KETIKA KASIH SYANG MULAI RENGGANG
Karya Anggi Dwi Sulistyani
Karya Anggi Dwi Sulistyani
Burung-burung segera bertebangan di angkasa. Hal itu menandakan bahwa hujan mulai datang sore ini. Namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman dengan pakaian seragam yang mungkin tak serapi tadi pagi. Rasa sedih sering kali datang di dalam hatiku.
Teringat akan semua kenangan manis antara aku dengannya. Namun, semua telah berlalu. Kini dia telah pergi jauh dari kehidupanku. Dan kini yang tersisa hanya bayang-bayangnya yang selalu tersimpan di lubuk hatiku.
Gerimispun datang, namun, aku tak menghiraukan hal itu. Aku masih saja duduk di taman. Hingga akhirnya hujan begitu deras datang. Sebenarnya enggan aku untuk pergi dari tempatku duduk semula. Namun, jika aku tak segera pergi dan pulang, pasti nanti ayah dan bundaku akan mengomeliku habis-habisan.
Ketika Kasih Sayang Mulai Renggang |
Setelah tiba di rumah tak ku lihat mobil ayah dan bundaku terparkir di depan rumah. Sudah ku duga ayah dan bunda pasti masih sibuk dengan urusan mereka. Ayah dan bundaku memang selalu mencukupi kebutuhan materiku namun, mereka tak pernah tau bahwa aku selalu kekurangan kasih sayang. Tetapi, sudahlah, munkin ini semua sudah jalanku.
“Non, kenapa baru pulang ?” tanya Bi Inem khawatir.
“Iya, bi tadi mampir ke taman. Ayah bunda ke mana bi ?”
“Mereka ada urusan di kantor non, ayo masuk dulu”
Sudah ku duga ayah dan bunda selalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Aku memang mengerti bahwa mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan materiku namun, tidak dengan kebutuhan batinku. Aku selalu merasa iri dengan teman-temanku yang lain. Mereka selalu mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua mereka. Tak seperti aku yang kekurangan kasih sayang.
Segera aku mandi dan masuk ke dalam kamarku yang luas. Apa guna punya rumah yang besar, rumah yang luas, rumah yang mewah jika hanya dua orang ang selalu berada di rumah. Yaitu, aku dan Bi Inem.
“Non, kenapa baru pulang ?” tanya Bi Inem khawatir.
“Iya, bi tadi mampir ke taman. Ayah bunda ke mana bi ?”
“Mereka ada urusan di kantor non, ayo masuk dulu”
Sudah ku duga ayah dan bunda selalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Aku memang mengerti bahwa mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan materiku namun, tidak dengan kebutuhan batinku. Aku selalu merasa iri dengan teman-temanku yang lain. Mereka selalu mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua mereka. Tak seperti aku yang kekurangan kasih sayang.
Segera aku mandi dan masuk ke dalam kamarku yang luas. Apa guna punya rumah yang besar, rumah yang luas, rumah yang mewah jika hanya dua orang ang selalu berada di rumah. Yaitu, aku dan Bi Inem.
Mungkin aku bukan anak ayah dan bunda tapi, anak bi Inem karena hanya bi Inem yang selalu memberi perhatian untukku. Ayah dan bundaku hanya mementingkan pekerjaan. Dan mungkin bagi mereka aku hanya orang yang tidak penting bagi kehidupan mereka.
Tak jarang aku selalu meneteskan air mata saat aku teringat akan ayah bunda yang selalu mengutamakan pekerjaannya. Namun, selalu ku coba untuk bersabardan terus bersabar.
Pukul sembilan tepat seusai aku belajar segera aku turun dan menghidupkan tv di temani oleh bi Inem. Namun, sudah 15 menit aku melihat tv ayah dan bunda belum juga pulang. Padahal ada yang ingin aku beri tahukan kepada mereka tentang undangan dari sekolah. Hingga pukul 21.30 mobil ayah dan bunda datang secara bersamaan. Namun, hal itu tak membuat aku senang, karena rasa kecewa sudah datang menghampiriku.
“yah, bun ini ada undangan dari sekolah”
“wah, jam berapa ini besok bunda ada meeting sama klayen”
“sama ayah juga ada meeting”
“ya, udah pentingin aja kerjaan daripada aku dan engga usah datang sekalian”
Setelah mengucap kalimat itu tak terasa air mataku menetes aku segera naik dan membanting pintu kamar brrraakkk. Aku sedih aku kecewaa ayah dan bunda selalu mengutamakan pekerjaan mereka. Mereka tak pernah menganggap aku hadir di kehidupan mereka. Aku hanya bagaikan sampah yang tak berarti.
***
Pagi ini entah kenapa aku sangat malas datang ke sekolah. Mungkin karena kejadian tadi malam. Namun, mau tak mau aku harus segera mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah siap aku segera turun dan menuju meja makan. Di sana telah tersedia banyak makanan. Namun, selera makanku tak lagi ada. Aku hanya minum susu dan segera berangkat ke sekolah. Mobil ayah dan bunda sudah tidak ada mereka memang pagi-pagi sekali sudah pergi.
