Bangsaku di Mata Lebah - Cerpen Motivasi

BANGSAKU DI MATA LEBAH
Karya Wasta Tama

Orang-orang berbondong-bondong masuk ke sebuah negeri dengan berjalan kaki, dengan ada yang bersepatu dan bertelanjang kaki. Semuanya tanpa perlindungan. Wajah mereka lugu dan pucat, jelas sekali mereka tengah merindukan sesuatu. Sesuatu yang sulit mereka dapatkan dalam situasi negeri macam ini. Dengan birokrasi yang carut-marut.

Aku matikan televise usang. Acaranya selalu tak menarik, Cuma perulangan kejadian yang itu-itu saja, seputar kongkalikong penguasa, kecurangan dan kemiskinan dan koar-koar tentang peningkatan ekonomi Negara. Yang aku lihat disini, tak ada rakyat penghuni lantai dasar negeri ini yang merasakan dampak peningkatan ekonomi makro.
Aku membuka-buka buku koleksiku yang belum sempat aku baca sejak aku beli beberapa waktu yang lalu. Dan catatan-catatan tangan, dan print out pencarianku di dunia maya.

Sesosok tubuh mungil mendekatiku, berjalan sempoyongan sambil terbatuk-batuk. Seekor lebah tergeletak di meja dekat buku bacaanku. Ia menatapku tajam, sebuah tatapan yang membuat siapapun akan merasa bersalah. Ada kunang-kunang di matanya.
“hai.” Kata sebuah suara. Aku celingukan.
“disini! Aku yang tengah bicara denganmu.” Lebah itu menghentak-hentakkan kakinya.
“aku memelototinya sambil tak percaya dengan yang aku dengar. Lebah itu membentakku.
“kau?” aku bertanya tak percaya.
“iya, aku!” jawab lebah itu.
“siapa kau?”
“lebah madu, namaku Raden Agya.” Ia menjelaskan, aku tersenyum dalam hati. Ada seekor lebah memperkenalkan diri sebagai raden. Jika ada manusia lain yang medengarnya, barangkali ia sudah dipukul dengan sandal atau gada. Mungkin akan tak terima jika ras selain manusia punya gelar raden, sedang manusia pun tak semuanya punya berhak dengan gelar macam itu.
“kau piker gelar itu Cuma buat mansuia? Di negeriku, aku adalah seorang pangeran. Aku juga kenal pak tua Rey Santana, penasihatmu itu.”
Bagaimana ia tahu pikiranku? Darimana ia dapat informasi tentang hubunganku dengan Ki Rangga?

