KEMBALINYA SEORANG SAHABAT
Karya Rochman Nkr
“Dillaaaahh..” suara kecil yang berasal dari bocah berumur 7 tahun itu memanggil-manggil diriku. Aku sama sekali tak menggubrisnya. Aku tetap berlari dan dia berusaha mengejarku.
“AYO KESINI IYON. ADA BURUNG KECIL TERJEBAK DI LUMPUR?” teriakku memanggil Iyon, sahabatku.
“Benarkah?” tanya Iyon saat tiba di tempat yang kumaksud dengan nafas masih terengah-engah karena berlari.
“Iya, lihat itu. Kasihan sekali dia.”
“Biar aku mengambilnya.” Iyon mengambil burung itu dan melepaskannya.
“Terbanglah burung cantik. Bermainlah dengan teman-temanmu!” kataku polos.
“Ayo bermain bunga Alang-alang!”
“Ayo.” Kami asik mengumpulkan bunga alang-alang disawah, kemudian meniupnya. Sehingga bunga-bunga itu berterbangan layaknya salju di Eropa. Tapi kegembiraan itu tak berlangsung lama.
“IYOOOON” teriak seorang perempuan dewasa dari ujung sawah,
“Iya, mah!” kami berdua menghampiri mama Iyon.
“Ayo, pulang sayang. Kita harus cepat-cepat ke luar kota.”
“Tante sama Iyon mau berlibur ya?” tanyaku polos.
“Tidak Dillah. Iyon sama Om dan Tante akan pindah ke luar kota. Karena ayah Iyon pindah tugas!”
“Apa? Jadi kita pindah ma? Iyon gak mau. Iyon mau tetep di desa ini.” rengek Iyon.
“Tapi sayang, apa kamu mau tinggal disini sendiri? Tidak kan? Jadi kamu harus ikut mama sama papa.”
“Tapi, mah..”
“Sudah ayo, nak. Papa sudah menunggu dari tadi. Iyon pergi dulu yah Dillah!” tante menarik Iyon pulang. Aku hanya bisa memandangi kepergian Iyon sembari mendesah lemah “Jangan pergi, Yon”
“Dillaaaahh..” suara kecil yang berasal dari bocah berumur 7 tahun itu memanggil-manggil diriku. Aku sama sekali tak menggubrisnya. Aku tetap berlari dan dia berusaha mengejarku.
“AYO KESINI IYON. ADA BURUNG KECIL TERJEBAK DI LUMPUR?” teriakku memanggil Iyon, sahabatku.
“Benarkah?” tanya Iyon saat tiba di tempat yang kumaksud dengan nafas masih terengah-engah karena berlari.
“Iya, lihat itu. Kasihan sekali dia.”
“Biar aku mengambilnya.” Iyon mengambil burung itu dan melepaskannya.
“Terbanglah burung cantik. Bermainlah dengan teman-temanmu!” kataku polos.
“Ayo bermain bunga Alang-alang!”
“Ayo.” Kami asik mengumpulkan bunga alang-alang disawah, kemudian meniupnya. Sehingga bunga-bunga itu berterbangan layaknya salju di Eropa. Tapi kegembiraan itu tak berlangsung lama.
“IYOOOON” teriak seorang perempuan dewasa dari ujung sawah,
“Iya, mah!” kami berdua menghampiri mama Iyon.
“Ayo, pulang sayang. Kita harus cepat-cepat ke luar kota.”
“Tante sama Iyon mau berlibur ya?” tanyaku polos.
“Tidak Dillah. Iyon sama Om dan Tante akan pindah ke luar kota. Karena ayah Iyon pindah tugas!”
“Apa? Jadi kita pindah ma? Iyon gak mau. Iyon mau tetep di desa ini.” rengek Iyon.
“Tapi sayang, apa kamu mau tinggal disini sendiri? Tidak kan? Jadi kamu harus ikut mama sama papa.”
“Tapi, mah..”
