Dunia Untuk Mereka - Cerpen Motivasi

DUNIA UNTUK MEREKA
Karya Siti Asthuti

Anak kecil berambut ikal itu terus berlari melewati gang-gang kecil di antara rumah warga yang padat. Di tangannya dia menggenggam sebuah uang kertas lusuh bergambar Pahlawan (nama daerah pahlawan tersebut) Kapitan Pattimura. Larinya semakin kencang ketika berada diakhir ujung sebuah gang. Di sana terlihat jelas bertumpuk-tumpuk kardus-kardus bekas yang tidak terpakai. Sejenak langkahnya berhenti. Ditariknya napas dalam ketika hendak memasuki sebuah rumah kardus berukuran kecil beralaskan tanah.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..” Dari dalam rumah keluar seseorang gadi berkerudung .

Dari luar sedikit terlihat isi rumah sang empunya. Hanya terdapat lemari reot yang hampr rapuh karena dimakan oleh waktu dan beberapa tumpukan buku serta kardus serta sebuah lukisan kaligrafi berlafadzkan ALLAH yang menempel di dinding rumahnya.
“Kaka, ini uangnya!” Kata anak tersebut sambil menyodorkan uang yang ia genggam tadi ketika berlari.
“Lho uang apa, Gung?” Katanya heran.
“Uang untuk tabungan pertama ka!” katanya sambil memperlihatkan deretan giginya yang tidak rata. “kemarin, kan kaka bilang, menabung itu pangkal kaya. Jadi Agung mau nabung ka, biar dewasa nanti Agung jadi orang kaya dan sukses, tidak seperti kita sekarang, miskin” Lanjutnya polos dengan nada cempreng.

Sesaat Ana terdiam. Pikirannya terbayang sesuatu yang mengganjal hatinya. Ada rasa ingin menolak keinginan Agung untuk membantu menjaga uang tabungannya karena di rumahnya tidak ada tempat untuk menyimpan uang yang akan Agung tabungkan pada Ana. Kekhawatiran Ana bukan saja karena hal itu tapi juga tingkat keamanan. Akhir-akhir ini ada saja warga yang melapor kehilangan uang dan benda berharga lainnya yang mereka simpan dengan rapi di dalam lemari. Tapi melihat Agung yang begitu semangat membuat Ana harus putar otak 360 derajat.

Di simpan di lemari tidak mungkin. Ya Allah, ini amanat saya tidak boleh mengecewakan adik kecil saya. Insya Allah uang ini akan aman.
“Iya sudah, Agung boleh menabung sama kaka. Tunggu sebentar ya!” Ana masuk ke dalam rumahnya untuk beberapa saat. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa sebuah buku kecil. “Ini untuk Agung. Buku ini Agung pegang agar setiap Agung menabung bisa kamu liat jumlahnya sudah sampai berapa”
“Ngga usah ka, Agung percaya kok sama kak Ana. Agung yakin kak Ana orangnya jujur. Buku ini biar kaka saja yang pegang” Katanya sambil menyodorkan kembali buku yang Ana beri pada Agung. Seketika Ana terpaku pada sikap anak berusia 8 tahun dengan nadanya yang polos dan lugu. “Insha Allah, Gung. Insha Allah kaka akan amanah menjaga uang kamu denga baik”

Selang beberapa bulan buku tabungan tersebut telah terisi penuh oleh coret-coretan tangan Ana. Dilihatnya jumlah uang tabungan yang tertera pada buku tabungan berwarna cokelat tersebut. Jumlahnya cukup banyak bagi anak miskin seperti Ana dan Agung yang tinggal di daerah kumuh di pinggiran kota Jakarta dan kebanyakan anak lain seperti mereka.
“Dua ratus sebelas ribu..dua ratus sebelas ribu delapan ratus. Alhamdulillah” Kembali Ana bersyukur.
Rasa yang selama ini ia takutkan ternyata salah. Allah Maha Menjaga dan juga rasa percaya Agung yang begitu yakin pada keamanahan menjaga hak miliknya menjadikan Ana ihklas dan yakin pada apa yang telah ia lakukan selama beberapa bulan belakangan ini. Senyumnya tidak berhenti berkembang.

