KETIKA REMBULAN PERGI
Karya Sulastri
Pemandangan yang sungguh asing. Tapi terlihat bagus diantara sawah-sawah yang membentang disisi kiri dan kanan. hanya terdapat beberapa rumah yang berdekatan. Gerbangnya amat besar dan kuat, ketika dia masuk dalam halaman terasa hawa yang segar, berbeda dengan udara yang setiap hari dia hirup di tempat tinggal sebelumnya. Rasanya ingin sekali segera berbaring di tempat tidur, tetapi sebuah seruan memecahkan telinganya,
“ Cepat bereskan semua barang-barang ini Tari!! Bantu ibu..”
“ Ya, bu !” sahutnya.
Bergegas dia pun mengangkat tas berwarna ungu muda berhiaskan bunga putih ke dalam rumah. Terlihat rumah yang sudah tertata rapi dengan ruang keluarga yang lebih besar dari yang dulu.
“Kamarmu disamping kanan kamar ibu,” teriak ibunya sambil menunjuk kamar anaknya yang telah ia siapkan. Masih tercium aroma cat kamar berwarna ungu muda seperti keinginannya, juga telah tertata tempat tidur, meja untuk belajar, dan lemari pakaian. Dia pun segera membereskan kamar barunya, setidaknya sudah tersedia tempat untuk dia beristirahat setelah perjalanan.
Karya Sulastri
Pemandangan yang sungguh asing. Tapi terlihat bagus diantara sawah-sawah yang membentang disisi kiri dan kanan. hanya terdapat beberapa rumah yang berdekatan. Gerbangnya amat besar dan kuat, ketika dia masuk dalam halaman terasa hawa yang segar, berbeda dengan udara yang setiap hari dia hirup di tempat tinggal sebelumnya. Rasanya ingin sekali segera berbaring di tempat tidur, tetapi sebuah seruan memecahkan telinganya,
“ Cepat bereskan semua barang-barang ini Tari!! Bantu ibu..”
“ Ya, bu !” sahutnya.
Bergegas dia pun mengangkat tas berwarna ungu muda berhiaskan bunga putih ke dalam rumah. Terlihat rumah yang sudah tertata rapi dengan ruang keluarga yang lebih besar dari yang dulu.
“Kamarmu disamping kanan kamar ibu,” teriak ibunya sambil menunjuk kamar anaknya yang telah ia siapkan. Masih tercium aroma cat kamar berwarna ungu muda seperti keinginannya, juga telah tertata tempat tidur, meja untuk belajar, dan lemari pakaian. Dia pun segera membereskan kamar barunya, setidaknya sudah tersedia tempat untuk dia beristirahat setelah perjalanan.
Pikirnya, ia tak perlu masuk sekolah hari ini. Karena masih terasa asing baginya, tetapi tidak ada alasan untuk ayahnya. Sekolah ini begitu luas dan besar, Tari tidak pernah menyangka bahwa ia akan dimasukan ke sekolah yang Bertaraf Internasional. Terdiri dari tiga lantai untuk ruangan kelas dan beberapa laboratorium, tetapi untungnya kelas baru Tari berada dekat dengan ruangan kesukaannya dilantai paling bawah. Bangunan ini tidak terlihat seperti sekolah pada umumnya, melainkan rumah sakit tua yang telah diperbaharui. Tetapi dia selalu berusaha menghilangkan perasaan itu, karena ternyata pergaulan didalamnya tidak terlihat menyeramkan melainkan menyebalkan.
Tari tak tahan melihat tingkah laku teman-teman barunya disana. “Mengapa ada orang seperti mereka ?“ gumamnya dalam hati. Hari itu Tari memperkenalkan dirinya didepan kelas barunya, dengan senyum ramah. Semua mata tertuju padanya, tetapi bukan dengan tatapan ramah seperti yang ia lakukan, tatapan yang mereka berikan hanya sebatas tatapan lawan yang mendapat saingan baru, bukan teman baru. Tari dipersilahkan duduk bersama seorang siswi bernama Tasya. Mereka berjabat tangan dengan senyum tipis dari bibir Tasya.
“Apa yang kamu lakukan disini ?“ Tanya salah seorang dari teman barunya yang sepertinya merasa terganggu dengan kedatangan Tari yang menghampirinya.
“Apa boleh saya menanyakan sesuatu?“ jawab Tari.
“Tentang apa? Jika tentang pelajaran, kamu bisa mencari jawabannya di perpustakaan. Tepatnya di samping kiri kelas kita.” Katanya sambil menujuk kearah pintu.
Tari bergegas pergi keluar dengan membawa buku yang sebenarnya tak perlu ia bawa. Tetapi ia masih bersyukur karena kelasnya dekat dengan perpustakaan. Tari masuk kedalam, dan menghabiskan waktu disana. Tari lebih suka belajar di perpustakaan karena ibu penjaga perpustakaannya lebih bersahabat dari pada teman-temannya.
Dengan berat hati Tari menapakan kakinya dibumi dan melangkahkan kakinya menuju sekolah. Setiap pagi Tari datang dengan senyuman manis dan berharap akan mendapat balasan dari teman-temannya tapi hasilnya nihil. Tari malah jadi malu sendiri karena senyumannya tidak dibalas. Suatu pagi Tari membawa buku dan hendak ke perpustakaan, seseorang datang dari arah belakang Tari dengan nada terburu-buru, Tari ingin menghindar namun terlambat, seseorang itu mendekatkan bahu kanannya, tepat pada bahu kirinya Tari dengan kerasnya.
“ Aduh!” teriak Tari.
“Maaf saya terburu-buru.” Jawab seseorang yang membuat buku Tari berjatuhan. Dia pun meninggalkan Tari yang tengah jongkok membereskn buku-bukunya yang berjatuhan.
“Kenapa dia tidak menolongku? Mengapa tidak ada orang yang mau monolongku?“ gumam Tari dalam hati. Tari masih mencoba bersabar. Tari beranjak pergi dari tempat dia jongkok menuju perpustakaan.
