AKU DAN AQIL
Karya Fida Amatullah
“Woy!” seruku saat sebuah buku mendarat di kepalaku.
“He..he..” Aqil sang pelaku hanya nyengir kuda. Sedangkan aku mengepalkan tangan.
“Ciye…” ledek Fira yang duduk disebelahku.
“Apaan sih kau” gerutuku. Aku mengambil sesuatu dari tasku.
“Nih mau nggak” aku menyodorkan trenz rasa Banana.
“Mau dong” Fira dan beberapa orang disekitarku mencomotnya. Tiba-tiba sebuah tangan datang dari antah-berantah mencomot trenz tersebut.
“He..he..” Aqil sang pemilik tangan tersebut nyengir. Lalu dia memakan trenz tersebut.
“Makannya sambil duduk” ingatku saat dia makan sambil berdiri.
“Bukannya style makan lo kayak gue Gi” balasnya santai. Dasar nih anak.
Tak lama bel berbunyi. Kami sekelas langsung keluar menuju lapangan. Hari ini adalah hari pertama dimana kami telah resmi menjadi anak kelas 11.
Si Aqil dengan gayanya yang cuek berjalan melewati koridor Sekolah. Dari wajah sekitar yang aku tahu anak cewek kelas 10 berseru tertahan.
“Cakep banget!”
“Iya-iya, anak kelas berapa ya?”
“Kelas 11, wah inceran gue tuh”
Aku akui, tampang Aqil Faza Rahardian alias Aqil mirip banget sama salah satu member boyband bigbang yang terkenal dengan lagu-lagunya yang bagus dan tentu saja para membernya yang berwajah cakep.
Tak lama Joo dan Siahan datang menghampirinya.
“Gi! Jangan bengong” Hana yang berjalan disebelahku membuyarkan lamunanku.
“I-iya” aku tergagap.
Selama upacara sekolah. Kebetulan barisan kelasku yang bersebelahan dengan barisan anak kelas sepuluh mendengar celotehan mereka.
“Tadi gue ketemu cogan tauk”
“Gue tahu, yang mirip member boyband bukan?”
“Iya, eh dia anak kelas 11 tahu”
“Wah, gue ngincer dia deh”
“Sstt..” Melissa yang berdiri didepanku mendesisi. Mereka yang sadar langsung pada diam. Satu jam kemudian upacara selesai dan kami diijinkan kembali ke Kelas.
“Sumpah, senga’ banget mereka. Nggak nyadar sebelahnya apa” gerutu Fira.
“Tauk, belagu dasar. Anak baru udah main ngelirik”
“Gimana nanti ya? Awas aja kalau mereka macam-macam”
“Udahlah” Valian menegahi pembicaraan heboh di Kelas. “Itu udah menjadi hak Aqil untuk di idolakan. Iya nggak qil?”
“Hu!!!” Valian langsung disambut dengan sorakan anak-anak cewek. Semua langsung terhenti saat Bu Sarah masuk kelas.
****
“Ayo yang mau masuk Jurnalistik”
“Angklung-angklung. Siapa yang mau masuk?”
Suasana bursa eksul di lapangan sekolah sangat ramai.
“Yang daftar Rohis ada berapa Gi?” Tanya kak Nina.
“Ada 15 Kak, 10 cewek 5 cowok”
“Awal yang bagus. Anak-anak komputer butuh bantuan kamu nggak?” Tanya kak Nina. Aku menggeleng.
“Ya sudah, tenang kok. Ntar kamu gantian. Udah dulu ya” Kak Nina pun pamit.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Aqil.
“Kenapa?” Tanya ku.
“Kata kak Vin, ada sedikit masalah sama computer. Kataya lo bisa benerin nggak?” tanyanya.
“Yah qil, gue lagi jaga stan jurnalistik nih” tolakku terpaksa.
“Ya udah gue aja gantiin lo sebentar” katanya menawarkan diri.
“Jangan!” sergah ku.
“Kenapa?” dia tampak bingung.
“Pertama, gue bisa di damprat karena meninggalkan pekerjaan sebelum waktunya dan kedua niat anak-anak kelas sepuluh buat masuk rohis tidak murni karena allah. Melainkan cuma gara-gara liat tampang lo” begitu alasan ku.
“Dasar lo, emang tampang gue secakep apa sih?” tanyanya.
“Tanya aja ke rumput yang bergoyang” jawabku asal.
“Dasar jayus!” timpalnya.
“Bilangin aja, ntar kalau sempet aku kesana” kataku.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Haris.
“Sekarang giliran ana(aku) yang jaga. Anti (kamu/pr) pergi aja” kata Harris.
“Makasih kak” aku langsung bangkit dan berjalan menuju stand komputer.
****
“Kak boleh minta nope nggak” Tanya anak-anak itu pada Aqil di lapangan sekolah.
