Itulah aku saat itu, mengingat kembali rasa itu sungguh membuat ku ingin mengakhiri hidup ini, tapi ku masih bertahan karena sesesorang yang selalu ada di hati ini menerangi jalan hidup ku.
15 Agustus 2017 saat ini, tanggal 15 Agustus sungguh bermakna bagiku, penuh kenangan yang menyedihkan dan membahagiakan.
Flash Back.
15 Agustus 2008
Malam ini adalah malam ulang tahun ku yang ke 19 tahun, dan lebih bahagianya lagi hari itu bertepatan dengan pengumuman kelulusanku dari sekolah SMA. Dalam hati ku berfikir malam ini benar-benar akan menjadi malam yang indah buat ku dan keluargaku. Hari ini sudah menjelang malam, sekitar jam 18.00 dengan cuaca yang cerah, pas untuk merayakan sebuah pesta kecil kecilan.
Kami berencana merayakan itu semua di sebuah restoran yang cukup jauh dari rumah, karena di sekitar rumah kami tidak ada tempat seperti itu, karena di pinggiran kota, makanya kami memutuskan kesana walau jauh. Di tengah Kota.
“Ayo kakak.. Adik udah siap kan? Ibu tungu di mobil ya sama ayah.” Panggil ibu menyuruhku cepat-cepat. Akhirnya semua sudah berada di dalam mobil dan berangkat menuju tempat itu. Mereka sangat senang, senyum mereka menjadi kado terindah yang pernah ku dapatkan, tak ada yang lain. Ku berharap senyum itu dapat kulihat sepanjang hidupku.
Tapi takdir berkata tidak, saat di pertengahan menuju restoran mobil yang kami naiki oleng tak terkendali, sehingga menabarak kendaraan lain dan terjadilah tabarakan beruntun. Aku sangat terkejut, kecelakaannya benar-benar cepat sekali, tanpa kusadari semua telah tiada.
Bunyi sirine ambulan terdengar di telingaku, ku tak percaya apa yang telah terjadi, kulihat dalam sakitku, ayah, ibu dan adik ku terluka parah sekali, ku ingin melihatnya tapi ku tak sanggup berdiri, bangkan berbicara pun sulit, dan ku tak sadarkan diri.
22 Agustus 2008, Di rumah sakit.
Seminngu telah berlalu, aku koma tak sadarkan diri. Hingga hari ke 8 ku tersadar bahwa semuanya telah tiada. Beberapa hari kemudian ku dikatakan sudah sembuh dari kecelakaan itu, dan diizinkan pulang. Tapi yang belum sembuh adalah mentalku dan persaan ku ini. Entah keajaiban apa yang membuatku hidup seperti ini.
Akhirnya pun aku sampai di rumah, di antar oleh sahabat ayah ku, Om Budi dan anaknya Rani. Saat itu ku masih terdiam dan terdiam dalam tangisku, kulihat Rani membantuku menuju kamarku. Ku ingin mengucapkan terima kasih pada Rani dan Om Budi, tapi mulut ini tak kuasa untuk menyampaikannya.
Saat ini ku benar-benar depresi, keluargaku satu-satunya telah tiada. Karena tak ada saudara lain, ayah dan ibuku adalah anak tunggal di keluarganya, dan juga kakek nenek ku telah meninggal semua. Tak ada lagi yang bisa membantuku, tapi ku beruntung masih ada Om Budi yang seperti saudara sendiri. Tempat tinggal mereka pun tidak jauh dari rumah ku.
Dia yang membayar semua biaya rumah sakit dan pemakaman keluarga ku. Rani yang selalu menemaniku saat di rumah sakit, walau ku belum tersadarkan. Hingga di rumah pun mereka masih memperhatikan aku.
Ku semakin tak kuasa melihat itu semua, kehilangan keluarga dan menjadi beban bagi orang lain, ku tak mau itu. Beberapa hari ku mengurung diri di kamar. Tak mau ada yang menggangguku saat ini.
Hingga suatu hari Rani mencoba berbicara pada ku, mencoba membujukku untuk ke luar dari kamar dan menjalani hidup selayaknya. Rani terus saja berbicara hingga ada suatu kata yang membuat ku sedikit mendapatkan cahaya kehidupan.
“Dhan.. Jalan hidupmu masih panjang, jangan pernah kamu sia-sia kan hidupmu hanya untuk meratapi semua yang sudah terjadi. Tak ada gunanya kamu terus mengurung diri seperti ini. Ayah, Ibu dan Adik mu pasti tak menginginkan semua ini, mereka akan sedih di sana, mereka tidak akan tenang jika kamu terus seperti ini. Begitu juga dengan Aku, Ayah dan Ibuku, kita semua jadi khawatir dan sedih melihatmu.” Panjang lebar Rani membujukku, tapi kata-kata itulah yang mengena di hatiku. Aku pun bangkit dari kamar tidur dan mencoba untuk membuka pintu kamar. Setelah kubuka.
