I Want To Be a Number One!!! - Cerpen Cinta

I WANT TO BE A NUMBER ONE!!!
Karya Maria Ulfa

“Kenapa sih gue selalu aja ada diurutan kedua?” gerutu Feli seusai pelajaran dikelas X.1.
“Yah elu Fel. Masih mending dapet juara umum dua. Sedangkan gua. Sepuluh besar kelas aja nggak kesampean.” Kata Fitri teman sebangkunya menasihati.
“Gue juga pengennya berfikiran kaya lo. Tapi ibu gue? Lu tau kan ibu gue kaya gimana? Dia nggak pernah puas sama peringkat dua gue fit! Pasti nanti gue bakalan kena maki ibu gue lagi.” Cerocos Feli kesal.

Fitri tersenyum simpul. “Gue ngerti. Lo mesti hadepin ibu lo fel. Tapi lo harus inget, nggak selamanya lo ada di urutan kedua fel.” Kata Fitri lembut.
“Fitri! Pulang yuk!” Ajak Tama, pacar Fitri dari bibir pintu.
Dengan tergesa-gesa, Fitri memasukkan buku-bukunya yang ada diatas meja kedalam tas. “Fel, gua duluan yah!” pamit Fitri seraya meninggalkan Feli.

Feli kini benar-benar sendiri dikelas itu. Enggan rasanya untuk pulang ke rumah. percuma! Pasti nanti ibunya akan memarahinya karena lagi-lagi ia hanya mendapatkan peringkat kedua di sekolahnya. Kenapa sih gue selalu diurutan nomor dua? Di sekolah urutan kedua. Setiap lomba juga, pasti cuman bisa dapet juara dua. di rumah? sama saja! Batin Feli.
Yah, selain anak kedua di rumahnya, Feli selalu dibanding-bandingkan oleh ibunya dengan Dian, kakaknya yang selalu menjadi juara satu disekolahnya.
Feli memandangi gelang yang melingkar di tangan kanannya. Mungkin orang-orang berfikir itu cuman gelang biasa. Tak ada modelnya sama sekali karena hanya berupa lempengan besi dengan hiasan kotak dipusatnya. Tapi bagi Feli gelang itu sangat berharga.
Ia menekan bagian atas hiasan kotak itu hingga lempengan atasnya terbuka. Feli menatap sebuah foto yang terpangpang didalamnya. Seorang anak kecil usia 12 tahun dengan seorang lelaki paruh baya yang sedang tersenyum bahagia. Lelaki yang selalu membelanya, jika ibunya memarahinya karena hanya mampu meraih juara dua di sekolah.

Seandainya ayah masih ada disini,mungkin Feli takkan serapuh ini,, Batin Feli.
Feli beranjak dari kursinya, melangkah tanpa semangat menuju atap sekolah yang mungkin dapat merefresh otahnya yang beku.
***

Feli duduk di pagar pembatas atap sekolahnya. Menatap kosong gerumunan siswa yang terlihat seperti kerumunan semut berlalu lalang di halaman. Kata orang atap itu angker dan banyak suara-suara aneh yang terdengar bila senja datang. Dulu memang ia takut datang kesana, Tapi kini Feli sama sekali tak peduli.
Diatap itu sunyi. Hanya ada Feli dengan kegundahanannya, dan kursi-kursi rusak. Kursi? Yah disana memang banyak kursi-kursi rusak yang disusun rapi disebelah timur, karena atap ini juga digunakan untuk menyimpan kursi dan meja-meja yang sudah tak terpakai.
Feli terus berdiri disana hingga senja pun datang. Diam sendiri, menikmati matahari senja yang baginya sebuah hadiah yang diberika Tuhan untuk hatinya yang kecewa. Mungkinkah sekarang Tuhan sedang menjadikannya nomor satu dengan memberikan hiburan ini? Entahlah. Yang jelas Feli satu-satunya makhluk bernapas disana yang dapat menimati hiburan Tuhan itu. satu-satunya? Hey! Tidak! Ada mahluk lain, yang sedang menatap Feli dari balik tumpukkan kursi-kursi rusak itu.
***