Disana Tari melihat papan pengumuman yang mengumumkan tentang lomba baca puisi untuk semua jurusan dan tingkat. Tari pun sangat tertarik untuk mengikutinya. Dia berjalan dengan terburu-buru menuju lorong sekolah untuk segera mendaftarkan dirinya, dengan senang dan semangat yang tinggi Tari ingin menunjukan bahwa ia pun mampu untuk bersekolah disana. Ketika sampai,
“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Liberta teman sekelasnya, dengan membelokan wajah pada Tari tetapi badannya tidak bergerak.
“ Saya ingin mendaftarkan diri dalam lomba baca puisi. “ jawab Tari.
“ Hahahaha……” serentak semua orang yang tengah duduk bersama Liberta tertawa.
“Ada apa Liberta? Bukankah siswa yang ingin daftar harus menghubungimu? Ataukah saya salah orang? “ kata Tari dengan nada tinggi dan muka masam.
“ Hei Mentari anak baru! Tidak tahukah kamu bahwa setiap murid baru disini tidak boleh mengikuti kegiatan apapun diluar kegiatan belajar? Termasuk mendapat teman.“ Jelas Liberta kepada Tari dengan wajah yang santai dan senyum dibibirnya. Dia menepuk bahu Tari beberapa kali.
“Bertahanlah selama satu minggu dalam masa orientasimu.” Lanjut Liberta yang langsung meninggalkan Tari dalam keadaan berdiri kaku. Dia merasa tidak hidup disekolah barunya, wajahnya semakin mengerut, dadanya sesak dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Taripun berlari secepat yang ia bisa, tak tahu kemana dia akan pergi tak peduli apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya.Yang pasti ia inginkan adalah pergi jauh dari tempat yang seperti neraka itu.
Tari tak tahan melihat tingkah laku teman-teman barunya disana. “Mengapa ada orang seperti mereka ?“ gumamnya dalam hati. Hari itu Tari memperkenalkan dirinya didepan kelas barunya, dengan senyum ramah. Semua mata tertuju padanya, tetapi bukan dengan tatapan ramah seperti yang ia lakukan, tatapan yang mereka berikan hanya sebatas tatapan lawan yang mendapat saingan baru, bukan teman baru. Tari dipersilahkan duduk bersama seorang siswi bernama Tasya. Mereka berjabat tangan dengan senyum tipis dari bibir Tasya.
“Apa yang kamu lakukan disini ?“ Tanya salah seorang dari teman barunya yang sepertinya merasa terganggu dengan kedatangan Tari yang menghampirinya.
“Apa boleh saya menanyakan sesuatu?“ jawab Tari.
“Tentang apa? Jika tentang pelajaran, kamu bisa mencari jawabannya di perpustakaan. Tepatnya di samping kiri kelas kita.” Katanya sambil menujuk kearah pintu.
Tari bergegas pergi keluar dengan membawa buku yang sebenarnya tak perlu ia bawa. Tetapi ia masih bersyukur karena kelasnya dekat dengan perpustakaan. Tari masuk kedalam, dan menghabiskan waktu disana. Tari lebih suka belajar di perpustakaan karena ibu penjaga perpustakaannya lebih bersahabat dari pada teman-temannya.
Dengan berat hati Tari menapakan kakinya dibumi dan melangkahkan kakinya menuju sekolah. Setiap pagi Tari datang dengan senyuman manis dan berharap akan mendapat balasan dari teman-temannya tapi hasilnya nihil. Tari malah jadi malu sendiri karena senyumannya tidak dibalas. Suatu pagi Tari membawa buku dan hendak ke perpustakaan, seseorang datang dari arah belakang Tari dengan nada terburu-buru, Tari ingin menghindar namun terlambat, seseorang itu mendekatkan bahu kanannya, tepat pada bahu kirinya Tari dengan kerasnya.
“ Aduh!” teriak Tari.
“Maaf saya terburu-buru.” Jawab seseorang yang membuat buku Tari berjatuhan. Dia pun meninggalkan Tari yang tengah jongkok membereskn buku-bukunya yang berjatuhan.
“Kenapa dia tidak menolongku? Mengapa tidak ada orang yang mau monolongku?“ gumam Tari dalam hati. Tari masih mencoba bersabar. Tari beranjak pergi dari tempat dia jongkok menuju perpustakaan.
Disana Tari melihat papan pengumuman yang mengumumkan tentang lomba baca puisi untuk semua jurusan dan tingkat. Tari pun sangat tertarik untuk mengikutinya. Dia berjalan dengan terburu-buru menuju lorong sekolah untuk segera mendaftarkan dirinya, dengan senang dan semangat yang tinggi Tari ingin menunjukan bahwa ia pun mampu untuk bersekolah disana. Ketika sampai,
“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanya Liberta teman sekelasnya, dengan membelokan wajah pada Tari tetapi badannya tidak bergerak.
“ Saya ingin mendaftarkan diri dalam lomba baca puisi. “ jawab Tari.
“ Hahahaha……” serentak semua orang yang tengah duduk bersama Liberta tertawa.
“Ada apa Liberta? Bukankah siswa yang ingin daftar harus menghubungimu? Ataukah saya salah orang? “ kata Tari dengan nada tinggi dan muka masam.
“ Hei Mentari anak baru! Tidak tahukah kamu bahwa setiap murid baru disini tidak boleh mengikuti kegiatan apapun diluar kegiatan belajar? Termasuk mendapat teman.“ Jelas Liberta kepada Tari dengan wajah yang santai dan senyum dibibirnya. Dia menepuk bahu Tari beberapa kali.
“Bertahanlah selama satu minggu dalam masa orientasimu.” Lanjut Liberta yang langsung meninggalkan Tari dalam keadaan berdiri kaku. Dia merasa tidak hidup disekolah barunya, wajahnya semakin mengerut, dadanya sesak dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Taripun berlari secepat yang ia bisa, tak tahu kemana dia akan pergi tak peduli apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya.Yang pasti ia inginkan adalah pergi jauh dari tempat yang seperti neraka itu.
