman merk Trumphf Schogetten rasa yoghurt strawberry yang masih rapi tersegel dalam bungkus pinknya. Milik Mandy, cucunya yang tinggal bersamanya. Pasti dia lupa tidak menyimpannya di dalam lemari es. Air liur Oma membanjir di dalam mulutnya. Sudah lama dia menginginkan cokelat itu. Mandy sangat beruntung, setiap bulan mendapat kiriman cokelat atau éclairs yang enak – enak dari Nathan, pacarnya yang kuliah S2 di Jerman. Mandy juga sangat disiplin, atau kejam menurut Oma, menjauhkan neneknya dari makanan itu. Bukan apa – apa, sekali waktu gara – gara nekat mengunyah sebatang cokelat gigi Oma langsung bermasalah dan melewatkan berhari – hari dengan mengerang – erang kesakitan. Sejak itu tak ada kompromi. Oma hanya boleh menikmati cokelat berupa minuman rendah gula.
Tapi kali ini Oma nyaris tak bisa menahan nafsunya. Hatinya mulai sibuk menimbang – nimbang ambil atau tidak. Ugh, dia mengutuk dalam hati! Rasa sakit itu terbayang lagi, seolah baru kemarin saja. Tidak! Nanti Mandy bisa marah besar dan menguliahinya berjam – jam sementara dia merasakan giginya nyut – nyutan tak karuan.
Tahun – tahun berlalu. Mandy semakin membuktikan kalau dia mewarisi kekerasan sikap almarhum Opanya. Keras, tegas, disiplin, tipe pejuang yang tahu persis apa yang diinginkan dan yang harus dilakukan. Keluarga Oma sudah melalui sekian banyak kesulitan, merangkak perlahan menyusuri jalan berliku menuju kemapanan. Apa saja sudah mereka lakukan demi bertahan hidup, berjualan sayur di pasar, menjadi buruh pabrik tempe, jual ikan asin. Kalau ada yang belum pernah mereka lakukan mungkin hanyalah merampok atau mencuri. Dengan tertatih dan terengah mereka mulai menemukan jalan terbuka menuju kesuksesan. Berbekal kegigihan, perjuangan mereka pun berakhir membahagiakan. Mereka berhasil membangun sebuah usaha garmen besar dan makin besar saja tiap tahunnya. Ketika Opa meninggal lima tahun lalu, usaha itu kini dikelola oleh orang tua Mandy dan dua orang adik mereka. Namun Mandy, sebagai cucu tertua ternyata memiliki minat lain. Walau menyukai dunia busana, dia tak mau bergelut di dunia garmen seperti yang telah dibangun keluarganya. Berbekal pendidikan fashion di sebuah universitas swasta di Bandung, dia mendirikan butik kecil yang menjual baju – baju desainnya sendiri. Butik itu, walau pun kecil, tapi memiliki pangsa pasar yang terbatas dan ekslusif, membidik kalangan menengah ke atas yang ingin berpenampilan retro namun elegan dan simple. Mandy sungguh wanita muda yang mandiri dan pintar! Tapi tak semuanya membawa akibat positif. Gara – gara terlalu mandiri Mandy sempat mengalami masa paling tidak beruntung dalam asmara. Maklum, laki – laki mana yang mampu meruntuhkan tembok kemandirian Mandy kalau sebagian besar dari mereka hanya terfokus ingin menikahi Mandy secepatnya?
Satu kasus yang paling Oma ingat adalah pertengkaran Mandy dengan Jimmy, salah satu pacarnya. Mereka bertengkar ribut di halaman belakang rumah tanpa menyadari Oma yang asyik menguping.
“ Apa lagi yang kamu kejar, Mandy? Keluargamu sudah cukup sukses, kamu tinggal terima lamaranku dan kamu akan jadi ibu rumah tangga yang berkecukupan tanpa harus bekerja lagi. Perusahaan Papaku ‘kan rekanan garmen orang tuamu. Semuanya gampang sekali! Mengapa kamu masih harus ribet kuliah segala? “, desak Jimmy.
“ Kamu mau menyingkirkan cita – citaku? Bakatku? Potensiku? Kejam kamu, ya! Aku bukan perempuan biasa yang terima saja jadi ibu rumah tangga. Kalau kamu memang cinta sama aku kamu harus terima aku apa adanya, aku harus jadi seseorang dulu. Baru aku mau nikah!! “
“ Tapi, Mandy …”
“ Ahh, sudahlah! Sekarang terserah kamu, Jim. Aku mau kuliah, memperbanyak ilmu, terus bikin usaha sendiri tanpa mendompleng nama besar keluarga. Kalau kamu sabar kita pasti menikah, tapi kalau kamu menuntut terus yaa… silakan angkat kaki! Aku nggak punya waktu buat romantis – romantisan, kerja keras dulu! “
Oma geli sendiri ingat hal itu. Sekian lama menjomblo akhirnya muncul nama Nathan. Cowok ini sama cueknya dengan Mandy, lebih terobsesi pada ilmu filsafat dari pada pacaran. Tapi sesuatu telah membuat mereka saling jatuh cinta. Walau mendalami filsafat Nathan bukanlah cowok yang kaku dan pemikir. Dia cukup humoris dan punya minat juga pada bidang desain busana yang dicintai Mandy. Dia mengundang Oma, Mandy serta kedua orang tuanya untuk makan malam sebelum keberangkatannya ke Jerman untuk melanjutkan kuliah S2nya. Kini hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun dan tetap lancar walau terpisah jarak yang sangat jauh.
Oma mendengar derum mesin mobil memasuki halaman rumah. Itu dia pulang! Tak lama kemudian sosoknya yang tinggi langsing dan hanya mengenakan jins dan T-shirt putih itu pun masuk ke ruang keluarga. Dia memang selalu pulang untuk makan siang bersama Omanya.
“ Siang, Oma. Sehat – sehat saja ‘kan? “
Nah, inilah yang disukainya dari Mandy. Sekeras apa pun pribadinya, dia selalu bersikap hangat kepadanya, mencium pipi Oma kanan dan kiri, menanyakan kabar, tetap sopan dan penuh kasih.
“ Gimana butikmu? “
“ Baik. Ada beberapa klien yang batalin janji, sih. Gara – gara hujan, payah nih, cuaca! Masak dari jam sebelas udah hujan? “
“ Mau gimana lagi? Memang sudah musimnya ‘kan? Eh, ayo makan! Oma sudah lapar “
Mandy kemudian merangkul Oma berjalan menuju ruang makan. Atin sudah menyiapkan makanan yang enak untuk Mandy dan Oma. Padahal setiap hari mereka menikmati masakan Atin, tetap saja terasa enak dan tidak membosankan. Itu sebabnya gadis lugu dari pelosok Sumedang itu bertahan sampai delapan tahun di rumah ini.
“ Kamu nggak mau tinggal di rumah Papa dan Mama di Jakarta? Kemarin mereka telepon Oma, peluang bisnis butik di Jakarta lumayan bagus. Coba kamu pertimbangkan buka cabang di sana, siapa tahu sukses juga. “
“Sementara ini belum dulu, Oma. Aku justru suka hawa fashion Bandung, kental dan persaingannya ketat, bikin aku jadi lebih cermat berpikir. Lagi pula kalau aku buka cabang di Jakarta ‘kan sama saja aku bolak – balik ke Bandung. Aku nggak mau ninggalin Oma “, kata Mandy sambil melempar tatapan mesra pada Oma. Andai semua cucu Oma sebaik Mandy ….
“ Oh, ya! Pak Sadi ke mana, Oma? Kenapa tadi Atin yang bukain pintu pagar? “
“ Cucunya sakit, jadi tadi pagi setelah kamu pergi dia minta ijin pulang dulu “
“ Memangnya cucunya tinggal di mana, sih? Dekat ya, dengan rumah Pak Sadi? “
“ Bukan dekat lagi, Pak Sadi itu tinggal serumah dengan dua anak perempuannya yang sudah menikah plus suami mereka plus cucu – cucu, jadi ada tiga keluarga yang tinggal di rumahnya. Tambah lagi supnya, Mandy? “
Mandy tak berminat pada tawaran sup Oma, dia justru mengernyitkan kening mendengar kisah singkat tentang Pak Sadi, pengurus taman yang biasa membukakan pintu pagar. Oma sudah menduga reaksi Mandy itu.
“ Tinggal serumah? Hidup macam apa itu?”
“ Begini, Oma akui Pak Sadi melakukan kesalahan waktu itu. Atas dasar hidupnya yang pas – pasan dia memutuskan menikahkan anak – anak gadisnya lebih cepat, yaitu setelah lulus SMP. Yah, maksudnya sih, agar ada yang menopang hidup gadis – gadis itu jadi nggak membebani orang tuanya lagi. Awalnya hal itu berhasil, tapi perputaran roda nasib berkata lain. Satu per satu suami – suami mereka kena PHK, para istri yang masih muda belia itu kelimpungan karena hanya tahu cara mengurus anak dan masak di dapur. Itulah sebabnya mereka tak punya pilihan lain selain kembali ke rumah mertuanya.”
“ Lalu…apa suami – suami mereka itu bekerja? Atau hanya Pak Sadi yang menghidupi mereka semua? “, tanya Mandy. Dia sudah benar – benar melupakan makanan di piringnya.
“ Yah, hanya kerja serabutan. Sekali waktu Oma pernah lihat mereka jadi kuli angkut di toko furniture. Begitulah, praktis hanya Pak Sadi yang banting tulang di rumah ini. Itu sebabnya Oma sering kasih dia beras atau sedikit dari masakan Atin. “
“ Hmm…..Mandy nggak ngerti, Oma. Kenapa pikiran mereka dangkal sekali? Kenapa tidak berwirausaha atau bagaimana? Masak pernikahan dijadikan jalan keluar? Buktinya ini nggak berhasil ‘kan? Jatuh – jatuhnya tetap saja membebani orang tua. Coba kalau waktu itu nggak tergesa – gesa menikah, wawasan mereka pasti lebih luas. Nggak ada salahnya perih dalam hidup demi pendidikan lebih tinggi ‘kan? Sekarang mereka terjebak dalam pernikahan bodoh.“
Oma mengelap mulutnya dan bersiap mengambil pudding di depannya.
“ Mereka nggak punya biaya, Mandy. Mungkin waktu itu mereka sangat kesusahan memenuhi kebutuhan hidup. Dan usulmu soal wirausaha itu? Haha…lupakan saja! Modalnya nggak punya, gimana mau wirausaha? “
“ Nggak ada kemauan dan jiwa bisnis, itu masalahnya, Oma! Mandy punya kenalan pengusaha florist sukses yang tadinya….mungkin sama miskinnya dengan Pak Sadi. Tapi dia nekat pinjam modal ke bank. Dengan segala kerja keras, setelah jatuh bangun akhirnya dia bisa sukses sekarang. Itu membuktikan satu hal, kita wajib menyadari takdir kita sebagai manusia biasa. Tapi bukan berarti kita boleh menjadi manusia yang biasa – biasa saja! Memangnya Oma dulu terlahir kaya raya? Nggak ‘kan? “
Oma tersenyum.
“ Kau benar, Gadis kecil! Seratus persen benar, tapi taruhan….yang barusan kamu katakan itu nggak akan mungkin kamu berani sampaikan di depan Pak Sadi dan keluarganya. Setiap manusia punya pikirannya masing – masing yang nggak mungkin disatukan standarnya. Kamu mau tahu kenapa? Karena begitulah seharusnya cara takdir bekerja. Memang…beberapa manusia diberi kekuatan oleh Tuhan untuk merubah pola pikirnya, itu turut merubah kehidupannya pula. Tapi nggak semua ‘kan? Itulah, setiap pola pikir menentukan keputusan yang kita ambil dan setiap keputusan itu menentukan nasib kita. Begitu, honey! “
“ Oke! Oke! Oma juga benar seratus persen soal itu, tapi Oma salah soal Mandy nggak berani mengatakannya di depan Pak Sadi dan keluarganya. Mandy bisa datang ke sana sekarang, Oma kasih aja alamatnya. “
“ Ow, ow! You’re getting hot! “
“ Oma yang nantang Mandy duluan, sih! “
Oma terkekeh.
“ Bukan menantang, Mandy. Tapi selama berpuluh – puluh tahun Oma sudah belajar memisahkan antara menyampaikan kebenaran pada orang lain dan membiarkan orang lain memenuhi takdir mereka sendiri. Lagi pula kamu pikir mudah merubah pola pikir orang lain dengan hanya datang dan bicara pada mereka anda harus begini anda harus begitu anda nggak boleh begini? Itu sulit sekali, Mandy. Rata – rata orang seperti itu, pasrah bukan dijadikan landasan bertindak tapi malah jadi penyakit yang membuat hidup mereka nggak beranjak ke mana – mana. Sudahlah, Mandy sayang! Jauh lebih berguna kalau kita bantu Pak Sadi secara konkrit saja, bukan dengan kuliah soal nasib. Lagi pula, Oma ini pebisnis, bukan motivator.“
“ Oh, nggak bisa! Oma sudah terlanjur menantang Mandy tadi, siang ini juga Mandy akan ke rumah Pak Sadi, sekaligus bawa makanan untuk keluarganya. Oma tunggu saja! Mandy bisa kok bilang semua hal yang tadi kita bicarakan. Ayo, mau taruhan apa? “
Keadaan berubah menyenangkan dan lucu. Oma sudah tahu apa yang akan dijadikan bahan taruhan.
“ Kalau kamu menang….kamu boleh miliki setengah dari saham Oma di perusahaan keluarga kita. “
“ Wuih, Oma mainnya berat! Okelah, tapi kalau Mandy kalah? “
“ Oma boleh makan cokelat Jerman dari Nathan itu! “, kata Oma sedikit nakal. Mandy spontan melotot.
“ Oma!! Nanti ….. “
“ Eits! Ini cukup fair ‘kan? “
“ Ah, Oma kepedean! Tapi kalau gigi Oma bermasalah lagi Mandy nggak mau nolongin, lho! “
“ Deal! “, pekik Oma. Mereka lalu tertawa geli. Makan siang yang sedikit nyentrik itu berakhir. Mandy pamit, mencium kening Oma dan bergegas keluar rumah. Dibantu Atin dia membawa sebuah kotak plastik besar berisi aneka makanan serta sekantung roti dan buah – buahan segar untuk keluarga Pak Sadi nanti. Saat mobil Mandy menderum menjauh, Oma dengan wajah berseri sudah mulai merobek bungkus cokelatnya.
“ Orang tua mau dilawan! “, gumamnya sambil menggigit cokelat itu.
Berbekal alamat dari Oma, dengan mudah Mandy menemukan rumah Pak Sadi, tersembunyi di tengah perumahan sempit dengan gang yang hanya cukup untuk dilewati satu kendaraan roda dua. Mandy pun memarkir mobilnya di halaman sebuah bangunan mirip gudang kosong dan menuju rumah nomor tiga belas. Ya, ampun! Dari luar saja sudah nampak buruk, bagaimana rasanya tinggal berjejal di dalamnya? Dindingnya sudah carut marut dimakan usia, pintu yang dicat biru itu seperti nyaris somplak dari engselnya. Mandy mengetuk, Pak Sadi sendiri yang membukakan. Pria itu kikuk dan jengah menyambut majikannya yang cantik dan terawat masuk ke dalam rumahnya yang kumuh. Apalagi saat menerima buah tangan dari Mandy. Matanya membias malu sakaligus terharu. Dia mempersilakan Mandy masuk ke ruang dalam. Dan inilah yang Mandy lihat kemudian.
Seorang anak perempuan usia sekitar tiga tahun terbaring di lantai plester dialasi kasur lipat usang dan selimut seadanya yang membalut tubuh. Keningnya dikompres, sang ibu yang kelihatan masih sangat muda duduk bersimpuh di dekatnya, mengipasinya agar tak kepanasan. Tak jauh dari mereka, seorang ibu muda satu lagi tengah menyusui bayi kecil yang tampak kurus dan hitam dengan mata cekung sedikit menonjol, menandakan bahwa dia kekurangan gizi. Keri – butan tercipta di situ dengan hadirnya tiga orang anak kecil yang lain yang lebih tua, memperebutkan sebuah boneka teddy beruang yang sudah copot tangan dan kakinya. Mungkin kakak – kakaknya! Mereka pun tak nampak sehat, kurus – kurus dan tak terawat, salah satunya malah terus menerus mengeluarkan ingus kental kehijauan dari hidungnya. Dan…. oh, yang satu itu se - pertinya menderita down syndrome dengan wajah yang menjadi mirip orang Mongolia.
“ Begini keadaannya, Non Mandy. Istri saya sedang bekerja buruh payet, mantu – mantu saya juga sedang ikut proyek galian, saya kepikiran rumah terus. Perempuan muda semua, gimana kalau ada apa – apa. Terpaksa saya minta ijin ke Oma Non Mandy nggak masuk dulu. Saya malu, Non. “, kata Pak Sadi lirih.
Sementara Mandy sibuk mengaduk isi kepalanya, mencari – cari ke mana gerangan hilangnya kalimat – kalimat motivasi yang sudah dipersiapkannya tadi. Kalimat yang dia harapkan bisa merubah pola pikir Pak Sadi dalam waktu sesingkatnya. Tapi semua kalimat itu lenyap tanpa jejak. Mandy hanya menemukan dirinya tercekat rasa haru dan iba dalam tahap ekstrim, mengaduk – aduk dadanya dengan dahsyat, menggelegak di tenggorokan, membuatnya tak mampu bicara. Kakinya seketika lemas, dia terduduk menggelesot di lantai plester kelabu dengan air mata bercucuran. Semuanya benar – benar lenyap! Filosofinya tentang kerja keras dalam hidup dan anti menyerah pada nasib yang siap dia katakan pada Pak Sadi sudah menguap di bawa rasa kasihan. Saat itu juga …. Mandy tahu Omanya telah menang taruhan dengan telak!
Satu hal yang Mandy pelajari, tak ada gunanya melawan Oma dalam taruhan semacam ini. Dia tahu lebih banyak dari Mandy. Sekarang …. jangankan bicara tentang kehidupan ….. melihat ini semua ….. Mandy sudah tak kuasa.

