Aku lepas!
Aku hilang kendali!
Aku jatuh! Sakit!
Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan suaranya di malam yang pekat.
Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.
Sesekali ku panggil ibu!
Sesekali ku gapai ibu!
Sesekali ku bertelepati dengan ibu!
Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota kelahiranku, dan aku. Aku di sudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah sunyi yang menghilangkan CINTA dari hatiku. Lembah sunyi yang menyudutkanku terus menerus semakin dalam, dalam, dan dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera. Namun aku masih memgang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga, Ibu. Tongkat itu adalah ibu.
Di dalam lembah sunyi, ku terus berjalan menyusuri lorong waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun saja. Setelah ia pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang ketinggalan. Aku tidak mau! Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit dan berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak sepadan denganNYA.
Terus dan terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan. Persahabatan yang kurasakan sungguh ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak?! Aku yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit CINTA. Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang telah jauh aku tinggalkan?
“TIDAK!!” teriaku dalam hati. Aku tidak akan berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan, berjalan dan berjalan mengikuti lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku. Benar. Itu belum sampai.
Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh, terkadang aku sepi. Tapi, tunggu!
Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku. Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku. Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan cinta untukku. Bahagia bukan? YA, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya yang ku sebut Cinta. CINTA? lagi-lagi cinta. Tidak.. ini bukan cinta. Ini adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.
Seiring waktu yang berputar namun pasti. Aku merasakan lagi kehambaran, keredupan atas cahaya itu. Semakin hari semakin gelap, pekat. Cahaya itu hilang, melayang tiada kudapatkan lagi. Kumencari-cari sampai ke sela tumpukan jerami, namun tiada kutemui. Kutanyai pada malam-malam yang berbintang, tetap saja ia membisu. Atau cahaya itu menyinggahi hati yang lain, setelah tahu hatiku ini terasa hambar, pahit.
Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk kuusap sekilas saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja. Biar kubawa sepenuh hatiku yang hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta suci itu akan bertumpu pada ALLAH.
Cerpen Karangan: Bunga Sholekha
Facebook: Bunga sholekha