Aku menyerah, “kau kenapa?”
“keserakahan bangsamu, aku keracunan pestisida, membuatku mual-mual dan pusing, sampai tak bias terbang.”
“kenapa tak pakai masker?”
“bodoh! Bukan Cuma aromanya saja, madunya sudah teracuni pestisida, lagipula bagaimana caraku menghisap madu jika aku masih pakai masker?”
“hahaha, maaf, aku tak tahu. Tapi aku tak setuju jika menyalahkan bangsaku dengan begitu saja. Ini punya sejarah yang panjang, hampir tigapuluhan tahun. Tentu saja kau belum lahir, aku pikir kau baru lahir beberapa bulan yang lalu.”
“bias kau ceritakan? Aku lebah yang suka saling tukar pengalaman, biar nanti aku sampaikan pada rakyatku, dan tak semua manusia akan disengatnya. Aku takut setelah kejadian ini para lebah akan mengumumkan perang terhadap manusia. Aku tak mengharapkannya, tapi jika semua sudah diputuskan, aku tak mampu berbuat apa-apa. Tak perlu kita ceritakan tentang ribuan galon madu kami yang dirampas oleh manusia, itu sudah menjadi pengetahuan bersama.”
“bukankah kau seorang pangeran? Tentunya punya kuasa yang lebih.” Kataku mengingatkan.
“negeriku lebih demokratis daripada negerimu. Hak bicara antara pangeran dan pekerja adalah sama. Gelar hanya symbol belaka, tak bias dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.”
“barangkali para anggota parlemen negeriku juga perlu belajar tentang demokrasi, sepulang belajar etika di Yunani.”
“ya, ya, aku pernah mendengar itu. Apakah kau dan sebangsanya tak merasa terhina dengan keberangkatan mereka. Itu sama saja menghina bangsa sendiri sebagai bangsa yang tak punya etika, sampai harus ke Eropa.”
“mereka yang belajar berarti mereka yang tak bisa beretika. Mereka memang bebal, disini ada istilah desa mawa tata kota mawa cara. Artinya? Cari sendiri di kamus peribahasa Jawa.”
“tidak terbalik? Apa bukan desa mawa cara kota mawa tata?”
“kau manusia, sekarusnya lebih tahu. Kita kembali ke soal madu, bisakah kau ceritakan muasalnya, seperti yang tadi kau katakana.”
“ini bermula dari tahun 1950 di Meksiko, dimana semua orang panik akan ketakseimbangan antara produksi pangan dengan pertumbuhan manusia. Lantas manusia membuat rekayasa untuk meningkatkan produksi pangan. Dan hasilnya memang memuaskan, Meksiko mampu menjadi eksportir gandum. Sampai-sampai penemu program ini mendapat hadiah nobel.”
“tunggu… tunggu….” Tukas Raden Agya, sambil membolakbalik buku yang baru saja ia ambil dari tasnya.
“dari literature yang aku baca, revolusi hijau ini hanya fokus pada tanaman pangan untuk makanan pokok. Dan tadi aku keracunan pestisida dari bunga tembakau.”
“itu yang jarang kita curigai, revolusi hijau bertumpu pada 4 hal, irigasi, pupuk kimia, pestisida dan varietas unggul. Apa tidak mungkin jika beberapa tahun kemudian mereka menggunakan itu untuk tanaman yang lain? Seperti yang tadi kau katakan, manusia semakin hari semakin serakah.”
Raden Agya menggut-manggut, menggigit ujung ballpointnya, entah apa yang digarisbawahi, “masuk akal juga…”
Huh! Dasar lebah sok tahu, dianggapnya aku lebih bodoh dari dia. Sampai pendapatku saja diterima dengan acuh. Aku tak tahu jalan pikirannya.
Lalu dia memukul-mukul kepalanya, juga dengan ujung ballpointnya, serupa manusia ketika tengah memikirkan sesuatu. Aku diam saja, keki dibuatnya.

Lama ia berposisi seperti itu, tanpa suara atau gerak yang lain. Tak sabar juga dengan tingkahnya yang sok kemanusiamanusiaan. Barangkali tersinggung juga, karena manusia saja sudah banyak yang tak manusiawi.
“sedang apa kau?” tanyaku.
Ia memelototiku, dengan nada tak menyenangkan ia menjawab, “sedang berhitung, berapa tahun lagi spesies kami bisa bertahan. Hutan alami sudah ditebangi, lahan pertanian semakin sempit dan berlumur racun…”
Ah, kasihan juga, seandainya para binatang diperkenankan mengirimkan delegasi untuk menyatakan keluh kesah kepada penguasa di negeri yang bersangkutan, niscaya taman Safari atau kebun binatang Ragunan tak menaruik lagi bagi warga ibukota. Mereka akan lebih suka melihat para binatang di gedung parlemen atau kantor-kantor lembaga pemerintah.