3. Batal Ngrampok
Kamadi gelisah. Rasanya ingin menggampar istrinya, tapi tak sampai hati. Dari tadi sore, ketika dirinya baru pulang narik taksi Amah belum selesai juga mengeluh. Arisan, cicilan panci, bayaran sekolah anak – anak, uang jajan anak – anak yang harus ditambah karena mereka ikut pelajaran tambahan, modal dagangan nasi uduk yang belum balik juga, belum lagi urusan perut sehari – hari. Sampai makan malam pun satu dua kalimat keluhan masih terdengar dari mulut Amah. Kini, makan malam yang hanya terdiri dari nasi, sayur kangkung (lagi) dan beberapa potong tempe bacem itu sudah berlalu. Kamadi santai sebentar di teras sambil menghisap sebatang rokok sebelum mulai narik lagi.
Amah perempuan baik. Dia menikahinya karena kebaikannya itu. Kalau tidak baik bagaimana mungkin dia bisa membesarkan ketiga anak mereka menjadi remaja yang mandiri? Di antara Pulung, Gani dan Yanti tak satu pun yang pernah ikut – ikutan nakal seperti anak remaja sekolahan lainnya. Walau pun prestasi mereka biasa – biasa saja namun mereka benar – benar tak pernah mengecewakan orang tuanya. Habis sekolah ya, pulang. Mengerjakan pe er atau membantu ibunya di rumah. Yanti, si bungsu yang baru kelas 6 SD malah sudah pintar mengajar anak – anak TK di sekitar rumah. Bayarannya seadanya saja, namun cukup membuat Amah dan Kamadi lega karena tak harus memberinya uang jajan. Singkatnya, Amah sungguh perempuan baik yang bisa mewujudkan segala ketenangan dalam rumah tangga ini. Tapi …. kini wanita itu makin sering mengomel dan mengeluh, walau tak mengurangi prestasinya tadi. Segalanya jadi terasa sulit, uang belanja yang biasa Kamadi berikan makin sulit dibagi rata untuk segala kebutuhan rumah. Makin sulit dan makin sulit saja. Bukan Kamadi tak berusaha, tapi mungkin me – mang ini jaman sudah edan. Masak duit seratus ribu bisa habis sehari? Kamadi ingat waktu masih pengantin baru dulu, Amah kalau belanja ke pasar bawa uang 50 ribu saja sudah bikin penuh keranjang belanjaan. Sekarang boro – boro! Belakangan Amah malah mulai ngutang ke tukang sayur.
“ Mau gimana lagi, Mas Kamad? Kita ini hidup di Jakarta, tuntutannya tambah banyak, mau di hitung – hitung biar cukup tetap aja habisnya kudu segitu. Sudahlah, Mas! Kayak istri situ doang aja yang ngeluh! Saya juga, pusing dengernya! Ya sudah, mending saya narik yang lama, ntar pulang kalau udah malem. “, kata Warji, teman sesama sopir taksi.
Memang harus begini, mungkin. Pusing kepala rasanya! Kamadi mengayun langkahnya dan tak lama di pun kembali berada di jalan raya, mencari nafkah. Taksi yang dikemudikannya ini pun ada bos besarnya, setoran tiap bulan sudah ditentukan. Ini menambah panjang daftar beban yang harus dipikirkannya. Bulan ke bulan, makin terasa berat. Kamadi merasa dirinya menua sebelum waktunya. Entah dengan Amah! Perempuan enak! Kalau ada yang kurang tinggal ngomel dan mengeluh, jadi suaminya yang berusaha lebih keras. Kalau ada yang bikin sedih ya tinggal nangis tanpa malu, jadi hati langsung lega. Saat – saat sesak begini mana mungkin Kamadi ngomel? Ngeluh juga sama siapa? Atau nangis biar lega? Huh! Memangnya dia banci?
Makin malam, Jakarta mulai menunjukkan wajah yang berbeda, dunia yang lain. Barangkali, saat ini setan sedang berseliweran menghinggapi orang – orang, membuat mereka larut dalam banyak bentuk kenikmatan. Celakanya, salah satu dari setan itu hinggap di kepala Kamadi. Menghembuskan sebuah ide!
Tapi ... gimana kalau ketahuan? Dia masuk penjara, dan anak istrinnya pasti menderita. Kalau tidak, gimana? Penumpang seret begini! Ide itu memenuhi kepala Kamadi, menguing – nguing di suatu tempat di otaknya seperti sirene mobil pemadam kebakaran. Puyeng sekali! Lalu di sebuah jalan, seorang gadis menyetop taksinya.
“ Kelapa Gading, Pak! “
“ Ya, Neng! “