“Sudah ayo, nak. Papa sudah menunggu dari tadi. Iyon pergi dulu yah Dillah!” tante menarik Iyon pulang. Aku hanya bisa memandangi kepergian Iyon sembari mendesah lemah “Jangan pergi, Yon”
Dimana kamu sekarang berada? Aku rindu kamu, sahabat kecilku? Kau pergi meninggalkanku tanpa kabar. Apakah kau masih mengingatku? Masih bisakah kita bertemu? Mengulang kenangan masa lalu. Entahlah.
Dulu saat diriku masih berumur 7 tahun dan masih tinggal di desa aku mempunyai seorang sahabat yang baik, Iyon namanya. Dia pernah berjanji padaku tidak akan pernah meninggalkanku tapi suatu hari papanya harus dinas ke luar kota dan dia harus ikut papanya. Dia berjanji akan selalu mengabariku tapi apa?. Sampai sekarang dia tidak pernah mengabariku bahkan aku tidak tahu dimana dia tinggal.
Sekarang aku pindah ke surabaya untuk meneruskan sekolah SMA disana, karena di desaku yang sangat terpencil tidak ada satu pun sekolah SMA. Hari ini hari pertamaku sekolah yang berarti masa-masa MOS. Aku harus menuruti semua perintah dari kakak-kakak senior.
“Pagi, Fadillah” sapa bunda saat sarapan..
“Pagi juga, bunda,” jawabku. Aku anak tunggal jadi tak heran kalau orangtuaku sangat menyayangiku.
“Hari ini kan hari pertama sekolah jadi ayah antar saja, ya?” tanya ayah.
“Nggak usah, yah. Aku bisa jalan kaki. Kan sekolahnya dekat,” kataku.
“Ya sudah kalau begitu cepat berangkat nanti kamu telat,” perintah ayah. Aku berjalan melewati jalan raya yang cukup ramai. Aku melihat taman yang bagus dan aku memutuskan mampir sebentar untuk melihat bunga-bunga yang indah. Karena keasyikan aku tak sadar kalau sudah jam 7 kurang lima menit. Aku bisa terlambat. Aku berlari sekencang-kencangnya agar cepat sampai tapi apa daya. Gerbang sekolah sudah ditutup.
“Pak buka gerbangnya, maaf saya telat,” teriakku, semoga saja pak satpam dengar. Tiba-tiba ada mobil datang dan seorang cowok berseragam sepertiku turun. Sepertinya dia telat juga. Pak satpam bersama seorang cowok keren (sepertinya kakak kelas) datang dan membukakan gerbang.
“Kalian telat jadi harus dihukum, ikut saya!” kata cowok tadi. Kami dihukum memunguti sampah yang ada di lapangan oleh cowok tadi yang ternyata ketua OSIS, namanya Ferdi. Dia tampan, tegas dan pintar, aku kagum padanya.
Aku sebel sama Diyon (anak yang telat tadi), dia tidak mau menjalankan hukumannya, dia hanya duduk di pinggir lapangan. Akhirnya ku aduin ke kak Ferdi.
“Diyon, kenapa kamu duduk disini, ayo bersihin lapangan, mau ditambah hukumannya?” kata kak Ferdi dengan tegas.
“Okey, aku bersihin,” kata Diyon dengan suara dibuat-buat. Dari jauh kukatakan syukurin. Eh, dia lihat waktu aku ngata-ngatain dia, lalu dia bilang awas loe ya?. mendengar kata-kata dia aku menjulurkan lidahku dan berkata weee...
Setelah selesai menyelesaikan hukumanku aku beli minum dikantin. Waktu aku mau minum minumanku Diyon merebutnya dan bilang “Makasih, ya sayang.” Kurang ajar dia berani-beraninnya merebut minumanku dan bilang “sayang.” Sekarang semua siswa melihatku. Aku malu sekali. Aku tak tahu harus bagaimana, akhirnya aku memutuskan ke toilet saja. Disana sepi tidak ada satupun orang. Sesekali ada siswa cowok yang masuk toilet lalu keluar (toilet cewek dan cowok berseberangan). Aku memutuskan duduk dikursi tunggu depan toilet. Aku mengeluarkan novel dari tasku dan membacanya.