“Kenapa kamu baru pulang jam segini?” tanya ibunya di mulut pintu menyambut kedatangan Feli dengan serentetan pertanyaan yang sebentar lagi akan menyemburnya. Feli melirik jam yang ada dipusat ruang tamu. Jam 19.30. Feli masuk ke dalam tanpa secuil pun semangat ketika ibunya memberinya jalan untuk masuk. Ia melangkah menuju sofa Lalu meleparkan tubuh diatasnya. Ibunya menghampiri Feli dan duduk disofa yang lain.
“kenapa pulang telat? Kenapa tampang kamu lesu banget? Jangan bilang kamu lagi-lagi dapet juara dua?” serentetan pertanyaan yang benar-benar tak ingin Feli dengar. Feli hanya mengangguk tak ingin berkata apapun.
“Kenapa sih kamu selalu dapet peringkat dua? nggak pernah ada yang diatas. Jangan-jangan kamu jarang belajar yah. ibu jarang sekali melihatmu belajar. Seharusnya kamu contoh kakak kamu. Dia selalu mendapat posisi yang diatas. Sedangkan kamu...”
“Cukup!!” potong Feli ketus. “Feli lelah Bu.” Ucap Feli seraya pergi meninggalkan ibunya menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Feli mengunci kamarnya rapat-rapat dan melemparkan tubuhnya diatas kasurnya. ia mengambil Hp yang ada disakunya dan memutar aplikasi Mp3 dengan volume keras, lalu melemparnya tak peduli. Feli menenggelamkan wajahnya di bantal. Tak lama, bantal itu pun basah oleh air mata dan samar-samar terdengar suara sesegukkan yang tertelan suara alunan musik yang keras. Yah, ia menangis. Entah karena ia tak pernah merasakan menjadi nomor satu atau perlakuan ibunya yang selalu membading-bandingkan dirinya dengan kakak dan adiknya. Yang jelas Feli ingin menagis.
***

Tuhan kembali memberikan hadiah untuk Feli, matahari yang senja diatas atap sekolah. Benar-benar hanya Tuhan yang menjadikan ku sebagai nomor satu. Batin Feli.
“Tunggu! Bukannya hari yang senja ini selalu datang setiap sore, dan,, matahari terbenam itu bukan cuman gua yang dapat menikmati, seluruh manusia di dunia ini dapat menikmati matahari senja ini.” Ucap Feli menyanggah argumen batinnya.
“Berarti, matahari senja ini bukan hadiah dari Tuhan. Dan,,, mungkin gua hanya satu dari sekian juta yang selalu Tuhan liat diatas sana. Itu berarti, gua juga bukan yang nomor satu.” Ucap Feli meyakinkan sanggahannya.
Feli menjitak kepalanya sendiri. “Kenapa sih gue sebodoh ini?” Gerutu Feli pada dirinya sendiri.
Sepasang mata yang sama dengan kemarin memandang sikap Feli dari balik tumpukkan kursi. Pemilik mata coklat itu mengangkat halis kanannya tinggi-tinggi tak mengerti.

Kenapa gadis itu menggerutu sendirian? Bantinnya. Awalnya ia tak ingin peduli dengan gadis yang telah mengusik wilayah kekuasaannya, karena gadis itu tak menggagunya dan ia fikir mungkin gadis itu hanya akan datang keatap satu kali saja. Tapi ternyata, gadis itu kembali lagi ditambah dengan gerutuan tak jelas yang kini benar-benar mengusik kedamaiannya diatap itu.
“Hei cewe aneh!!” Panggilnya. Feli membalikkan badan. Menoleh kekanan dan kekiri. Tapi nihil! Tak ada orang. Feli mencoba menyakinkan dirinya jika ia salah dengar.
“Woi cewe aneh!!!” panggilnya dengan lebih keras. Sontak Feli terkaget-kaget. Bulu romanya menrinding, jangan-jangan mitos yang mengatakan tempat itu angker adalah benar?? Feli celingukkan mencari sumber suara. Ia yakin suara yang ia dengar tadi berasal dari balik tumpukkan kursi rusak itu. Feli menelan ludah sembari mencoba memberanikan diri melihat apa yang ada di balik tumpukkan kursi itu. Selangkah, dua langkah, Feli semakin dekat dan semakin dekat dengan tumpukkan kursi. Dan...
“Darrr!!”
Feli terperanjat dan tersungkur jatuh karena kaget. Refleks ia cepat-cepat berusaha mundur kebelakang dan menutupi wajahnya dengan ransel yang ia bawa.
“Ampun! jangan ganggu gue. gue nggak maksud macem-macem..” Pinta Feli gemetaran.
Tak ada suara terdengar. Feli memberanikan diri untuk mengintip dari balik tasnya. Dihadapannya sosok seorang lelaki tampan yang menggunakan seragam putih abu sedang tersenyum sangat,, sangat manis kearahnya,,