“Wishh..Aqil udah jadi seleb oi” koment Freda.
“Tauk udah kayak apa tahu dah” sahut Hana.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Aqil.
“Nih” dia melempar sesuatu.
Hup! Aku menangkapnya dengan kaget. Nyaris saja.
“Kalau ngelempar hati-hati napa. Barang berharga juga” seruku sewot yang ternyata adalah flash disk.
“Sorry, thanks ya” katanya.
“Qil, Pak Yudha udah jalan ke kelas tuh” seru Hana. Pak Yudha adalah guru matematika yang terkenal disiplin. Lagian bel masuk terdengar barusan. Kami pun lalu berlalu.
****
“Gi, coba pakai masker ini yuk” Freda mengangsurkan masker sari ayu.
“Ya udah ambil aja” kataku.
Rencananya hari Minggu ini aku, Freda dan Hana akan maskeran bareng di rumah Freda. Aku udah ijin sama ayah- ibu, soalnya bearti aku bolos ngasuh adek.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Kita mau cari air mawar dulu. Lo tunggu aja disini” Hana dan Freda pun meninggalkanku.
“Gi” aku yang sedang melihat-melihat menoleh.
“Aqil?” aku tampak kaget.
“Gue kira lo.. ternyata lo centil juga ya” tiba-tiba Aqil tampak sinis.
“Qil, emangnya..woi Aqil!” tiba-tiba Aqil pergi begitu saja.
“Ternyata memang pingin menarik perhatian Kak Aqil” aku langsung menoleh. Anak-anak yang kutahu genk centil anak kelas 10.
“Ngapain lo?’ mereka langsung menoleh. Ternyata Hana dan Freda.
“Senga banget lo sama kakak kelas!” sindir Freda. Mereka buru-buru kabur.
“Dasar, sendirinya juga perek lo” desis Freda.
“Freda!” tegur Hana.
“Lo nggak pa-pa” Hana menghampiriku yang terlihat shock. Aku berjongkok, menahan tangis. Freda ikut-ikutan berjongkok.
“Jangan sedih” Hana mengelus pundakku. Aku masih menelungkupkan muka.
“Aqil marah sama gue kayaknya” kataku.
“Kenapa?” Freda tampak heran.
“Nggak tahu, dia pergi begitu aja” jawabku bingung.
“Ya udah, lo nggak salah kok. Bangkit yuk, kita langsung ke rumah gue” kata Freda.
****
“Gi” aku yang sedang menulis menoleh.
“Kenapa qil?” Tanya ku. Dia yang langsung duduk di depan ku.
“Gue minta maaf yang kemaren” katanya.
“Woi, lu apain Anggi kemaren?” Tanya Freda agak sewot.
“Nggak gue apa-apain kok. Lo ngapain sewot coba” balas Aqil.
“Yee.. lo nggak tahu sih kemaren. Anggi sampai mau nangis tahu” Freda tak mau kalah.
“Udah da. Gue nggak sampai segitunya kok” kataku panik.
“Memang salah qil, klo muslimah maskeran?” aku mengalihkan perhatian pada Aqil.
“Sebenarnya nggak” kata Aqil. “Tapi gue aja yang dodol”
“Gi, dalam islam sebenarnya boleh nggak sih cewek make up an?” Yanto tiba-tiba menghampiri kerumunan.
“Boleh kok, asal jangan berlebihan. Tujuannya agar sedap di pandang sama orang lain. Coba gue tanya. Lo pilih cewek cantik tapi kucel atau cewek biasa aja tapi kerawat?” tanya ku.
“Mending yang kedua” jawab Yanto.
“Tuh kan, karena wajah termasuk salah satu asset cewek, maka wajah harus dirawat. Sekarang banyak salon muslimah bermunculan, bearti kan islam nggak ngelarang. Betul nggak?” tanyaku. Mereka manggut-manggut.
“Gi, kalau cowok boleh nggak?” tanya Lucky.
“Boleh, tapi tentu saja beda sama cewek. Islam melarang cowok berdandan menyerupai cewek begitu sebaliknya. Kalau cowok gue nggak terlalu ngerti. Paling biar nggak bau badan. Iya nggak sih?” tanyaku pada Aqil.
“Bukannya cewek ya yang biasanya bau badan?” tanya Aqil.
“Hu!!!” seru anak-anak cewek.
“Tapi buat cewek, gue harap nggak berlebihan kalau berdandan. Karena bagi gue keliatan kayak tante-tante” lagi-lagi Aqil disambut kooran ‘hu..’
“Eh, gue udah dimaafin belum?” tanya Aqil. Gue meangguk.
“Justru gue yang minta maaf. Gue bikin lo marah” kataku.
“Nggak, orang gue yang tahu-tahu marahin lo. Udah ya, kita damai” kata Aqil.
