Sekedar Uraian - Cerpen Kritik Sosial

SEKEDAR URAIAN
Karya Moti Peacemaker
 
Aku melintasi jalur waktuku. Dari kesempitan yang memaksaku bernafas dengan kesakitan. Sudah berulang kali bertanya dengan hanya dapat jawaban kekosongan. Aku hampir putus asa dengan nafasku. Sesak, pahit, dan tak ada yang perduli, kecuali aku sendiri. Itupun hanya sepenggal dari bongkahan keperdulian aku miliki. Masih ada jutaan keperdulian yang harusnya kucurahkan. Tapi kosong. Tak ada yang aku bisa perdulikan lebih dari kepenatan waktuku. Maka, hanya sedikit keperdulian yang terurai untuk masa hidup.

Balego mulai bertebaran. Ramadhan segera datang, katanya. Aku hanya memandangnya dengan senyum sinis.
“Slogan murahan” lirihku dalam hati.
Langkah kakiku terasa berat. Aku manusiakan? Tanyaku padaku sendiri dan pada hembusan angin yang menerpa nafasku. Tapi hanya semilir, aku tak berani berstedment dengan ijtihadku sebagai,,,,???? Entah aku ini apa.
Sudah berulang kali aku menerobos dinding pikiranku sendiri. Menjajaki sekuatku, semampuku, untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang tak pernah benar-benar melayang ke udara pertanyaan yang sesungguhnya. Aku ingin mengurai lebih panjang untuk pertanyaanku, tapi pada siapa?
***
 
Sekedar Uraian
Baru kemarin sore aku senyum sinis untuk slogan yang terpampang. Tapi sekarang senyum sinisku telah dipaksa meningkat menjadi tawa keras.
“BULAN SUCI RAMADHAN, BULAN PENUH AMPUNAN, BULAN MULIA”
Inconsistensi sudah menyeruak saat ramadhan baru berjalan 5 jam. Gerombolan orang berangkat dengan atribut serba putih serta bendera bertuliskan huruf yang tak kumengerti. Tanpa banyak bicara, warung-warung yang buka kini berceceran. Gerombolan itu menyebut nama Tuhan mereka dengan suara lantang sembari memporak porandakan bangunan warung tanpa kompromi.

Wajah muram dari sisi bersebrangan tak lagi diperdulikan. Air mata yang mengucur deras jadi pemandangan biasa. Pemilik warung tak berdaya, dan aku???? Aku menengadahkan tangan. Entah juga untuk apa, aku pun tak mengerti. Yang pasti aku sedang berharap.
(.:::.)
“djancok!!! Kau kira aku sedang berdansa percuma?”
“hey, jangan pake sastra terlalu tinggi. Kita tidak sedang berada di mimbar pementasan”
“ah, persetan dengan mimbar. Aku tak perduli”
Semakin jauh. Sampai tak lagi terlihat. Sosok kang Supardi tak lagi disini. Aku tak bisa meredam amarahnya. Meski kutahu, harusnya ia sendiri mampu dan harus menahan. Ia sedang puasa.
Puasa kali ini terasa hambar. Atau mungkin juga puasa-puasa sebelumnya, tapi aku sangat merasakan kehambarannya kini. Kuharap tidak merambat dan merebut kemanisan untuk puasa yang akan datang. Nampaknya banyak orang yang hanya menelan lapar dan dahaga untuk puasa saat ini. Dan inti dari puasa terasa terbang begitu saja.
Ah, puasa kali ini mengingatkanku pada sosok tauladan yang sangat aku hormati. Meski kini, aku sudah berkeping-keping jadi entah apa. Dan aku agak malu mengatakan mereka sebagai guru, dengan kelakuanku yang seperti ini. Sangat malu mengakuinya.
Kiai Sulhan, ulama` yang bahkan sebagian orang mengatakan sudah sampai pada derajat wali. Dan juga Kiai Musthofa, ulama` nyentrik yang juga seorang sastrawan, budayawan serta seniman.
Aku masih sangat mengingat cerita dari Gus Rofi`i, keponakan Kiai Sulhan yang bercerita tentang pamannya itu saat ngaji pagi kala aku masih mondok dulu.