Wangi parfum yang enaak sekali langsung tercium begitu gadis ini masuk. Dari kaca spion, Kamadi melihat betapa cantik gadis ini! Dandanannya wajar saja, tidak berlebihan. Tapi semua yang dikenakannya tampak bagus dan mahal. Tasnya, bajunya, pasti sepatunya juga bagus. Tak lama dia mengeluarkan sebuah ponsel yang indah sekali, sepertinya ditempeli banyak berlian.
“ Halo, Ma? Iya, Rhea udah naik taksi, nih. Ya, mau gimana lagi? Mobil Rhea mogok tadi, kata Om Haryo tinggal aja di rumahnya, mau dibetulin di bengkelnya. Nggak bisa, Ma! Om Haryo tadi ada urusan ke Pluit. Udahlah, Ma! Nggak usah kuatir, kayak Mama nggak pernah naik taksi aja. Iya, Rhea kabari terus, deh! “
Wah, rupanya gadis ini sedang sial! Untung saja mobilnya mogok dan Omnya tidak bisa mengantar pulang, dia jadi naik taksi Kamadi. Anak orang kaya pasti! Punya mobil, hidupnya mungkin terlalu enak. Masih muda begini, mungkin sekitar dua limaan. Aduh! Godaan itu datang lagi. Barangkali tidak apa – apalah merampok gadis kaya ini. Toh, orang tuanya punya banyak duit. Bukan masalah. Kamadi tak mau banyak – banyak, hanya beberapa ratus ribu, itu cukup untuk menyelesaikan sedikit masalah keuangannya bulan ini.
Tapi … gimana caranya biar nggak ketahuan? Dia sama sekali belum pernah merampok orang sebelumnya. Hmmm … bawa saja ke jalan yang gelap dan sepi, todong pakai pisau lipat yang Kamadi bawa, minta lima ratus ribu saja, terus ditinggal. Pastikan dulu tempatnya benar – benar remang – remang, jadi dia tak bisa mengenali wajah Kamadi. Dan pergi dengan cepat supaya tak bisa melihat nomor polisi taksinya. Yah, cukup bagus untuk perampok pemula! pikir Kamadi. Tinggal cari lokasi yang pas.
“ Kok, lewat sini, Pak? “, protes si gadis saat Kamadi belok menuju jalan yang tidak seharusnya dilewati.
“ Tadi saya lewat situ macet, Neng. Coba lewat sini aja! “
Jalan ini lumayan gelap dan sepi. Sempurna. Tapi, tepat sebelum Kamadi melambatkan mobil untuk memulai aksinya, terdengar suara aneh dari belakang. Gadis itu duduknya miring ke kanan, tangannya memegang dada dan nafasnya megap – megap. Matanya nyalang menatap langit – langit taksi.
“ Pak, to … long ke rumah … sakit, cepat! “, pintanya.
“ Ke … kenapa, Neng? “, tanya Kamadi sambil pelan – pelan menaruh kembali pisau lipat yang tadi sempat mau dihunus.
“ Jantung … saya kambuh, Pak. To … long! “
Mulanya Kamadi pikir gadis ini curiga akan aksinya, tapi pikiran itu segera lenyap melihat wajahnya yang pucat dan air mata yang mengalir dari mata gadis itu. Kesakitannya sama sekali tidak dibuat – buat. Kamadi bingung lalu bengong, mau menolong atau sekalian saja dirampok. Namun gadis itu mulai menggapai – gapai Kamadi, setengah putus asa minta agar sopir ini segera menolongnya. Ya, sudahlah! Ditolong saja, mungkin kalau Kamadi urus dia bisa dapat hadiah dari keluarganya.
“ Tenang, Neng. Bapak bawa ke rumah sakit! “
Masuk pelataran rumah sakit, Kamadi mulai cemas. Gadis itu sudah terkulai lemas tak bergerak! Gusti! Ini semua salahnya! Bagaimana kalau dia mati?
Didorong oleh rasa bersalah dan separo lagi mengharapkan imbalan, Kamadi menunggu gadis bernama Rhea ini di rumah sakit. Perawat sudah menghubungi keluarganya. Dan saat orang tuanya datang, Kamadi memperkenalkan diri. Sepasang suami istri manula itu tak begitu menanggapi kehadiran Kamadi. Mereka menghambur ke kamar Rhea. Tak lama, jantung Kamadi terasa copot dari tempatnya mendengar teriakan dari dalam kamar.
“ Rheaaa!!! Jangan tinggalin Mama, Naaakkk!!!! “
Rhea meninggal malam itu.
Besoknya, Kamadi mendapati tas dan ponsel mewah milik Rhea masih ada di dalam taksinya. Dia putuskan untuk mengembalikannya hari ini ke rumah duka berbekal alamat di kartu nama di dalam tas itu. Tadi malam terlalu kacau. Mereka sangat berduka, Bapaknya, sambil memapah istrinya yang terus histeris hanya mengucapkan sekilas terima kasih sambil menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan pada Kamadi. Ongkos taksi tadi malam belum sampai seratus malah. Kamadi agak tidak enak menerimanya, apalagi teringat niat buruknya itu. Makanya, sekarang juga dia harus ke rumah duka.