“Siip bos” kataku meancungkan jempol.
***
“Teh, dimakan buburnya” Umi mengangsurkan mangkok itu. Dengan perlahan aku menerimanya. Saat makan, aku berusaha menutup mata agar aku tidak mual dan tidak mengeluarkan makanan yang baru masuk lambung. Dengan susah payah aku menghabiskan bubur itu. Dan dengan perjuangan aku menaruh mangkok di bawah kasur.
Hari ini aku terkapar di kasurku alias nggak masuk sekolah, gara-gara tekanan darahku menurun drastis, sudah hari setelah perdamaian antara aku dan Aqil. Aku hanya bisa muntah-muntah. Bahkan makanan yang masuk bisa langsung dimuntahin karena kepalaku yang sering berputar tidak terkendali.
“Ihh, teteh lagi sakit. Jangan di ganggu” Umi berusaha menghalau kedua adikku yang bermain-main di kamarku.
“Kamu tuh harus banyak-banyak bergerak teh. Biar aliran darahnya lancar” Umi bangkit dan membawa mangkok ke dapur.
Dengan perlahan, aku mengambil gelas di lantai dan meminumnya perlahan. Setelah menaruhnya kembali (Sambil memjamkan mata). Aku menyandar dan memejam mata berusaha untuk menstabilkan suasana. Sayup-sayup terdengar salam dan bincang-bincang diluar.
“Gi” terdengar suara memanggil gue.
“Siapa?” tanyaku.
“Ini gue Freda sama temen-temen” jawabnya. Aku berusaha membuka mata.
“Nggak usah dipaksain gi” Freda buru-buru bilang.
“Harus, kalau nggak. Gue nggak bisa pulih” akhirnya aku membuka mata. Ada Freda dan Hana.
“Kalian berdua aja nih?” tanyaku.
“Tadi ada Valian, Lucky, sama Aqil. Tapi pada ngilang” jawab Hana.
“Lu kenapa sih, ngenes banget ngeliatnya” Freda melirik majalah pulsa yang tergeletak disampingku.
“Katanya sih tekanan darah gue turun drastis” jawabku.
“Kecapean ya?” Hana balik bertanya.
“Gak tahu deh, yang jelas gue muntah-muntah terus kemarin” jawabku.
“Duh, lo kan nggak pernah kayak gini Gi. Kenapa sih?” Freda menggeleng-geleng kepala.
“Nggak tahu, mungkin gue lagi haid dan kecapean” kataku.
“Jangan-jangan lo mikirin ocehan anak kelas sepuluh lagi” tebak Freda.
“Nggak kok” kataku.
“Tenang kok, kemarin anak kelas kita samperin tuh bocah. Nyaris aja pertumpahan darah” kata Freda.
“Nggak segitunya kok!” Hana buru-buru menambahi. “Kita Cuma bilang sama dia, jangan seenaknya bicara kayak gitu ke kakak kelas. Bilangnya baik-baik jangan bisanya cuma nyindir,” Hana menyelesaikan ceritanya.
“Siapa yang bilang kayak gitu?” tanyaku.
“Aqil” jawab Freda.
“Apa mungkin gue harus jaga jarak sama dia ya? Dan harus lebih kalem lagi? Bukannya itu image muslimah?” tanyaku menerawang.
“Nggak perlu!” tandas Freda. “Lo sama Aqil kan udah cs-an dari kelas sepuluh. Dan Aqil jadi ikut-ikutan baik gara-gara lo juga”
“Bukan Pesantren Da, boarding school” kataku membetulkan.
“Sama ajalah, dan life with your self . hiduplah dengan gayamu, kalau kamu kalem image kita ke muslimah kayak kamu jadi agak negative karena kesannya tidak mau bergaul dengan kita-kita yang belum tobat ini. Iya nggak na?” Freda melirik kearah Hana. Hana meangguk.
“Lagipula anak-anak kelas sepuluh sekarang centil-centil” keluh Hana. “Nggak Cuma Aqil, anak-anak lain yang jadi idola meeka kejar-kejar terus. Kesannya mereka jadi murahan, padahalkan mereka cewek” lanjutnya.
“Gue yakin kok, masih ada yang baik-baik” imbuhku. Kami meangguk.
“Terus kalau menurut Kak Nina sendiri sih” kata ku mengingat perkataan seniorku di Rohis. “Pertemanan lawan jenis boleh tapi jangan berlebihan”
“Sip Ustazah” kata Freda. Aku pun nyengir. Tiba-tiba kepalaku terasa berputar.
“Anggi!” Hana dan Freda memegangiku saat aku kehilangan keseimbangan dan nyaris saja jatuh tertidur.
“Lo istirahat aja” Freda pun membantu ku untuk berbaring. Sayup-sayup terdengar suara gitar dan cowok menyanyi.