Tidak lelah Tari berlari menuju lorong-lorong sekolah, menaiki tangga lantai pertama. Tanpa rasa malu dia terus berlari menuju lantai kedua. Tanpa rasa takut melewati seluruh ruangan sekolah yang sebenarnya tidak pernah ia ingin lakukan. Sampai akhirnya dia tiba dilantai paling atas yaitu lantai ketiga.
Ketika dia berhenti dari lari panjangnya, dia sadar bahwa dia telah sampai pada lantai dimana tidak ada orang satupun disana. Hanya terdapat barang-barang sekolah yang tidak terpakai, lantainya masih belum selesai, dindingnya belum tersentuh cat warna apapun. Ruangan masih terlihat kosong. Tari berjalan perlahan menuju ujung tebing. Saat melihat kebawah dia merasa ingin lompat, tetapi dia masih memikirkan orang tuanya, akhirnya dia mengeluarkan suara yang tercekik, dan diapun mulai menangis.
“Ayah, mengapa engkau masukan aku ketempat seperti ini? Tidak ada sekolah seburuk sekolah ini. Dimana ada murid baru yang harus diperlakukan seperti ini ? Aku ingin kembali ketempatku dulu! “
Teriak Tari yang menggemakan seluruh ruangan dimana ia berpijak. Dia mulai menangis tersedu-sedu. Tepat dibelakang Tari, terdengar suara sepatu yang hampa dan bergerak kearah Tari. Perlahan tapi pasti suara sepatu itu semakin terdengar jelas mendekatinya. Dia merasa ingin mebalikan badannya, tetapi ia sangat takut, akhirnya dia pun hanya berdiri kaku dengan mata tertutup. Seketika itu ada tangan yang meraih bahunya. Taripun membuka matanya lebar-lebar dan terkejut. Saat itu dia merasa menyesal telah datang kelantai kosong itu. Dia merasa bodoh mengapa dia lari kesana.
“ Hai..!” Sapa seseorang dibelakang Tari.
Tari berusaha menghilangkan rasa takutnya, dan dia berusaha membalikan badannya. Perlahan dia berbalik, melihat seseorang yang berpakaian seragam rapi, dengan rambut terurai panjang, dan sebuah bando dikepalanya. Kemudian dia tersenyum pada Tari dengan senyuman manis yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Dengan senang hati Taripun membalas senyumannya.
“Namaku Rembulan, kau bisa panggil aku Bulan.” Katanya memperkenalkan diri.
“Namaku Mentari, kau bisa panggil aku Tari.” Balas Tari sambil berjabat tangan dengan teman barunya.
Tangannya begitu dingin, wajahnya terlihat pucat. Tari pun bertanya.
“Mengapa seluruh tubuhmu dingin, apa kau sakit ?”
“Ya, aku sakit memikirkan teman-teman seperti mereka, sama seperti yang sedang kamu alami.” Jawabnya.
“Mengapa kau tahu tentang apa yang aku alami ?” Tanya Tari. “Apakah kau mengalami hal yang sama seperti aku ?”
Sejenak Bulan terdiam dan membisu. Dia melepaskan tangan Tari dan berjalan kepojok.
“Ya, aku mengalami hal yang sama sepertimu, selama satu bulan aku diperlakukan lebih dari apa yang mereka lakukan padamu.” Kata Bulan dengan nada suara pelan.
“Mengapa selama itu, Liberta bilang bahwa ini hanya akan berjalan seminggu?” Tanya Tari.
Bulan menoleh kearah Tari. Dan mengatakan dengan santainya.
“Karena aku melawan mereka, tidak seperti kamu yang hanya berdiam diri lalu lari dan menangis disini.” Bulan pun tertawa. Diikuti dengan tawa Tari.
“Lalu mengapa sekarang kau kesini dan menemuiku?” Tanya Tari dengan nada menantang.
“Karena kau anak manja yang butuh hiburan, benarkan?” Balas Bulan. Merekapun tertawa dan saling berdekatan, kemudian duduk di kursi panjang yang ada disana. Mereka bercengkrama seperti yang telah lama saling mengenal. Tari menceritakan semua yang dia alami kepada Bulan, dengan tangan terbuka Bulan mendengarkan dan memberikan beberapa tanggapannya. Apa yang telah Tari alami sebelumnya, benar-benar ia lupakan dengan kedatangan Bulan disisinya. Senyum Tari bersinar diwajahnya ketika ia bercanda dengan Bulan.
“Lalu, apa yang terjadi padamu selama satu bulan melawan mereka ?” Kata Tari ingin tahu.
“Tidak jauh seperti yang kau alami. Hahaha..” Canda Bulan. Bel pulang telah berbunyi dan Tari mengajak Bulan untuk pulang bersama. Dan Tari meraih tangannya yang kaku.
“Tidak, kau duluan saja. Aku lebih senang tinggal lama ditempat ini, karena disini tidak bertemu monster seperti dibawah. Jika kau mau pulang, pulanglah kita bertemu lagi besok jika kau mau. Dan aku harap kau bisa datang kesini tepat pukul 06.15 pagi, aku menunggumu.” Ajak Bulan.
“Tentu saja Bulan, kita akan ngobrol lagi disini, aku juga tidak betah tinggal bersama monster.” Kata Tari sambil tertawa dengan Bulan. Taripun beranjak pergi meninggalkan Bulan.
Ketika sampai dirumah, Tari lupa menanyakan identitas Bulan, dimana tinggalnya, nomor ponselnya. Dia pun berencana menanyakannya esok. Tari tidak menyangka akan bertemu dengan Bulan yang sangat ramah ditengah perilaku teman-temannya yang sangat tidak bersahabat. Apa yang telah ia dapatkan dari Bulan memberikan ia semangat untuk hidup dan bertahan disekolah itu. Menjadikan semangat baru untuk menghadapi tantangan disekolahnya.