Kiai Sulhan sering berangkat ke warung pagi-pagi saat bulan ramadhan, seperti waktu sarapan saat hari-hari biasa. Pada saat pertama kali datang ke warung, sang pemilik warung heran dengan Kiai Sulhan yang minta dibuatkan kopi.
“kopi siji , yu!” pinta kiai Sulhan.

Yu Sinah yang sebenarnya sudah libur jualan pagi hari pun merasa sangat aneh dengan permintaan Kiai Sulhan. Agak ragu, Yu Sinah melontarkan tanya pada Kiai Sulhan dengan penuh hormat.
“ngapuntene, yi . Sekarang puasa lho, apa ndak salah njenengan pesan kopi?
“lho!!! Apa hubungannya puasa dengan kopi? Sudah toh yu, dibuatkan saja!”
“njeh , yi”
Karena Ta’dim, Yu Sinah pun segera menuruti keinginan kiai Sulhan.

Akibat intensnya Kiai Sulhan datang ke warung Yu Sinah pada pagi hari. Warga pun mulai tahu dan pembicaraan cepat merambat ke mana-mana. Bapak-bapak yang biasa ngopi dan cangkruk disitu pun merasa aneh dengan tingkah Kiai Sulhan tersebut. Dan berceloteh yang ke berbagai pernjuru tantang Kiai Sulhan, Kopi, dan puasa.
“wah, Kiai Sulhan ini nggak bener. Masak Kiai ngopi pagi hari pas bulan puasa”
“ah, nyuruh orang puasa, Kiai Sulhan sendiri malah asyik ngopi”
“yang Kiai aja ngopi, berarti kita malah lebih nggak masalah ngopi pagi-pagi seperti biasanya”
Celotehan-celotehan terlempar tanpa kontrol dan menghantam dinding prasangka.

Keesokan harinya, Kang Pardi dan Kang Samijan yang sudah janjian pun berangkat ke warung Yu Sinah untuk ikut ngopi bersama Kiai Sulhan. Mereka berdua sudah menyiapkan jawaban kalau-kalau Kiai Sulhan bertanya perihal mereka yang marung atau bahkan jawaban untuk antisipasi kalau dimarahi Kiai Sulhan.
“kalau ditanya atau didukani kiai Sulhan, kita nanti serempak jawab ya. Njenengan saja ngopi, masak kita nggak boleh. Gitu ya!” ucap Kang Samijan sebelum sampai di warung. Dan dijawab anggukan oleh Kang Pardi.
Tak lama berselang, mereka pun sampai di warung dan menemukan Kiai Sulhan sudah stand by di warung. Kedatangan mereka disambut senyum oleh Kiai Sulhan, tanpa pertanyaan. Dan mereka berdua pun merasa aman dengan kediaman yang dilakukan Kiai yang sangat dihormati tersebut. Kang Pardi dan Samijan mencari tempat yang agak jauh dari dari Kiai Sulhan, bahkan kalau bisa yang beda ruangan.
Semakin hari, pelanggan pagi warung Yu Sinah pun bertambah. Bahkan sudah buka hampir seperti hari-hari diluar puasa. Sarapan, kopi, rokok, dan camilan kini terjual bebas. Tapi mereka tetap ambil tempat ngopi yang jauh dari Kiai Sulhan karena masih agak sungkan. Pelanggan setia Yu Sinah di hari-hari biasa hampir semuanya kembali marung. Setiap hari selalu penuh.
***