Rumahnya besar sekali, halamannya yang luas masih dipayungi tenda cokelat besar, mobil para pelayat berderet panjang sekali, Kamadi sampai harus berjalan jauh dari tempat taksinya diparkir. Orang – orang pasang wajah muram semua. Ada yang masih menangis, ada yang geleng – geleng tak percaya. Ramai dan riuh, tapi duka cita terasa dalam di sini. Seorang satpam kompleks mendekati Kamadi yang celingukan di tengah – tengah pelayat.
“ Cari siapa, Pak? “
“ Maaf, Pak. Saya sopir taksi yang tadi malam bawa almarhumah, ini mau mengembalikan tas dan hape punya dia. Ketinggalan di taksi saya. “
“ Biar saya yang sampaikan ke keluarganya, Pak! “
Syukurlah! Kamadi jadi bisa langsung pergi, tak betah rasanya berlama – lama berada di tengah suasana duka begini. Tapi seorang pria keburu muncul. Bapaknya Rhea.
“ Masuk dulu, Pak. Saya ingin bicara dengan Bapak. “
Akhirnya, Kamadi masuk juga. Ruang tamunya megah sekali, langit – langitnya tinggi digantungi lampu kristal kelap – kelip. Di sini para kerabat berkumpul, duduk mengelilingi jenazah yang sudah dikafani. Ibu almarhumah nampak lemah sekali, duduk bersandar di bahu seorang wanita tua, bau balsem gosok menguar dari tubuhnya. Mungkin dia sempat pingsan. Seorang gadis belia yang wajahnya mirip dengan Rhea duduk menguntai doa, sementara seorang laki – laki muda juga terlihat tabah duduk di sampingnya.
“ Saya ikut berduka cita atas meninggalnya putri Bapak, saya nggak nyangka begini jadinya. “
“ Yaahh, saya justru ingin minta maaf pada Bapak sudah merepotkan. Dan terima kasih sudah mengantar anak saya ke rumah sakit, walau pun … Tuhan berkehendak seperti ini. Oh, ya, perkenalkan nama saya Pak Sabar. “
“ Saya Kamadi, Pak! “
“ Saya merasa tidak enak dengan Pak Kamadi, anak saya harus menempuh perjalanan terakhirnya di taksi Bapak. “
“ Tidak usah begitu, Pak. Ini ‘kan di luar kuasa manusia, saya ikhlas menolong Neng Rhea waktu itu. “
Kamadi merasa ucapannya itu bagai godam besar menghantam dadanya. Dia berdusta!
“ Syukurlah adik – adik Rhea begitu tabah, bisa menguatkan ibunya. Melihat mereka bisa berdoa dengan tenang begitu lega hati saya.”
“ Kapan akan dimakamkan, Pak? “
“ Ini tinggal menunggu tunangannya dari Bandung. Masyaallah, Pak! Saya jadi sedih ingat dia. “, Pak Sabar menunduk.
“ Dua bulan lagi Rhea akan menikah, tunangannya perwira TNI, baru selesai ikatan dinas. Saya betul – betul tidak tega ingat Nak Arga. Gimana sedihnya dia? Dia sangat mencintai Rhea, selama ini Rhea tak sampai hati memberi tahu Nak Arga tentang penyakitnya. Dia juga minta kami semua diam. Ya, Allah! Saya nggak bisa bayangkan … gimana sedihnya anak itu! “, Pak Sabar menutup wajah dengan tangannya. Kamadi jadi menyesal sudah menanyakan hal itu.
Lalu Pak Sabar mulai curhat tentang putrinya yang sudah terbujur kaku itu.
“ Dia anak kebanggaan kami, Pak. Rumah besar ini, dan semua isinya … adalah hasil kerja keras dia. Dulu kami hanya orang kecil, nggak punya apa – apa. Saya hanya punya toko kelontong kecil untuk bertahan hidup dan menyekolahkan tiga anak saya. Tapi Rhea yang mengubah semuanya. Waktu SMP, dia nggak malu jualan makanan buatan ibunya keliling kampung, waktu itu kami masih tinggal di tepi rel kereta. Terus dia mulai suka sama bisnis bunga, pelan – pelan dia kumpulin modal untuk buka toko bunga sendiri. Hasilnya benar – benar di luar dugaan kami, Pak. Rhea bisa biayai kuliahnya sendiri, lama – lama sekolah adiknya juga bisa dia tanggung. Dia bilang, dia kerja keras karena ingin orang tuanya istirahat saja di hari tua. Dia buatkan kami semua rumah yang besar ini. Sekarang … Rhea sudah pergi, Pak. Saya nggak tahu harus gimana tanpa dia. Ya Allah! “, Pak Sabar terisak. Kamadi memegang pundak orang tua itu, menghi – bur sebisanya. Dadanya sesak bukan main.
Jam setengah sebelas, Kamadi masih di sana, ikut berdoa demi ketenangan Rhea. Terdengar keributan kecil di luar, semuanya melongokkan kepala. Kamadi mengikuti Pak Sabar berjalan ke teras.
“ Itu tunangan anak saya, Pak! “
Tadinya Kamadi pikir pemuda itu cukup kuat melangkah masuk. Tapi ternyata tidak. Tubuhnya yang tegap sudah mulai limbung dan orang – orang maju memapahnya. Kepiluan yang tak terkira pecah kembali di ruang tamu. Melihat calon mantunya datang dan menangis histeris, sang ibu pun kembali menjerit dan meronta. Kamadi panas dingin melihatnya, matanya ikutan berair. Belum pernah dia melihat kesedihan sedalam ini, bahkan waktu orang tuanya meninggal dulu tidak seperti ini. Kamadi baru sadar, betapa Rhea gadis yang sangat baik, yang meninggalkan luka dalam di hati orang – orang ini saat dia pergi.
Kamadi melesat kembali di jalan raya, menyetir bagai kesetanan, membuat mobil – mobil lain kelimpungan dan orang – orang ramai mengumpat ulahnya. Dia kabur tanpa pamit dari rumah duka, tak tahan melihat hujan air mata di sana. Melewati sebuah masjid besar, Kamadi melambat lalu belok memasuki parkiran. Setelah menenangkan diri dan berwudhu, dia masuk ke dalam untuk sholat. Saat keningnya menyentuh sajadah, seketika dia menangis terguguk dan larut dalam sujud lama sekali.
Dia menangis sama sekali bukan karena melihat mereka menangis, bukan juga karena sedih atas kematian Rhea. Tapi karena dosa yang nyaris dilakukannya pada Rhea. Tadi malam dialah makhluk paling keterlaluan di muka bumi ini, mau merampok gadis yang ternyata sangat baik itu, yang tulus berjuang demi nasib keluarganya, yang … tentu saja tidak seperti dirinya! Mereka ternyata tidak kaya begitu saja, mereka mantan penghuni kampung rel kereta, mungkin lebih miskin dari Kamadi. Tapi Rhea yang baik itu sudah merubah semuanya dengan cara yang halal, bekerja keras tanpa mengeluh, apalagi … ingin merampok! Dibandingkan Rhea, Kamadi merasa rendah sekali. Dia kalah tangguh dengan gadis muda yang disangkanya anak orang kaya yang manja, kalah berjuang, kalah semangat, kalah semuanya!
“ Ampunilah hambaMu, Ya Allah! “