Setiap pagi, yang biasanya ia enggan untuk pergi kesekolah dan susah sekali bangun. Sejak bertemu dengan Bulan ia menjadi bangun lebih awal dan bergegas pergi kesekolah. Memakai sepatu yang tidak biasa ia kenakan agar sama dengan Bulan dan rambut panjangnya tidak lagi diikat, tapi memakai bando yang sama dengan Bulan. Dia mengajak ayahnya untuk segera pergi kesekolah meskipun ayahnya belum menyelesaikan sarapannya. Orang tuanya heran melihat perubahan Tari yang begitu cepat.
Sesampainya disekolah, bukan kelas atau perpustakaan lagi menjadi tujuan utamanya. Tetapi lantai tiga yang pertama ia kunjungi sebelum ia menyimpan tas ungu mudanya kedalam kelas. Dengan nafas yang terengah-engah, Tari sampai dan melihat Bulan tengah berdiri dipojok dengan selendang putih yang merangkulnya. “Selalu kau yang sampai lebih dulu daripada aku. Memangnya rumah kamu dimana sehingga kau cepat sampai disekolah?” Tari tersenyum sambil berjalan mendekati Bulan.
“Karena aku terbang kesekolah, sehingga lebih cepat darimu.” Canda Bulan sambil memegang bahu Tari.
Tangan dingin Bulan memegang tangan Tari dan mengajaknya ketempat yang tidak diketahui Tari. Tempat itu merupakan tempat diluar ruangan lantai tiga, tidak tertutup atap, lahannya sempit, hanya cukup untuk empat atau lima orang saja. Tempat yang membuat Tari tidak nyaman. Dan Bulan berkata untuk menenangkan Tari yang gelisah berada ditempat itu.
“Jangan takut Tari, mengapa tanganmu gemetar? Aku tidak akan mengajakmu lompat dari sini. Tutup matamu.”
Tari merasa aneh dan ketakutan menyelimuti hatinya. “Kau tidak akan mendorongku bukan?”
“Ya, aku akan mendorongmu. Maafkan aku Tari.“ Bulan berkata dengan nadanya yang pelan dan menakutkan. “Tidak!!” teriak Tari sambil membuka matanya. Ketika ia membuka matanya, terlihat pemandangan dari atas sekolah yang melukiskan sawah-sawah yang terhampar bagai permadani hijau. Gunung-gunung yang biru menghimbau. Rumah-rumah yang tertata. Aliran sungai yang mengalir terlihat seperti garis-garis panjang yang membatasi setiap daerah. Melihat sekolahnya yang ternyata begitu megah telah menghilangkan rasa ketakutan yang sebelumnya melanda hatinya. Kini hatinya begitu bahagia dan merasa tenang diatas sana. Menikmati panorama alam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sebentar ia menoleh kearah Bulan mengalihkan pandangannya pada Bulan dan memeluk Bulan erat-erat. “Terima kasih.” Ucap Tari.
Bulan meneteskan air mata ketika Tari memeluknya. “Terima kasih atas pelukannya, aku merasa hangat.” Tangan Bulan membalas pelukan Tari. Keakraban mereka harus terpisah oleh bel yang berbunyi memecah kesunyian pagi itu.
“Ayo ke kelas!” Ajak Tari sambil memegang tangan kanan Bulan dan melangkahkan kakinya.
“Tidak, kau duluan saja.” Tari terhenti oleh perkataan bulan.
“Kenapa?” Tanya tari heran. “Kalau sampai mereka tahu aku berteman denganmu, maka kau dan aku bisa celaka.” Tegas Bulan. Tari melepaskan tangan Bulan dan segera pergi meninggalkan Bulan.
Hari demi hari telah mereka lewati, hampir dua minggu lebih. Tari sudah tidak peduli dengan perilaku temannya, apakah mau menerima dia atau tidak, karena Tari merasa mempunyai sahabat meskipun hanya satu tapi itu sangat berharga. Tapi sampai kini, Tari belum mengetahui jelas tentang identitas Bulan. Setiap kali ia menanyakannya, Bulan pasti mengalihkan pembicraan. Tapi, Tari tidak begitu bermasalah dengan hal itu. Suatu hari, teman sebangkunya Tasya menanyakan sesuatu pada Tari. Yang kini mulai sedikit ramah terhadap Tari.
“ Mentari, aku dan teman-teman sering melihatmu pergi kelantai tiga, saat pagi hari ataupun pulang sekolah. Apa yang kamu lakukan disana?” Tanya Tasya.
“Oh, memangnya kenapa? Apa peduli kalian tentang apa yang aku lakukan disana?” Jawab Tari dengan nada menantang.
“Mentari, sudah dua minggu ini kau berhasil bertahan di sekolah ini dengan perilaku kita yang tidak ramah padamu. Itu hanya bagian dari main-main kita saja terhadap siswa baru. Toh kamu bertahan disini. Percayalah kita tidak akan berbuat demikian lagi.” Jelas Tasya sambil tersenyum ramah untuk pertama kalinya kepada Tari.
“Aku bisa bertahan disini karena aku sering pergi ke lantai tiga sekolah kita. Aku mendapat dukungan dan perlindungan disana. Sejak pertama kali aku datang kesana aku merasa tenang dan nyaman. Karena ada sahabat yang memberi aku semangat untuk bertahan disini. Tidak seperti kalian!” Lantang Tari.
“Sahabat? Siapa? Apa aku boleh mengetahuinya? Atau aku mengenalnya?” Tanya Tasya dengan wajah yang penasaran ingin segera tahu siapa dia.
“Rembulan.” Jawab Tari singkat.