“Hey, baca buku kok di toilet, kan bisa di perpustakaan,” kata kak Ferdi yang ternyata sudah duduk di sampingku.
“Emmm, itu, itu..” aku nggak bisa ngomong apa-apa.
“Sudah nggak apa-apa, ayo kita ke perpustakaan saja, aku juga mau mengembalikan buku yang ku pinjam kemarin,” katanya.
“Ayo.” Perjalanan ke perpustakaan sangat ramai. Aku berjalan beriringan dengan Kak Ferdi. Dari jauh nampak Diyon menatapku sinis. Apa lagi maunya tuh anak?
“Nama kamu siapa?”
“Ah, Fadillah kak?”
Hari ini masa MOS ku sudah selesai dan hari ini juga pengumuman pembagian kelas. Aku sekelas dengan Diyon yang jahil itu. Kenapa sih harus dengan dia?.
“Hey kita sekelas, ya?” kata Diyon.
“Sudah tahu tanya,” jawabku sewot.
“Oh ya, nama kamu siapa,” tanyanya. Dia belum tahu namaku. Menyebalkan.
“Fadillah,” jawabku singkat.
“Aku Diyon, kamu duduk sama aku, ya! disini aku nggak kenal siapa-siapa” katanya.
“Nggak ah,” jawabku.
“Ayolah, please!” katanya memohon.
“Okey, tapi kamu nggak boleh jahil sama aku,” kataku.
“Terima kasih ya,” dia langsung menarik tanganku untuk duduk disampingnya. Berada di dekat Diyon rasanya seperti bersama seseorang yang sudah lama ku kenal.
Hari demi hari kita lewati hampir berdua. Sekarang aku dan Diyon bersahabat. Kami bagaikan bulan dan bintang yang tak bisa terpisahkan. Semakin lama aku semakin dekat dengan dia. Sampai akhirnya aku diajak Diyon kerumahnya.
Rumah Diyon sangat sepi. Aku menunggu di ruang tamu saat Diyon ganti baju. Aku melihat-lihat rumah Diyon dan ku lihat ada foto keluarga di dinding. Aku mencoba melihat lebih dekat. Di foto itu ada ayah Diyon, ibu Diyon dan Diyon waktu masih kecil. Diyon kok mirip dengan Iyon, ya?. Apa Diyon itu Iyon?. Ah tidak mungkin. Tapi foto itu? Arrggghh.
“Fadillah,” kata Diyon tiba-tiba.
“Diyon, apa kamu Iyon, sahabat kecilku?” bentakku.
“Kamu Dillah?” dia balik tanya.
“Jadi benar kamu Iyon?” tanyaku lagi.
“Dillah aku kangen sama kamu, ternyata kamu Fadillah,” katanya.
“Aku benci kamu,” kataku. Aku menangis dan berlari pergi dari rumah Diyon. Aku tidak menyangka kalau Diyon itu Iyon. Disaat aku mulai menerima Diyon sebagai sahabatku ternyata dia orang yang pernah tinggalin aku begitu saja. Aku benci kamu Diyon. BENCI.
Aku tak bisa terima semua ini. Mengapa aku tidak bisa punya sahabat?, MENGAPA?. Aku sudah sangat sayang Diyon, kenapa dia harus Iyon sih?. KENAPA?.
Hari ini aku tetap masuk sekolah meskipun harus bertemu Diyon. Aku harus kuat, aku tidak boleh cengeng hanya gara-gara orang yang tinggalin aku. Akan kubuktikan kalau aku bisa.
Pelajaran pertama ku jalani tanpa bicara apapun pada Diyon. Saat istirahat aku langsung pergi dan duduk di taman sendirian. Lalu Diyon datang.
“Fadillah, kenapa kamu begini? Aku punya salah apa sama kamu? Aku minta maaf?” katanya. Aku tidak menghiraukannya dan aku pergi begitu saja. Dia memanggil-manggilku. Hatiku sakit Diyon. SAKIT.
