IBU PEJUANG HIDUPKU
Karya Ahmad Fajrul Yustika
Ketika sang mentari mulai menampakkan kekuasaannya. Sebuah lantunan panggilan shalat pun mulai menyambut datangnya hari. Burung-burung pun berkicauan merdu menandakan kerasnya kehidupan akan segera di mulai. Pekatnya hawa dinginpun mulai pudar. Kilauan sinar sang surya pun mulai menembus butiran-butiran embun pagi. Cahaya-cahaya lampu istana mati mengikuti hari. Lalang lalulintas mulai terisi penuh oleh arus kehidupan.
Ketika sang mentari mulai menampakkan kekuasaannya. Sebuah lantunan panggilan shalat pun mulai menyambut datangnya hari. Burung-burung pun berkicauan merdu menandakan kerasnya kehidupan akan segera di mulai. Pekatnya hawa dinginpun mulai pudar. Kilauan sinar sang surya pun mulai menembus butiran-butiran embun pagi. Cahaya-cahaya lampu istana mati mengikuti hari. Lalang lalulintas mulai terisi penuh oleh arus kehidupan.
Pagi hari telah datang. Sambutan mulia pun mulai menyambut Ibu yang di tinggal seorang suami entah kemana, yang masih meninggalkan banyak beban keluarga. Ibu hanya hidup di temani oleh seorang anak perempuannya yang baru menginjak usia sepuluh tahun yang bernama Iza. Ibu dan Iza pun hanya dapat tinggal di sebuah gubuk kecil yang luasnya hanya selebar dua petak tanah, yang di pagari dengan menggunakan anyaman bambu, dan diatapi dengan menggunakan seng tua yang berkarat.
Untuk menghidupi keluarga kecilnya dan untuk menyekolahkan Iza, Ibu harus membanting tulangnya untuk mendapatkan sepeser uang rupiah yang di dapatnya dari menjual berbagai macam gorengan. Tiap pagi seusai Shalat Subuh, Ibu sudah siap dengan adonan gorengannya. goresan wajan dan suara didihan minyak gorengpun mulai menghiasi gubuk kecilnya. Suara goresan wajan dan minyak goreng itu pun sempat membangunkan Iza dari tidurnya. Iza pun lekas terbangun dari ranjang tidurnya, Iza pun langsung menuju ke dapur untuk membantu ibunya yang sedang memasak gorengan. Sampai di dapur Iza langsung mengambil pisau untuk memotong bunga kol yang akan di jadikan gorengan oleh ibunya.
“Kalau ibu lelah istirahat dulu saja”
“Enggak usah, ibu masih kuat”
“Itu muka ibu masih kecapean,sebaiknya ibu istirahat saja”
“Ibu enggak capek kok, muka ibu hanya masih ngantuk saja. Kamu sendiri bangun sudah Shalat Subuh belum?”
“ Iya, sebentar lagi Iza shalat, tapi setelah bantu ibu”
“Jika sekolah kamu pinter, itu sudah bantu ibu, kok. Udah kamu Shalat Subuh dulu lalu belajar”
“Iya Bu. Maaf ya bu jika Iza belum bisa membuat Ibu bangga”
“Ibu juga minta maaf, jika selama ini belum bisa menuruti semua keinginanmu”
“Iza janji, jika suatu saat nanti Iza pasti bisa membuat ibu bangga” Sambil memegang tangan ibu.
“Iya, iya... Ibu percaya, pasti nanti Iza bisa banggain ibu. Sudah, kamu shalat dulu lalu belajar. Ibu mau menyelesaikan gorengan dulu supaya bisa cepat matang”
“Kalau ibu lelah istirahat dulu saja”
“Enggak usah, ibu masih kuat”
“Itu muka ibu masih kecapean,sebaiknya ibu istirahat saja”
“Ibu enggak capek kok, muka ibu hanya masih ngantuk saja. Kamu sendiri bangun sudah Shalat Subuh belum?”
“ Iya, sebentar lagi Iza shalat, tapi setelah bantu ibu”
“Jika sekolah kamu pinter, itu sudah bantu ibu, kok. Udah kamu Shalat Subuh dulu lalu belajar”
“Iya Bu. Maaf ya bu jika Iza belum bisa membuat Ibu bangga”
“Ibu juga minta maaf, jika selama ini belum bisa menuruti semua keinginanmu”
“Iza janji, jika suatu saat nanti Iza pasti bisa membuat ibu bangga” Sambil memegang tangan ibu.
“Iya, iya... Ibu percaya, pasti nanti Iza bisa banggain ibu. Sudah, kamu shalat dulu lalu belajar. Ibu mau menyelesaikan gorengan dulu supaya bisa cepat matang”
Matahari pun mulai terbit tinggi. Seperti biasa, Ibu dan Iza bergegas untuk berangkat dari rumah dengan membawa gorengan yang akan di jajakan. Sebelum Ibu menjajakan gorengannya keliling desa, Ibu pun sempat mengantarku ke sekolah yang jaraknya satu kilometer dari rumah dengan menaiki sebuah sepeda tua yang telah rapuh di makan zaman.
Sesampai di sekolah Iza. ibupun menitipkan sebagian gorengannya ke kantin sekolah Iza, dan setiap gorengan buatan ibu hanya di jual seharga Rp.500. Dengan harga tersebut ibu hanya memperoleh keuntungan yang sangat kecil, tapi ibu tidak pernah berputus asa walau keuntungan tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya untuk sehari-hari. Dan jika ibu tak berjualan gorengan, dari mana keluarga kecilnya dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dapat menyekolahkan anaknya sampai sarjana.