4. Tinggal Saja Di Puncak Gunung!
Banyak hal yang diingat Raul tentang orang tuanya. Galak, disiplin, mandiri, tegas, tidak mentolerir kemalasan dan kenakalan anaknya, tahan banting walau harus bekerja keras. Namun yang paling diingat adalah resep jika Raul ingin dapat banyak teman, jangan mencuri, jangan merampok, jangan menyakiti orang lain, jangan menipu, jangan merebut hak orang lain, jangan ingkar janji, harus setia pada komitmen yang telah disepakati, jangan lari dari tanggung jawab, dan masih banyak jangan lainnya. Raul dengan patuh melaksanakan semua perintah itu, dan memang berhasil. Raul banyak teman! Banyak yang sayang dia. Bisa dibilang nyaris separuh Pulau Rote kenal akan kebaikannya ini. Dia pun tak pernah cemas saat tersesat di suatu tempat dan tak bisa pulang. Seseorang pasti akan bilang begini :
“ Oh, kau Raul yang baik hati itu ‘ka? Ee … ayo, tinggal dulu di tempat Om. “
Masalah mulai muncul saat dia kelas lima SD. Beberapa anak nakal mulai mengusiknya, merebut bekalnya atau menjahilinya sampai terluka. Raul pulang dan menangis.
“ Kenapa mereka begitu, Mama? Saya tidak pernah begitu sama mereka! “

