Sejauh Merkurius - Cerpen Sedih

Emak dan Bapak kalau sudah tua nanti tidak bisa memberi warisan apa-apa, Nak. Selagi Emak dan Bapak masih sanggup menyekolahkan kamu, kamu sekolah yang sungguh-sungguh, Nak”. Kata-kata itu seakan selalu dibisikkan oleh angin. Kapanpun dan dimanapun.

Namaku Retta, anak tunggal dari Emak dan Bapakku. Keluargaku tidak kaya, bahkan Emak dan Bapak tidak memiliki harta berharga yang bisa diwariskan padaku bila mereka sudah tidak sanggup berkerja lagi. Tetapi aku tetap bersyukur kepada Tuhan, karena kami masih dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, walaupun jauh dari kata cukup.

Aku tinggal disuatu kampung yang bisa dibilang kumuh. Rumah-rumahnya saling berdasakan hanya memisahkan sebuah jalan setapak yang hanya oleh diliwati oleh satu kendaraan bermotor. Warga-wagra di kampungkupun juga kurang memperdulikan pendidikan. Banyak diantara mereka, anak-anak yang pendidikannya hanya setingkat.
Sekolah Dasar dan langsung membantu orang tuanya mencari nafkah. Mulai dari menjual, mengamen, penjual asongan, hingga menjadi tukang sapu gerbong kereta.
Namun, aku takkan pernah mau menyudahi pendidikanku hingga disini, dan sekarang aku sudah menginjak Detik-Detik Ujian Nasional di kotaku. Dan aku tidak mau jika harus dipaksa untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang sudah cukup tua.
Suatu hari,
“Retta, kamu harus menikah dengan Pak Danto. Cuma kamu harapan Emak dan Bapak”. Perintah Bapak.
“Aku tidak mau dijodohkan, Pak. Lagi pula aku juga belum siap jika aku harus berumah tangga”. Jawabku sambil menangis.
“Pokoknya setelah pengumuman kelulusan kamu harus segera menikah dengan Pak Danto titik..!!!!!” Bentak Bapak.
“Sudahlah Nak, kamu menurut saja apa kata Bapak” Emakku sedikit menenangkanku.
“Pokonya Retta ingin bersekolah, atau paling tidak bekerja. Dan Retta juga nggak mau kalau harus dinikahkan, apalagi sama si tua itu!”
“Brakkk!!!” Suara pintu kamarku yang kubanting dengan kencang.

Tak ada lagi yang bisa aku lakukan. Hanya tangisan yang menghiasi malam itu. Namun sejenak, aku berfikir aku akan bangkit demi ujianku.
“Aku nggak boleh sedih lagi!!! Kalau aku bisa lulus dengan nilai baik, aku akan kabur dari rumah dan melanjutkan sekolahku di kota. Ya, aku harus bangkit! Aku harus bisa! Aku gak boleh sedih lagi. Lupain dulu aja perkataan Bapak!” Ucapku dalam hati.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah aku telah ditunggu Bapakku di rumah. Entah mengapa? Aneh saja, biasanya Bapak jam segini masih di ladang. Aku langsung saja masuk tanpa menyapa Bapakku. Ya, aku masih marah pada beliau. Tiba-tiba, ketika aku hendak masuk ke kamarku, Bapak memanggilku.

“Rett, sini duduk dulu. Bapak mau bicara.”
“Pak Darto lagi?” Sautku dengan ketus.
“Sudah, duduk dulu!” Aku dudk di depan Bapak.
“Kamu masih pengen nerusin sekolah?” Tanya Bapak.
“Iya iyalah Pak. Siaa yang tidak mau coba?”
“Bapak tadi sudah berbicara dengan Pak Darto.”
“Pak Darto lagi Pak Darto lagi.... Sangat tidak penting Pak!”
“Sudah dengarkan dulu. Pak Darto katanya siap membiayai kuliah kamu jika kamu mau menikah dengan nya. Jadi bagaimana? Kamu mau kan?”
“Pak, kalu Retta bilang tidak mau, ya sudahlah. Tidak usah dipaksa lagi.”
“Sudahlah Nak, kamu nurut kata Bapak saja. Yang penting kamu bisa kuliah?” Sahut emak dari dapur.
“Mak, ini bukan masalah kuliah saja. Ini juga masalah kesiapan Retta untuk berumah tangga. Pokoknya retta tidak pernah mau kalau harus menikah muda, apalagi dinikahkan dengan lelaki yang bukan pilihan Retta!”