Tadi siang Agung datang ke rumahnya dengan seperti biasa setelah pulang dari sekolah. Bukan untuk menabung melainkan untuk mengambil uang tabungan.
“Untuk bayar sisa seragam dan cicilan buku-buku yang belum Agung lunasi kak. Emak sama abah ngga punya uang, kata emak pak Darmanto belum bayar gajinya 3 bulan. Abah tidak narik becak, lagi sakit pinggang”
Ah, Agung. Miris Ana melihat anak lelaki bertubuh kecil namun memiliki semangat yang kuat seperti baja itu. Andai dunia tak kejam pada orang-orang seperti Agung dan Ana. Pasti selalu ada senyum hati yang menghiasi hari-hari. Untuk sekolah saja harus tarik urat seperti ini.
Untung saja Agung paham betul kondisi keluarganya walaupun Agung masih terlalu dini diusia yang mestinya bermain asik dengan sahabat, tetapi tidak baginya. Pulang sekolah ia akan berganti pakaian dan langsung bergabung dengan teman-teman loper korannya yang lain berbagi tugas menjual berita terbaru. Hasil penjualannya akan dia berikan pada emak untuk kebutuhan dapur dan sisanya akan ia tabung untuk keperluan sekolah.

Kembali Ana teringat pada kata-kata polos Agung “Liat deh kak orang-orang yang di masjid itu. mereka enak ya, kak. Mereka orang kaya, pakai baju bagus, naik mobil, shalat, terus tadi mereka shodaqoh sama orang yang ngga mampu. Pasti pahala mereka banyak karena sering shodaqoh. Agung juga sering sholat tapi agung shodaqohnya kalau ada uang nyelip aja, berarti pahala agung lebih sedikit dibandingkan sama mereka”……. “kaya itu enak ngga sih kak? Kemarin pak haji bilang orang kaya itu kalau meninggal dihisabnya lamaaaa banget soalnya hartanya banyak seperti Nabi Sulaiman, beda sama orang miskin seperti kita yang cepat dihisabnya. Agung jadi mikir deh, mending jadi orang miskin saja, biar ke surganya duluan. Iya, ngga kak?”.
“Innallaha ma’a shabirin, Allah bersama-sama orang yang sabar, Gung. Sabar dan ikhlas menjadi orang miskin. Asal kita mau berusaha dan berdoa insha allah doa kita akan didengar sama allah. Kita harus yakin dengan apa yang telah kita terima sekarang. Allah memberikan apa yang kita butuhkan buka memberikan apa yang kita inginkan. Kak Ana percaya suatu saat akan indah waktunya emak, abah, kamu, kak Ana, dan yang lainnya akan berkumpul bersama di jannah. Tidak harus kaya atau miskin. Allah melihat keimanan kita bukan harta kita”
perjalanan wisata hati Ana terus panjang hingga tengah malam. Tidak terasa sudah pukul 10.45. besok pagi-pagi Agung akan mampir ke rumah Ana untuk mengambil uang tabungan yang akan ia bayarkan pada pihak sekolah. Sebelum tidur Ana berdoa agar seluruh keluarganya dan keluarga Agung diberikan keberkahan, keikhlasan dan kesabaran di antara himpitan hidup yang kejam.

Matanya perlahan terpejam. Bayangan wajah lugu Agung yang telah ia anggap adik perlahan hilang. Tidurnya sangat pulas sehingga suara gelas terjatuhpun ia tetap diam. Kali ini dunia membuat Ana tidur dengan sedikit kelegaan. Malam itu adalah malam yang tidak akan Ana lupa sampai kapanpun.
“Astagfirullahaladzim” Suara Ana lirih.
Mata Ana tidak bisa membendung air matanya lagi. Tangisannya pecah membelah kesunyian subuh hari itu. Ibu memeluk Ana dengan erat. Dipeluknya anak semata wayangnya tersebut. “Sabar Ana, ini ujian dari Allah untuk Ana. Ana harus sabar”
Subuh itu di daerah rumah Ana terjadi kemalingan, kali ini bukan satu rumah saja yang disatroni maling tetapi tiga rumah sekaligus. Rumah pak haji ihsan, rumah bu dedah, dan rumah Ana. Warga berbondong-bondong ingin melihat apa yang terjadi. Warga telah melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib dan segera menanganinya.
“Ana, tidak boleh menangis. Innallaha ma’a shabirin. Allah ingin melihat seberapa cinta Ana kepada allah. Ana?” Ibu berusaha menghibur.
Ana masih membenamkan muka pada kedua lututnya. Setelah sholat subuh Ana tidak mau beranjak, dia masih diam duduk dengan khusu di atas sajah pemberian ayahnya tercinta sebelum beliau wafat 3 tahun yang lalu karena kecelakaan. Matanya sembab. Tak kuasa ia menahan masalah ini. Ibu sejak tadi sudah berusaha menghibur Ana, namun Ana tetap diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya rumit. Dari mana ia harus mendapatkan uang dua ratus sebelas ribu dalam waktu 1 jam yang telah dicuri oleh maling.
“Ana takut, bu” katanya dengan nada pelan.

