Pilihan - Cepen Cinta

PILIHAN
Karya Margaretha Bawaulu

Entah berapa kali aku melewati jalan yang sama setiap hari, tidak ada yang berubah.
bahkan letak bunga tetangga yang di tepi jalan itu, begitu aku hapal letaknya.
takkala kuajak dia bercengkrama denganku. walau terdengar konyol.
Namun dia terlihat begitu menikmatinya. akh...., tak tahulah. mungkin aku benar-benar konyol untuk mengetahui arti tiap katanya.

Untuk mencari suasana baru, aku memutuskan melangkah dari tempat yang berbeda kini, walau tempat tujuannya masih tetap sama dengan yang kemarin.
menempuh jalan yang baru, dan benar-benar asing bagiku. merupakan pengalaman baru.
takkala aku menjerit karena kaki terjerembab ke dahan yang berserakkan di jalan atau karena batu-batu kerikilnya yang tajam menyobek alas kakiku.
namun, aku tidak berhenti melangkah, atau pun memilih balik ke jalan yang biasanya, karena waktuku pasti akan termakan habis untuk aku balik memutar jalan.
ku putuskan untuk terus melangkah dan melangkah lagi.
dan aku selalu terjebak dititik tertentu yang aku pikir sudah aman untuk aku lalui.
alhasil, sesampainya aku di tempat tujuan. semua mata memandangku dengan heran.
"what happen with you?" sebuah pertanyaan yang dilontarkan untukku.
dan aku tersenyum sambil menaikkan alis. seolah memberi isyarat, bahwa perjalanan yang begitu hebat, baru saja aku lalui dengan gigih.
***





Fajar telah menyosong pagiku dengan berteman kicau burung.
bunga tetangga juga tidak lupa untuk menyapa pagiku seperti biasa.
hingga tiba di persimpangan aku terhenti dan menatap 4 jalan yang berbeda untuk sampai ke tempat tujuanku.
satu jalan yang biasa aku lalui dari sejak aku kecil hingga dewasa. hingga aku begitu hapal semua letaknya. dan aku tidak pernah mengenal kisah yang lain selain itu dan itu saja. selalu sama tidak pernah berubah. tapi jalan itu telah membawa ayah dan ibuku bertemu di ujungnya.
walau aku tidak pernah bertemu dengannya diujung yang sama. tapi jalan itu begitu melekat bahkan seakan satu raga.


Sementara jalan satu yang lainnya, adalah jalan yang semalam aku coba untuk melewatinya.
aku ragu, apa aku bisa melewati jalan itu lagi setelah begitu panjang melewati rintangan di dalamnya. entahlah, tapi hasil ujungnya begitu baru kurasa. aku merasakan debar dijantung yang begitu kuat ketika lengan seseorang yang begitu kokoh membantuku berdiri dari kubangan lumpur lalu memberikan ku selembar kain untuk bersih-bersih, walau sekedar. tapi lengan itu telah membantu melewati jalan itu.
sementara dua jalan lagi belum pernah aku lalui. tapi aku tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dan yang tersimpan dijalan itu.

Jika aku tidak pernah mencoba untuk menggunakan jalan yang berbeda dari biasanya. mungkin aku tidak akan pernah kenal dengan sang lengan yang kokoh. haha. aku tersenyum sendiri mengenangnya.
"cobalah sesuatu hal yang baru jika kamu sudah mulai bosan dengan yang lama. tanpa melupakan perjuangan dari yang lama" aku ingat itu dibungkus ibuku dalam bekal yang indah. kini bekalku berkurang satu dari begitu banyak bekalku yang selama ini hanya aku bawa2 tanpa ku buka. dan rasanya beban dipundakku sedikit terasa ringan tidak seperti sebelum-sebelumnya. begitu berat semua.
dengan mantap aku memilih jalan ketiga yang belum pernah aku lewati sama sekali.

Ada bau dimana-dimana, semua rasanya bercampur jadi satu. ada bau busuk yang begitu menyengat, lalu disusul dengan bau bunga-bunga dari melati, mawar dan sebagainya. dan aku begitu heran. "bagaimana bisa mereka makan dengan keadaan bau yang tidak normal seperti ini?" selintas pertanyaan itu bermain di pikiranku tanpa narasi yang pasti. ada tikus-tikus kerat yang mendekati kakiku. "ahk.." aku menjerit karena takut tikus-tikus itu menggigit kakiku. tapi aku harus tetap tenang seperti sebelumnya.
tidak berapa lama. aroma roti yang begitu aku sukai tercium jelas dihidung. "ehmm..., pasti enak rotinya" pikirku, aku seakan lupa dengan tujuanku, ku terlena dengan baunya. menikmatinya. belum selesai aku mengikuti aroma roti itu, sebuah jubah putih menghalangi bau itu, menyadarkanku dari khayal tingkat tinggi yang terasa begitu nyata. dan betapa kagetnya aku. ternyata bukan aroma roti yang kucium, tapi sebaskom darah segar dari yang terbuang. terlihat menjijikkan. aku aku mual sejadi-jadinya.
kali ini aku tertolong lagi. namun bekalku semakin menipis rasanya.
dengan bergegas, akhirnya aku sampai tujuan.