Feli mengucek-ngucek kedua matanya, berusaha meyakinkan bahwa yang dilihatnya bukanlah ilusi. Ketika ia membuka matanya dan berkedip beberapa kali, pemandangan yang ada dihadapannya tetap tidak berubah. tunggu! Memangnya ada mahluh halus yang seganteng itu? ahk tidak! Mungkin saja dia itu memang mahkluh gaib yang sedang berkedok sebagai lelaki tampan!
“Kenapa lo ngeliatin gue sampe segitunya? Emangnya gua mahluk aneh apa?” Gerutu lelaki itu.
“Lu bukan hantu kan?” Tanya Feli ragu. Lelaki itu mengernyit. Lalu tertawa, “Hahaha,,,”
“Emangnya ada hantu seganteng gue.” Ujar lelaki itu penuh percaya diri.
“Kalo lu bukan hantu, terus lu apa?” tanya Feli bingung atau mungkin ia linglung.
Tiba-tiba Lelaki itu bergerak, ia menndekatkan wajahnya dengan Feli, dengan cepat jemari lelaki itu menyentuh dagu Feli. Matanya menatap Feli tajam, seperti seekor musang yang menemukan domba untuk dijadikan santapan sore itu. Jantung Feli berdegup cepat seiring dengan sentuhan jemari lelaki itu di dagunya. Feli menelan ludah dalam-dalam, membalas tatapan mata itu takut-takut.

Lelaki itu tersenyum. “Gua manusia kaya lo!” seru lelaki itu tepat didepan wajah Feli seraya melepaskan tangannya dari dagu Feli dan menjauh.
Feli menarik napas dalam-dalam. lega. Ia merasa lelaki itu tak jadi memakannya.
“kenapa lo keliatan begitu lega? Jangan-jangan lo fikir gua bakalan ngapa-ngapain lo yah?” tanya lelaki itu menggoda. Feli mengangguk polos.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak gua sangka lo berfikir kaya gitu.”
“Abisnya, tadi sorot mata lo kaya mau ngapa-ngapain gua tau!” gerutu Feli ketus seraya bangkit berdiri dan berbalik badan hendak pergi meninggalkan tempat itu.
“Siapa nama lo?” tanya lelaki itu menghentikan langkah kaki Feli.

Feli berbalik. “Nama gue Feli. Ada apa lagi?”
“gue Raka kelas XI IPA 1.” Kata Raka memperkenkan diri sambil tersenyum.
Senyum yang meluluhkan hati setiap gadis yang melihat senyum itu, termasuk Feli. Hati Feli seolah-olah meleleh melihat senyum itu. oh Tuhan. Kenapa ada lelaki tampan yang punya senyuman semanis itu?pasti lelaki ini orang yang sangat baik karena punya senyum yang seindah itu. batin Feli.
“Jangan pernah datang kesini lagi!” Tambah lelaki itu dengan nada yang dingin dan tampang yang,,, begitu,,, datar!! Kemana senyum manisnya itu??

Feli terbelalak. Hatinya yang meleleh kembali beku oleh kalimat terakhir yang lelaki itu ucapkan. Padahal baru saja ia memuja-muja lelaki itu. tapi hanya dengan satu kalimat, pendangan Feli berubah total 360 derajat. Lelaki itu bukan lelaki baik! Dia menyebalkan!!
“Kenapa? Emangnya ini atap punya lo!” gerutu Feli.
“Karena lo udah ngeganggu ketentraman gua diatap ini dan gua nggak mau berurusan sama lo. Ngerti?” ucap Raka dingin.
Feli berbalik badan dan mendengus kesal. Lebih baik ia segera pergi.
Raka tersenyum puas karena ia dapat mengusir orang yang telah mengganggu ketenangannya diatap itu. ia yakin besok dan seterusnya gadis itu takkan kembali lagi.
Raka memincingkan mata melihat lempengan perak yang bersilauan terkena matahari senja. Sebuah gelang. Ternyata dugaan Raka salah. Ada hal lain yang membuatnya harus kembali berurusan dengan gadis itu.
***