Mamanya mengelus kepalanya sambil menarik nafas.
“ Pokoknya kau tidak boleh balas mereka, kau harus tetap jadi Raul yang disayang banyak orang. Mengerti? “
Raul beranjak remaja. Masalah yang sama datang susul menyusul, apalagi dia menempuh pendidikan SMPnya di luar Pulau Rote, tepatnya di Flores. Kali ini lebih berat! Kadang – kadang temannya sendiri merampok uang jajannya, atau menantangnya baku pukul sampai babak belur hanya karena dia tak mau memberi contekan waktu ulangan. Raul marah dan sedih, tapi tak bisa berbuat apa – apa, pesan orang tuanya masih melekat dalam benaknya kuat – kuat. Kalau dia mengeluh lewat telepon pasti orang tuanya hanya mengulangi pesan yang sama, seperti yang pernah didengarnya sepanjang hidupnya.
Raul cukup beruntung, sebuah yayasan dari gereja menguliahkannya ke Jakarta. Di sana dia belajar ilmu administrasi, karena cita – citanya ingin jadi pegawai negeri. Gagah, berseragam, melayani keperluan orang – orang, digaji tiap bulan dan terima uang pensiun nanti kalau sudah tua. Dia akan ikut tes PNS di Flores saja, biar tidak jauh – jauh dari rumah. Di Jakarta ternyata banyak mahasiswa dari luar Jawa yang menuntut ilmu, mereka tinggal bersama di sebuah kontrakan atau asrama khusus. Raul benar – benar hanya konsentrasi belajar, tak ingin main – main seperti teman – temannya yang lain. Dia tak mau mengecewakan orang tua dan yayasan yang sudah mengirimnya jauh – jauh ke sini.

Tahun ke dua Raul kuliah, dia pacaran dengan Becka, gadis hitam manis dari Timor Leste yang ambil jurusan menejemen bisnis di kampusnya. Becka ini cantik sekali di mata Raul, mirip Queen Latifah begitu. Dia juga pandai menyanyi, suaranya bagus sekali. Tapi nasibnya tak seberuntung Raul yang tak perlu lagi memikirkan biaya kuliah. Hidup Becka berkekurangan, orang tuanya tinggal di Belu, NTT, di mana para pengungsi Timor Leste yang berintegrasi ke RI membangun kehidupan mereka kembali. Meski ada pamannya yang tinggal di Jakarta, itu tak cukup membantu Becka. Pamannya sangat kikir, dia dan istrinya yang bawel itu setengah hati saja menguliahkan keponakannya. Setiap kali mentransfer uang ke rekening Becka, mereka selalu menelepon lalu bilang begini :
“ Kalau kuliah yang betul, jangan main – main. Kalau sudah jadi pegawai dan sukses jangan lupa sama orang yang sudah berjasa sama kau! “
Kalau diterjemahkan mungkin artinya begini : kami kuliahkan kamu tapi kamu harus balas jasa kami berlipat. Begitulah! Tapi Becka selalu bilang pada Raul untuk tidak mencemaskan hal itu.
“ Biar saja, kakak. Tidak usah marah begitu, karena mereka juga saya tahu kuliah dan macam – macam hal. Kalau memang disuruh balas ya, tidak apa – apa. Memang harus begitu. “
Akh! Raul pernah dengar kalau orang Jawa itu manusia paling pasrah dan nrimo. Tapi ini buktinya ada yang lebih pasrah dari orang Jawa. Namun Becka juga tidak berdiam diri, dia mulai terima tawaran menyanyi di sebuah café tiap malam Jumat. Bayarannya lumayan, sekali tampil bisa dapat dua ratus lima puluh, cukuplah untuk bertahan hidup atau beli buku. Raul lega, tapi tidak lama. Karena setelah itu dia mulai sering mendapat laporan dari temannya, Becka kerap pulang nyanyi diantar pakai motor oleh pemuda lain. Raul panas hati, ditanyainya Becka. Dia bilang pemuda itu hanya teman yang kebetulan kenal di café, namanya Pedro, orang Timor Leste juga. Sekali itu Raul percaya, tapi si Pedro ini terlalu sering mengantar Becka. Belakangan malah mereka terlihat sedang jalan – jalan di mall berdua. Raul emosi, kepalan tangannya yang keras karena dari kecil terbiasa membantu Papa membelah kayu, mendarat manis di rahang Pedro sampai mulutnya memuncratkan darah. Mereka baku pukul di parkiran, Becka berteriak – teriak panik.
Lalu hubungan mereka pun putus. Sehari setelah itu Becka menemui Raul di perpustakaan kampus, minta maaf dan berkata kalau Pedro sebenarnya adalah saudara jauh pamannya. Becka dan Pedro saling jatuh cinta. Tak urung, sekali ini Raul merasakan patah hati yang sangat menyakitkan. Kembali, dalam sedihnya, dia bertanya – tanya. Dia tak pernah merebut hak orang lain, tak pernah menyakiti hati orang lain, tapi mengapa orang lain melakukan hal itu padanya? Mengapa orang lain tidak berbuat sama seperti dirinya?
Patah hati Raul agak parah sampai kuliahnya sedikit kedodoran. Tidak belajar, tidak makan, tidak keluar kamar. Bowo, temannya yang orang Surabaya, berbaik hati meminjamkan video game padanya untuk mengusir duka. Kini, Raul mulai asyik bermain video game, sampai lebih mahir dari Bowo sendiri. Lumayan, Raul bisa tertawa lagi.
Kemudian, Bowo punya ide. Arisan! Anggotanya khusus anak – anak kosan ini saja. Mereka pun sepakat, semuanya ikut, ada lima belas orang, dikocok tiap minggu, besarnya dua puluh lima ribu. Lumayan, sekali dapat tiga ratus tujuh puluh lima ribu. Ini seru sekali! Bowo pandai sekali menyembuhkan patah hati Raul. Tiap minggu mereka mengocok arisan sambil tertawa dan bercanda. Benar – benar ramai, penghuni kos jadi semakin akrab. Raul senang bisa punya teman dari berbagai suku, ada yang sesama orang Indonesia Timur, ada yang dari Papua, Sunda, Jawa, Cirebon, Batak. Nah, si Batak ini lucu sekali orangnya! Kerjanya mengocok perut orang, jahil minta ampun. Apalagi kalau sudah mulai main gitar sambil nyanyi lagu favoritnya, Ito Hasian. Main gitarnya sih, bagus. Tapi suaranya hancur, mirip anak kambing mengembik. Sampai – sampai diragukan keBatakannya karena rata – rata suara orang Batak ‘kan bagus.
Raul sangat disiplin membayar arisan. Tak pernah telat sehari pun. Dia tak mau orang sampai menagih haknya itu. Sekali dua pernah Raul sedang krisis, yayasan terlambat mengirim uang ke rekeningnya, di dompetnya hanya tinggal empat puluh ribu. Tapi dia tetap membayar arisan itu dengan patuh dan perasaan lega karena dalam kekurangannya dia masih bisa memenuhi tanggung jawabnya membayar arisan. Raul pun tak mengeluh saat dia mendapat giliran nyaris pa – ling akhir, yaitu ke tiga belas. Saat itu, tak seorang pun membayar padanya. Ini benar! Tak seorang pun! Semuanya beralasan belum dapat kiriman, uang yang mereka miliki tinggal sedikit, jadi menunda dulu. Atau masih punya keperluan lain yang lebih penting. Mereka minta maaf pada Raul dan berjanji akan membayar setelah dapat uang.
Raul tak habis pikir. Kalau mereka mengaku sedang miskin, bukankah Raul juga pernah mengalaminya? Dan memangnya hanya mereka saja yang punya keperluan penting? Bagi Raul, ini bukan soal ada uang atau tidak, tapi ketidaksetiaan pada komitmen yang sudah disepakati. Apa mereka tidak berpikir bahwa Raul tak selamanya punya uang? Pernahkah mereka berpikir kalau Raul yang sangat disiplin ini harusnya juga mendapat perlakuan yang sama dari mereka? Pertanyaan ini kembali meraung di benak Raul, dia tak pernah lalai memenuhi tanggung jawab dan hak orang lain tapi mengapa orang lain melalaikan apa yang sudah jadi haknya?