Dunia ini masih seluas yang kau impikan
Tak perlu kau simpan luka itu
Sedalam yang kau rasa
Memang ada waktu
Agar kau bisa semula
Percayalah padaku
Kita kan bisa melewatinya
Jangan bersedih, oh kawanku
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
Jalan hidup tak selamanya indah
Ada suka ada duka
Jalani semua yang kau rasakan
Kita pasti bisa…
(edcoustic-jangan bersedih)
“Freda, tolong jilbab gue di kursi itu!” seruku panik mendengar suara cowok yang terasa dekat.
“Yee malah ketawa, cepetan!” aku buru-buru menutup selimut. Sebal melihat Freda yang ketawa melihat ku panik.
“Nih” Freda mengangsurkan kerudung. Aku buru-buru memakainya. Saat aku menyibakkan selimut. Tiba-tiba saja Freda dan Hana menyanyi membuatku tercengang.
Jangan menangis oh kawanku
Aku masih ada disini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
“Kalian kenapa?” tanya ku bingung melihat mereka berdua tiba-tiba menyanyi. Aku pun berusaha untuk bangkit kembali.
“Astaghfirullah!” aku kaget melihat sesosok bayangan eh manusia nongol dari jendela besar di seberangku. Nyaris aja aku kebanting gara-gara kehilangan keseimbangan. Hana dan Freda pun keluar. Tak lama mereka kembali dengan Lucky, Aqil dan Valian.
“Kalian?” aku tampak kaget. Mereka sih nyengir-nyengir aja.
“Aqil!” semprotku. “Gue kira lo setan tahu!”
“Dodol lo, mana ada setan di siang bolong” kata Aqil.
“Ada aja, tuh di depan gue apa” balasku asal.
“Dasar itik buruk rupa!”
"Oh iya" tiba-tiba Firda angkat suara. "Lo punya nasyid yang tadi kita nyanyiin nggak? kayaknya enak tuh"
"Kenapa nggak minta ke Aqil aja?" tanyaku. "Pasti Aqil yang ngajarin kalian lagu itu kan?"
"Iya sih" Hana angkat bicara. "Tapi orangnya pelit ngasih lagu. Lebih baik minta dari gurunya aja"
“Nak, kuenya umi taruh di depan ya” tiba-tiba saja Umi nongol dari pintu kamar.
“Makasih umi, maaf udah ngerepotin” kata Freda.
“Temannya ada lagi?” Umi terlihat kaget. Freda melemparkan tatapan LO-NAMBAH-NGEREPOTIN- AJA pada trio itu.
“Eh, ada Aqil. Gimana kabar mama qil?” tanya Umi melihat Aqil nongol.
“Alhamdulillah, baik tante” jawab Aqil sopan.
“Ya udah, umi bikin airnya lagi ya”
“Nggak usah mi, nggak perlu ngerepotin” Freda berusaha mencegah. Namun Umi keburu menghilang.
“Parah lo, baru nongol sekarang. Kenapa nggak dari tadi, kan sekalian” omel Freda.
“Ya udah si, rumah siapa juga” Valian balas mencibir.
“Eh, itu tadi calon mertua Aqil?” tanya Lucky iseng.
“Nggak” jawab aku dan Aqil bersamaan.
“Terus kok kenal sama mama Aqil?” tanya Hana.
“Nggak tahu” kataku.
“Kata nyokap sih, ketemu di diklat” jawab Aqil
“Biasanya bakal dijodohin tuh” kata Valian.
“Nggak!” kataku. “Kalau mau dia dijodohin sama adek gue aja”
“Afi?” Freda tampak kaget. “Dia kan masih TK!”
“Biarin”
“Lo sama Aqil kan cocok. Udah akrab, jangan-jangan saling pada suka nih” kata Lucky iseng.
“Nggak kok. Gue nggak suka sama dia. Tampangnya nggak bagus” kata Aqil.
“Apalagi dia, cakep-cakep gayanya yang nggak bagus” balasku.
“Nolak sih nolak, diam-diam..” Valian menatapku dengan tatapan jahil.
“Diam nggak lo?” ancamku. “Apa lo mau gue timpuk pakai bantal?”
“Nggak deh” tolak Valian. “Bantal lo kan banyak ilernya”
“Jijik ih!”
“He..he..”
“Qil, tuh gitar punya tukang ojeg depan rumah gue ya?” tanyaku.
“Kok lo tahu?” Aqil memandang gitar itu.
“Sering dimainin” jawabku pendek.
“Jangan-jangan lo gaulnya sama tukang ojeg lagi” kata Aqil.
“Enak aja, lo itu” aku balas melempar tuduhan.
“Udah, nih coklat dari mama. Katanya moga cepet sembuh” Aqil mengangsurkan coklat putih.