Setelah mendengar Rembulan, Tasya sangat terkejut dan berdiri dari duduknya disamping Tari. Tak lama kemudian Tasyapun pingsan. Serentak teman sekelasnya semua menyalahkan Tari atas pingsannya Tasya. Tari bingung harus menjawab apa karena memang Tasya pingsan setelah berbincang dengan dia. “Dengar Tari, jangan coba-coba untuk membalas dendam kepada kami. Karena itu tidak akan pernah berhasil!!” Bentak Liberta teman dekat Tasya. Mereka semua meninggalkan Tari dalam kelas sendiri. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menangis dan pergi ke lantai tiga. Dia menangis ditempat ia melihat pemandangan bersama Bulan. Tak lama hujan turun membasahi Tari, dia hanya berdiam diri, berdiri kaku berharap Bulan segera datang. Rangkulan datang dari belakang Tari, dan Tari membalas rangkulan itu karena yakin itu adalah Bulan. Merekapun duduk ditengah hujan deras yang mengguyur mereka. Tari berada dalam rangkulan Bulan. Sementara Bulan begitu kedinginan sekujur tubuhnya memutih pucat ia tak tahan lagi. Tapi air mata mereka yang bercampur hujan telah menguatkan Bulan. Mereka tak berkata apapun. Hanya isak tangis mereka yang terdengar mengilukan. Hujan tak juga reda, mengantarkan Tari menutup matanya dan tertidur dipelukan Bulan. Ketika hujan reda, mata Tari terbuka. Dan dia hanya seorang diri tertidur ditempat yang sama ketika ia datang. Ia tak segera mencari Bulan, ia langsung pulang meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, ketika Tari datang ke dalam kelas. Semua mata teman-temannya tertuju padanya. Tidak ada sepasang matapun yang mengalihkan penglihatannya dari Tari. Tari heran dan dia tidak segera beranjak dari pintu tempat dia berdiri.
“Ada apa? Apa kalian ingin melakukan sesuatu terhadapku? Lakukan saja aku tidak takut lagi!” Teriak Tari. Tari segera menempati tempat duduknya, dan Tasya sedikit menghindar dari Tari ketika dia hendak duduk disampingnya. Tasya langsung berdiri ketakutan meninggalkan Tari. Tari semakin heran dan kesal melihat tingkah laku teman-temnnya itu. “Alvin, mengapa tidak kau saja yang mengatakan apa yang terjadi kepada Mentari, sebagai ketua murid kau harus meluruskannya. Lihat Tasya begitu ketakutan!” Usul Liberta yang ketika itu sedang merangkul Tasya yang ketakutan melihat Tari. Dengan bentakan Liberta yang selalu membuat Alvin sebal, akhirnya diapun bercerita kepada Tari, menjelaskan apa yang terjadi pada Tari sebenarnya.
“Tidak! Kalian bohong! Jika kalian memang tidak ingin aku punya teman, jangan memfitnah. Jangan menghalang-halangi aku untuk mempunyai seorang teman, jika kalian sendiri tidak ingin menjadi temanku.” Teriak Tari dengan suara yang tercekik karena air matanya mulai menetes lagi. Alvin mencoba menenangkan Tari tapi Tari terus berontak, tak ada yang dapat dilakukan teman sekelasnya. Tari duduk dilantai dengan lemas, kakinya terjulur memanjang dengan wajah tertunduk dan tangannya yang terus mengusap air matanya yang tak kunjung surut. Alvin mencoba mendekati dan menenangkan Tari lalu menawarkan bantuan untuk membuktikan kebenarannya.
“Tari, kami semua peduli padamu, kami akan menjadi temanmu sekarang. Maukah kau membagi cerita dengan kami?” Alvin mencoba akrab dengan Tari.
“Aku tahu dimana kelasnya, tapi dia melarangku kesana. Bahkan aku tahu rumahnya, tapi diapun tetap melarangku main kerumahnya. Jika aku melanggar, maka aku tidak akan bertemu dengan dia lagi.” Ungkap Tari dengan suara lemah. Tiba-tiba Alvin meraih tangan Tari dan pergi ke ruang kelas Bulan. Sesampainya disana mereka masuk dan menanyakan Bulan. Teman sekelas Bulan kaget, mengapa tiba-tiba Alvin menanyakan hal itu. Merekapun menjawab dan menjelaskan atas permintaan Alvin, bahwa dikelas mereka sudah tidak ada lagi siswi yang bernama Rembulan dia telah meninggal dua bulan yang lalu. Karena laki-laki bernama Rio.
Rembulan siswi cantik yang baru masuk selama satu hari, telah menerima berbagai tekanan dari semua murid, tapi dia perempuan yang tegar setiap perilaku apapun yang diperbuat teman barunya, dia selalu tersenyum dan melangkah kedepan. Prestasinya dikelaspun telah mencuri perhatian guru-guru yang mengajarnya. Dia tidak pernah marah pada siapapun. Meskipun selama satu bulan ia tidak memiliki teman, ia tetap bahagia karena ia merasa mampu melakukan segala hal sendiri. Lama-lama diapun merasa tidak butuh seorang teman. Walaupun ada Rio, laki-laki yang sangat mencintai Bulan. Rio satu-satunya siswa yang sering membantu Bulan jika dalam kesulitan. Tapi sayang, Bulan tidak pernah menghiraukan apa yang telah dilakukan Rio untuknya. Bulan merasa tidak butuh bantuan siapapun. Bulan selalu menghindar setiap kali Rio menghampiri. Bulan selalu menyendiri dilantai tiga, dia selalu belajar disana atau setiap kali ia sedih pasti pergi ke lantai tiga.
“Bulan.” Sapa Rio yang baru sampai dilantai tiga tempat Bulan berada saat itu. Bulan tengah sendiri membaca sebuah novel. Bulan terkejut dan langsung berdiri menghadap Rio dengan matanya yang disipitkan.
“Maaf saya tidak bermaksud menggangumu, tapi ada satu permintaan dariku yang ingin sekali kau penuhi. Hanya satu pintaku. Maukah kau melakukannya untukku?” Rio memohon dan mendekat kearah Bulan menatap matanya yang terlihat kesal karena kedatangannya. Dan berharap Rio mendapat jawaban “Ya” dari Bulan.