Ibunya hanya mengerutkan kening tanda tidak mengerti. “Ana menjadi orang yang yang tidak amanah bu. Ana sudah menyimpannya dengan baik tapi ana malah menghilangkan uang Agung, dia pasti sedih dan kecewa sama Ana” berkali-kali air matanya jatuh.
“Ana, bukan seperti itu. Kamu tidak sengaja, sayang. Allah Maha Tahu dan Melihat. Ini cobaan yang mesti kamu hadapi, bukan untuk ditangisi dan disesali”. Kemudian ibu bangkit. Membantu Ana membuka mukena yang sejak tadi tidak dilepasnya sehabis sholat. Merapikan dan meletakkannya di dalam lemari setelah melipatnya.
“Lalu Agung?” Tanya ana beberapa saat.
Ibunya terlihat tersenyum. “kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Ana. Ibu berangkat dulu ya. Bu Parti pasti sudah menunggu, Assalamualaikum..”. Ana mencium tangan ibunya dengan takjim sebelum berangkat mencari nafkah keluarga. Ibunya hanya seorang tukang cuci pakaian dan pengumpul kardus bekas sama seperti emak Agung.
Hari semakin menampakkan sinarnya ketika Ana duduk disebuah kayu balok berukuran sedang yang sering ia pakai untuk bersantai-santai di depan rumah kecilnya. Pagi ini ia sedang menunggu kedatangan Agung sebelum ia sendiri berangkat ke sekolah. Ia masih SMA kelas 2 sedangkan Agung kelas 3 SD. Jarak sekolahnya lumayan dekat jadi tidak perlu naik angkot.
Jam di dinding rumahnya menunjukkan pukul 07.04 tetapi Agung masih juga belum terlihat batang hidungnya. Biasanya pukul 6.30 agung sudah datang sambil mengucapkan salam khasnya yang cempreng untuk menjemput Ana berangkat bersama.
Ana mulai merasakan keanehan. Apa yang terjadi? Kenapa Agung belum menjemputku juga sampai sekarang. Apa aku harus ke rumahnya? tapi tidak mungkin sebentar lagi sekolah akan dimulai. Lebih baik pulang sekolah nanti aku datang ke rumahnya.

Pagi itu Ana berangkat ke sekolah tanpa ditemani oleh Agung dengan sejuta rasa penasarannya. Niatnya untuk memberi tahu masalah uang tabungan yang hilang ia urungkan. Selesai sekolah Ana tidak langsung pulang ke rumahnya tetapi ia bergegas ke rumah Agung, dan betapa kagetnya ia tidak mendapati emak dan Agung kecuali abah yang sedang tertidur pulas karena sedang sakit di dalam rumah yang sama kecilnya dengan rumahnya. kata tetangga yang melihat, tadi pagi ada dua orang lelaki yang mendatangi rumah mereka dengan menggunakan sepeda motor. Lelaki tersebut ternyata utusan dari sekolah yang mengabarkan agar emak mendatangi sekolah karena ada rapat wali murid.
Dengan tergesa-gesa Ana berlari secepat mungkin. Tidak diperdulikannya wajah orang-orang yang melihatnya heran karena berlari tergesa-gesa. Jarak sekolah Agung tidak terlalu jauh. Melewati pasar tumpah setelah itu di belokkan sebelah kanan ia akan mendapati sebuah bangunan tua bercat merah putih yang di sanalah Agung bersama teman-temannya yang lain sedang haus menuntut ilmu.