“Wah komawo” aku menerima coklat itu dengan gembira.
“Sok korea lo” cibir Lucky.
“Ciye coklat dari calon mertua” ledek Firda.
“Firda!!” aku yang terbaring hanya bisa mengepalkan tangan gemas. Namun aku tersenyum. Hmm.. betapa indahnya persahabatan yang terjalin ini.
“Cakep banget!”
“Iya-iya, anak kelas berapa ya?”
“Kelas 11, wah inceran gue tuh”
Aku akui, tampang Aqil Faza Rahardian alias Aqil mirip banget sama salah satu member boyband bigbang yang terkenal dengan lagu-lagunya yang bagus dan tentu saja para membernya yang berwajah cakep.
Tak lama Joo dan Siahan datang menghampirinya.
“Gi! Jangan bengong” Hana yang berjalan disebelahku membuyarkan lamunanku.
“I-iya” aku tergagap.
Selama upacara sekolah. Kebetulan barisan kelasku yang bersebelahan dengan barisan anak kelas sepuluh mendengar celotehan mereka.
“Tadi gue ketemu cogan tauk”
“Gue tahu, yang mirip member boyband bukan?”
“Iya, eh dia anak kelas 11 tahu”
“Wah, gue ngincer dia deh”
“Sstt..” Melissa yang berdiri didepanku mendesisi. Mereka yang sadar langsung pada diam. Satu jam kemudian upacara selesai dan kami diijinkan kembali ke Kelas.
“Sumpah, senga’ banget mereka. Nggak nyadar sebelahnya apa” gerutu Fira.
“Tauk, belagu dasar. Anak baru udah main ngelirik”
“Gimana nanti ya? Awas aja kalau mereka macam-macam”
“Udahlah” Valian menegahi pembicaraan heboh di Kelas. “Itu udah menjadi hak Aqil untuk di idolakan. Iya nggak qil?”
“Hu!!!” Valian langsung disambut dengan sorakan anak-anak cewek. Semua langsung terhenti saat Bu Sarah masuk kelas.
****
“Ayo yang mau masuk Jurnalistik”
“Angklung-angklung. Siapa yang mau masuk?”
Suasana bursa eksul di lapangan sekolah sangat ramai.
“Yang daftar Rohis ada berapa Gi?” Tanya kak Nina.
“Ada 15 Kak, 10 cewek 5 cowok”
“Awal yang bagus. Anak-anak komputer butuh bantuan kamu nggak?” Tanya kak Nina. Aku menggeleng.
“Ya sudah, tenang kok. Ntar kamu gantian. Udah dulu ya” Kak Nina pun pamit.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Aqil.
“Kenapa?” Tanya ku.
“Kata kak Vin, ada sedikit masalah sama computer. Kataya lo bisa benerin nggak?” tanyanya.
“Yah qil, gue lagi jaga stan jurnalistik nih” tolakku terpaksa.
“Ya udah gue aja gantiin lo sebentar” katanya menawarkan diri.
“Jangan!” sergah ku.
“Kenapa?” dia tampak bingung.
“Pertama, gue bisa di damprat karena meninggalkan pekerjaan sebelum waktunya dan kedua niat anak-anak kelas sepuluh buat masuk rohis tidak murni karena allah. Melainkan cuma gara-gara liat tampang lo” begitu alasan ku.
“Dasar lo, emang tampang gue secakep apa sih?” tanyanya.
“Tanya aja ke rumput yang bergoyang” jawabku asal.
“Dasar jayus!” timpalnya.
“Bilangin aja, ntar kalau sempet aku kesana” kataku.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Haris.
“Sekarang giliran ana(aku) yang jaga. Anti (kamu/pr) pergi aja” kata Harris.
“Makasih kak” aku langsung bangkit dan berjalan menuju stand komputer.
****
“Kak boleh minta nope nggak” Tanya anak-anak itu pada Aqil di lapangan sekolah.
“Wishh..Aqil udah jadi seleb oi” koment Freda.
“Tauk udah kayak apa tahu dah” sahut Hana.
“Gi” aku menoleh. Ternyata Aqil.
“Nih” dia melempar sesuatu.
Hup! Aku menangkapnya dengan kaget. Nyaris saja.
“Kalau ngelempar hati-hati napa. Barang berharga juga” seruku sewot yang ternyata adalah flash disk.
“Sorry, thanks ya” katanya.
“Qil, Pak Yudha udah jalan ke kelas tuh” seru Hana. Pak Yudha adalah guru matematika yang terkenal disiplin. Lagian bel masuk terdengar barusan. Kami pun lalu berlalu.
****
“Gi, coba pakai masker ini yuk” Freda mengangsurkan masker sari ayu.
“Ya udah ambil aja” kataku.