Aku berjalan sambil menangis. Aku benci sama Diyon karena dia Iyon tapi kalau mengingat kenanganku bersama Diyon aku kasihan sama dia. Aku tak tahu apa yang kini kurasakan. Ada dua perasaan yang bertolak belakang bertarung di hatiku.
Aku berjalan melewati taman sekolah. Disana banyak pohon-pohon tua. Tepat diatas ku berdiri ada cabang pohon besar yang jatuh. Aku hanya pasrah. Tapi tiba-tiba seseorang dari belakang mendorongku dan akibatnya dia yang tertimpa cabang itu. Orang itu adalah Diyon.
“Diyoooon” teriakku. Air mataku mengalir semakin deras. Aku mencoba mengangkat cabang itu tapi aku tidak kuat. Aku minta pertolongan sama siswa yang kebetulan ada di dekat sana. Kami menggotong Diyon ke UKS tapi kata pak Yanto Diyon harus dibawa ke rumah sakit.
Sekarang Diyon terbaring lemah di rumah sakit. Aku hanya bisa menangis di sampingnya berharap dia cepat sadar. Sudah cukup lama aku menunggu Diyon siuman. Akhirnya dia membuka matanya.
“Diyon, kenapa kamu lakukan ini, aku kan membencimu, kenapa tidak kau biarkan saja aku yang terkena cabang itu,” kataku yang masih menangis.
“Karena kamu sahabatku, kamu sahabat terbaikku, aku nggak mau kamu sakit, aku nggak mau kamu sedih,” katanya. Kata-kata itu membuatku merasa bersalah atas apa yang ku lakukkan pada dia.
“Kalau kamu sahabatku kenapa dulu kamu pergi tinggalin aku dan tak pernah mengabariku? Dulu aku selalu berharap kamu kembali atau paling tidak memberi kabar, tapi apa? Kamu sama sekali tidak memperdulikanku yang merindukanmu,” aku mencurahkan semua isi hatiku.
“Jadi gara-gara itu kau membenciku. Bukannya aku tidak memperdulikanmu. Aku juga sangat merindukanmu. Kau tahu, di Surabaya aku tak pernah punya sahabat. Aku selalu meminta pada papa agar aku kembali ke desa tapi dia tidak mengizinkanku,” ucapnya. Sekarang Diyon juga ikut menangis. Aku tak menyangka kalau Diyon yang ku benci sangat menyayangiku.
“Tapi, setidaknya kau bisa memberiku kabarkan?”
“Maaf Dillah, aku memang salah. Sebenarnya selama ini aku ingin menelfonmu atau mengirim surat untukmu. Tapi aku tidak tahu nomor telepon keluargamu, dan waktu itu aku juga belum bisa mengirim surat lewat kantor pos. Belum lagi desa kelahiran kita yang terpencil, jadi tidak ada alamat kantor pos disekitar sana.” Aku hanya bisa menatap Diyon tanpa arti. Karena sesungguhnya aku bingun. Apakah aku harus mempercayainya? Atau tidak?
“Setiap kali ada waktu aku, selalu menulis surat untukmu, ya walau aku tak pernah mengirimnya. Setelah selesai menulis, aku lalu memasukkan surat-suratku di dalam kotak. Dan sampai sekarang aku masih menyimpannya dikamar.”
“Benarkah?”
“Iya. Kalau kamu mau lihat. Aku akan membawanya untukmu.”
“Maafin aku ya Diyon,” kataku.
“Tanpa kamu minta, aku pasti maafin kamu,”ucapnya
“Diyon aku menyayangimu, jangan pernah tinggalin aku lagi ya!” kataku lagi.
“Aku nggak akan tinggalin lagi kamu Dillah. Aku sayang kamu,” katanya.
Diyon benar, dia memang selalu menulis surat untukku. Kini aku tengah membaca beberapa suratnya ditaman. Aku terharu, ternyata selama ini dia memang tak melupakanku.
Ku lihat Diyon sedang memainkan bola basket dilapangan, dan ketika dia memandangku dia melempar senyum termanisnya. Dan membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain membalasnya dengan senyuman tulus.