Pluk.. Rani memelukku erat, sambil meneteskan air matanya. Ku hanya bisa berdiam diri melihatnya. Ku sedikit mulai tersadar, bahwa masih ada yang memperdulikan aku. Saat itu juga ku mulai menyesali apa yang kulakukan selama ini. Ku peluk erat juga Rani dan menetes lah air mata ku yang selama ini tak pernah menetes karena saking menyakitkan kejadian itu. Ku menjadi tenang dan dalam hati ku berkata, ku akan melanjutkan hidup ini.
“Maafkan aku Rani.. maafkan aku…” kataku pada Rani.
3 September 2008.
Beberapa hari kemudian, ku sudah sedikit terbiasa dengan kejadian itu dan mulai menjalani hidup ini seperti biasa. Bertepatan dengan adanya perndaftaran mahasiswa baru di sebuah Universitas. Sebenarnya ku tak ingin tapi karena Rani yang mengajakku, jadi ku daftar juga bersama Rani.
“Dhan.. sudah kau bawa semuakan persyaratan daftarnya?” Tanya Rani penuh semngat.
“Iya iya sudah ku bawa kok, fuh..” jawab ku dengan malasnya. Tanpa membuang buang waktu lagi kami pun langsung menuju tempat pendaftaran. Kami menyerahkan semua persyaratannya, lalu di test langsung setelah itu. Aku kaget karena Rani tidak bilang kalau langsung test.
“Wahhh… Ran… Kamu gimana sih, kok tidak bilang-bilang kalau langsung test.” Dengan nada kesal, tapi dengan entengnya Rani bilang. “Maaf Dhan.. Lupa.. saking semangatnya aku jadi lupa deh.. hihihi..” sambil tersenyum Rani membodohiku. Tapi biarlah, selama ku masih bisa melihat senyum Rani ku tak apalah.
Akhirnya test ujian masuk pun dimulai. Aku mengerjakan sebisa ku, bisa lolos apa tidak aku tak peduli. Sambil kulihat wajah serius Rani yang sedang mengerjakan test di sebelahku, ku jadi merasa bersalah. Akhirnya ku mencoba mengerjakannya dengan serius juga.
Test selesai dan kami pun kembali ke rumah, pengumuman lolos apa tidaknya akan di umumkan seminggu kemudian. Selama seminggu itu aku hanya bisa di rumah saja. Tak mau kemana mana, karena saat ku teringat kejadian itu kepalaku terasa sakit. Dan pastinya Rani selalu mengunjungiku di rumah untuk menemaniku. Mulai berbicara konyol, belajar memasak, bersih bersih, pokoknya tidak ada diamnya sedikitpun kalau ada Rani di rumah. Mungkin dia memcoba untuk mengalihkan pemikiranku tentang kecelakaan itu dengan kesibukan. Tapi memang itu berhasil membuatku melupakannya sejenak.
Hari pengumuman pun tiba, kami pun segera menuju kesana. Sesampainya disana, kami mencoba mencari cari nama kami. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya nama Rani ada dalam pengumuman itu, dinyatakan diterima. Tapi dia belum merasa senang, ku tak tahu kenapa. Rani terus mencari cari, cukup lama dan akhirnya apa yang dicari ketemu, yaitu nama ku.
“Yeyyyy.. kita bisa masuk kampus yang sama yey…” Sorak Rani kegirangan. Akhirnya terjawab sudah kenapa dia tidak senang melihat namanya lolos, tapi setelah melihat nama ku lolos juga barulah dia senang. Dia hanya ingin kuliah bersamaku. Itu pemikiranku. Senyum manis Rani membuat ku berbahagia juga.
Kami mencoba merayakannya, walau kecil kecilan. Cuma beli Es Cream dan beberapa snack untuk di makan di rumah ku. Yah cukup meriah juga sih, dengan kehebohan Rani hingga malam pun tiba. Saatnya untuk Rani pulang ke rumah untuk memberitahu kepada keluarganya.
Ku pun sendiri lagi di rumah, memikirkan semua yang terjadi hari ini. Ku pikir cukup menyenagkan juga, ku ingin terus merasakannya. Tapi saat itu juga ku kembali mengingat masa itu, dimana kecelakaan itu terjadi. Menghancurkan semua rasa bahagia hari ini menjadi suram.
Setiap hari seperti itu, pagi yang menyenangkan dan malam yang menyedihkan. Kenapa, karena di pagi hari ku bisa melihat senyum bahagia Rani, saat di kampus atau di manapun. Saat itu kami sudah memasuki perkuliahan, setelah pulang kuliah kamu main dulu terus pulang ke rumah. Dan saat itulah malam menyedihkan itu datang.
