New Signs*3: Peredais - Cerpen Fantasi

NEW SIGNS*3 : Perdais
Karya Avans Cross Lines
 
Aku terbangun dalam situasi ruang dan waktu yang tak terlalu aku pahami. Aku menerawang ke segala sudut dalam rumah kayu jati yang diselimuti salju abadi. Aku merasa seperti telah hidup berabad-abad di rumah ini meski dalam kenyataan aku masih berumur 12 tahun.

Kupandangi keluar jendela. Tak ada apapun disana kecuali air tenang yang menghampar seluas samudera dan harusnya aku sadar bahwa rumahku memang terletak di tengah samudera. Di dalam rumah jati yang berdiri diatas batu karang seluas 2500m² ini tak ada apapun selain itu. Tak ada karang-karang lainnya, pulau-pulau kecil apalagi daratan luas.

Aku lahir di rumah ini namun ada banyak hal hingga detik ini yang tak aku mengerti. Dari mana barang-barang aneh berbentuk kotak dengan kaca cembung atau sebuah alat sebesar buku yang mengeluarkan suara dan cahaya dengan gambar berwarna-warni saat disentuh? Atau makanan dalam tabung besi yang tak aku mengerti? Dari mana kedua orang tuaku mendapatkan barang-barang itu karena setahuku, kami atau mereka tak pernah keluar dari rumah ini? Pernah aku menanyakan hal itu pada mereka namun mereka hanya bilang bahwa itu adalah peninggalan dari dunia lama. Dunia sebelum mereka tinggal di rumah ini dan melahirkanku.
 
New Signs*3: Peredais
Hal yang tak bisa aku pahami meski aku hanyalah anak-anak namun entah kenapa aku merasa tak masuk akal dengan salju yang hanya turun diatas atap rumah ini.

Riakan air laut pelan yang membentur karang, suara burung camar di langit senja, loncatan lumba-lumba di ujung jauh dan nyanyian ikan paus kerap menemani seluruh penghuni rumah ini. Rumah yang disebut sebagai Clingstone.

Kami tinggal berlima di rumah ini. Tak ada yang lain. Aku merasa kami adalah orang yang selamat dari kiamat masa lalu. Karena kadang memori aneh datang mengusik pikiranku. Memori-memori yang membuatku memikirkan hal-hal yang tak pernah aku ketahui. Memori yang mengingatkan tentang awal kisah aku berada disini. Di rumah ini. Di tengah dunia yang dipenuhi air ini. Dan hari demi hari memori itu semakin mengingatkanku tentang masa lalu, tentang segala hal tak masuk akal dan tak kuketahui sebelumnya. Aku seperti reinkarnasi dari orang di masa lalu. Dari orang yang hidup di dunia lama.

Kamarku berada di loteng rumah ini. Kamar kakak perempuanku berada di lantai dua tepat di bawahku. Sedangkan kamar ayah ibu dan kakek tersembunyi di lantai dasar. Meski tinggal dalam satu rumah, kami jarang bertatap muka. Saat jam makan tiba, makanan selalu sudah tersedia di meja makan. Bahkan aku tak tahu kapan ibu memasak makanan itu atau dari mana dia mendapatkannya. Aku sering telat makan, hingga akhirnya aku selalu makan sendirian di meja makan yang mewah.

Aku hampir tidak pernah melihat wajah kakakku sendiri selama setahun terakhir ini padahal kakakku selalu ada di kamarnya mengurung diri. Sedangkan kedua orang tuaku hanya menyapaku sekali dalam seminggu. Entah apa yang mereka lakukan di kamarnya masing-masing. Mungkin sama sepertiku. Hanya melamun. Aku tidak pernah mengetahui isi kamar mereka semua terutama aku tidak tahu letak pasti kamar kakekku sendiri. Entahlah meski terdengar aneh namun aku tak pernah merasa penasaran dengan mereka.
***

Ada hal yang tak biasa terjadi hari ini. Hal yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. Hari yang mengubah segalanya. Hari dimana aku merasakan dan kuketahui seperti pernah terjadi namun belum pernah sama sekali.

Aku melihat dari jendela kamarku, seorang pria dan seorang wanita tak dikenal mendekati rumahku dengan sebuah perahu aneh. Mereka aneh. Bukan hanya karena aku baru pertama kali melihat manusia lain di dunia ini tapi karena mereka berpenampilan aneh.
Mereka mengenakan pakaian kaku dan ketat serba hitam dan mata mereka berwarna emas, bibir merekapun berwarna semerah darah.

Tiba-tiba ayah dan kakek keluar mendekati mereka. Mereka tampak berbincang-bincang. Aku tidak bisa mendengarnya namun mereka tampak emosi dan beradu mulut. Kemudian hal yang tak terduga terjadi. Wanita itu memukul wajah ayah hingga tulang lehernya patah dan dia tewas.
Tanganku gemetaran melihatnya. Aku tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Kakekku berusaha melawan tapi dirinya tersungkur dan diceburkan ke laut.

2 orang itu masuk kedalam rumah dan terdengar teriakan ibuku di lantai bawah. 2 orang itu membawa paksa seorang perempuan berkimono merah muda. Itu kakak perempuanku. Wajahnya sungguh cantik. Ibu berusaha agar mereka tidak membawanya namun dia tak punya kekuatan melawan 2 orang yang lebih dari sekedar manusia biasa itu.