Orang-orang di warung mulai gundah dengan ketidak hadiran Kiai Sulhan. Entah kenapa seperti ada yang kurang kalau tak ada Kiai Sulhan, meskipun toh mereka juga tak pernah ngobrol dengan Beliau saat di warung.
Langkah karismatik itu semakin dekat. Kiai Sulhan tak seperti biasanya, kali ini beliau memakai pakaian seperti saat mengisi pengajian. Bukan pakaian-pakaian yang dipake saat biasa berangkat ke warung. Dan aroma khasnya sangat tercium. Semakin dekat. Orang-orang yang ada disitu pun mulai agak khawatir tentang keanehan ini. Tapi senyum mengembang dari Kiai Sulham membuat kakhawatiran mereka agak memudar. Meski tetap masih tersisa.
Kang Joko menggeser duduknya, memberi tempat agar Kiai Sulhan bisa duduk. Dan dengan cepat, Kiai Sulhan pun menggunakan tempat duduk yang diberikan untuk beliau.
“kopi satu, yu!” pinta Kiai Sulhan.
Helaan nafas panjang pun segera keluar dari orang-orang yang ada di warung. Sebersit cahaya terang telah terbit. Kiai Sulhan tak akan marah pada mereka, karena belia sendiri juga ngopi, pikir mereka.

Tak lama, kopi pesanan pun datang. Kiai Sulhan meletakkan pesanannya. Masih dalam posisi menunduk, Kiai Sulhan mengeluarkan suara sekali yang disambut angkatan kepala orang-orang yang ada di warung. Pandangan semua mata tertuju pada Kiai Sulhan.
“Kang!” Ucap kiai Sulhan.

Orang-orang yang ada pun hanya diam tanpa jawaban.
“lho, kalian kok gak jawab? Jawab saja. Nggak ada salahnya kan?” senyum kewibawaan Kiai Sulhan diedarkan untuk mereka yang memandang beliau.
“kalian ini kenapa? Kenapa kalian nggak puasa?” Tanya Kiai Sulhan tiba-tiba dan mengagetkan semua yang ada disitu.

Agak lama keheningan terjadi, sebelum salah seorang aanak muda mulai berani angkat suara dan menjawab pertanyaan Kiai Sulhan.
“lho, anda saja tidak puasa. Apalagi kami” katanya.
“semua akan bertanya seperti anak ini? pertanyaan kalian sama dengan anak ini?” Kiai Sulhan melemparkan tanya kembali.

Anggukan dari hampir seluruh orang yang ada pun membuat keheningan semakin terasa. Jawaban hanya dengan isyarat.
“tak ada yang lain?” Kiai Sulhan memastikan. Dan gelengan adalah jawabannya.
“kalian ini bagaimana toh? Kalian puasa untuk siapa? Kenapa jadi terkontaminasi sikap yang tak jelas. Karena aku dianggap ngopi, kalian jadi ikut. Padahal kalian juga tak tahu sebenarnya aku ngopi tau tidak. Kalian ini aneh-aneh saja. Apa kalian pernah mengecek aku benar-benar meminum kopiku atau tidak? Tidak kan. Kok njenengan semua jadi begini. Menjelaskan pada diri sendiri bahwa puasa kalian hanya sekedar norok bontek . Aku puasa atau tidak, kiai lain puasa atau tidak, kalian tetap saja harus puasa kalau tak ada udzur . Kalian puasa LILLAHI TA`ALA atau untuk siapa?
Orang yang ada di warung pun melongo. Dan memandangi kepergian Kiai Sulhan.
(.:::.)
Sejuta keredupan langit menghantam pundakku. Aku terbebani berat langit. Aku sering memasrahkan diri untuk segala yang terjadi. Meski terkadang aku sendiri yang membuat gerakan yang seperti menentang dan takut menggedor kepongahan terhadap diri sendiri dan yang berhubungan dengan kehidupanku.
Sudah hampir berakhir puasa kali ini, tapi gejala revolusi tak kunjung terjadi. Aku masih sangat menunggu perubahan penting pada diri sendiri juga penduduk bangsaku. Tapi tak kunjung kutemukan ke otentikan revolusi yang sesungguhnya.
Harus dari moment apalagi aku berharap ada perubahan. Sedang waktu untuk perubahan secara jamaah pun hanya sekedar sia-sia. Tak nampak gamblang.
Salam

Mӧti Peacemaker
28 Oktober 2012
01:12
Waskita Student Community

Nasihat Ramadhan

Musthafa
Jujurlah pada dirimu sendiri mengapa kau selalu mengatakan Ramadhan bulan ampunan
Apakah hanya menirukan nabi? atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihan yang menggerakkan lidahmu begitu