25 Agustus 2011.
3 tahun berlalu, Terus seperti itu hingga ku sudah menginjak semester 6. Tapi malam menyedihkan itu sudah bisa ku hilangkankan dan menjadikannya hal positif. Karena ku melihat Rani yang selalu bahagia, yang selalu perhatian, bagaikan cahaya yang selalu bersinar walau dalam kegelapan. Dialah cahaya hidup ku, Rani.
Timbul rasa cinta dalam hati ini, karena sekian lama ini kami hanya seperti sahabat. Tapi ku ingin lebih dari sahabat dan memilikinya seutuhnya, karena sudah tak bisa lagi ku bendung rasa ini. Nanti pas wisuda aku akan mengungkapkannya padanya. “Pasti…” kata ku lirih sambil mengejar Rani yang berlari menuju kampus.
15 Agustus 2012.
Hingga saat itu pun tiba, dimana para mahasiswa mahasiswi akan di wisuda. Melakukan upacara perpisahan di sebuah gedung milik kampus sendiri. Kulihat Ayah dan Ibu Rani di bangku orangtua, kunya bisa tersenyum melihatnya. Mencoba berandai andai.
“Andai saja keluargaku juga ada disini, pasti lengkaplah kebahagiaan ini..” kataku lirih sambil menunggu untuk pelepasan. Sayang semua itu tak mungkin terjadi. Setidaknya ku masih memiliki Rani yang selalu ada untuk ku. Hari ini aku ingin mengungkapkannya semua perasaanku selama ini.
Wisuda pun berakhir mengharukan, semuanya berpelukan dengan keluarganya masing-masing sedangkan aku tak ada yang bisa ku peluk. Tapi tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku erat, yaitu Rani. Ku ingat pertama kali Rani memelukku, ya saat ku mulai bangkit dari keterpurukan. Aku pun sekarang bisa tersenyum lega dan segera ku melihat ke arah Rani memelukku.
“Selamat ya Dhan.. Kau sudah menjalani hidup dengan sebaik baiknya. Tak kamu sia-siakan hidup ini. Sekarang ku sudah tenang, dan sekaligus bahagia sekali melihat kamu tersenyum kembali seperti ini.” Kata Rani dan mencium pipi ku. Aku tak mengerti apa maksud dari perkataan Rani tadi, tapi yang ku pikir saat ini adalah Rani mungkin juga mencintaiku.
“Ya Tuhan, Sang Pencipta Alam semesta beserta isinya. Tolong jagalah senyum dia yang selalu ada di hidupku, yang selalu menjadi cahaya hidup ku dan selalu menjadi penerang jalan ku.” Doa ku dalam hati.
“Dhan… Dhani.. ayo cepet sini, kita rayain kelulusan ini bersama kluargaku, ayo!” Ajak Rani memintaku untuk segera masuk ke mobil Ayah Rani. Dan ku pun masuk bersama Rani di sampingku. Hari itu sudah mulai menjelang malam sekitar jam 18.00. Cuaca cerah hari yang bagus untuk merayakannya.
Mobil mulai dinyalakan, lalu melaju perlahan. Ku mulai jadi teringat waktu itu. Dimana kejadian yang sama di masa lalu. Kelulusan, Perayaan dan Tragedi. Tapi ku mencoba membuang jauh pikiran itu, ku coba untuk positif thingking, karena ku tak ingin kehilangan senyum mereka, terutama Rani.
“Kita mau kemana Ran?.” Tanyaku pada Rani.
“Kita akan merayakan kelulusan kita, di restoran tengah kota..” Rani mejawabnya dengan senyum di wajahnya. Sungguh indah kurasa hari ini. Semua terasa begitu membahagiakan tapi masih sedikit was was takut kejadian masa lalu terulang kembali.
Di perjalanan ku terus berdoa agar tak terjadi apa-apa. Hingga sampai tempat tujuan dan tak terjadi apa-apa, Ku sangat senang dan bersyukur akan hal itu. Kami pun menuju meja yang sudah di pesan sebelumnya, segera setelah itu pelayan datang dan memberikan pesan kami yang memang sudah di pesan sebelumnya.
Sungguh haru sekali suasananya, lagi-lagi ku berandai andai, “Andai saja saat ini ku bersama keluarga ku pasti sangat menyenangkan..” gumamku dalam hati. Setidaknya saat ini ku bisa merasakan indahnya merayakan kelulusan dan hari ultahku juga yang ke 22. Aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari ultah ku. Karena ku sungguh bahagia dengan semua ini.