Harap-harap cemas mengisi hatiku siang ini, aku takut apabila ayah dan bunda memang benar-benar tidak datang. Namun, sampai acara dimulai tak ku lihat ayah ataupun bunda. Hingga acara selesai ayah bunda juga tak datang. Hatiku rasanya hancur tak karuan, rasa sedih, rasa kecewa, rasa benci bergelayut dalam hatiku. Kenapa ayah dan bunda seperti ini kepadaku apa merka malu dengan keadaanku atau karena mereka tidak sayang kepadaku.
Setelah pulang sekolah aku tak langsung pulang ke rumah tapi, aku pergi ke taman ku lepaskan semua kepenatanku hari ini. Semua kekecewaanku ku tuliskan ke dalam selembar kertas dan segera aku bakar. Aku benar-benar benci hari ini.
Hingga malam hari pukul 19.00 aku baru sampai di rumah. Terlihat olehku mobil ayah dan bunda sudah ada di sana.
“sayang kamu dari mana saja ?”
“tumben bunda peduli sama aku biasa cuma peduli pekerjaan bunda dan klayen-klyen bunda”
“sayang kenapa kamu jadi kayak gini”
“harusnya ayah bunda itu sadar kenapa aku jadi kayak gini. Siapa yang bikin aku begini ayah sama bunda kan. Ayah bunda engga pernah tau rasanya jadi aku tuh kayak gimana. Dan sekarang aku tanya kenapa ayah sama bunda engga datang ke sekolahku. Ayah dan bunda selalu sibuk sama urusan ayah bunda engga ada waktu buat Bintang. Bintang sadar bahwa Bintang Cuma sampah di keluar ini”
Air mataku bercucuran entah kenapa aku berani mengucapkan kalimat seperti itu kepada orang tuaku. Rasa kecewa yang selama ini aku tahan akhirnya tak kuat aku membendungnya dan pada malam itu ku luapkan semua yang tersimpan di hatiku.
Segera aku masuk ke dalam kamar. Dan segera ku buka jendela kamarku tak kuhiraukan hawa dingin di luar. Semua yang aku impikan hancur sudah. Aku muak dengan janji-janji ayah dan bunda.
Tok..tookk... terdengar ketukan pintu kamarku. Ternyata dia adalah bunda.
“sayang buka pintunya ya, bunda mau minta maaf”
“Engga aku benci bunda aku benci ayah aku benci kalian semua. Kalian nggak pernah bener-bener sayang sama Bintang. Selama ini yang sayang sama Bintang Cuma Bi Inem”
“ayah sama bunda serja banting tulang Cuma buat Bintang”
“Engga itu bukan buat Bintang. Itu Cuma buat ayah sama bunda”
Segera aku tidur karena aku tak mau terus menangis. Aku tak ingin dianggap lemah oleh banyak orang. Aku harus tegar.
***
Pagi-pagi aku sudah siap dan segera turun. Terlihat olehku ayah dan bunda belum berangkat kerja. Namun, aku tak menghiraukan hal itu. Seperti biasanya aku hanya minum susu dan kemudian pergi ke sekolah. Mungkin bunda bingung melihat tingkah lakuku, bundapun bertanya kepada bi Inem.
“Bi, kok Bintang tadi cuma minum susu ?”
“Emang biasanya cuma kayak begitu bu, non Bintang cuma minum susu kalau berangkat ke sekolah”
Entah kenapa hari ini mood aku hilang. Aku ingin segera pergi dari sekolah dan menuju ke taman. Di sana tempat yang paling bisa mengerti aku. Di sana banyak hal yang tersimpan. Di sana tempat yang biasanya aku pakai untuk menghilangkan kepenatan.
Bel tanda pulangpun berbunyi namun, sayang hari ini langit begitu mendung hujan pun beberapa saat kemudian mulai datang. Tetapi, langsung ku terobos hujan itu, tak peduli aku akan bajuku yang basah.
Aku sungguh kecewa pada orang tuaku. Kenapa mereka tega kepadaku. Mereka yang sangat aku sayang. Tapi, mereka tak pernah peduli denganku. Sungguh hati ini ingin berteriak sekencang-kencang. Namun, aku harus bisa tegar menghadapi semua ini.
Terlihat olehku mobil ayah terparkir di depan pintu taman. Ayah dan bundapun kemudian keluar dan menghampiriku. Mungkin mereka khawatir padaku atau mungkin hanya ingin menyenangkan hatiku. Entahlah aku tak tahu.
“Sayang kamu ngapain di sini ?”
“Gak, Bintang nggak ngapa-ngapain di sini. Bintang cuma mau cari suasana baru”
“Yaudah sayang ayo pulang. Ayah sama bunda minta maaf sama kamu. Ayah bunda sadar bahwa kami kurang memberikan kasih sayng sama kamu.”
“Kenapa yah, bun, kenapa baru sadar sekarang ?, ayah bunda engga tau betapa kesepiannya Bintang !”
“Iya maafin bunda sama ayah sayang”
Setelah mengucap kata-kata seperti akupun mau di ajak pulang oleh Ayah dan bunda. Dan kini aku mulai sedikit demi sedikit mendapatkan kasih sayang yang dulu hilang.
Tamat
PROFIL PENULIS
Nama : Anggi Dwi Sulistyani
Facebook : Anggi Dwi Sulistyani
Nama : Anggi Dwi Sulistyani
Facebook : Anggi Dwi Sulistyani
No. Urut : 276
Tanggal Kirim : 26/12/2012 19:41:14