SEMALAM BERSAMA LONT*
Karya Alif Jazmin
Karya Alif Jazmin
Jam, 21:15 WIB
Perempatan lampu mirah yang tidak pernah sepi, tempat mengais intang receh demi receh para pedagang asongan dan pengamin jalanan, munkin para pengguna jalan yang lain saling menggerutu pada lampu merah yang telah menghambat laju jalan mereka yang sangat berharga, lebih berharga dari pada mendengarkan suara kerempeng para penyanyi jalanan yang menyanyikan lagu kegetiran hidupnya, dengan acuh mereka melemparkan koin lambang usiran disela dompetnya yang tebal.
Anak-anak kecil yang tergadaikan oleh peradaban berlarian diantara mobil-mobil mengkilat yang lebih bercahaya radipada lampu dirumahnya yang beratapkan jembatan. Mengharapkan uluran tangan dermawan yang meringis takut tubuh dekil itu menggores mobilnya
“hei enyah kau dari mobilku, tadi baru selesai dicuci di bank”
Angin berhembus membawa kesejukan tetes embun yang menusuk tulang, seorang wanita jawa usia tiga puluhan berdiri di trotuar dengan dandanan menor mengundang syahwat para pengemudi yang mimang bermental anjing.
Dulu dia merupakan seorang santri alim dari keluarga yang sangat teguh ibadahnya, namun gara-gara syetan yang bernama laki-laki telah mengkoyak kehormatannya di pematang sawah, dan kemudian hamil diluar nikah, keluarganya yang berharga emas tidak mau mengakui kekuningan kulit anaknya juga emas, lebih tepatnya mereka menganggap dia adalah tai yang telah melumuri wajahnya, dengan suara lantang dan tanpa bersalah keluarganya mengihlaskan dia berkeluarga dengan nasib yang nanti akan membimbingnya. Dia terusir dari rumahnya yang hangat dengan membawa janin kecil dalam rahimnya, namun anak malam yang ada dalam rahimnya meronta dan keluar disaat belum sempurna saat dia terjatuh di sebuah parit besar. Yang bernama gubang Dunia.
Dia butuh makan, dia butuh hidup, dia butuh uang, dan sekarang dia berdiri sejajar dengan orang kaya di sebuah kota dalam posisi yang berbeda. Lipstik merah menyala memoles bibirnya yang terus menyemburkan asap rokok untuk mengusir dingin, sambil menyelurkan senyum memikat pada para pengguna jalan di depannya, bedak harga ribuan memoles keriput yang hampir sempurna pada wajahnya, rambut yang dulu berhiaskan jilbab kini terpoleskan minyak rambut yang harga ribuan pula, minyak wangi lebih tepatnya berbau dupa menaburi tubuhnya yang terbalut kain yang hanya menutupi beberapa tempat yang tidak boleh dilihat oleh anak kecil dan juga kucing.
Namanya Jamilatul Laila, namun dia enggan untuk memperkenalkan nama itu, begitu sucinya nama yang telah diberikan oleh seorang kyai sepuh sekitar rumahnya dulu, Lont* itu tepatnya orang lain memanggilnya.
Udara yang menusuk tulang tidak menghengkangkan dia dari tempatnya berdiri, walau tadi sore minyak tanah dan kepingan uang logam telah menggurat punggungnya, dia harus terus hidup walau dengan beban yang semakin menindih dan persaingan yang semakin alot dengan datangnya beberapa saingan muda yang katanya hanya untuk menambah uang jajan
Dia memang sadar, usianya sudah hampir kepala empat, Lont* tidak mau muluk-muluk menentukan tarif dan kreteria pelanggannya, baik yang berdari kain sutera maupun berdasi handuk milik kernit tronton yang terpenting besok dapurnya masih bisa mengeluarkan asap. Lain halnya dengan wanita-wanita bahenol yang menempati lokalisasi kelas elit taraf Nasional bahkan Internasional yang terkadang tanpa malu diekspos di beberapa media masa bak artis, tarifnya sungguh melangit yang hanya bisa membuat tukang parkir dan wong jalanan meneguk air liur.
“Ini aku saja.....” Lont** akan menangkap kesempatan tersebut, yah...dia harus rela harga dirinya tergadaikan di truk-truk lintas pulau atau di semak belukar
Terkadang dia harus berurusan dengan Satpol PP, entah siapa yang menyepakati mereka harus menjadi Tom Kucing dan Jerry Tikus yang tak henti main petakk umpet, beberapa kali dia dan teman-temannya digiring ke lembaga pemasyarakatan wanita untuk mendapat pembinaan berupa keterampilan khusus dengan harapa mereka berhenti mangkal untuk mengojekkan tubuhnya
Tapi seperti Lont*...? bukannya dia bodoh, ijazah SLTA dengan pringkat memuaskan dia kantongi, namun nasib dan kesempatan yang telah menggiringnya kelembah ini, diberi keterampilan apa saja wanita-wanita seperti Lont* tidak ada gunanya, seandainya pemerintah membertikan lowongan pekerjaan pada mereka, mereka pasri mau berhenti, siapa juga yang mau berkubang terus dalam lumpur keculi kerbau dan gajah, namun jika mereka disuruh mencari pekerjaan sendiri di negara yang etos kerja dan ekonominya amburadul ini tidak mungkin, jangankan mencari pekerjaan, yang sudah memiliki pekerjaan saja di PHK (pemutusan Hubungan Kerja)
“mendingan seperti ini saja, sudah jelas dapat uang, dari pada ke barat, ke timur, ke selatan, ke utara hanya membawa Map tanpa penghasilan yang jelas”
Sebuah Mobil Pic-Up membawanya dalam lelah menunggu dengan senyum yang berusaha dia kembangkan dengan sempurna, walau dalam hantinya dia meringis melihat kumis melintang seperti Harimau disebelahnya.