Ibuku masuk kembali ke dalam rumah sementara aku berlari ke lantai dasar untuk melihatnya.
“Dani!” teriaknya memanggilku terlihat khawatir. suara gaduh terdengar dari pintu utama. Wanita itu merangsak masuk mengikuti ibuku.
“Ibu, apa yang terjadi?” tanyaku. Ibu tak menjawab. Dia langsung menarik lenganku menuju kamarnya.

Baru pertama kali aku melihat kamar ibu. Di kamar itu banyak sekali barang-barang aneh yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya entah dimana. Barang-barang itu merasuki pikiranku. Membuka memori-memori aneh yang sempat tertutup. Namun kali ini semua itu semakin jelas. Televisi, ponsel, tablet, kulkas, microwave, dan barang-barang elektronik itu satu persatu aku kenali. Entah bagaimana aku merasa mengetahui semua itu padahal baru pertama kali ini aku melihatnya.
Dengan cepat ibu menarik sebuah tuas disamping pintu dan tiba-tiba lantai kayu kamar itu bergeser. Memperlihatkan sebuah ruangan aneh di bawahnya. Ruangan yang terlihat sangat modern dengan penuh jendela-jendela yang menampilkan banyak gambar.
“Dani, sudah saatnya kamu mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Pergilah menuju Peredais Land. Disana kamu akan mengetahui segalanya,” ucap ibu yang langsung melemparkanku ke sebuah perahu kecil berkubah kaca. Kemudian lantai itu tertutup sebelum aku mengerti situasi.
Perahu itu melaju membawaku meninggalkan rumah itu dan suara ibu yang mulai tak terdengar lagi. perahu melaju dengan sangat cepat menembus lautan biru yang tenang. Aku terdiam dalam lamunan angan ketidakpastian di tengah pelarian yang tak aku mengerti sama sekali.

Perahu itu sungguh sesuatu yang tak masuk akal lainnya. Aku tak melihat adanya alat, tombol, saklar, layar, mesin atau apapun yang bisa membuat perahu kayu berkubah kaca ini melaju secepat kilat. Yang ada sebuah tuas untuk membuka kubah tersebut. Aku menarik tuas tersebut. Setengah kubah itu terbuka. Tiba-tiba saja kecepatan perahu itu melambat. Kecepatan dalam tahap aman bagiku untuk berdiri dan melihat sekeliling.

Sungguh menakjubkan. Langit memancarkan pelangi dan meluncur menuju birunya laut siang itu. Laut masih tampak tenang. Tak ada angin maupun ombak yang terlihat di sudut jauh dari perahuku. Laut, terlihat seperti membeku saja. Tanpa angin, ombak maupun layar tapi kenapa perahuku bisa melaju secepat ini di lautan tenang? Saat aku mengintip ke pinggirannya, aku melihat sesuatu. Ada arus air yang sangat deras beberapa senti dari permukaan air di atasnya. Arus air itulah yang membuat perahu ini bergerak bukan sebaliknya.

Entah kemana perahu ini akan melaju. Jaraknya sudah berpuluh-puluh mil dari Clingstone dan aku tak melihat adanya tanda-tanda keberadaan sebuah pulau di ujung sana. Dalam kebingungan ini aku berpikir tentang ibu, ayah, kakek, dan kakak perempuanku. Sebenarnya apa yang aku kenal dari mereka? Kadang aku seakan tak pernah mengenal mereka semua. Semua orang di rumah itu bak membeku dalam diam dan aku baru menyadari lebih dalam betapa anehnya keluargaku. Betapa anehnya dunia ini dan kali ini aku memikirkan sebenarnya apa yang dilakukan mereka semua di kamar masing-masing. Apa yang kakakku kerjakan di kamarnya bertahun-tahun? Begitu betah dia tinggal disana, adakah rahasia di balik kamarnya? Termasuk kamar kakek, dan tentu saja kamar ibu yang sekarang aku mengetahui kebenarannya. Aku juga berpikir kenapa kakak perempuanku itu berparas jepang dan mengenakan kimono? Sedangkan wajah ayah dan ibu sarat akan amerika, kakek berwajah timur tengah, sedangkan aku sendiri kental Indonesia. Apa benar mereka adalah keluargaku?

Memori-memori itu kembali merasuk setiuap kali ucapan dan hal yang tak pernah aku ketahui mulai terkuak dan terutarakan oleh pikiranku sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Manusia… kehidupan… Negara… kepulauan… antariksa… teknologi… daratan… Peredais Land. Satu persatu hal-hal yang tak kuketahui mulai menyerang pikiranku. Membeberkan segalanya. Seperti sebuh mozaik yang tercerai berai dan akhirnya mulai tersusun kembali meski masih ada celah di sekitarnya. Dan kini selama 12 tahun aku hidup di dunia ini aku sadar bahwa aku harusnya hidup di dunia yang bukan seperti dunia yang aku tinggali saat ini. Mimpi-mimpi yang selalu menghantuiku, disanalah harusnya aku tinggal.

Langit siang beranjak senja dan senja berganti malam yang gemerlap. Perahu ini masih melaju di jalurnya mungkin hingga ke ujung dunia. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Langit malam yang bertabur jutaan bintang memantulkan cahayanya diatas laut yang hitam pekat. Membuat seolah-olah perahu itu berlayar diatas sebuah aliran galaksi. Indah sekali.