Hari demi hari berlalu, satu per satu temannya membayar arisan itu. Raul sedikit lega walau tak nyaman dengan keterlambatan ini. Tinggal satu orang, Bowo. Temannya yang baik ini mulai sukar ditemui, seolah sengaja menghindar, padahal mereka satu kampus. Kalau di kosan dia mengurung diri tidak keluar kamar. Raul jadi malas menyapa. Memang ini hanya tentang uang dua puluh lima ribu, tapi jumlah yang kecil itu mencerminkan kesetiaan seseorang dalam memenuhi tanggung jawabnya. Ohhh, Raul capek sekali menahan sakit hatinya! Beberapa orang menyarankan agar dia menagih saja pada Bowo.
“ Malas aku! Ini ‘kan hal yang sebenarnya sederhana tapi prinsipil, mengapa harus tunggu diingatkan orang lain? Yang benar saja! “
Kali ini Raul geram dan berang. Dia mulai ngeluyur tak jelas, mulai tertarik minum minuman keras. Pribadinya berubah menjadi kasar dan tak bersahabat. Dalam sekejap, Raul yang baik dan bersahabat sudah tidak ada. Teman – temannya keheranan, tapi mereka sedikit maklum. Jakarta! Apa yang tak bisa diubahnya? Mereka tak tahu, ini bukan karena Jakarta. Raul hanya baru saja mendapat kesimpulan, tak ada gunanya jadi orang baik – baik kalau dia selalu mendapat perlakuan buruk dan balas yang mengecewakan dari orang lain bahkan temannya sendiri.
Sudah jelas, nilai Raul menurun drastis. Presentase kehadirannya di kampus pun berkurang, kerjanya hanya ngeluyur dan mabuk di malam hari lalu tidur di siang hari. Tugas menumpuk tak tersentuh, kamar dan penghuninya tak terurus. Satu per satu temannya menjauh, lalu mengeluarkannya dari grup arisan. Raul kembali bertanya – tanya. Mengapa serba salah jadinya? Jadi orang baik tak mendapat balasan yang sama, sekarang jadi orang tidak baik malah dijauhi. Kebingungan Raul sudah memuncak, tapi dia tak tahu harus bertanya ke mana. Minuman keras – lah yang menjadi pelariannya.

Suatu malam, Raul yang terlalu mabuk terhuyung jatuh di depan gerbang kosannya. Seseorang datang menghampiri, serta merta mengangkat tubuhnya yang sudah lemas, lalu memasukkannya ke dalam sebuah mobil. Orang ini membawanya ke sebuah rumah besar yang tenang dan dipenuhi kursi – kursi panjang dan rak buku menjulang. Raul, setengah diseret, terus berjalan mele – wati banyak ruang lagi, ada ruang makan, ruang pertemuan, dan lorong panjang dengan kamar di kanan dan kirinya. Lamat – lamat Raul merasa tubuhnya dihela ke dalam sebuah kamar yang dingin, lalu dia terbatuk – batuk saat kepalanya diceburkan ke dalam sebuah bak air. Berulang – ulang, sampai banyak air yang terminum memenuhi perutnya. Raul pun muntah banyak sekali, memuntahkan semua yang sudah diminumnya tadi. Dengan kepala pening berdenyut, dia mulai mengenali orang yang membawanya itu. Pendeta Jimmi, dari yayasan yang sudah menguliahkannya. Pendeta ini terkenal galak dan disiplin. Habislah dia!
“ Ini yang kamu perbuat rupanya, ya? “, hardik Pdt. Jimmi.
Raul tak menjawab.
“ Kami sama sekali tak peduli dengan uang yayasan yang sudah kami keluarkan untuk pendidikanmu tapi kami peduli pada dirimu. Kalau kamu berbuat seperti ini, bagaimana kamu mau membahagiakan orang tua? Bagaimana kamu membangun daerahmu nanti? Yang lebih penting lagi, bagaimana pertanggungjawaban kamu pada Tuhan nanti? “
Pdt. Jimmi kemudian menuntun Raul ke sebuah kamar lalu menyelimuti tubuhnya dengan handuk tebal. Raul tak bisa berpikir, hanya diam merasakan kepalanya yang pening. Pdt. Jimmi duduk dan menatapnya sambil geleng – geleng kepala tak mengerti. Walau sudah sering menghadapi anak muda yang sedang kacau tapi sejujurnya dia tak menyangka Raul yang terkenal baik hati dan disiplin ini bisa jadi begini.