“Ya.” Terucap dari mulut Bulan.
“Aku harap kau bisa datang kesini besok tepat pukul 06.15 pagi. Aku menunggumu.” Ucap Rio dan diapun pergi meninggalkan Bulan.
Bulan sedikit aneh dengan perasaannya, Karena tiba-tiba saja dia ingin cepat besok pagi pukul 06.15 saat dia bertemu dengan Rio lagi.
Pukul 06.15 tepat seperti perjanjian mereka bertemu dilantai tiga. Rio telah lebih dulu sampai, dia menunggu sambil berdiri dipojok dan memegang selendang putih. Tak lama kemudian Bulan datang dibelakang Rio dia berpakaian seragam yang rapi, dengan rambut terurai panjang, dan sebuah bando dikepalanya. Kemudian dia tersenyum pada Rio dengan senyuman manis yang tidak pernah dia dapatkan sebelumnya. Dengan perasaan sangat gembira Riopun membalas senyumannya. Dengan tidak sabar Rio segera mendekati Bulan dan meminta ia memakai selendang sebagai penutup mata. Tanpa berkata apapun Bulan menganggukan kepalanya. Dan Rio mulai menutup mata bulan yang telah menutupkan matanya terlebih dahulu. Rio memegang tangan Bulan dan berjalan menuju tempat seperti yang ditunjukan Bulan pada Tari.
Perasaan Bulan sama seperti yang Tari rasakan ketika dia dibawa ketempat itu oleh Bulan. Bulan merasa aneh. Bulan memegang erat tangan Rio “Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa.” Rio mencoba menenangkan Bulan. Sesampainya ditempat itu, dengan lembut Rio membuka penutup mata Bulan dan ketika Bulan membuka matanya ia begitu terkejut dengan apa yang ia lihat. Semua yang dilihat Bulan sama persis seperti yang dilihat oleh Tari ketika bersama Bulan.
“Indah sekali, aku belum pernah melihat pemandangan seindah ini selama aku berada dilantai tiga ini.” Menunjukan kekaguman Bulan. Rio yang berada tepat dibelakang Bulan menyelimutkan selendang putih yang dia bawa pada punggung Bulan, dan Rio mulai merangkulnya. Dengan perasaan bahagia Bulan dan Rio memandang panorama alam itu. Ketika Bulan membalikan badannya kearah Rio, dan menatap mata Rio, Bulan menutup matanya dan Rio mulai mencium bibir merah Bulan. Tak lama kemudian Rio bertanya mengapa Bulan selalu menolak cinta Rio, padahal dia sering menyatakan suka pada Bulan. Bulan tidak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum malu, menundukan kepalanya, dan wajahnya mulai memerah ketika Rio menatapnya lama-lama. “Apa kau pernah merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan?” Tanya Rio.
“Apa kau membutuhkan jawabannya sekarang?” Balik bertanya pada Rio.
“Tentu saja.” Balas Rio dengar tak sabar.
“Ya.” Jawab Bulan singkat.
“Kenapa tidak kau jawab dari dulu Bulan? Seandainya kau menjawab dari dulu, aku sudah melakukan ini dari dulu juga.” Ucap Rio sambil mengangkat kepalanya.
“Melakukan apa?” Tanya Bulan heran.
“Kau telah merebut perhatian guru-guru yang seharusnya menjadi miliku. Selama ini tidak ada yang berani melebihi keunggulanku dikelas, hanya kau yang berani berbuat itu. Ditambah dengan kesombonganmu yang tidak ingin memiliki seorang teman. Memangnya sehebat apa kamu sehingga menolak aku yang ingin menjadi temanmu? Memangnya siapa lagi yang mau jadi temanmu selain aku?” Ternyata ketika itu Rio mengeluarkan segala maksud dan tujuannya dia mendekati Bulan.
“Kurang ajar! Apa yang ingin kau lakukan padaku?” Teriak Bulan dengan perasaan takut dan terkejut.
“Jika sudah berda disini apalagi yang kita tunggu?” Ucap Rio dengan tenangnya dia mendorong Bulan yang tengah berdiri kaku tak bisa bergerak dihadapannya. Seketika itu Bulan terjatuh lemas dari lantai tiga dengan selendang putih yang masih terpasang pada punggung Bulan. Bulan yang malang saat itu terbaring kesakitan tak kuat menahan sakit disekujur tubuhnya, tak kuat menahan sesak didadanya, tak mampu menahan darah yang terus keluar dari kepalanya, selendang putih yang jatuh bersamanya berubah menjadi merah darah. Yang terakhir dia mampu hanyalah menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Rio tersenyum diatas sana, tetapi dengan perasaan takut, diapun segera turun kelantai dasar menuju mobilnya dan pulang kerumahnya.
Semenjak kejadian itu, sikap Rio berubah total, dia tidak pernah mengerjakan tugas, nilai ulangannya lebih jelek dari nilai siswa yang biasanya terjelek dikelasnya, dia tidak pernah focus dalam segala hal. Tidak ada yang tahu mengapa dia begitu berubah drastis. Dikelasnya selalu merasa tidak nyaman, sering kali dia berteriak “Awas! Pergi!”. Bahkan paling takut bila dia melihat tempat duduk Bulan. Dia selalu menangis bila melihat tempat duduk Bulan. Terkadang dia ketiduran di kelas dan bergumam “Maafkan aku, aku menyesal.” Berulang kali dia bergumam saat jam pelajaran. Hingga orang tuanya dipanggil kesekolah. Salah seorang gurunya mengusulkan agar dia dibawa ke dokter, yang paling tepat adalah dokter kejiwaan.