Lebih dari sehari perahu ini membawaku. Langit berubah menjadi pagi namun kali ini aku melihat sesuatu. Di kejauhan tampak beberapa ekor ikan yang meloncat-loncat. Ukurannya sebesar paus dan ikan itu berwarna pelangi dengan sisik berkilauan bak berlian. Ketika cahaya mentari menyinarinya, munculah sebuah lukisan alam yang menakjubkan. Goresan-goresan pelangi tercipta dari sisik ikan itu menghiasi langit dan lautan, melunjur membentuk setengah lingkaran. Jumlahnya sangat banyak dan indah tiada tara.

Tak berapa lama setelah itu, tampak sesuatu yang raksasa tepat di depanku. Jaraknya semakin dekat dan tampak sebuah tempat yang sungguh unik. Bangunan-bangunan terbuat dari bambu yang berdiri diatas sebuah rakit raksasa berbahan sama. Di belakang dan di samping tiap bangunannya tumbuh serumpun pohon bambu yang berkibar-kibar diterpa angin dari tenggara.
Perahuku tiba-tiba memelan. Dan berhenti di depan sebuah jalan setapak bambu yang mengambang. Terdapat sebuah plang bertuliskan Isle Of Bambusta diatasnya. Aku beranjak dari perahu itu dan berjalan diatas rakit panjang menuju bangunan-bangunan yang jaraknya seratus meter dariku.

Rakit oitu berkelok-kelok membentuk kotak-kotak seperti kolam yang di dalamnya terdapat macam-macam ikan yang terkurung jaring. Tampak banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang. Mereka terlihat seperti manusia normal sepertiku namun sedikit aneh. Pakaian mereka sungguh nyentrik dengan warna warni yang menyilaukan mata dan mereka berbicara sendiri dengan benda aneh yang menempel di telinga mereka. Aku berjalan diantara bangunan bambu unik. Banyak sekali orang-orang disini seperti jalur lalu lintas perdagangan dan memang benar di setiap sudut bangunan yang banyaknya hampir menyerupai sebuah kota ini terdapat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Tapi… lagi-lagi hal-hal aneh ini membuatku mengerutkan kening. Barang-brang yang mereka jual adalah barang-barang dari dunia lama. Berbagai ponsel dan barang elektronik canggih dijajakan di atas meja bambu yang tua. Banyak orang yang hendak membelinya meski begitu aku merasa apa yang mereka jual tidak serasi dengan latar belakang mereka.

Di sebuah dinding bangunan aku melihat sebuah papan tulis. Dan disana tertempel selembar peta yang lebar. Di sampingnya ada seorang berpakaian tentara yang berdiri. Aku mendekatinya dan melihat lebih dekat peta tersebut. aku melihat gambar lautan dengan banyak pulau-pulau terapung bernama yang tersebar namun ada sebuah daerah yang sungguh luas berada di sudut peta. Sebuah daratan bernama Peredais.
“Pak, aku mau tanya bagaimana aku bisa ke Peredais Land?” tanyaku pada tentara itu.
“Itu adalah daratan suci. Kau tidak boleh kesana. Lagipula jika kau ingin kesana kau harus melewati kematian terlebih dahulu,” katanya. Aku hanya diam tidak tahu harus bicara apa. Aku hanyalah anak kecil. Aku ceritakan padanya apa yang telah terjadi pada keluargaku.
“2 orang bermata emas mendatangi rumah kami, ayahku mati dibunuh, kakek tenggelam, kakak perempuanku diculik dan sebelum aku tahu apa yang mereka lakukan pada ibu, ibu melemparku pada sebuah perahu yang membawaku sampai kesini. Ibu sempat menyuruhku pergi ke tempat itu,” ujarku.
“Siapa nama ibumu, nak?”
“Anna Rose,”jawabku. Tentara itu sedikit terkejut.
“Seorang kakek tua penjaga telepon di pulau Mantai bisa memberitahumu cara menuju Peredais,” ucapnya sembari menunjuk sebuah pulau di peta itu.
“Bagaimana aku pergi ke pulau itu?” tanyaku.
“Pergilah ke tenggara, disana ada jalan menuju pulau itu,” katanya menunjuk ke sudut bangunan bambu yang paling tinggi.
Aku pun berlalu pergi. Berjalan kearah suatu ketidakmasukakalan lain. Di balik bangunan tinggi itu ada seorang pria kerdil berdiri di samping gerbang bambu raksasa yang bertuliskan Musa’s Line di atasnya. Di dalam gerbang tak berpintu itulah kemustahilan itu bergejolak.
***

Ombak terbelah menjadi dua tingginya 5 meter. Ditengahnya adalah sebuah laut datar tanpa gaya.
“Mau pergi kemana, nak?” tanya pria kerdil itu.
“Apa ini?” tanyaku heran.
“Ini adalah teleport. Kau bisa pergi kemanapun dengan cepat menggunakan Musa’s Line ini,” ucapnya.

Aku sering mendengar kisah nabi Musa yang membelah lautan dan orang-orang bisa berjalan di tengahnya agar bisa menyebrangi mencapai daratan di ujung sana. Namun, jalan Musa yang terbelah ini sedikit berbeda. Lautannya tidak terbelah. Hanya ombak yang bergejolak di sisi kiri dan kanan lautan tenang bak kaca ini dan ada berbagai Signs, rambu-rambu dengan tiang besi dan plat seng lebar berwarna hijau yang entah bagaimana caranya bisa berdiri diatas ombak tersebut.

Signs tersebut saling berhadapan diantara dua ombak tersebut setiap beberapa meter. Plang nama diatasnya menunjukan nama jalan, daerah, kota, wilayah, Negara, atau tempat apapun secara acak di seluruh penjuru dunia.