Musthafa
Ramadhan adalah bulan antara dirimu dan tuhanmu
dari hanya untuk-Nya
dan Ia sendiri tak ada yang tahu apa yang akan dianugerahkannya kapadamu
semua yang khusus untuk-Nya khusus untukmu

Musthafa
Ramadhan adalah bulan-Nya yang Ia serahkan padamu
dan bulan
serahkanlah semata-mata pada-Nya
bersucilah untuk-Nya
bershalatlah untuk-Nya
berpuasalah untuk-Nya
berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya
Sucikanlah dirimu berpuasalah
sucikan tanganmu berpuasalah
sucikan mulutmu berpuasalah
sucikan hidungmu berpuasalah
sucikan wajahmu berpuasalah
sucikan matamu berpuasalah
sucikan telingamu berpuasalah
sucikan rambutmu berpuasalah
sucikan kepalamu berpuasalah
sucikan kakimu berpuasalah
sucikan tubuhmu berpuasalah
sucikan hatimu, sucikan pikiranmu berpuasalah
sucikan dirimu

Musthafa
bukan perutmu yang lapan, bukan tenggorokan kering
yang mengingatkan kedhaifan dan melembutkan rasa
perut yang kosong dan tenggorokan yang kering ternyata hanya penunggu atau perebut kesempatan yang tak sabar atau terpaksa
barang kali lebih sabar sedikit dari mata, tangan, kaki dan kelamin
lebih tahan sedikit berpuasa
tapi hanya kau yang tahu
hasrat dikekang untuk apa dan untuk siapa

puasakan kelaminmu untuk memuasi ridho
puasakan tanganmu untuk menerima kurnia
puasakan mulutmu untuk merasai firman
puasakan hidungmu untuk menghirup wangi
puasakan wajahmu untuk menghadap keelokan
puasakan matamu untuk menatap cahya
puaaskan telingamu untuk menangkap merdu
puasakan rambutmu untuk menyerap belai
Puasakan kepalamu untuk menekan sujud
puasakan kakimu untuk menapak sirat
puasakan tubuhmu untu meresapi rahmat
puasakan hatumu untuk menikmati hakikit
puasakan pikiranmu untuk meyakini kebenaran
puasakan dirimu untuk menghayati hidup
TIDAK!!
puasakan hasratmu hanya untuk hadirat-Nya
Musthafa
Ramadhan bulan suci katamu
kau menirukan ucapan nabi?
atau kau telah merasakan sendiri kesuciannya melalui kesucianmu?
tapi bukankah kau masih selalu menunda-nuda
menyingkirkan kedengkian, keserakahan, ujub, riya, takabbur
dan sampah-sampah lainnya yang mampat dalam comberan hatimu

Musthafa
inilah bulan baik saat baik untuk kerja bakti membersihkan hati
inilah bulan baik saat baik merobohkan berhala dirimu
yang secara terang-tarangan dab sembunyi-sembunyi kau puja selama ini
atau akan kau lewatkan kesempatan ini
seperti Ramadhan lalu

Sebuah ungkapan lewat puisi dari Kiai yang sangat aku hormati dan cintai. Kiai Musthofa, aku terus berdo’a untuk kesehatan dan segala kebaikan beliau.
 
PROFIL PENULIS
Ahmad Yusuf Tamami, Moti adalah panggilan sehari-harinya. Lahir di Tuban pada 5 januari 1995. Menjadi salah satu anggota Komunitas belajar “Waskita” ditahun pertama berdiri. Dan meninggalakan(keluar dari) sekolah formal. (2009). 2 buku puisi (tidak resmi) telah ia selesaikan pada tahun 2011. Antologi puisi “Untukmu kawan” dengan Muhammad Rifky Baihaqi. Dan Antologi puisi “memory dan bisik cinta” bersama 4 anggota kamunitas belajar “Waskita” lainnya. Serta 1 antologi cerpen (2011).
Alamat: Dsn. Krajan RT2/RW1 kedungjambe singgahan Tuban.

No. Urut : 263
Tanggal Kirim : 24/12/2012 11:14:49
Share & Like