Raul lalu dibiarkan tidur dulu malam itu. Besoknya, tempat itu mulai ramai. Raul baru sadar, ini adalah kantor yayasan gereja. Jam delapan pagi, Pdt. Jimmi kembali datang ke kamar Raul.
“ Kami sudah hubungi kampusmu, minta ijin kalau kamu sedang perlu perawatan. Ini sarapan dulu, biar kamu lebih kuat. “

Pelan – pelan Raul menyantap bubur ayam hangat dan menghabiskan setengah gelas susu murni yang diberikan Pdt. Jimmi. Selesai sarapan, pendeta itu duduk di hadapannya dan menatap matanya lekat – lekat.
“ Saya tahu ini bukan dirimu yang sebenarnya, makanya … kalau kamu sedang ada masalah coba ceritakan pada saya. “
“ Saya … hanya sedang bingung, Pak. “

Raul pun bercerita tentang hal – hal yang dialaminya selama ini. Dimulai saat dirinya kelas tiga SD, lalu saat dia SMP, dan yang terjadi belakangan ini. Di luar dugaan, Pdt. Jimmi justru tersenyum mendengar masalahnya.
“ Jadi … kamu sedang merasa seperti itu, ya? Jadi orang baik salah, jadi orang tidak baik makin salah. Begitu ‘kan? “

Raul mengangguk.
“ Saya senang dan kagum karena kamu anak yang patuh dan taat pada orang tua. Tapi kepatuhan kamu itu tidak memiliki kontrol. Ingat, Nak! Menjadi orang baik itu bagus, tapi belum cukup. Kau juga harus punya kendali atas kebaikanmu. Kamu harus tahu kapan saatnya bersikap baik dan lembut hati, kapan saatnya kamu harus bersikap tegas dan berani berkata tidak. Itu yang tidak kau punyai, Raul! “

Kening Raul mengerenyit.
“ Mengapa saya harus begitu? “
“ Karena tidak semua orang sepikiran dan satu sifat denganmu. Yang orang tuamu ajarkan sangat bagus dan ideal, tapi apa mereka pernah mengatakan padamu bahwa tidak semua orang dibesarkan dengan cara yang sama? “

Raul merasa satu pintu di hatinya terbuka, kata – kata Pdt. Jimmi menyadarkannya.
“ Kamu mengerti ‘kan? Itu sebabnya, kamu tidak bisa mengharapkan dunia memperlakukan kamu dengan cara yang sama seperti kamu memperlakukan dunia. Pendidikan dari orang tuamu memang baik, tapi kamu menelannya mentah – mentah, akibatnya kamu jadi kelewat idealis. Dengan sifat seperti itu, kamu tidak akan merasa betah tinggal di mana pun. Kamu akan selalu merasa disakiti dan tidak dibalas semestinya. Lama – lama kamu tinggal saja di puncak gunung! Sepi, sendirian, enak, tidak ada yang ganggu! “
“ Tapi … saya tidak punya teman nanti, Pak. “
“ Nah, itu! Kalau kamu mau punya banyak teman kamu harus siap untuk hal – hal yang tidak enak. Kalau tidak ingin terlalu merasa sakit hati ya, belajarlah bersikap tepat pada saat yang tepat. Apa kau tidak baca Alkitab? Bukankah semua nabi dan pemuka agama mendapat penolakan luar biasa? Tempat mana yang tidak membenci mereka? Itu sifat alami manusia, Raul. Cenderung suka mengingkari kebenaran. Nah, kita ini ‘kan bukan nabi, bukan apa – apa. Hanya manusia biasa yang ingin disayangi sesama. Berbahagialah dan bersyukurlah kamu punya orang tua sebaik mereka. Tapi ajaran mereka jangan kamu telan mentah – mentah! Begini jadinya, ‘kan? “

Raul merasakan pintu dalam hatinya terbuka makin lebar.
“ Nak, setelah ini kamu jangan berkurang rasa hormatmu pada orang tua, tetap jalankan ajaran mereka yang baik itu. Tapi kini kamu sudah dewasa, sudah jadi anak rantau. Jauh – jauh dari Pulau Rote, belajarlah dari pengalaman – pengalaman burukmu itu, mereka guru yang terbaik. Katakan tidak saat harus mengatakannya, tolaklah saat nuranimu berontak, dan bersikap tuluslah pada orang mengharap bantuanmu. Oke? “
Raul menarik nafas. Jadi selama ini dia hanya salah bersikap? Ohhh … melelahkan! Perkataan Pak pendeta masih perlu dicerna dan direnungkan, walau hatinya sudah jauh lebih terang sekarang.
“ Untuk beberapa hari ke depan kamu harus tinggal di sini, kami harus membantumu menyembuhkan diri dari kebiasaan mabukmu itu. Sekarang mandilah dulu, lalu ikut saya ke gereja. Setelah itu saya antar ke kosan, barangkali ingin mengambil keperluanmu. “
Saat dirinya sudah duduk diam di samping Pdt. Jimmi yang sibuk menyetir, Raul masih berpikir. Dia mulai tertarik mencoba, apa dia cukup berani berkata tidak. Dia berharap Bowo ada di kamarnya, temannya yang baik itulah yang akan jadi percobaan pertamanya. Percobaan bersikap senilai dua puluh lima ribu rupiah.

Jujur saja, tadinya saya tidak mengerti, mengapa tulisan ini saya beri judul Anak – Anak Waktu. Tapi saat mengerjakannya, saya mulai mengerti. Banyak orang yang menjadikan waktu sebagai hal yang ditakuti, bukan karena dia seram atau mengerikan, tapi karena waktu tak bisa diputar ulang. Waktu yang terbuang sia – sia akan selalu menimbulkan sesal. Kenapa waktu itu saya nggak begini? Nggak begitu? Coba waktu itu saya lebih hati – hati! Coba waktu itu saya tidak selingkuh! Dan masih banyak lagi. Namun … waktu juga punya wajah lain. Seiring waktu yang berjalan, akan ada hal – hal baru, pengalaman – pengalaman baru yang menghasilkan pengetahuan baru, pengertian baru, pemahaman baru dan hikmah baru. Inilah yang membuat kita semua sadar akan satu atau banyak hal. Semuanya ada dan berjalan seiring waktu itu sendiri. Itu sebabnya tulisan ini berjudul demikian. Orang – orang yang merepresentasikan diri kita, yang mengalami hal – hal baru dan mendapat kesadaran serta pencerahan baru, bagai anak kecil yang polos.
Semua yang saya tulis terinspirasi dari pengalaman saya yang belum seberapa ini, kecuali yang bagian tiga tentunya. Komentar, kritik, pujian, bahkan bantahan pun akan diterima dengan tangan terbuka, karena ini adalah pengalaman pribadi dan dinilai dari sudut pandang pribadi pula. Mungkin ada yang punya sudut pandang lebih bagus, why not? Salam cinta semuanya.

 PROFIL PENULIS
Nama lengkap : Yulia Purnarisa
TTL : Kendal,11 Juli
Alamat : Bandung
Pekerjaan : Freelance Graphic Designer
Hobi : Desain,drawing,menulis,nyanyi


Share & Like