Sesampainya di sekolah ia belum menemukan emak dan Agung. Ia masih terus mencari-cari. Dan akhirnya matanya menemukan kedua sosok yang sangat akrab bagi dirinya yang sudah ia anggap keluarga sendiri. Agung bersama emaknya. Mereka duduk di bawah pohon rindang yang berada tepat di pojok kanan bangunan sekolah. Perlahan Ana menghampiri mereka. Tiba-tiba Ana sadar, ia melihat wajah sembab Agung habis menangis.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Ana kembali terhenyak. Dadanya berguncang. Rasanya ia paham apa yang telah terjadi. Ia melihat wajah emak yang teduh namun tetap menampakkan guratan-guratan kesedihan yang dalam.
“Agung?”
“Tidak apa-apa kak. Agung sudah tahu dari pah Haji. Tadi pagi waktu Agung berangkat ke rumah kakak, Agung ketemu pak Haji, beliau bilang kak Ana sedang dapat musibah sama seperti pak Haji. Setelah tahu Agung langsung berangkat ke sekolah. Agung tidak mau melihat kak Ana sedih karena uang yang hilang, Agung yakin kak Ana itu sudah amanah, tapi Allah sayang sama kita, makanya diberi cobaan seperti ini. Kak Ana tidak marah kan sama Agung karena Agung ngga mau liat kak Ana sedih”

Agung kecil berhati baik. Tubuhnya kecil tapi pemikirannya sangat luas. Ia hanya membayangkan perasaanku tetapi tidak memikirkan apa yang akan ia alami sekarang. Kupeluk Agung dengan erat. Tubuhnya sangat kurus. Kami bertiga duduk bersama di bawah pohon besar itu beralaskan tanah dan daun-daun yang berserakan karena belum dibersihkan.
Hari ini ana semakin tahu bahwa dunia akan semakin kejam jika manusianya menjadi kejam. Derita anak berusia 8 tahun yang dengan susah payah ingin merubah nasib. Emak bersusah payah mencari nafkah agar anaknya dapat bersekolah setidaknya sampai tamat SD yang tidak seperti dirinya yang hanya sampai kelas 2 SD.

Pihak sekolah memberhentikan paksa Agung ketika ia sedang asik belajar di dalam kelas bersama-sama teman lainnya ketika mengikuti pelajaran bahasa Indonesia kesukaannya. Tangannya diapit oleh guru olahraga ketika menuju ke ruang kepala sekolah. Di sana sudah ada emak dan beberapa wali lainya. Emak hanya melirik sebentar ke arah agung. Ditangannya terlihat selembaran kertas yang menyatakan bahwa pihak sekolah akan mengeluarkan beberapa anak yang dianggap belum menyelesaikan pembeyaran yang berhubungan dengan sekolah. Dan Agung salah satunya. Dunia kejam telah membelah cita-cita Agung kecil.
“Habis ini Agung mau sekolah lagi kak” tiba-tiba Agung membuatku heras bercampur haru.
“Sekolah di mana, Gung?”Tanyaku sambil menitikkan air mata.
“Sekolah di mana saja, kak. Tidak perlu di kelas yang bagus. Dunia yang menjadi gurunya. Lingkungan yang jadi bukunya. Dan mulut yang penjadi pensilnya. Ayo mak kita pulang. Mulai besok agung yang akan bantu emak memcuci pakaian, abah biar tetap istirahat agar cepat sembuh. Oh iya mak, baju ini untuk si Hasan saja dia juga mau sekolah kan tahun ini?”
“Iya Gung. Emak sayaaang sekali sama Agung”
“Agung juga sayang sama emak. Dan kak Ana juga”
Ana merasakan angin semilir berhembus ke wajahnya. Senyumnya mengembang. Kemudian mereka bertiga bangkit. Berjalan menuju miliaran impian. Berharap hari esok masih ada harapan. Dan mereka masih menunggu jawaban doa mereka pada Sang Khaliq.

Share & Like