Sekarang aku menyadari bahwa sahabat itu tidak akan melupakan sahabatnya. Aku tidak akan pernah mengecewakan sahabatku lagi. I Miss You.
Dulu saat diriku masih berumur 7 tahun dan masih tinggal di desa aku mempunyai seorang sahabat yang baik, Iyon namanya. Dia pernah berjanji padaku tidak akan pernah meninggalkanku tapi suatu hari papanya harus dinas ke luar kota dan dia harus ikut papanya. Dia berjanji akan selalu mengabariku tapi apa?. Sampai sekarang dia tidak pernah mengabariku bahkan aku tidak tahu dimana dia tinggal.
Sekarang aku pindah ke surabaya untuk meneruskan sekolah SMA disana, karena di desaku yang sangat terpencil tidak ada satu pun sekolah SMA. Hari ini hari pertamaku sekolah yang berarti masa-masa MOS. Aku harus menuruti semua perintah dari kakak-kakak senior.
“Pagi, Fadillah” sapa bunda saat sarapan..
“Pagi juga, bunda,” jawabku. Aku anak tunggal jadi tak heran kalau orangtuaku sangat menyayangiku.
“Hari ini kan hari pertama sekolah jadi ayah antar saja, ya?” tanya ayah.
“Nggak usah, yah. Aku bisa jalan kaki. Kan sekolahnya dekat,” kataku.
“Ya sudah kalau begitu cepat berangkat nanti kamu telat,” perintah ayah. Aku berjalan melewati jalan raya yang cukup ramai. Aku melihat taman yang bagus dan aku memutuskan mampir sebentar untuk melihat bunga-bunga yang indah. Karena keasyikan aku tak sadar kalau sudah jam 7 kurang lima menit. Aku bisa terlambat. Aku berlari sekencang-kencangnya agar cepat sampai tapi apa daya. Gerbang sekolah sudah ditutup.
“Pak buka gerbangnya, maaf saya telat,” teriakku, semoga saja pak satpam dengar. Tiba-tiba ada mobil datang dan seorang cowok berseragam sepertiku turun. Sepertinya dia telat juga. Pak satpam bersama seorang cowok keren (sepertinya kakak kelas) datang dan membukakan gerbang.
“Kalian telat jadi harus dihukum, ikut saya!” kata cowok tadi. Kami dihukum memunguti sampah yang ada di lapangan oleh cowok tadi yang ternyata ketua OSIS, namanya Ferdi. Dia tampan, tegas dan pintar, aku kagum padanya.
Aku sebel sama Diyon (anak yang telat tadi), dia tidak mau menjalankan hukumannya, dia hanya duduk di pinggir lapangan. Akhirnya ku aduin ke kak Ferdi.
“Diyon, kenapa kamu duduk disini, ayo bersihin lapangan, mau ditambah hukumannya?” kata kak Ferdi dengan tegas.
“Okey, aku bersihin,” kata Diyon dengan suara dibuat-buat. Dari jauh kukatakan syukurin. Eh, dia lihat waktu aku ngata-ngatain dia, lalu dia bilang awas loe ya?. mendengar kata-kata dia aku menjulurkan lidahku dan berkata weee...
Setelah selesai menyelesaikan hukumanku aku beli minum dikantin. Waktu aku mau minum minumanku Diyon merebutnya dan bilang “Makasih, ya sayang.” Kurang ajar dia berani-beraninnya merebut minumanku dan bilang “sayang.” Sekarang semua siswa melihatku. Aku malu sekali. Aku tak tahu harus bagaimana, akhirnya aku memutuskan ke toilet saja. Disana sepi tidak ada satupun orang. Sesekali ada siswa cowok yang masuk toilet lalu keluar (toilet cewek dan cowok berseberangan). Aku memutuskan duduk dikursi tunggu depan toilet. Aku mengeluarkan novel dari tasku dan membacanya.
“Hey, baca buku kok di toilet, kan bisa di perpustakaan,” kata kak Ferdi yang ternyata sudah duduk di sampingku.
“Emmm, itu, itu..” aku nggak bisa ngomong apa-apa.