Setelah ibu menitipkan gorengannya ke kantin sekolahku. Aku pun belum bisa masuk ke dalam kelas sekolah ku jika belum melihat semangat ibu dalam berdagang gorengan keliling desa untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Kayuhan sepeda ibu pun masih terdengar meskipun jarak yang ibu tempuh sudah begitu jauh. Mungkin, sepeda ibu sudah terlalu tua dan rapuh untuk dapat di gunakan. Seperti ibu yang sudah berusia tapi semangatnya bagai seorang pejuang. Semangat juang ibu sangatlah tinggi yang tak pernah berputus asa untuk mendapatkan sepeser uang rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dapat menyekolahkan anaknya sampai di jenjang yang tinggi.
Semangat ibu selalu untuk Iza anaknya. Ibu berjualan dari pagi sampai sore. Memang untungnya tak sesuai dengan semangat ibu, namun ibu tak pernah berputus asa untuk Iza dapat bersekolah.
Ibu ada di hati Iza. Iza pun selalu bersemangat untuk bersekolah, ia tidak akan pernah berputus asa dalam mengejar impiannya untuk menjadi seorang guru. Di sekolah Iza merupakan siswa berprestasi di sekolahnya nilai seratus selalu di perolehnya dan jika nilainya kurang dari seratus binar matanya pun pecah menetesi pipinya dengan aliran yang deras, karena telah mengecewakan ibunya yang sudah bekerja mati-matian untuk dapat menyekolahkan dirinya.
Di sekolah pun Iza sering di ejek oleh temannya sebagai anak gorengan, ketika di ejek temannya. Iza pun tidak pernah marah jika di ejek seperti itu. Karena temannya sendiri tak kenal bagaimana ibu itu. Bagi Iza ibunya adalah ibu terbaik yang pernah ada di dunia ini. Dan karena Iza selalu mengingat ibu kapanpun dan dimanapun, jadi Iza tidak akan pernah mengecewakan ibunya karena hal yang sepele.
Sang surya pun mulai menunjukkan wajahnya tepat di atas bumi. Disaat itulah Iza pulang dari sekolah ke rumah. Sebelum pulang, Iza harus mampir dahulu ke kanti sekolah untuk mengambil setoran yang di dapat ibunya dari hasil sebagian gorengannya. Dan syukurlah, gorengan yang ibu titipkan di kantin sekolah sudah ludes di serbu para siswa yang sangat menyukai gorengan buatan ibunya yang gurih itu.
Setelah mengambil uang dari kantin. Kini saatnya Iza untuk pulang ke rumah dengan jalan kaki sejauh satu kilometer, di bawah sengatan keganasan sang surya. Untuk menempuh jarak 1 km Iza memerlukan waktu sekitar 15 menit. Supaya tidak membuang-buang waktu untuk berjalan, maka iza pun berjalan sambil membaca-baca buku tentang materi pelajaran yang telah di berikan oleh gurunya sebelumnya.
Sesampai rumah kecilnya. Iza langsung bergegas berganti pakaian lalu menunaikan Shalat Dhuhur dan makan dengan lauk pauk seadanya. Setelah selesai makan, Iza membawa uang hasil jualan gorengan di sekolah yang akan di belikan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat gorengan yang akan di jajakan untuk keesokan harinya.
Mentari pun akan segera menutup wajahnya. Tiba-tiba terdengar suara sepeda yang sudah tua dan rapuh dari kejauhan, semakin lama semakin mendekat. Suara sepeda itu pula yang sudah mengingatkan ku jika ibu sudah tiba di rumah. Untuk menyambut ibu pulang ke rumah, Iza pun menyiapkan minuman khusus untuk ibunya denga setiap tetesan airnya mengandung berjuta kasih sayang Iza kepada ibu.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikum sallam...”
“Iza, bagaimana hasil jualan gorengan di kantin sekolah mu?”
“ Alhamdulillah... Gorengannya ludes habis terjual Bu. Ibu sendiri Bagaimana?”
“Alhamdulillah... gorengan yang ibu jual laku semua juga. Kita harus bersyukur kepada Allah SWT. Atas nikmat yang telah di limpahkannya kepada kita”
“Iya Bu. Maafkan aku Bu yang saat ini belum sanggup menyangga bahu mu dan menghapus peluh yang setiap hari menetes untuk ku”
“Yang penting untuk Ibu, kamu harus rajin belajar dan jadilah seorang anak yang berbudi pekerti kepada yang lebih tua dan jadilah seorang siswa yang pintar, cerdas, dan berprestasi di sekolah untuk masa depan yang lebih baik dari pada Ibu”
“Terima kasih Bu. Sebab sampai saat ini kau ada untuk ku, yang selalu memberi, dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk ku”
Dan saat ini, mimpi Iza hanya satu. Yaitu, membahagiakan ibu. Iza akan menjadikan ibu sebagai ibu yang paling beruntung di dunia ini karena telah melahirkan anak seperti Iza. Ibu adalah pejuang bagi ku yang rela mati-matian demi aku tetap bersekolah. Dan semoga Iza dapat datang untuk mu, menyangga bahu mu, dan menghapus semua peluh mu.
PROFIL PENULIS
Nama: Ahmad Fajrul Yustika
Kelas: X-3
Sekolah: SMA Negeri 1 kendal
Add fb: Afy Gerlana
Kelas: X-3
Sekolah: SMA Negeri 1 kendal
Add fb: Afy Gerlana