Tata letak petunjuk jalan tersebut bagiku adalah sebuah kesalahan karena memoriku mengatakan bahwa seharusnya Signs tersebut berada di jalan raya. Ditancapkan di dalam tanah berlapis beton di pinggiran jalanan beraspalnya. Bukannya di tengah lautan dan ditancapkan pada ombak yang bergelora.

Setiap hal-hal aneh yang aku temui mendadak membuat memoriku akan masa lalu terbuka semakin kentara. Potongan-potongan mozaik itu hampir tersusun sempurna dalam otakku. Semua itu membuatku terus berpikir bahwa semua yang aku lihat selama ini adalah sebuah kejanggalan. Banyak hal-hal yang hidup dan memenuhi dunia yang kutinggali ini tidak sesuai dengan ruang dan waktu yang ada. Contohnya saja teleport yang ada di hadapanku ini. Bagaimana mungkin aku masih mengerutkan kening dan mengeluarkan sebuah tanda tanya besar sedangkan semua orang disini merasa hal semacam ini adalah hal yang wajar dan biasa. Tapi masuk akalkah jika aku melihat sebuah rumah bambu reyot dan lapuk dipadukan dengan hiasan dinding berupa lukisan Starry Night karya Vincent Van Gogh, lantai bambu berlapis sutra, dan LED Tv full HD 42 inchi yang entah bagaimana caranya tv tersebut bisa menyala. Itu hanya salah satu dari sekian banyak kejanggalan yang aku lihat di pulau ini. Namun semua ini bagi mereka semua adalah masuk akal dan tak ada yang aneh.

Aku memandang ke arah signs di teleport tersebut. mencoba melihat nama-nama yang tertulis disana. Broadway Road, Newyork city, Jakarta Line, Mount Everest, Kalahari Desert, Roswell Insident Park, Leopard Museum, Jumping Moon Stone, dan banyak lagi yang lainnya.
“Apa aku bisa pergi ke pulau Mantai menggunakan teleport ini?” tanyaku. “Bagaimana Caranya?” tambahku.
“ Signs Pulau Mantai ada di ujung Musa’s Line. Jaraknya satu kilo meter. Kau harus berjalan menuju rambunya kemudian masuk ke dalam ombak,” ucap pria kerdil.
“Berjalan diatas air ini?” tanyaku menunjuk laut datar dan tenang di hadapanku.
“Iya.”
“Apa tidak akan tenggelam?” tanyaku polos.
“Kamu pasti orang baru, tentu saja kau bisa berjalan diatasnya,” jawabnya.
Aku melangkahkan kakiku diatas air tenang itu. Aku bisa berjalan diatasnya dan tidak tenggelam. Aku seperti berjalan diatas kaca yang tergenang air. Aku terus berjalan menuju ujung teleport sembari mencari papan penunjuk namanya. Ku lihat beberapa orang keluar dari ombak. Wajah mereka tampak biasa-biasa saja mengenai hal itu. Tapi aku saat ini merasa seperti tengah berada di dunia khayal, atau dimensi lain, dan planet lain yang bisa menganggap hal-hal semacam ini adalah hal yang biasa-biasa.
Aku sudah berjalan sangat lama. Tak jauh di depanku aku melihat Signs itu. Pulau Mantai. Tapi warna plangnya berbeda dari yang lain. Warnanya hitam dan berkarat. Aku heran. Tiang rambunya tak tertancap di dalam ombak seperti yang lainnya tapi berada di tengah-tengah lautan tenang yang aku pijak. Aku dekati tiang itu namun tak terjadi apa-apa. Aku pegang tiangnya dan kemudian sebuah ombak raksasa dari arah kiri dan kanan langsung menerjangku. Aku tenggelam, ombak itu sangat kuat membuatku terbawa arus yang deras hingga tiba-tiba semuanya jadi hitam. Aku mencoba berenang ke permukaan. Nafasku terengah-engah, laut hitam yang tadinya dalam berubah menjadi dangkal hingga sebatas leherku. Aku berada di dunia malam yang sungguh hitam.

Beberapa puluh meter dariku, aku melihat cahaya lampu yang melingkar-lingkar seperti pada pohon natal hingga ke puncak. Aku berenang mendekati cahaya tersebut. Banyak sekali rumah disana, saling menyambung melingkar pada sebuah batu raksasa membentuk kerucut mencapai angkasa. Aku melihat seseorang dibawah tiang lampu jalan diatas sebuah batu datar di dasar pulau bernama Mantai tersebut. Seorang kakek tua sedang berjongkok memandangiku dari sana dengan telepon kuno di sampingnya.

Saat aku mendekat, kakek berwajah sangat keriput itu masih memandangiku dengan penuh curiga. Tiba-tiba telepon di sampingnya berdering. Dia mengangkat telepon itu, mendengarkan seseorang yang bicara diujung telepon sembari mengangguk-angguk aneh.
“Ini, nak, ada telepon untukmu?” ucapnya memberikan gagang telepon itu padaku yang masih berdiri di dalam air. Aku mengambilnya namun tak ada yang bicara diujung sana. Hanya ada suara gelombang dan gemuruh aneh.
“Tidak ada suara apapun, kek,” ucapku yang tiba-tiba menggigil karena kedinginan.
“Ikuti aku, bukankah kau ingin pergi ke Peredais?” tanya kakek itu berdiri dan meninggalkanku.
Aku berusana naik ke batu tersebut. Namun tidak bisa. Berkali-kali aku tercebur lagi.
“Kek, tunggu aku kek!” ucapku saat aku berhasil naik. Aku mengikutinya berjalan menuju anak tangga kayu. Aku tak ingin lagi membahas mengenai hal-hal aneh yang aku lihat di pulau Mantai ini seperti telepon yang baru saja aku lihat ditaruh diatas batu dekat laut. Belum lagi rumah-rumah kayu yang dibangun dengan letak yang sungguh extreme.