“Fit, lu tau nggak cowo yang namanya Raka kelas XI IPA 1?” Tanya Feli disela-sela acara makan siangnya bersama Fitri dikantin sekolah siang itu.
“Tau. Emang kenapa?” Tanya Fitri yang asyik mengaduk-ngaduk jus jeruknya.
“Dia orangnya nyebelin yah?” Tanya Feli penasaran.
Fitri melongo. Sejak kapan temannya yang terobsesi untuk menjadi nomor satu ini ingin tau tentang kepribadian cowo? Jangan-jangan,,,
Fitri tersenyum penuh arti. “Lu ngaco fel. Setau gua Ka Raka itu jadi inceran banyak cewe di sekolah kita, jadi nggak mungkinlah kalo dia nyebelin. Kalo misal dia nyebelin, mana ada cewe yang mau deket-deket sama dia.” ucap Fitri menjelaskan.
“Pada aneh banget sih cewe-cewe di sekolah kita? Cowo aneh kaya dia dipuja-puja!”
“Hah? Cowo aneh? kayanya lo deh yang aneh. cowo sesempurna Raka di bilang cowo aneh.” Ujar Fitri heran.
“Sempurna gimana sih? Jelas-jelas dia aneh!” seru Feli tak mau kalah.
Fitri terbelalak. “dia itu SEMPURNA Feli! Otaknya encer, seencer-encernya air mineral. Saking encernya, dia bisa mempertahankan tahtanya sebagai juara umum sejak dia SD! Bukan cuman itu, dia juga pernah meraih juara 3 olimpiade Matematika tingkat nasional. Dia juga dua kali loncat kelas fel! Selain pintar, dia juga jago maen basket sama maen gitar. Banyak piala yang udah dia raih dan dipajang diruang tamu sekolah kita. Huh. Udah multitalenta, orangnya juga cakep banget. Emang sih dia jarang senyum, tapi kalo udah deket katanya yah, dia itu orangnya baikkkk bangetttt.” Ucap Fitri menggebu-gebu, menjelaskan dengan penuh semangat 45. Feli benar-benar kalah telak. Penjelasan Fitri benar-benar gamblang dan detail. Sesempurna itukah lelaki itu? Batin Feli.
***

Feli menapaki halaman sekolah yang dipenuhi orang-orang berseragam putih abu yang hedak pergi melakukan kegiatan masing-masing seusai waktu belajar disekolah habis. Feli celingkukan di pintu gerbang sekolah. bingung akan kemana karena ia malas pulang cepat-cepat. Feli hanya sendirian karena Fitri, temannya pulang duluan bersama Tama, pacarnya.
Pacar? Huh! Seandainya gue juga punya pacar seperti Fitri. Batin Feli. Pacaran? Ibunya kan melarang ia, kakak dan adiknya untuk pacaran dengan alasan pacaran itu membuang waktu dan membuatnya tidak dapat fokus pada belajar. Feli selau mematuhi perintah ibunya, maka dari itu ia tak pernah berurusan dengan yang namanya pacaran.

Raka mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata Feli. Tak ada reaksi.
“Woii!!” seru Raka dengan nada yang tinggi, membangunkan Feli dari lamunannya.
Sontak Feli terkaget-kaget. Ia langsung gusar melihat sosok mahluk yang ada dihadapannya. “Ngapain lo ada disini? Bukannya lo nggak kepengen berurusan sama gua lagi?” tanya Feli ketus.
“Awalnya sih gitu.” Jawab Raka dingin.
“Tapi,,” Raka mengepal tangan kanannya dan mengayunkannya ke wajah Feli. refleks Feli langsung menutup matanya karena takut Raka benar-benar akan memukulnya. Tapi kenapa Feli tak merasakan sakit sedikit pun? Feli membuka matanya secara perlahan. Sebuah gelang manjuntai dihadapannya. “Ini punya lo kan?”

Feli terperanjar kaget. Ia langsung meraih gelang itu dari tangan Raka. “Kenapa gelang ini ada di tangan lo?” tanya Feli dengan tatapan penuh curiga.
“Apa? Lo kira gua maling. Ngapain gua maling gelang jelek kaya gitu! kemaren gelang lo jatuh diatap.” Jelas Raka.
Feli sesaat menatap Raka takjub. Lalu memalingkan tatapannya ke gelang itu. ia menatap nanar gelang itu. tak lama kemudian ia pun terisak dan menangis.
“Heh! Lu kenapa nangis?” tanya Raka gusar karena tatapan curiga orang-orang yang berseragam putih abu yang mengenalinya.
“Ini bukan salah gua.” Raka kelabakkan menjelaskan pada teman-teman yang menatapnya curiga. Tapi semakin Raka memberi penjelasan pada orang-orang, isakan Feli semakin keras seolah-olah disengaja. Raka menarik napas dalam-dalam. ia meraih lengan Feli dan membawanya jauh-jauh dari keramaian.
***