Beberapa minggu telah berlalu, ujianku telah selesai bahkan hari ini akan ada pengumuman hasil ujian. Dan Alhamdulillah, berkat ketegaranku, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Akupun pulang dengan penuh rasa bangga. Dan sesampainya di rumah,
` “Emak!!!!!! Bapak!!!!!!!! Nilai hasil ujian Retta bagus Mak!! Pak!!” Teriakku dari kejauhan.
“Alhamdulillah, nilai ini akan mempermudahkan kamu untuk kuliah Rett!” Kata Emak penuh bangga.
“Ya, Alhamdulillah. Pak Darto pasti senang mendengar hal ini. Oh iya, tiga hari lagi Pak Darto akan melamarmu, dan seminggu kemudian akan diadakan pesta besar-besaran untuk pernikahan kalian!” Ujar Bapak.

Setelah Bapak berkata demikian, bumi seakan jatuh menimpaku. Dan oksigen serasa habis. Aku langsung berlari ke kamarku. Ku kunci pintunya, dan aku pun mulai menangis dengan sendu meratapi hidupku yang malang.

“Rett, kamu tidak apa-apa?” Kata Emak sambil mengetuk pintu kamarku dengan rasa khawatir.
“Tinggalkan Rett sendiri Mak!” Teriakku.
“Sudahlah, kita tinggalkan Retta sebentar. Mungkin dia masih agak lelah?” Kata Bapakku.
Aku tetap berfikir, dan terus berfikir. Bagaimana aku bisa keluar dari rumahku. Hingga terlihatlah sebuah kesempatan. Emak dan Bapakku sedang ada di halaman belakang. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti mereka tidak begitu memperhatikan keadaan rumah bagian depan, terutama kamarku.

Pelan tapi pasti, aku mulai keluar kamar membawa baju=bajuku di tas dan sejumlah uang yang telah aku siapkan sejari dulu. Dan aku hanya meninggalkan sepucuk surat untuk Emak dan Bapak yang berisi:

Untuk Emak dan Bapak

Emak, Pak. Maafkan Retta, Retta benar-benar tidak siap untuk pernikahan ini. Sekarang, Retta pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan meneruskan sekolah Retta.
Tidak perlu khawatir Mak, Pak, Retta bisa jaga diri Retta sendiri. Kalau Reta sudah sampai di kota, Retta pasti menelpon Emak dan Bapak lewat Mbak Ruli.
Di kota, Retta pasti tetap sayang dan kangen sama Emak dan Bapak. Retta pamit dulu ya Mak, Pak. Minta doa restunya. Jangan sedih ya Mak, Pak! Assalamua’laikum.
Anakmu yang tersayang,

Retta

Surat itu aku tinggalkan di meja ruang tamu. Dan aku mulai berangkat ke kota. Tak begitu jauh dari desaku, “Gubrakkkkkk!!!!!!!!!!!!!!” Aku tertabrak sebuah minibus. Akupun mengalami masa koma di rumah sakit selama beberapa minggu. Ketika aku tersadar, Emak dan Bapak sudah ada di sampingku.
“Nak, maafkan Bapak ya. Selama ini Bapak terlalu memaksa kamu untuk meningkah dengan Pak Darto.”
“Maafkan Emak juga ya Nak. Pokoknya kalau kamu sudah sembuh, Emak dan Bapak tidak akan memaksa kamu lagi untuk menikah. Jadi, cepat sembuh ya, Nak! Kamu harus kuat!” Kata Emak.
“Emak, Pak maafkan Retta juga. Retta tidak pernah nurut sama Emak dan Bapak” Ujarku terbata-bata.
“Emak, Pak. Aku sayang sama Emak dan Bapak meski jarak kita sejauh apapun!” Tambahku.
“Emak, Pak. Sekali lagi maafkan Retta ya, Retta pamit. Assalamu’alaikum......”
Rasa sayangku terhadap Emak dan Bapak takkan pernah putus.Meski hubungan kami terputus jauh, sejauh Merkurius.

PROFIL PENULIS
Nama Pengarang : Ahmad Alfath Septia Nugroho
TTL : Kediri, 05 September 1997
Alamat : Ds. Jambean RT.05/RW03 Kecamatan Kras Kabupaten Kediri-Jawa Timur
Share & Like