“Dhan, ini kado dariku.. coba di buka deh..!” kotak kecil di ikat dengan pita yang indah dari Rani, lalu kubuka dan ternyata sebuah jam tangan yang tertuliskan nama ku dan nama Rani. Ku sangat terkejut melihatnya.
Belum sempat ku bertemakasih atas pemberiannya, Rani lagi-lagi mengejutkannku. Dia mencium pipi ku sekali lagi. Tawa dan canda Om Budi dan Tante membuat ku tak bisa berkata apapun. Hingga menetes air mataku jatuh tak terbendung.
“Terimakasih Om, Tante dan kamu Rani.”. dan tak bisa berkata-kata lagi. Malam ini benar-benar menjadi pengalaman yang tak akan pernah kulupakan. Hingga ku lupa ingin mengungkapkan perasaanku itu.
Terlambat, kami sudah bersiap untuk pulang. Karena waktu sudah larut malam. Kami pun segera masuk ke mobil dan kembali ke rumah.
“Tak apalah, masih ada hari esok untuk mengungkapkannya pada Rani, setidaknya hari ini sudah lebih dari cukup untuk ku, untuk hidup ku ini, yang sebelumnya tertunda untuk kurasakan.” Gumamku dalam hati.
Tapi takdir lagi-lagi tak berpihak padaku, seakan alam semesta memusuhiku, tak terima akan kebahagiaan yang kau terima malam ini. Di pertengahan jalam menuju rumah, mobil yang dikendarai Om Budi slip dan menabrak mobil lain. Kecelakaan.
Om dan Tante ku lihat penuh dengan darah, sama seperti kejadian waktu itu. Ku bingung harus bagai mana, karena tengah malam, penyelamatan pun jadi sedikit lama. Sepi tak ada orang, yang ada hanya 2 mobil yang sudah rusak parah dengan manusia di dalamnya yang lagi sekarat.
Tiba-tiba kudengar suara lirih, dan ternya Rani yang masih sadar, tapi terlihar sudah pucat sekali. “Dhan.. terimakasih untuk selama ini ya Dhan.. Ku tak pernah menyesali apa yang terjadi sekarang ini, Karena ku sudah cukup bahagia hidup di dunia ini, mengenalmu, menjalani hari-hari dengan mu, semua sungguh menyenangkan.. Uhuk..” mulut Rani mengeluarkan darah, tapi Rani masih ingin berbicara pada ku.
“Rani.. Rani.. sudah cukup bertahan lah aku akan mencoba menyelamatkanmu.. bertahanlah..” mencoba untuk menenangkan Rani dan menyelamatkannya, tapi semua itu sia-sia, aku dan Rani masih dalam mobil. Ku coba menggedor pintu dari mobil yang terbalik ini dengan sisa-sisa tenagaku, tapi itu belum cukup untuk bisa membukanya.
“Dhan.. aku mau kamu terus hidup, terus melanjutkan kebahagiaan ini, untuk ku. Aku akan sedih jika kau menyianyiakan hidupmu seperti dulu. Hiduplah untuk aku. Aku mencinta.. i.. mu.. Dhani..” kata-kata terakhir terucap di mulut Rani. Segera setelah itu tim penyelamat baru datang dan mencoba untuk menyelamatkan semuanya.
Aku kembali masuk rumah sakit dan koma selama beberapa hari, lebih lama dari koma ku yang dulu.
15 Agustus 2017, 2 tahun setelah kejadian itu.
Ku berjalan dan terus berjalan menuju tempat yang sangat penting bagi ku, yaitu makam. Ku lihat 6 batu nisan berderet di depan ku, berfikir kenapa aku tak jadi salah satu dari mereka juga.
Makam Ayah, Ibu, Adikku, Om, Tante dan Rani. Semua orang yang sangat ku sayangi dan sangat menyayangiku. Setelah keluar dari rumah sakit saat itu, ke berencana untuk menyusul mereka. Tapi kata-kata Rani mengingatkanku untuk terus hidup untuknya dan untuk orang yang dicintainya.
Sekarang ku hanya bisa mengenang mereka dan menjalani sebaik baiknya hidup seperti yang dikatakan Rani. Rani memang sudah tiada di dunia ini, tapi dia masih ada di hati ku tetap hidup dalam ingatan ku. Menjadi cahaya hidupku selama akhir hayat ku.
Hidup memang terlihat tak adil, tapi itulah hidup. Penuh dengan lika liku kehidupan, terkadang sedih susah dan menderita, terkadang senang dan bahagia. Sesulit apaun hidup itu sendiri, tetap lanjutkanlah, karena hari esok siapa yang tahu.
Cerpen Karangan: Ramadhani Azhari
Facebook: https://www.facebook.com/12amadhaniazhar1
Belajar Nulis!!!