Tapi mustahil juga, sedang dengan sesama manusia saja mereka sudah tak peduli, apalagi dengan binatang yang jelas-jelas tak bisa memberikan keuntungan secara finansial. Apa peduli mereka dengan keseimbangan alam.
“sesungguhnya makhluk yang paling mulia, yang paling lengkap bekalnya buat memakmurkan bumi justru menjadi makhluk yang paling merusak. Bahkan teori tentang yin dan yang, keblat papat kalimo pancer atau siklus biologi juga lahir dari mereka. Lihatlah, lebah tak punya teori apapun yang dikoar-koarkan kepada siapa saja yang ia temui, tapi ia mampu menjaga keseimbangan.”
“itulah kalau dalam diri manusia juga sudah tidak seimbang lagi, tak ada keseimbangan antara teori dan praktik.” Aku ikut menambahi. Malu rasanya kepada bangsa lebah ini. Di depannya aku serasa diadili, kemanusiaanku ditelanjangi tanpa ada pembelaan bahwa aku bukan bagian dari mereka, para teorikus itu.
“hae, jangan melipat muka seperti itu, aku tak pernah menuduhmu, kami tahu jika para perusak itu berasal dari pemilik modal dan ide. Kau bukan bagian dari keduanya, tenanglah….”

Hah! Kalimat penghibur yang menyakitkan. Seperti memberi madu beracun. Ah, madu dan racun lagi. Jadi teringat kekonyolan yang ia perbuat sebelum ia menemukanku. Aku anggap saja kejadianku kali ini bukan sebagai pengadilan atas kesalahan makhluk sebangsaku. Ini sebagai hiburan atas kesialan pertemuanku dengan lebah itu.
“menurutmu, kapan umat manusia akan dilenyapkan oleh tuhan?”
“entahlah, aku bukan peramal yang serba tahu.”
“aku tak menyuruhmu menjadi peramal, aku hanya ingin kau melihat gejala tingkah laku manusia saja.”
“kau sudah tahu bukan? Kenapa tidak kau jawab sendiri? Kau mau mempermainkanku?” jawabku marah, sambil menyalakan korek api hendak membakar sayapnya, biar sekalian ia menjadi lebah yang lumpuh.

Ia terbang terbirit-birit, sambil memandangi sayapnya. Berputar-putar mengelilingi kepalaku. Lantas tertawa terbahak-bahak.
“untung kau marah, aku jadi tahu jika tenagaku sudah pulih.” Katanya. Aku menyesali kemarahanku.
“aku lupa jika kau manusia, tentu saja kau punya sifat dasar manusia.”
“apa?”
“kolot dan keras kepala. Tidak mau terbuka dengan banyak hal.”
“kenapa? Sifat dasarku yang lain, tidak suka dipermainkan!”
“aku tidak mempermainkan, aku hanya menanyakan pendapatmu soal kapan manusia akan dilenyapkan oleh tuhan.”
Ia lalu hinggap di pundakku, membisiki sesuatu di telingaku, seperti tak ingin ada makhluk lain mendengarnya, “manusia akan dilenyapkan ketika sudah tidak punya peri kemanusiaan….”

Aku terkesiap, betapa dekatnya kehancuran spesiesku jika yang Agya katakan adalah kebenaran? Mungkin dua puluh tahun lagi. Sebuah waktu yang singkat untuk menuju sebuah kehancuran.
“tenanglah, aku juga pernah bertemu dengan orang-orang di Kotabarat dan Gringsing. Datanglah kesana pada suatu waktu, sepertinya kau cocok belajar bersama mereka. Kehancuran manusia akan lebih dari empat puluh tahun mendatang.”
Belum sempat aku berujar apapun, ia langsung menyambung, “terima kasih, aku hendak kembali bekerja. Senang bertemu denganmu. Manusia.”
Nada pada kalimat terakhirnya seperti mengejek, biarlah, mungkin ini penilaian bangsa lebah kepada manusia. Tentunya akan lebih banyak lagi bangsa binatang dari jenis berbeda yang punya penilaian sama terhadap manusia.
Uh, gara-gara kesoktahuanku tentang revolusi hijau, aku jadi berandai-andai…. Mungkin tuhan sedang mempersiapkan pengganti manusia untuk memakmurkan bumi.

Pojok Kali Ireng, 160711

PROFIL PENULIS
Nama :  Wasta Tama
Lahir dan Besar di Wonosobo
Aktif di Teater Banyu Wonosobo dan PMII Cabang Wonosobo
Facebook : www.facebook.com/itox.cleizank

Share & Like