Raka menyodorkan sapu tangan warna biru miliknya pada Feli. Ahkirnya gadis itu berhenti menangis setelah setengah jaam berlalu diiringi dengan isakan yang keras menggema diatap itu. Feli menerima sapu tangan itu dan menghapus sisa-sisa air matanya. Merasa sudah cukup menangis, Feli mengembalikan sapu tangan itu.
“Makasih.” Ucap Feli. Raka menatap sapu tangan itu.
“Simpen aja.”
“Kenapa? Lo jijik sama bekas air mata gue yah?” Tanya Feli polos.
Raka cengengesan. “Salah satunya itu.”

Ingin rasanya Feli marah. Tapi ia sadar saat ini dia tak pantas marah pada orang yang telah menemukan barang paling berharga miliknya.
“Kenapa lu bawa gue kesini?” Tanya Feli tak mengerti.
“Heh! Cewe aneh! lo tau nggak? Lo itu udah malu-maluin gua di pintu gerbang tadi!”
“Maaf..” Pinta Feli tulus. Raka menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.
“Yah udah. Lo kenapa nangis hah??” Tanya Raka dengan nada tinggi.

Feli menatap Raka polos. “Lu marah yah sama gue?”
“engga!!” seru Raka kalut.
“Kalo engga, kenapa nada bicaranya tinggi banget?” Raka kembali menarik napas dalam untuk kesekuan kalinya. “Ok. Kenapa lo nangis di depan umum tadi?” tanya Raka dengan nada yang lebih halus.
Feli pun menceritakan betapa pentingnya gelang itu dan ibunya yang selalu membanding-bandingkan dirinya yang selalu hanya bisa mencapai juara dua sebagai titik tertinggi yang bisa ia capai. Padahal untuk meraih juara dua saja ia harus berusaha sekeras mungkin yang ia mampu. Feli juga bilang, jika ia selalu memutar musik saat ia menangis dikamarnya untuk menelan suara isakannya yang keras.

Raka mendengarkan pembicaraan Feli dengan tampang yang begitu bosan, dari berdiri hingga mereka duduk. Feli terus menceritakan kisahnya. Hingga Raka menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya sampai cerita Feli berakhir. Feli menengok ke arah Raka. Betapa kesalnya ia, ketika tau jika Raka tak memperdulikan kisahnya.
“Raka! Lu tidur??” Tanya Feli seraya menepuk bahu Raka. Raka mendongak, menatap wajah Feli yang sudah seperti kepiting rebus, merah karena menahan emosi.
“Lu udah selesai ceritanya?” Tanya Raka dengan tampang tak berdosa.

Feli memalingkan wajah. Ia urungkan niatnya untuk marah. Percuma! Seharusnya ia tak perlu menceritakan kisahnya. Pasti sejak awal lelaki itu menganggap kisahnya sangat membosankan!! Tiba-tiba Feli kembali terisak dan menangis.
“Hei. Lu kenapa nangis lagi? Lu belom kenyang nangisnya?” Tanya Raka kelabakan.
“Gua nangis karena lo nggak ngedengerin omongon gua. Seharusnya sejak awal gua nggak usah cerita kisah gua sama orang yang nggak ngerti masalah gue!!”
“Gue ngerti kok masalah yang lo hadepin. Jadi jangan nangis yah?” pinta Raka.
“Ngerti apanya? Orang lo tadi tidur. nggak ngedengerin cerita gue!” bentak Feli.
“Gue bodoh banget sih! Cerita sama orang yang selalu dapet juara satu di sekolah.” tambah Feli penuh sesal.
“Gue ngerti kondisi lo. Karena,,, karena gue baru di duain.”
Feli menoleh. Menatap Raka lekat-lekat. “Apa maksud lo? Gu nggak ngerti? Jangan-jangan Ibu lo ngeduain lo, gitu?” tanya Feli penuh tanda tanya.
Raka memutar bola matanya. Heran. “Jangan bilang lo belom pernah pacaran?”

Feli menggeleng. Raka menepuk keningnya. “Ya Tuhan!” puja Raka.
“Kenapa? Emangnya salah?”