“Sudah nggak apa-apa, ayo kita ke perpustakaan saja, aku juga mau mengembalikan buku yang ku pinjam kemarin,” katanya.
“Ayo.” Perjalanan ke perpustakaan sangat ramai. Aku berjalan beriringan dengan Kak Ferdi. Dari jauh nampak Diyon menatapku sinis. Apa lagi maunya tuh anak?
“Nama kamu siapa?”
“Ah, Fadillah kak?”
Hari ini masa MOS ku sudah selesai dan hari ini juga pengumuman pembagian kelas. Aku sekelas dengan Diyon yang jahil itu. Kenapa sih harus dengan dia?.
“Hey kita sekelas, ya?” kata Diyon.
“Sudah tahu tanya,” jawabku sewot.
“Oh ya, nama kamu siapa,” tanyanya. Dia belum tahu namaku. Menyebalkan.
“Fadillah,” jawabku singkat.
“Aku Diyon, kamu duduk sama aku, ya! disini aku nggak kenal siapa-siapa” katanya.
“Nggak ah,” jawabku.
“Ayolah, please!” katanya memohon.
“Okey, tapi kamu nggak boleh jahil sama aku,” kataku.
“Terima kasih ya,” dia langsung menarik tanganku untuk duduk disampingnya. Berada di dekat Diyon rasanya seperti bersama seseorang yang sudah lama ku kenal.
Hari demi hari kita lewati hampir berdua. Sekarang aku dan Diyon bersahabat. Kami bagaikan bulan dan bintang yang tak bisa terpisahkan. Semakin lama aku semakin dekat dengan dia. Sampai akhirnya aku diajak Diyon kerumahnya.
Rumah Diyon sangat sepi. Aku menunggu di ruang tamu saat Diyon ganti baju. Aku melihat-lihat rumah Diyon dan ku lihat ada foto keluarga di dinding. Aku mencoba melihat lebih dekat. Di foto itu ada ayah Diyon, ibu Diyon dan Diyon waktu masih kecil. Diyon kok mirip dengan Iyon, ya?. Apa Diyon itu Iyon?. Ah tidak mungkin. Tapi foto itu? Arrggghh.
“Fadillah,” kata Diyon tiba-tiba.
“Diyon, apa kamu Iyon, sahabat kecilku?” bentakku.
“Kamu Dillah?” dia balik tanya.
“Jadi benar kamu Iyon?” tanyaku lagi.
“Dillah aku kangen sama kamu, ternyata kamu Fadillah,” katanya.
“Aku benci kamu,” kataku. Aku menangis dan berlari pergi dari rumah Diyon. Aku tidak menyangka kalau Diyon itu Iyon. Disaat aku mulai menerima Diyon sebagai sahabatku ternyata dia orang yang pernah tinggalin aku begitu saja. Aku benci kamu Diyon. BENCI.
Aku tak bisa terima semua ini. Mengapa aku tidak bisa punya sahabat?, MENGAPA?. Aku sudah sangat sayang Diyon, kenapa dia harus Iyon sih?. KENAPA?.
Hari ini aku tetap masuk sekolah meskipun harus bertemu Diyon. Aku harus kuat, aku tidak boleh cengeng hanya gara-gara orang yang tinggalin aku. Akan kubuktikan kalau aku bisa.
Pelajaran pertama ku jalani tanpa bicara apapun pada Diyon. Saat istirahat aku langsung pergi dan duduk di taman sendirian. Lalu Diyon datang.
“Fadillah, kenapa kamu begini? Aku punya salah apa sama kamu? Aku minta maaf?” katanya. Aku tidak menghiraukannya dan aku pergi begitu saja. Dia memanggil-manggilku. Hatiku sakit Diyon. SAKIT.
Aku berjalan sambil menangis. Aku benci sama Diyon karena dia Iyon tapi kalau mengingat kenanganku bersama Diyon aku kasihan sama dia. Aku tak tahu apa yang kini kurasakan. Ada dua perasaan yang bertolak belakang bertarung di hatiku.