Rencananya hari Minggu ini aku, Freda dan Hana akan maskeran bareng di rumah Freda. Aku udah ijin sama ayah- ibu, soalnya bearti aku bolos ngasuh adek.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Kita mau cari air mawar dulu. Lo tunggu aja disini” Hana dan Freda pun meninggalkanku.
“Gi” aku yang sedang melihat-melihat menoleh.
“Aqil?” aku tampak kaget.
“Gue kira lo.. ternyata lo centil juga ya” tiba-tiba Aqil tampak sinis.
“Qil, emangnya..woi Aqil!” tiba-tiba Aqil pergi begitu saja.
“Ternyata memang pingin menarik perhatian Kak Aqil” aku langsung menoleh. Anak-anak yang kutahu genk centil anak kelas 10.
“Ngapain lo?’ mereka langsung menoleh. Ternyata Hana dan Freda.
“Senga banget lo sama kakak kelas!” sindir Freda. Mereka buru-buru kabur.
“Dasar, sendirinya juga perek lo” desis Freda.
“Freda!” tegur Hana.
“Lo nggak pa-pa” Hana menghampiriku yang terlihat shock. Aku berjongkok, menahan tangis. Freda ikut-ikutan berjongkok.
“Jangan sedih” Hana mengelus pundakku. Aku masih menelungkupkan muka.
“Aqil marah sama gue kayaknya” kataku.
“Kenapa?” Freda tampak heran.
“Nggak tahu, dia pergi begitu aja” jawabku bingung.
“Ya udah, lo nggak salah kok. Bangkit yuk, kita langsung ke rumah gue” kata Freda.
****
“Gi” aku yang sedang menulis menoleh.
“Kenapa qil?” Tanya ku. Dia yang langsung duduk di depan ku.
“Gue minta maaf yang kemaren” katanya.
“Woi, lu apain Anggi kemaren?” Tanya Freda agak sewot.
“Nggak gue apa-apain kok. Lo ngapain sewot coba” balas Aqil.
“Yee.. lo nggak tahu sih kemaren. Anggi sampai mau nangis tahu” Freda tak mau kalah.
“Udah da. Gue nggak sampai segitunya kok” kataku panik.
“Memang salah qil, klo muslimah maskeran?” aku mengalihkan perhatian pada Aqil.
“Sebenarnya nggak” kata Aqil. “Tapi gue aja yang dodol”
“Gi, dalam islam sebenarnya boleh nggak sih cewek make up an?” Yanto tiba-tiba menghampiri kerumunan.
“Boleh kok, asal jangan berlebihan. Tujuannya agar sedap di pandang sama orang lain. Coba gue tanya. Lo pilih cewek cantik tapi kucel atau cewek biasa aja tapi kerawat?” tanya ku.
“Mending yang kedua” jawab Yanto.
“Tuh kan, karena wajah termasuk salah satu asset cewek, maka wajah harus dirawat. Sekarang banyak salon muslimah bermunculan, bearti kan islam nggak ngelarang. Betul nggak?” tanyaku. Mereka manggut-manggut.
“Gi, kalau cowok boleh nggak?” tanya Lucky.
“Boleh, tapi tentu saja beda sama cewek. Islam melarang cowok berdandan menyerupai cewek begitu sebaliknya. Kalau cowok gue nggak terlalu ngerti. Paling biar nggak bau badan. Iya nggak sih?” tanyaku pada Aqil.
“Bukannya cewek ya yang biasanya bau badan?” tanya Aqil.
“Hu!!!” seru anak-anak cewek.
“Tapi buat cewek, gue harap nggak berlebihan kalau berdandan. Karena bagi gue keliatan kayak tante-tante” lagi-lagi Aqil disambut kooran ‘hu..’
“Eh, gue udah dimaafin belum?” tanya Aqil. Gue meangguk.
“Justru gue yang minta maaf. Gue bikin lo marah” kataku.
“Nggak, orang gue yang tahu-tahu marahin lo. Udah ya, kita damai” kata Aqil.
“Siip bos” kataku meancungkan jempol.
***
“Teh, dimakan buburnya” Umi mengangsurkan mangkok itu. Dengan perlahan aku menerimanya. Saat makan, aku berusaha menutup mata agar aku tidak mual dan tidak mengeluarkan makanan yang baru masuk lambung. Dengan susah payah aku menghabiskan bubur itu. Dan dengan perjuangan aku menaruh mangkok di bawah kasur.
Hari ini aku terkapar di kasurku alias nggak masuk sekolah, gara-gara tekanan darahku menurun drastis, sudah hari setelah perdamaian antara aku dan Aqil. Aku hanya bisa muntah-muntah. Bahkan makanan yang masuk bisa langsung dimuntahin karena kepalaku yang sering berputar tidak terkendali.