Kenapa cewe lemot ini bisa dapet juara dua? Batin Raka.
“Denger yah. gue bukan diduain sama ibu gue. Tapi sama pacar gue. Ngerti?” Feli mengangguk. “Lagian mana ada sih ibu yang ngeduain anaknya.” Ujar Raka seraya tersenyum simpul.
“Ada. Ibu gue ngeduain gue! Gara-gara gue cuman bisa dapet juara dua, ibu gue ngeduain gue sama kakak gue!” bantah Feli seraya kembali terisak.

Raka meraih wajah Feli. Sesaat mereka bertatapan hingga Raka menghapus sisa-sisa air mata gadis itu dengan jemarinya. “Jangan nangis lagi yah. gue paling nggak bisa liat cewe polos kaya lo nangis.” Pinta Raka diakhiri dengan senyuman. Feli langsung menundukkan kepala. Wajahnya terasa begitu panas. Ia yakin pasti pipinya bersemu merah.
“Ibu lo bukan ngeduain lu. Dia pengen ngasih mitovasi buat lu supaya bisa jadi juara umum satu. Cuman cara memberi motivasinya yang salah. Seharusnya bukan dengan membanding-bandingkan, karena setiap anak itu berbeda.” Ucap Raka menjelaskan. Feli mencoba mencerna kata-kata Raka.
Raka melihat Feli bingung. “Lo kenapa sih? Kalo orang lagi ngomong tuh diliatin. Lo malah nunduk.” Gerutu Raka.
Feli menggeleng. “gak kenapa-napa.” Feli berusaha menguasai dirinya yang masih terlena akan kata-kata Raka tadi. Feli yakin pipinya tak lagi merah padam.

Feli mendongak. Menatap Raka lamat-lamat. Hening. Raka tiba-tiba mati gaya ditatap Feli seperti itu. salah tingkah! Dan mungkin sebentar lagi harga dirinya musnah karena tingkah anehnya. Raka menarik napas dalam. hey! Gue kenapa? Nggak biasanya gue salting didepan cewe? Batin Raka.
“Nggak segitunya juga!” bentak Raka dengan sorot mata tajamnya mencoba mempertahankan harga dirinya.
Feli sontak terkejut dan kembali menunduk. “Maaf.” Pinta Feli.
Feli tak berani menatap Raka. Sementara Raka bersyukur karena gadis itu tak memandanginya lagi, ia masih harus mengatur dirinya untuk bertingkah seperti biasa. Beberapa saat keheningan menyelusup diantara mereka hingga Raka kembali mengawali pembicaraan. “Lu mau jadi yang nomor satu?”

Feli mendongak menatap Raka penuh harap lalu mengangguk. Raka menatap Feli dingin lalu berdehem. “Nggak usah mandangin gue sampe segitunya!” bentak Raka untuk kesekian kali.
Feli kembali menunduk pasrah atas perlakuan cowo menyebalkan itu. kenapa ia harus takut pada lelaki menyebalkan itu? padahal dia kan lebih tua satu tahun dari lelaki itu. ingin rasanya Feli berkata seperti itu. tapi kalimat-kalimat itu langsung menggantung ditenggorokan ketika melihat sorot mata tajam lelaki itu. sorot matanya bagai menghipnotis Feli utnuk menuruti kata-kata lelaki itu.
Raka mendekatkan wajahnya ketelinga kanan Feli dan berbisik disana. “Berguru sama gue. Tapi lo harus janji. Lo harus berdiri berdampingan sama gue nanti diatas podium.”
***

“Ini caranya salah!!” Bentak Raka ketika mengajarkan Feli matematika di hari yang senja diatap sekolah. sudah seminggu belakangan ini ia berguru pada Raka. Hanya Setiap hari selasa, rabu dan sabtu mereka dapat bertemu diatap itu. Feli inginnya sih setiap hari belajar gratis pada Raka tapi mau bagaimana lagi? Di hari lain mereka punya kesibukkan masing-masing. Feli ingin bertemu diatap bukan hanya untuk mencuri ilmu Raka, ia juga ingin setiap hari melihat wajah tampan Raka dan entah kenapa ia ingin selalu dekat-dekat dengan Raka.

Feli melirik soal nomor tujuh yang barusan ia kerjakan. Apanya yang salah? Dia merasa caranya telah sesuai dengan contoh soal.
“Gua rasa cara gue udah bener.” Bela Feli.
Raka mendengus kesal. Ia meraih pensil mekanik yang ada ditangan Feli dengan paksa. “kata gue salah, yah salah! Liatin gimana cara gue ngerjain soal ini!” Suruh Raka.