Aku berjalan menyusuri tangga itu yang melingkar pada sebuah batu besar berbentuk kerucut. Di sebelah kanan tanggalah rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu itu berada. Rumah-rumah itu saling menyambung seperti ular.

Aku bisa melihat orang-orang di dalamnya sedang menonton acara televisi dari tv digital. Anak-anak kecil bahkan terlihat sedang bermain Wii U diatas rumah kayu mereka yang mengenaskan. Aku tak ingin lagi melihat semua kejanggalan-kejanggalan ini.
Kakek itu membawaku ke puncak pulau 50 meter diatas permukaan laut. Akhirnya kami tiba di sebuah bangunan di puncak batu tersebut. Bangunan itu bentuknya tidak seperti rumah lainnya dan terlihat lebih tua. Bangunan itu tak memiliki dinding hanya sebuah lantai kayu yang dibangun di ujung tanduk batu ini. Tak bisa kubayangkan jika bangunan ini rubuh maka semua rumah mungkin akan roboh dan semua orang akan mati.

Di ujung bangunan ada lantai yang menjorok keluar seperti papan loncat kolam renang yang mengarah langsung kelautan hitam.
“Kau Ingin ke Peredais? Kau bisa pergi dari sini,” ucap kakek tua itu.
“Bagaimana caranya?” tanyaku dengan gemetaran berjalan di lantai bangunan itu mendekati kakek yang tak gentar berdiri di ujung papan tersebut.
“Loncat ke bawah, nanti kau akan tiba di Peredais,” jawabnya sembari tersenyum lebar.
“Tapi, aku bisa mati jika loncat dari sini,” jawabku.
“Jika kau takut, kau akan mati. Jika kau berani, kau akan tiba di Peredais. Di tanah surga impian. Dan kau bisa mengetahui segala yang ingin kau ketahui disana,” katanya.
Dalam logikaku ini memang mustahil. Dalam peta digambarkan bahwa Peredais adalah sebuah daratan. Tapi bagaimana mungkin cara untuk kesana adalah dengan melompat dari angkasa setinggi 50 meter meluncur ke laut hitam yang dalamnya hanya 1 meter. Aku bisa mati. Tapi apakah mungkin ada sebuah teleport di udara? Tapi ini terlalu nyata untuk aku lakukan. Aku ingat apa yang tentara itu bilang bahwa aku harus melewati kematian agar tiba di tanah itu. Peredais-Paradise- Land. Tanah surga.

Aku memandang kearah bawah. Kakiku sampai gemetaran dibuatnya. Ibu menyuruhku pergi kesana. Dia bilang aku bisa mengetahui segalanya dan kebenaran apa yang sebenarnya terjadi dapat kuketahui. Hal yang aku inginkan. Mungkin memang benar inilah caranya. Aku butuh jawaban dari memori-memori masa lalu itu. Segala hal yang aku ingat. Segala hal dimana logika masih berjalan dan hal-hal tak masuk akal ini sebenarnya tak terjadi di dunia yang harusnya kutinggali. Aku butuh jawaban. Beberapa sudah terjawab dan tinggal satu lagi jawaban untuk melengkapi semua ingatan aneh yang selama ini mengusikku dan jawabannya ada di Peredais.
Aku akan melewati kemustahilan ini dan mendapatkan sebuah logika dibawah sana. Aku mengambil ancang-ancang dan terbang ke bawah sana. Ke dalam kegelapan untuk mendapat sebuah keterangan…
***

Aku tergeletak di suatu tempat. Air laut maju mundur mencoba menyadarkanku yang terlelap dalam gelap. Ku buka mataku dan berusaha bangkit. Aku tiba di sebuah pantai namun pantai itu tidak berpasir. Tapi berumput. Rumput itu berwarna hijau cerah. Cahaya mentari menyinarinya dengan jelas.
Pantai rumput itu membentuk sebuah bukit dan aku berjalan untuk mengetahui apa yang ada di baliknya…
***

Aku tak bisa menggambarkannya…
Untuk sejenak aku hanya bisa diam…
Mulutku mendadak kaku…
Tubuhku tiba-tiba saja mematung dan air mata mendadak mengalir pelan dari kedua mataku…

***
Bagiku, surga adalah bukan dimana saat kau bisa melakukan segalanya, tapi, surga adalah saat kau bisa melihat seluruh alam semesta tepat di depan matamu dan kau mengetahui segalanya. Seperti yang sedang aku lihat saat ini.
Diatas, langit hitam dipenuhi ribuan galaksi, jutaan planet berbagai ukuran, milyaran bintang berwarna warni gemerlapan menghiasi kegelapan. Nebula-nebula mengalir bak sungai nil mengisi kekosongan yang ada. Sedangkan di bawah aku melihat sebuah pemandangan yang tak kalah menakjubkan. Sebuah danau berwarna biru cerah berkilauan seperti berlian. Danau itu terletak di tengah-tengah padang rumput luas yang benar-benar hijau, padang rumput itu dikelilingi gunung-gunung marmer yang indah dan menara-menara Kristal pentagonal yang mencakar-cakar angkasa yang tumbuh di tengah-tengah bukit pinus yang rimbun. Segalanya sungguh indah menakjubkan tak terperi bahkan lebih dari apa yang bisa aku katakan.