“Ihh, teteh lagi sakit. Jangan di ganggu” Umi berusaha menghalau kedua adikku yang bermain-main di kamarku.
“Kamu tuh harus banyak-banyak bergerak teh. Biar aliran darahnya lancar” Umi bangkit dan membawa mangkok ke dapur.
Dengan perlahan, aku mengambil gelas di lantai dan meminumnya perlahan. Setelah menaruhnya kembali (Sambil memjamkan mata). Aku menyandar dan memejam mata berusaha untuk menstabilkan suasana. Sayup-sayup terdengar salam dan bincang-bincang diluar.
“Gi” terdengar suara memanggil gue.
“Siapa?” tanyaku.
“Ini gue Freda sama temen-temen” jawabnya. Aku berusaha membuka mata.
“Nggak usah dipaksain gi” Freda buru-buru bilang.
“Harus, kalau nggak. Gue nggak bisa pulih” akhirnya aku membuka mata. Ada Freda dan Hana.
“Kalian berdua aja nih?” tanyaku.
“Tadi ada Valian, Lucky, sama Aqil. Tapi pada ngilang” jawab Hana.
“Lu kenapa sih, ngenes banget ngeliatnya” Freda melirik majalah pulsa yang tergeletak disampingku.
“Katanya sih tekanan darah gue turun drastis” jawabku.
“Kecapean ya?” Hana balik bertanya.
“Gak tahu deh, yang jelas gue muntah-muntah terus kemarin” jawabku.
“Duh, lo kan nggak pernah kayak gini Gi. Kenapa sih?” Freda menggeleng-geleng kepala.
“Nggak tahu, mungkin gue lagi haid dan kecapean” kataku.
“Jangan-jangan lo mikirin ocehan anak kelas sepuluh lagi” tebak Freda.
“Nggak kok” kataku.
“Tenang kok, kemarin anak kelas kita samperin tuh bocah. Nyaris aja pertumpahan darah” kata Freda.
“Nggak segitunya kok!” Hana buru-buru menambahi. “Kita Cuma bilang sama dia, jangan seenaknya bicara kayak gitu ke kakak kelas. Bilangnya baik-baik jangan bisanya cuma nyindir,” Hana menyelesaikan ceritanya.
“Siapa yang bilang kayak gitu?” tanyaku.
“Aqil” jawab Freda.
“Apa mungkin gue harus jaga jarak sama dia ya? Dan harus lebih kalem lagi? Bukannya itu image muslimah?” tanyaku menerawang.
“Nggak perlu!” tandas Freda. “Lo sama Aqil kan udah cs-an dari kelas sepuluh. Dan Aqil jadi ikut-ikutan baik gara-gara lo juga”
“Bukan Pesantren Da, boarding school” kataku membetulkan.
“Sama ajalah, dan life with your self . hiduplah dengan gayamu, kalau kamu kalem image kita ke muslimah kayak kamu jadi agak negative karena kesannya tidak mau bergaul dengan kita-kita yang belum tobat ini. Iya nggak na?” Freda melirik kearah Hana. Hana meangguk.
“Lagipula anak-anak kelas sepuluh sekarang centil-centil” keluh Hana. “Nggak Cuma Aqil, anak-anak lain yang jadi idola meeka kejar-kejar terus. Kesannya mereka jadi murahan, padahalkan mereka cewek” lanjutnya.
“Gue yakin kok, masih ada yang baik-baik” imbuhku. Kami meangguk.
“Terus kalau menurut Kak Nina sendiri sih” kata ku mengingat perkataan seniorku di Rohis. “Pertemanan lawan jenis boleh tapi jangan berlebihan”
“Sip Ustazah” kata Freda. Aku pun nyengir. Tiba-tiba kepalaku terasa berputar.
“Anggi!” Hana dan Freda memegangiku saat aku kehilangan keseimbangan dan nyaris saja jatuh tertidur.
“Lo istirahat aja” Freda pun membantu ku untuk berbaring. Sayup-sayup terdengar suara gitar dan cowok menyanyi.
Dunia ini masih seluas yang kau impikan
Tak perlu kau simpan luka itu
Sedalam yang kau rasa
Memang ada waktu
Agar kau bisa semula
Percayalah padaku
Kita kan bisa melewatinya
Jangan bersedih, oh kawanku
Aku masih ada di sini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
Jalan hidup tak selamanya indah
Ada suka ada duka
Jalani semua yang kau rasakan
Kita pasti bisa…
(edcoustic-jangan bersedih)
“Freda, tolong jilbab gue di kursi itu!” seruku panik mendengar suara cowok yang terasa dekat.
“Yee malah ketawa, cepetan!” aku buru-buru menutup selimut. Sebal melihat Freda yang ketawa melihat ku panik.