Meski kesal Feli menuruti perintah cowo itu. Raka menjelaskannya secara singkat namun jelas. Hanya perlu beberapa baris untuk soal itu. sedangkan cara yang Feli gunakan hampir menghabiskan selembar kertas! Feli menatap Raka takjub. Lalu melirik hasil jawaban Raka. Feli terbelalak, ia melirik jawaban Raka dan jawabannya secara bergantian.
“Hasilnya sama.” Gumam Feli.
“Gue kan cuman bilang caranya yang salah. bukan jawabnnya yang salah!” kilah Raka.
“kalimat lu rancu!!” Gerutu Feli dalam hati.
***

Senja hari ini hilang, berganti dengan senja yang lain. senja, saat dimana matahari akan kembali keperaduannya. Bagi sepasang anak manusia diatap itu, senja terlalu cepat menggapai peraduaannya, padahal senja selalu kembali dengan tempo yang sama. Begitukah rasanya bertemu dan berdekatan dengan orang yang diharapkan? Waktu terasa berjalan begitu cepat. Entahlah. Yang pasti enam bulan sudah mereka saling bertemu ketika senja datang diatas atap gedung sekolah itu.
Hari sabtu selesai upacara penurunan bendera. Saat-saat yang Feli nanti selama enam bulan lamanya. Hari inilah perjuangannya akan terjawab.

Seorang lelaki dengan wajah bersahajanya menaiki podium. Siapa lagi jika bukan pak Tri, sang penguasa sekolah. “Pagi anak-anak.” Sapanya melalui microfone.
“Pagi pak.” Balas anak-anak serempak.
“Hari ini orang tua kalian akan datang untuk mengambil buku raport kalian. Sebelum itu, bapak akan mengumumkan siapa yang menjadi juara umum disetiap tingkatan kelas.” Jelas pak tri. Tanpa dikomando, sontak anak-anak pun riuh membicarakan siapa kemungkinan yang akan meraih gelar hebat itu.
“Karena kelas XII sudah tidak ada. Jadi kita mulai dengan kelas XI. OK. Juara umum kelas XI IPS diraih oleh,,, Tiara Fidlianti.” Sorak sorai, teriakkan dan tepuk tangan bergema dilapangan itu. seorang cewe yang pasti bernama Tiara keluar dari barisan menuju podium.
“Juara umum dari kelas XI IPA,,, adalah,, Raka Rasyaka.” Sorak sorai dan teriakkan kembali bergemuruh dilapangan.” Tatapan Feli menangkap seorang lelaki yang keluar dari barisan menuju podium. Semoga gue bisa berdiri diatas podium bersama Raka. Batin Feli.
“dan juara umum untuk kelas X adalah....”
***

Feli menatap kosong mentari senja sembari berdiri bersandar pada pagar pembatas atap sekolah. Raka menghampiri Feli dengan susu kotak coklat ditangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegangi susu kotak yang sedang ia minum. Raka menyodorkan susu kotak itu pada Feli, dan tanpa berfikit lagi Feli langsung menerimanya.
“Maaf.”

Raka menatap Feli tak mengerti. “Untuk?”
“Karena nggak bisa berdiri diatas podium bareng sama lo.” Jelas Feli.
Raka tersenyum. “Lo masih ada satu kesempatan.”

Feli menatap Raka lamat-lamat meminta penjelasan. Namun Raka malah membalasnya dengan tatapan yang begitu teduh dan lembut. Bagi Feli tatapan seperti lebih menakutkan daripada tatapan tajamnya. Feli memalingkan wajah, namun tiba-tiba Raka meraih wajah Feli. Membuat wajah Feli tetap mengarah padanya.
“Jangan palingkan wajah lo.”
Feli menatap heran. “Bukannya lo nggak suka.”
“Nggak. Gua suka kok.”

Feli terperangah tak percaya. “Apa maksud lo? Gue nggak ngerti.” Tanya Feli polos.
“Apa lo bisa simpan gue sebagai yang pertama dihati lo?” tanya Raka tanpa ragu.
“Ih. Gue nggak ngerti. Raka, Kalo bicara jangan pake kalimat yang rancu, bisa kan?”
“Omongan gue nggak pernah rancu. Lo ajah yang susah nangkep.” Gerutu Raka.