Dengan rasa malu orang tua Rio membawanya ke dokter kejiwaan. Dokter mengatakan bahwa Rio sedang memendam masalahnya yang paling besar, mungkin masalah biasa dapat diatasi, tetapi masalah yang sedang dipikirkan Rio sekarang sangat mengganggunya. Dokter berusaha membuat Rio jujur, tetapi dia malah berteriak-teriak. Beberapa obat penenangpun telah ia makan. Setelah ia tersadar dari tidurnya, Rio menceritakan kejadian yang sesungguhnya kepada orang tuanya. Orang tuanya tak mampu berbuat banyak, hanya berterus terang pada sekolah dan orang tua Bulan. Apa yang telah dilakukan Rio pada Bulan memang sangat keterlaluan. Akhirnya, Rio bersedia untuk menebus segala dosanya dengan tinggal dibalik jeruji besi. Rio yang tidak mau keluar sampai masa hukumannya selesai. Ia lebih baik tinggal selamanya dalam penjara dari pada dia harus dihantui diluar sana. Rio sungguh menyesal telah melakukan hal yang sekejam itu.
Berhari-hari Tari memikirkan tentang kejadian yang menimpa Bulan, sudah tiga hari ini dia tidak pernah datang lagi ke lantai tiga. Sungguh hal yang tak pernah Tari sangka selama ini. Setiap kali dia melihat keatas, dia merasa rindu pada canda yang sering dibawakan Bulan. Suatu hari dia teringat bahwa dia pernah mengambil foto dengan Bulan, ketika Tari membuka ponsel dan melihat foto itu, ternyata Bulan sudah tidak ada disampingnya, hanya dia sendiri yang berada dalam foto itu. Tari sungguh merasa bersalah karena meninggalkan Bulan. Dibenak Tari Bulan hanyalah seorang teman yang kesepian dan ingin berteman.
“Tari… kenapa kau tak pernah menemuiku lagi? Apa aku punya salah padamu? Sudah lama aku tak mendengar ceritamu lagi. Temanilah aku Tari, jika kau memang temanku. Maka kembalilah, atau kau akan membiarkanku sendiri lagi? Apa kau tega melakukan hal seperti itu padaku? Jahat sekali kau Tari!! Aku kira kau adalah temanku, yang tak peduli latar belakangku dari mana, ternyata kau sama saja seperti temanku yang lain, membuangku setelah dekat denganku!! Kau bukan temanku!!
Hampir setiap malam Tari memimpikan perkataan Bulan itu. Suara itu telah membuat Tari mengeluarkan air mata setiap ia bangun tidur. Ia tak bisa tenang, hatinya gelisah, sekujur tubuhnya berubah dingin, wajahnya pucat, tangannya gemetar. Dia dikejutkan dengan suara ketukan pintu kamarnya.
“Tari bangun! Ada teman yang mencarimu.” Seru ibunya.
Tari semakin terkejut ketika ada teman yang mencarinya sepagi itu. Ketika ia hendak melihat siapa yang datang, ternyata tak lain yang datang adalah Bulan. Tari tak sanggup mendekati Bulan yang tengah duduk dikursi ruang tamunya. Dia segera lari, tapi Bulan menghentikannya.
“Kau takut padaku?” Teriak Bulan.
Tari yang akan lari seketika berhenti tanpa membalikan badannya kearah Bulan, tiba-tiba Bulan berjalan perlahan mendekat dan meraih tangan Tari. Tapi Tari langsung melepaskan tangan Bulan dengan kasar dan lari menuju ibunya. Ia meminta tolong pada ibunya, agar mengusir temannya itu dari rumahnya. Dan mengatakan bahwa dia adalah arwah yang tidak tenang. Tetapi, ketika ibunya hendak membuktikan omongan Tari, ternyata Bulan sudah tidak ada.
“Apa kau sakit Tari? Apa yang terjadi padamu?” ibunya begitu khawatir melihat keadaan Tari. Dan langsung merangkulnya erat-erat. Tari berdiam diri seharian dikamarnya, tak ada yang bisa masuk membujuknya makan. Hingga malam tibapun Tari tak makan apa-apa. Dia hanya melamun tentang perkataan Bulan yang terus terngiang ditelinganya. Ketika hendak berkaca, dia sedih melihat keadaan dirinya yang begitu rapuh dengan kejadian itu. Ketika Tari menatap dirinya dicermin kamarnya, tiba-tiba muncul bayangan Bulan berpakaian seragam rapi persis seperti pertama kali ia melihat Bulan. Tari sangat terkejut, dia berdiri kaku tak bisa beranjak dari tempat ia berpijak.
“Mengapa kau menghindar begitu tahu aku dan kau telah berbeda dunia? Apa ada yang salah dengan sikapku selama ini padamu? Maafkan aku bila itu menyakitimu, aku tak pernah ingin menyakiti siapapun. Apalagi kau Mentari, sungguh aku ingin berteman denganmu. Apa perbedaan dua dunia ini menjadi bahan pertimbanganmu untuk berteman? Apa ini masalah bagimu?” Bulan berkata dengan isak tangisnya yang membuat Tari bingung harus melakuka apa. Tari sungguh tak ingin meninggalkan Bulan. Dengan semua yang dikatakan Bulan dia berpikir berteman dengan siapapun tak masalah asalkan dia bahagia dan nyaman bersamanya, itulah arti teman baginya. Dengan perasaan tak gentar Tari mendekati Bulan dan tersenyum manis dihadapan Bulan, dan Bulan membalasnya.
Sejak saat itu, mereka berdua semakin sering bertemu dimanapun. Setiap Tari bangun dari tidurnya, Bulan telah berada disampingnya dan mempersiapkan buku dan baju seragamnya. Dengan perasaan gembira, setiap pagi ia pergi sekolah bukan bersama ayahnya lagi tetapi bersama Bulan. Setiap pukul 06.15 mereka telah tiba dilantai tiga melihat pemandangan pagi. Setiap kali berada dikelas Tari selalu ditemani Bulan. Apa yang dirasakan Tari hanya bisa dia ceritakan pada Bulan, tak ada teman dikelasnya yang lebih dekat padanya selain Bulan.