“Nih” Freda mengangsurkan kerudung. Aku buru-buru memakainya. Saat aku menyibakkan selimut. Tiba-tiba saja Freda dan Hana menyanyi membuatku tercengang.
Jangan menangis oh kawanku
Aku masih ada disini
Semua pasti kan berlalu
Aku kan selalu bersamamu
“Kalian kenapa?” tanya ku bingung melihat mereka berdua tiba-tiba menyanyi. Aku pun berusaha untuk bangkit kembali.
“Astaghfirullah!” aku kaget melihat sesosok bayangan eh manusia nongol dari jendela besar di seberangku. Nyaris aja aku kebanting gara-gara kehilangan keseimbangan. Hana dan Freda pun keluar. Tak lama mereka kembali dengan Lucky, Aqil dan Valian.
“Kalian?” aku tampak kaget. Mereka sih nyengir-nyengir aja.
“Aqil!” semprotku. “Gue kira lo setan tahu!”
“Dodol lo, mana ada setan di siang bolong” kata Aqil.
“Ada aja, tuh di depan gue apa” balasku asal.
“Dasar itik buruk rupa!”
"Oh iya" tiba-tiba Firda angkat suara. "Lo punya nasyid yang tadi kita nyanyiin nggak? kayaknya enak tuh"
"Kenapa nggak minta ke Aqil aja?" tanyaku. "Pasti Aqil yang ngajarin kalian lagu itu kan?"
"Iya sih" Hana angkat bicara. "Tapi orangnya pelit ngasih lagu. Lebih baik minta dari gurunya aja"
“Nak, kuenya umi taruh di depan ya” tiba-tiba saja Umi nongol dari pintu kamar.
“Makasih umi, maaf udah ngerepotin” kata Freda.
“Temannya ada lagi?” Umi terlihat kaget. Freda melemparkan tatapan LO-NAMBAH-NGEREPOTIN- AJA pada trio itu.
“Eh, ada Aqil. Gimana kabar mama qil?” tanya Umi melihat Aqil nongol.
“Alhamdulillah, baik tante” jawab Aqil sopan.
“Ya udah, umi bikin airnya lagi ya”
“Nggak usah mi, nggak perlu ngerepotin” Freda berusaha mencegah. Namun Umi keburu menghilang.
“Parah lo, baru nongol sekarang. Kenapa nggak dari tadi, kan sekalian” omel Freda.
“Ya udah si, rumah siapa juga” Valian balas mencibir.
“Eh, itu tadi calon mertua Aqil?” tanya Lucky iseng.
“Nggak” jawab aku dan Aqil bersamaan.
“Terus kok kenal sama mama Aqil?” tanya Hana.
“Nggak tahu” kataku.
“Kata nyokap sih, ketemu di diklat” jawab Aqil
“Biasanya bakal dijodohin tuh” kata Valian.
“Nggak!” kataku. “Kalau mau dia dijodohin sama adek gue aja”
“Afi?” Freda tampak kaget. “Dia kan masih TK!”
“Biarin”
“Lo sama Aqil kan cocok. Udah akrab, jangan-jangan saling pada suka nih” kata Lucky iseng.
“Nggak kok. Gue nggak suka sama dia. Tampangnya nggak bagus” kata Aqil.
“Apalagi dia, cakep-cakep gayanya yang nggak bagus” balasku.
“Nolak sih nolak, diam-diam..” Valian menatapku dengan tatapan jahil.
“Diam nggak lo?” ancamku. “Apa lo mau gue timpuk pakai bantal?”
“Nggak deh” tolak Valian. “Bantal lo kan banyak ilernya”
“Jijik ih!”
“He..he..”
“Qil, tuh gitar punya tukang ojeg depan rumah gue ya?” tanyaku.
“Kok lo tahu?” Aqil memandang gitar itu.
“Sering dimainin” jawabku pendek.
“Jangan-jangan lo gaulnya sama tukang ojeg lagi” kata Aqil.
“Enak aja, lo itu” aku balas melempar tuduhan.
“Udah, nih coklat dari mama. Katanya moga cepet sembuh” Aqil mengangsurkan coklat putih.
“Wah komawo” aku menerima coklat itu dengan gembira.
“Sok korea lo” cibir Lucky.
“Ciye coklat dari calon mertua” ledek Firda.
“Firda!!” aku yang terbaring hanya bisa mengepalkan tangan gemas. Namun aku tersenyum. Hmm.. betapa indahnya persahabatan yang terjalin ini.
PROFIL PENULIS
Nama saya Fida Amatullah, Lahir di Bekasi 15 tahun yang lalu. Kini sedang menuntut ilmu di sebuah SMA di Bekasi.
Nama saya Fida Amatullah, Lahir di Bekasi 15 tahun yang lalu. Kini sedang menuntut ilmu di sebuah SMA di Bekasi.
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.