Satu hal lagi yang membuatku terpukau dan membuatku mengingat segalanya dengan sekejap. Memori-memori, mimpi-mimpi, dan hal-hal tak masuk akal yang selama ini mengisi kehidupanku dapat aku ketahui. Segalanya terekam, awal kisah, cikal bakal dari segala sesuatu yang aku lalui. Kenyataan dan apa yang sebenarnya terjadi terkuak dalam pikiranku sendiri saat aku memandang satu hal itu. Dibalik gunung marmer nun jauh disana. Sebuah bangkai kapal ulang alik dan saat aku memandang kapal tersebut lebih dalam, pikiranku menerawang jauh ke dalam angan-angan dan semuanya terdeskripsikan disana…
***

1 Desember 2020.
Aku ingat hari itu. Saat itu aku sedang duduk di bangku depan, menyaksikan sebuah pentas seni Jepang yang digelar di gedung kesenian balai kota. Anak-anak menari-nari diatas panggung dan beberapa stasiun televisi menayangkannya secara Live. Pentas tiba-tiba terhenti dikala pemerintah menayangkan kabar penting mendadak. Kabar penting mengenai penemuan terbesar selama berabad-abad. Planet E2 berhasil ditemukan.

Planet yang dijuluki kembaran bumi tersebut sangat unik. Bentuknya tidak bulat sempurna, melankan lonjong seperti semangka. Atmosfernyapun sangat lah aneh. Bercahaya memancarkan warna biru dan jingga saling silang seperti garis semangka. Atmosfernya tidak melindungi planet itu secara sempurna. Dibagian selatan atsmosfernya sangat tebal namun dibagian utara begitu tipis hingga antariksa yang hitam dan bercahaya dapat terlihat dengan jelas di siang hari. Bukan hanya itu, planet tersebut hanya punya satu daratan utama seluas pulau madagaskar sisanya hanya air dan beberapa pulau mini padahal luas planet itu 5 kali lipat lebih besar dari bumi. Dan yang mengejutkan dari planet itu adalah, di daratan planet itu terdapat bangkai kapal ulang alik yang terkubur dalam tanah berusia 100 tahun.

Memori lain tergambarkan di langit itu. Meskipun aku tak pernah mengingat kejadian yang satu itu tapi semua tergambarkan dengan jelas disana.

Sehari setelah berita yang menggemparkan dunia itu, dalam malam berbadai aku diculik oleh seorang wanita bernama Anna Rose. Wanita yang selama ini aku anggap adalah ibuku. Wanita itu membawaku dalam sebuah portal ruang dan waktu dan membekukanku dalam tidur di rumah abadi Clingstone. Hingga suatu ketika aku tak mengingat siapa orang tuaku sebenarnya dan menganggap wanita itulah ibuku.

Mataku memandang ke sebuah bintang biru di angkasa hitam. Lalu memori lain terlihat jelas kembali disana.

Seorang gadis berkimono, sedang duduk di depan halaman rumahnya. Settingnya seperti dunia masa lalu di Jepang dan tahunnya menunjukkan 1212. Gadis itu bernama Hitomi, seorang peramal kerajaan. Entah darimana, kakek datang, berbicara dengan gadis itu menggunakan bahasa jepang dan gadis itu menuruti kakek masuk dalam portal yang membawanya sama. Ke dalam rumah abadi ini. Lebih tepatnya ke dalam kamar milik kakak perempuanku berparas jepang tersebut.

Hanya itu gambaran yang aku lihat. Tak ada yang lain lagi. Sejumlah pertanyaan dalam benakku? Siapakah Anna Rose? Kenapa dia menculikku dan hampir mencuci otakku agar aku menganggapnya adalah ibuku? Dan juga siapa kakek yang aku anggap kakekku itu? siapakah gadis Jepang yang kini jelas dia bukanlah kakakku?
Aku berjalan ke arah barat mendekati sebuah bukit terjal penuh dengan tiang-tiang Kristal yang menancap dengan sembarang. Ada sebuah tenda disana di dekat perkebunan bunga. Tenda itu terbuat dari kain modern dan rangka besi yang masih mengkilat. Aku melihat ke dalamnya. Ada dua sosok tengkorak disana. Yang satu pria dan satu wanita Terbaring diatas kasur yang putih dan bersih.

Dalam tengkorak lengan pria terdapat sebuah audio recorder. Aku mengambilnya dan menekan tombolnya. Sebuah suara terdengar.
“2058, namaku Dani, kami tiba di planet semangka. Namun kecelakaan terjadi. Kapal Peredais tak mendarat dengan mulus. Setengah badannya masuk kedalam tanah dengan kemiringan 70 derajat. Beberapa ratus orang meninggal namun yang lainnya selamat dan mencoba memulai hidup disini setelah kami menyaksikan bumi meledak dan kamilah yang terakhir…
“Ada bermacam masalah yang terjadi di planet ini. Tanaman dan benih-benih yang kami bawa dari bumi tak bisa tumbuh di satu-satunya daratan di planet ini….
“Tahun 2059, hal-hal yang tak masuk akal mulai kami temukan disini. Tanaman bisa tumbuh di air, orang-orang bisa berjalan di beberapa perairan tertentu, rumah bisa dibangun diatas air dan peralatan elektronik dapat menyala dengan air. Air adalah sumber segalanya di planet ini, hukum fisika, kimia, gravitasi dan segala hukum-hukum yang ada di bumi tidak berlaku di planet ini…
“Tahun 2060 dalam perhitungan bumi yang masih menjadi tolok ukur waktu di planet ini. Usiaku kini 52 tahun, dan aku baru akan menikah dengan seorang perempuan yang mencintaiku. Umurnya baru 25 tahun.
“Tahun 2064 Kami menemukan berbagai portal atau teleport yang membawa kami ke berbagai belahan planet ini bahkan planet lain. Yang lebih hebat adalah kami menemukan portal ruang dan waktu yang bisa terhubung dengan bumi di masa lalu. Masa sebelum bumi kiamat…