Dimanapun Tari berada pasti disitu ada Bulan. Bahkan Tari pergi kemanapun selalu bersama Bulan. Disaat Tari pergi kekantin atau ke perpustakaan pasti membawa senyum yang lebar dibibirnya, tak pernah sedih lagi meskipun dimata teman-temannya Tari hanya sendiri tidak ditemani oleh siapapun. Beberapa temannya selalu mengajak Tari, tapi dia selalu menolak. Banyak yang mendekati Tari untuk menjadi teman tapi Tari lebih memilih sendiri, karena dia merasa telah ditemani oleh Bulan. Perubahan Tari telah membuat temannya ketakutan. Seringnya mereka melihat Tari berbicara sendiri membuat teman-temannya ingin berbuat sesuatu.
Dalam segi belajar telah merubah Tari menjadi seperti Bulan. Caranya berbicara dengan teman, caranya mempresentasikan sesuatu dikelas, keaktifan Tari dikelas, telah mengingatkan mereka pada Bulan. Bahkan seluruh temannya heran melihat perubahan setiap guru pada Tari, dalam waktu yang singkat Tari menjadi bintang kelas. Tak dapat dibedakan lagi antara Tari dan Bulan, mereka menyangka bahwa Bulan telah kembali dengan wujud sebagai Tari. Tetapi satu yang membedakan Tari dengan Bulan adalah kesombongan Bulan tak terdapat pada watak Tari. Itulah sebabnya mereka ingin membantu Tari. Setidaknya agar ia terhindar dari fitnah, bahwa ia sudah sakit jiwa.
Ternyata tak hanya disekolah saja perubahan pada Tari. Setiap pulang sekolah dia selalu dikamar dan tertawa sendiri seperti ada yang mengajak dia berbicara. Ketika Ibunya bertanya, “Bicara dengan siapa kau Tari?”. Dengan santainya dia menjawab “sedang menelpon teman.” Ibunya selalu percaya tanpa ada khawatir. Tetapi, terkadang ibunya ingin tahu siapa saja temannya. Karena biasanya Tari selalu cerita mengenai teman-temannya, ibunya pasti tahu Tari bergaul dengan siapa, selama ini belum ada teman yang diajak Tari kerumah. Tari lebih sering dikamar dari pada berkumpul dengan orang tuanya seperti dulu. Ibunya semakin mengkhawatirkan Tari.
Tanpa sepengetahuan Tari, ibunya pergi kesekolah menemui guru dan teman-temannya. Semua yang diketahui guru dan teman sekelas Tari diceritakan pada ibunya. Dia shok ketika mendengar bahwa anaknya berperilaku aneh. Dia tidak mau ini berkelanjutan karena akan berpengaruh pada masa depan Tari. Kemudian ibunya mengusulkan agar memanggil orang tua Bulan, dan menjauhkan Bulan dari Tari untuk selamanya.
Hari itu juga orang tua Bulan datang kesekolah. Pada pukul 12.00 Tari sedang berda dilantai tig bersma Bulan. Tanpa sepengetahuan Tari, mereka menuju lantai dimana Bulan dan Tari sering bertemu. Dengan mengendap-ngendap dari setiap tangga yang mereka lewati, perlahan merekapun sampai dan melihat Tari sedang bicara sendiri dan terlihat bahagia. Ibunya sungguh tak menyangka Tari lebih senang berteman dengan makhluk halus, ibunya sudah tidak mau menunggu lama lagi dia langsung bergerak menuju Tari dan manarik Tari dengan kasar.
“Jauhi dia Tari, dia bukan temanmu!”
“Sedang apa ibu disini? Dia temanku ibu, dia baik tidak ada hal buruk yang dia lakukan padaku.”
“Tapi dia akan merusak masa depanmu suatu hari kelak.”
Sementara itu, ibunya Bulan melihat anak gadisnya tengah menangis karena melihat pertengkaran Tari dan ibunya. Dengan hati yang pilu dan mengiris disertai air mata ibunya mendekati Bulan.
“Nak, ibu sangat merindukanmu. Ibu sayang padamu. Tapi ibu mohon tinggalkan Tari, kasihan dia. Orang-orang melihat dia sudah sakit jiwa karena melihat dia terus berbicara sendiri. Pulanglah nak, ibu sudah mengikhlaskanmu. Kelak dikehidupan yang akan datang kita semua akan bertemu lagi. Percayalah Bulan, kau anak kebanggaan ibu dan akan selamanya begitu.”
Bulan mencium pipi ibunya, dia ingin sekali memeluknya. Bulan sangat merindukan belaian ibunya. Sebelum dia meninggalkan tempat itu, dia sempat memeluk Tari dan mengucapkan selamat tinggal Bulan juga berterima kasih pada Tari karena selama ini dia menerimanya sebagai teman. Seketika itu, cahaya putih menyelimuti Bulan. Dan dia meninggalkan orang-orang yang dia sayangi dengan tenang. Tari tak kuasa menahan tangisnya dia pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah kejadian itu, Tari dipindahkan ke sekolah yang lain. Dan Tari memulai kehidupan yang baru di sekolahnya yang baru tanpa Bulan. Memang sulit, tapi Tari selalu berusaha mengingat hal yang indah saat dengan Bulan dan kehidupannya kembali seperti semula. Rembulan adalah sahabat Tari yang tidak akan pernah akan ia lupakan. Karena begitu sayangnya ia pada Bulan, Tari membuatkan sebuah lagu untuk Bulan yang berjudul “Ketika Rembulan Pergi”.
TAMAT
PROFIL PENULIS
Nama : Sulastri
TTL : 24 September 1992
Alamat : Kp. Salamnunggal RT/RW 002/006, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya
Status : Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail : sulastrilikasofia@gmail.com
Facebook : Sulastri Lika Sophia
TTL : 24 September 1992
Alamat : Kp. Salamnunggal RT/RW 002/006, Kec. Indihiang, Kota Tasikmalaya
Status : Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail : sulastrilikasofia@gmail.com
Facebook : Sulastri Lika Sophia
Baca juga Cerpen Remaja yang lainnya.