Feli terbelalak. “jadi maksud lo otak gue lemot?” tuduh Feli tak terima, membuat Raka harus menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosinya yang mungkin akan memanas. “Mending gue pergi deh.” Ucap Feli seraya hendak pergi, namun Raka langsung meraih lengan Feli.
“Gue suka sama lo!” seru Raka. Feli langsung membalikkan badan.
“Sebagai cowo. Gue suka sama lo!” ulang Raka memperjelas karena takut Feli menganggap omongannya rancu atau kurang jelas.
“Gue pengen, lo anggep gue sebagai cowo nomor 1 di hidup lo!” ucap Raka.

Feli menarik napas dalam. “Maaf. Udah ada lelaki lain yang jadi nomor satu di hidup gue.” Raka terperangah. Ternyata ia memang tak pernah menjadi nomor satu di hati gadis yang ia suka, baik Feli maupun gadis yang pernah ia sukai. Semuanya sama saja. Menganggapnya sebagai yang kedua! Perlahan genggaman tangan mengendur dari lengan Feli seiring menurun semangatnya.
“Lelaki itu ayah gue.” Tambah Feli. Raka terperangah. Semangat yang mulai menurun kembali terisi. Spontan ia langsung meraih pundak Feli, membawanya kedalam pelukkannya yang hangat. “gue kira beneran ada lelaki lain yang lo suka.” Gumam Raka lega.
“Emang ada kok.”bantah Feli. Sontak Raka langsung melepaskan pelukkannya.
“Siapa?” Tanya Raka kalap.
Feli tersenyum manis. “Dia pinter, ganteng, jago maen gitar, jago main basket, tapi sayang dia suka ngomong dengan kalimat rancu, dan orangnya juga nyebelinnn bangett!” Jelas Feli.
Raka terheran-heran. “Kenapa lo suka sama cowo yang kepribadiannya jelek kaya gitu?”

Feli kembali tersenyum. “namanya Raka Rasyaka, dan orang nya ada didepan gue.”
“Maksud lo gue?” tanya Raka kesal. Feli mengangguk bangga.
“Eh sifat gue nggak sejelek itu yah!!” Bantah Raka.
“Emhh,, masa sih?” goda Feli. Raka menatap Feli kesal. Ia meraih pundah gadis itu. dan menariknya kembali kedalam pelukannya.
“Feli. Lo nomor satu dihati gue. Gadis yang bikin gue suka tersenyum itu cuman lo.” Gumam Raka.
***

Enam bulan berikutnya pun datang. Dihari sabtu, saat upacara penurunan bendera selesai. Pak tri naik ke podium untuk mengumumkan juara umum semester ganjil. Juara umum kelas XII IPS dan XII IPA tetap sama seperti semester kemarin. Feli menatap Raka yang sudah naik duluan ke atas podium. Raka tau Feli melihatnya, lelaki itu pun tersenyum manis pada Feli.

Syaf, sekarang gue tau apa maksud lo masih ada satu kesempatan lagi. Lo benar. Kalimat lo nggak rancu. Hanya gue yang kurang peka dengan kata-kata lo. Maaf karena gue baru tau belakangan ini,, dan gue berharap di kesempatan terakhir ini, kita bisa berdiri diatas podium yang sama. Batin Feli.
“Juara umum untuk kelas XI IPA adalah,,, Feli Adrinata!!” seru pak tri. Sorak sorai, dan tepuk tangan menggema dilapangan menanti orang yang akan keluar dari barisan dan berjalan menuju podium. Akhirnya gue bisa berada diatas satu podium yang sama dengan lo Syaf. Batin Feli seraya berjalan menuju podium. Feli menapaki anak tangga untuk keatas podium. Di anak tangga terakhir, Raka mengulurkan tangannya menyabut Feli. Tanpa ragu Feli meraih lengan itu. merajut jemarinya dengan jemari Raka dan berdiri diatas podium yang sama sebagai nomor satu.

Feli dan Raka bersitatap lalu tersenyum. Tatapan mereka saling menyuratkan kata yang ada dibenak mereka secara berbarengan pada diri masing-masing, nomor satu diatas podium ini bisa saja berubah suatu saat nanti. Tapi nomor satu di hati ini tetap cuman lo seorang.

PROFIL PENULIS
Nama saya Maria Ulfa. seorang gadis remaja biasa yang suka menggambar dan berhayal. masih anteng duduk dibangku kelas XI SMA Kornita. fb : maria ulfa prasetya. thanks.

Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya
Share & Like