Hanya itu yang bisa aku dengar dari rekaman tersebut. Tak ada yang lain. Jasad yang terbaring di kasur itu ternyata adalah diriku. Tapi aku tidak bisa mengingat kejadian saat aku dewasa. Aku menyentuh lengan tengkorak tersebut dan satu memori lain terbayang dipikiranku.

Ditemukannya planet yang mirip bumi membuat orang-orang gembira namun ada kabar buruk lain saat pihak Nasa menemukannya. Selain mereka menemukan planet tersebut. Tanpa disangka-sangka mereka pun menemukan planet x yang mereka ketahui akan menabrak bumi. Mereka mengatakan planet Semangka akan mendekati bumi dengan titik jarak sedekat bulan pada tahun 2050 sebelum akhirnya menjauh dari galaksi bima Sakti. Sedangkan mereka mengatakan planet x akan menabrak bumi pada tahun 2058…
2050, usiaku 42 tahun dan aku telah bergabung dengan Nasa sejak sepuluh tahun yang lalu. Tahun itu, sebuah kapal luar angkasa raksasa yang dapat menampung 1 juta orang telah selesai dibangun. Dan tahun itu pula, aku bersama 999999 orang lain yang terpilih akan pindah ke planet semangka dan mencoba hidup di planet tersebut. Sementara orang-orang yang tersisa di bumi hanya akan menunggu kiamat datang saat planet x menabrak bumi 2058.

Itu memori terakhir yang muncul di kepalaku namun aku masih belum mengerti kenapa diriku yang masih anak-anak ini dibawa wanita itu ke planet ini. Ke dunia yang seharusnya belum perlu aku tinggali?
“Dani,” ucap seorang wanita di belakangku. Aku menoleh. Wanita itu, Anna Rose mendekatiku.
“Siapa kau? Kenapa kau membawaku kemari?”
“Setelah kamu meninggal, anakmu bersama suaminya membangun Clingstone di tengah lautan. Di rumah itu mereka melahirkan anak laki-laki bernama Regan. Anak-laki-laki yang kini sudah menjadi tua dan kau anggap kakekkmu. Tapi dia bukan kakekmu melainkan cucumu dan aku adalah anak dari cucumu,” jelas wanita itu padaku.
“Tapi kenapa kalian membawaku kemari? Dan siapakah gadis jepang itu? kalian membawanya pula kan kemari? Dari bumi? Dari masa lalu?”
“Kejadian buruk tengah terjadi, dan semenjak bertahun-tahun lalu, sesuatu yang jahat itu semakin menjadi-jadi,” ucapnya kemudian menghela nafas.
“Semua berawal saat portal ruang dan waktu yang dapat menghubungkan planet ini dengan planet lain maupun dengan bumi di masa lalu sebelum kiamat itu terjadi. Manusia-manusia aneh dari planet lain mulai berdatangan kemari. Awalnya mereka berniat baik namun seiring dengan berjalannya waktu lebih dari seabad lalu. Perlahan mereka mulai menguasai planet ini. Bahkan berniat menguasai planet bumi masa lalu,”
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanyaku.
“Kami akan mengubah masa lalu. Kami ingin bumi selamat dari kiamat tersebut dan manusia-manusia planet lain tak berhasil menguasai bumi. Kamu dan hitomi adalah dua juru kunci yang bisa mengubah masa lalu dan menciptakan masa depan yang indah,” jawabnya. “Masa depan di bumi,” tegasnya.
“Aku tidak mengerti. Jika kalian bisa ke masa lalu, kenapa tidak kalian sendiri yang mengubahnya?” tanyaku.
“Kami tidak hidup di masa lalu. Kamu hidup di masa lalu. Hanya kamu yang bisa mengubahnya,” jawabnya.
“Kalian membawaku di tahun 2020 tapi kenapa masa depanku tidak berubah? Jika aku tidak ada di tahun tersebut. Seharusnya akan ada yang berubah dan tidak akan ada kamu di dunia ini?”
“Kita hidup di dunia yang berbeda, dimensi berbeda, ruang dan waktu berbeda, dan situasi yang berbeda. Ilmuan-ilmuan bumi berpendapat jika perjalanan waktu dilakukan ke masa lalu dan di masa lalu diadakan perubahan maka masa depan akan berubah dan menjadi kacau. Tapi kenyataannya tidaklah seperti itu. Kamu tahu, alam semesta ini ibarat sebuah video game, kamu memainkan gamenya. Game yang sangat panjang dan kamu akhirnya men-save data game tersebut dalam sebuah memory agar bila ada hal yang tak dinginkan seperti game eror atau mati lampu, kamu bisa memainkan game itu kembali dari save data tadi. Bukan dari awal. Itulah yang terjadi dalam misteri waktu dan alam semesta. Waktu tersimpan dalam tiga bagian. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan dan tiga waktu tersebut tersimpan dalam 3 dimensi pula. Sebagai contoh: ibaratkan masa lalu adalah save data di file 1, masa sekarang adalah file 2 dan masa depan adalah file 3. Kau bisa pergi dan bermain di file 1, apapun yang kau lakukan disana tidak akan berpengaruh pada file 2 dan file 3 kecuali jika kau ingin mengubah masa depan, kau harus tinggal dan bermain di file 1 selamanya dan menghindari kesalahan yang terjadi di file 2 dan file 3,” ujarnya padaku dengan jelas.
“Seperti yang aku bilang. Aku tidak bisa mengubah masa lalu karena aku tidak hidup di masa lalu. Jika aku ingin mengubahnya. Maka aku harus selamanya tinggal di masa lalu. Di duniamu. Dan aku tidak mungkin bisa hidup selamanya di masa lalu. Aku ingin bumi selamat dari kiamat dan aku ingin dilahirkan kembali dan hidup di bumi serta mencegah manusia planet lain menguasai bumi maupun planet ini. Maka dari itu aku membawamu dan hitomi. kalian berdua yang bisa menyelamatkan bumi. Aku membawa kalian sebelum para manusia asing itu menemukan kalian terlebih dahulu namun ternyata usahaku tak cukup kuat hingga hitomi berhasil mereka rebut. Dan satu-satunya harapan kami adalah kamu, Dani,” tambahnya.
“Hitomi adalah file 1, kamu adalah file 2, dan aku adalah file 3. Kita tidak bisa merubah masa depan dari file 1. File 1 sudah eror dan hilang. Satu-satunya cara adalah merubahnya dari file 2. Dari kamu,” tegas Anna Rose.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyaku.
“Musnahkan file 3.”
“Caranya?”