Masih tetap sama, semua mata memandangku heran lagi.
"sudah jam berapa ini?, baumu juga aneh." terlontar lagi sebuah kalimat yang membuat ku tersenyum terpaksa. dan aku begitu lelah. karena jalan yang ketiga begitu banyak menghabiskan bekalku.
***

Fajar kembali hadir, menuntunku kembali ke persimpangan dengan 4 jalan yang berbeda untuk sampai ke tujuanku.
Dan kini tinggal satu jalan yang belum aku lewati. namun aku begitu takut, jika jalan itu akan menghabiskan bekalku dari yang sebelum-sebelumnya.
jalan pertama tidak pernah mengurangi bekalku. dan selalu berjalan dengan mulus. tapi tidak ada yang berbeda tiap saat kulewatinya.

Jalan kedua telah menghabiskan bekalku 1/4 dari yang ku punya dan selalu membuatku terjerembab di titik yang ku kira aman. bahkan ada kubangan yang besar di akhir jalannya. namun aku bertemu dengan lengan yang kokoh. yang membuat aku merasakan yang berbeda.
jalan ketiga telah menghabiskan bekalku 3/4 dari persediaan, membuat aku begitu lemah, aromanya yang begitu kuat seakan menina bobokkanku. dan aromanya yang begitu menjijikan membuatku berhenti berfikir tentang hidup yang sebenarnya.
"dan bagaiman dengan jalan ke-empat??"
aku begitu takut untuk mencoba. ku putuskankan untuk kembali melewati jalan yang pertama, jalan yang sama ku lalui selama bertahun-tahun. sejak aku masih dikandungan hingga sekarang. walau ku tahu, bekalku akan terus bertambah, dan beban dipunggungku akan terus bertambah.
setidaknya aku sudah hapal betul letak-letak tiap ruasnya. tanpa tertinggal sedikit pun.

Kini semua mata yang memandangku selama beberapa hari ini seakan tidur, tidak memperhatikan aku.
mungkin karena tidak ada yang berbeda dengan biasanya.
hanya denting jam yang menyapa pagiku dengan jelas di tujuan itu.
***

Sudah bertahun aku melewati jalan yang sama setelah beberapa tahun lalu aku mencoba untuk melalui jalan yang berbeda.
hingga suatu pesan tertuju atas namaku bertengker di kotak suratku.

"ada seseorang yang lengannya begitu kokoh dan mengenakan jubah putih sering menunggumu dijalan ke-empat, dia terus berharap bisa bertemu denganmu dijalan itu. walau akhirnya dia selalu pulang dengan tangan kosong, tapi dia tidak pernah letih menunggumu. hingga kau dan dia menua dimakan waktu. hingga kegilaan letih mengingatkannya. bahwa kau hanya ilusinya. tapi dia terus bersikukuh dengan hatinya yang satu raga. bahwa kau ada akan datang. kini dihari ini, dia hanya ingin menyampaikan sebuah pesan singkat. dia memintamu untuk datang. sekali saja. dan percayalah padanya. dan dia berjanji tidak akan membawamu kemana pun, karena dia tahu. kau sudah diikat dengan yang lain. tapi turutilah dia untuk yang terakhir kalinya. kami mohon" pertanda kami

Disenja itu, setelah aku membaca pesan singkat itu, aku bergegas mengambil jaket dan topiku. untuk melindungiku dari dingin yang begitu hebat. karena tidak semuda dulu lagi. semua tulangku sudah terasa rapuh. tidak lupa aku kenakan sepatu bot yang merupakan kado dari yang mengikatku.
langit masih keorange an, dan aku sudah tiba di persimpangan, dimana aku dihadapkan dengan 4 jalan yang berbeda untuk bisa sampai ketempat tujuanku yang belakangan ini sudah mulai aku lupakan.
karena aku lebih sering menghabiskan hari-hari ku diteras kini sambil menikmati secangkir teh berteman sepotong roti.

Aku mencoba mengingat jalan yang keempat yang belum pernah ku jamah. terlihat rumput-rumput ilalang begitu lebat. "untung aku tidak lupa membawa bekal yang tersisa dari ibuku, beberapa tahun yang lalu"
jalan itu begitu sepi, tidak ada kehidupan sepertinya. tapi pemandangan dijalan itu ternyata tidak seburuk dipintu depannya yang begitu banyak ilalang. dijalan itu. langit yang sudah mulai dijemput malam terasa begitu terang. belum pernah aku melewati jalan yang setenang itu, sedamai dekapan ibu dan selembut tutur ayah.
rasanya bunga-bunga disekelilingku berdendang lagu cinta yang abadi.

***
Semua jalan sudah kulewati, kini aku menetap dijalan keempat.
tanpa pernah keluar atau pun sampai di tempat tujuan yang biasanya.
aku putuskan untuk bersamanya di dalam jalan itu. mengenang masa kecil dan menghabiskan waktu hingga habis ditelan senja.

fine....
Medan, 15 Agustus 2012

Share & Like