Jam, 03:00 WIB
Dengan tubuh lusuh dan tulangnya seakan remuk semua, Lont* kembali ke gubuknya bengan membawa uang 80,000 dari empat tumpangannya, dengan jumlah seperti itu setidaknya besok dia biasa isterahat untuk meluruskan tulang-tulang yang tadi sempat di remuk-remuk, dia mengambil jaket lusuh untuk menutupi tubuh rentannya, lalu menuju dapur untuk menghidupkan tungku dengan sisa beras yang hanya cukup untuk sekali makan, tanpa lauk yang penting tubuhnya tidak kekurangan unsur karbohidrat, yah besok dia harus berpuasa lagi
Sambil batuk-batuk kecil dengan menahan sesak dadanya yang sudah hampir setahun menggerogoti tubuh dia menyuguh kayu pada tungku, yah...hanya tunggu itu yang menemani melewati hari tanpa siapapun yang memperdulikannya.
Terdengar suara kerempeng anak tidak punya kerjaan dari warung kopi sebelah dengan iringan gitar berbisik padanya
Ada yang benci dirinya_ada yang butuh dirinya_ada yang berlutut mencintaiya_ada yang kejam menyiksa dirinya_Kini hidup wanita si kupu-kupu malam_bekerja bertarus seluruh jiwa raga_Bibir senyum kata tulus merayu memanja_kepada setiap mereka yang datang
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh, bersama dengan nasi yang telah masak, Lont* menuju sumur umum di belakang rumahnya, dia marus lebih dulu di sana sebelum ibu-ibu yang lain datang dan akan menggojlokinya sebagai sampah yang lebih menjijikkan dari pada babi dan anjing
Air wudluk mengguyur beberapa tempat penting di tubuhnya, seakan aliran surgawi merasuki urat sarafnya
Setelah Subuh
Dengan mukena sama dekil dengan suasana temaram gubuk itu, Lont* berusaha menghadap tuhannya, yah....setelah tadi membagi kemesraan jalang dengan para Setan dia masih sempat bersenggama dengan Tuhannya, padahal di samping rumahnya, Pak Kaji empat kali yang menjadikan ka’bah seakan tempat wisata keluarga masih terdengar dengkuran panjang menyaingi suara kokok ayam yang mengais rezeki di pelataran rumahnya
Air mata Lont* membanjir menggenangi sejadah tikar lapuk yang sudah sering tercuci oleh air mata itu.
“Ya....Tuhanku, sekelam malam ini aku dalam kesucianmu, sebesar anugrah pandangan mata ini dosaku, namun izinkan aku bersimpuh sebagai sesama hambamu yang mempunyai pengaharapan
Ya.....Tuhanku, izinkan aku berharap. seumpama aku adalah api, setidanya tidak tambah menjadi bara, seumpama aku adalah lautan, setidanya tidak tambah menjadi gelombang
Izinkan hambamu ini untuk tenang, walau bukan disurga, namun jangan di neraka”
Dari susud bibirnya mengalir darah segar, dan tubuhnya dingin sedingin pagi hari ini.
Pagi Hari
Perkampungan itu geger, gubuk kecil yang telah menjadi jamur dan sampah masyarakat beberapa tahun ini mengeluarkan aroma bunga yang sangat segar, namun tak seorangpun yang berani mendekat, tidak juga ibu-ibu yang hanya tersenyum sinis, apalagi anak-anak atau bapak-bapak yang selalu mendapat pelototan dari keluarganya
Seminggu Kemudia
Ditemukan seorang wanita setengah baya mati dalam keadaan bersujud di sebuah gubuk desa welangan yang mengeluarkan aroma wangi, menurut masyarakat sekitar mayat tersebut bernama Lont* seorang W*S yang tidak diketahui asal-usul serta keluarganya
Setelah Polisi serta pihak rumah sakit mengadakan Otopsi terhadap mayat, disinyalir kematiannya telah tiga hari sejak ditemukan, dan penyebab kematian dikarenakan penyakit kronis yang telah dideritanya
Suara Harian Umat
Media massa mengekspos besar-besaran berita tersebut, bahkan menjadi halaman depan dengan melibatkan pendapat tokoh-tokoh penting keagamaan dan Supranatural bahkan beberapa pakar Politik dan Artis, Aneh...
“Ah...berita yang dibesar-besarkan, hanya mencari sensasi saja” ujar seorang kyai sambil meremas korannya dan dilemparkan ke tempat sampah.
Baca juga Cerpen Motivasi yang lainnya.