Wanita itu memberikan aku sebuah remot kecil. Dengan satu tombol ditengahnya.
“Aku akan mengirimu kembali ke masamu, dan saat kamu melihat kapal itu, peredais di siaran televisi, segera tekan tombol ini. Apa kamu mengerti?” tanyanya. Aku mengangguk kemudian wanita itu memelukku.
“Dani, aku harap umurmu panjang dan melihatku lahir di bumi seabad kemudian,” ucapnya ditelingaku. “Sekarang, pandanglah bintang biru itu, kau akan tiba di duniamu,” tambahnya.

Aku memandang tanpa berkedip bintang biru yang berkilau indah tersebut dan tiba-tiba saja aku berada di tempat yang sangat aku pahami.

1 Desember 2020.
Aku sedang duduk di bangku depan, menyaksikan sebuah pentas seni Jepang yang digelar di gedung kesenian balai kota. Anak-anak menari-nari diatas panggung dan beberapa stasiun televisi menayangkannya secara Live. Pentas tiba-tiba terhenti. Sebuah layar yang terpajang dipinggir pannggung menampilkan sebuah berita.
“…Planet E2 berhasil ditemukan… Planet yang dijuluki kembaran bumi tersebut sangat unik. Bentuknya tidak bulat sempurna, melainkan lonjong seperti semangka. Atmosfernyapun sangat lah aneh. Bercahaya memancarkan warna biru dan jingga saling silang seperti garis semangka. Atmosfernya tidak melindungi planet itu secara sempurna. Di bagian selatan atsmosfernya sangat tebal namun di bagian utara begitu tipis hingga antariksa yang hitam dan bercahaya dapat terlihat dengan jelas di siang hari. Bukan hanya itu, planet tersebut hanya punya satu daratan utama seluas pulau madagaskar sisanya hanya air dan beberapa pulau mini padahal luas planet itu 5 kali lipat lebih besar dari bumi dan yang mengejutkan dari planet itu adalah, di daratan planet itu terdapat bangkai kapal ulang alik yang terkubur dalam tanah berusia 100 tahun…”

Kapal itu… peredais…
Aku melihat benda yang ada di tanganku. Benda itu, aku tekan tombolnya. Tiba-tiba saja Peredais meledak, membuat planet itupun ikut meledak. Jaraknya dekat dengan Uranus. Akibat dari ledakan tersebut. planet Saturnus, Uranus, dan Neptunus berpindah posisi dan keluar dari jalur lintasannya. Ketiga planet tersebut tak lagi mengitari matahari . Melindungi bumi dari jalur Planet X yang akan melintas 8 tahun kemudian.
***

Semua kenangan tentang planet semangka, Peredais Land, semua hal-hal janggal tak masuk akal sekaligus menakjubkan kini musnah dan memori tentang semua itupun kini perlahan hilang dari ingatanku. Dan saat aku bangun tidurku tadi pagi yang kurasa semua hanyalah mimpi. Pantai rumput, menara Kristal, danau berlian, gunung marmer, aliran Nebula, untaian galaksi, dan peredais… semua hanyalah bagian dari mimpi surga yang kuingat tadi malam…

PROFIL PENULIS
Avans Cross Lines lahir di Bandung, 31 Maret 1992. Bagiku mimpi adalah inspirasi terbesarku. Mimpi adalah jembatan yang menghubungkan antara khayalan dan kenyataan dimana aku dapat dengan leluasa menyebrangi garis antara kedua dunia tersebut. Untuk sejenak ikutlah bersamaku dan lihatlah seberapa indah, seram, romantis, lucu, bahagia, maupun menegangkannya jembatan itu.
Fb: Avans ‘Dani Cross Lines
Blog: avanscrosslines.blogspot.com
Share & Like