Aku berjalan melewati taman sekolah. Disana banyak pohon-pohon tua. Tepat diatas ku berdiri ada cabang pohon besar yang jatuh. Aku hanya pasrah. Tapi tiba-tiba seseorang dari belakang mendorongku dan akibatnya dia yang tertimpa cabang itu. Orang itu adalah Diyon.
“Diyoooon” teriakku. Air mataku mengalir semakin deras. Aku mencoba mengangkat cabang itu tapi aku tidak kuat. Aku minta pertolongan sama siswa yang kebetulan ada di dekat sana. Kami menggotong Diyon ke UKS tapi kata pak Yanto Diyon harus dibawa ke rumah sakit.
Sekarang Diyon terbaring lemah di rumah sakit. Aku hanya bisa menangis di sampingnya berharap dia cepat sadar. Sudah cukup lama aku menunggu Diyon siuman. Akhirnya dia membuka matanya.
“Diyon, kenapa kamu lakukan ini, aku kan membencimu, kenapa tidak kau biarkan saja aku yang terkena cabang itu,” kataku yang masih menangis.
“Karena kamu sahabatku, kamu sahabat terbaikku, aku nggak mau kamu sakit, aku nggak mau kamu sedih,” katanya. Kata-kata itu membuatku merasa bersalah atas apa yang ku lakukkan pada dia.
“Kalau kamu sahabatku kenapa dulu kamu pergi tinggalin aku dan tak pernah mengabariku? Dulu aku selalu berharap kamu kembali atau paling tidak memberi kabar, tapi apa? Kamu sama sekali tidak memperdulikanku yang merindukanmu,” aku mencurahkan semua isi hatiku.
“Jadi gara-gara itu kau membenciku. Bukannya aku tidak memperdulikanmu. Aku juga sangat merindukanmu. Kau tahu, di Surabaya aku tak pernah punya sahabat. Aku selalu meminta pada papa agar aku kembali ke desa tapi dia tidak mengizinkanku,” ucapnya. Sekarang Diyon juga ikut menangis. Aku tak menyangka kalau Diyon yang ku benci sangat menyayangiku.
“Tapi, setidaknya kau bisa memberiku kabarkan?”
“Maaf Dillah, aku memang salah. Sebenarnya selama ini aku ingin menelfonmu atau mengirim surat untukmu. Tapi aku tidak tahu nomor telepon keluargamu, dan waktu itu aku juga belum bisa mengirim surat lewat kantor pos. Belum lagi desa kelahiran kita yang terpencil, jadi tidak ada alamat kantor pos disekitar sana.” Aku hanya bisa menatap Diyon tanpa arti. Karena sesungguhnya aku bingun. Apakah aku harus mempercayainya? Atau tidak?
“Setiap kali ada waktu aku, selalu menulis surat untukmu, ya walau aku tak pernah mengirimnya. Setelah selesai menulis, aku lalu memasukkan surat-suratku di dalam kotak. Dan sampai sekarang aku masih menyimpannya dikamar.”
“Benarkah?”
“Iya. Kalau kamu mau lihat. Aku akan membawanya untukmu.”
“Maafin aku ya Diyon,” kataku.
“Tanpa kamu minta, aku pasti maafin kamu,”ucapnya
“Diyon aku menyayangimu, jangan pernah tinggalin aku lagi ya!” kataku lagi.
“Aku nggak akan tinggalin lagi kamu Dillah. Aku sayang kamu,” katanya.
Diyon benar, dia memang selalu menulis surat untukku. Kini aku tengah membaca beberapa suratnya ditaman. Aku terharu, ternyata selama ini dia memang tak melupakanku.
Ku lihat Diyon sedang memainkan bola basket dilapangan, dan ketika dia memandangku dia melempar senyum termanisnya. Dan membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain membalasnya dengan senyuman tulus.
Sekarang aku menyadari bahwa sahabat itu tidak akan melupakan sahabatnya. Aku tidak akan pernah mengecewakan sahabatku lagi. I Miss You.
Baca juga Cerpen Remaja dan Cerpen Persahabatan yang lainnya.