PELUKKAN TUHAN
Karya Syafrina Robbania
Donika duduk termenung di bawah pohon Beringin. Dia tidak menghiraukan suara riuh yang ia dengar di sekitar tempatnya duduk itu. Baginya itu hanya pelengkap kesedihan. Gadis berusia 13 tahun itu memandangi teman-temannya yang berlarian tanpa menghiraukan keberadaannya. Meskipun waktu istirahat sekolah terasa menyenangkan bagi kebanyakan anak, namun tidak demikian dengan Donika . Ia justru merasa waktu istirahat adalah waktu yang sangat melelahkan dan membingungkan. Mungkin lebih tepatnya itu adalah waktu untuk menyambut mimpi buruk yang datang dalam kesadaran. Mimpi buruk yang tidak bisa dihentikan dengan mata terbuka. Dan hanya menyiksa batinnya.
Tidak ada seorang teman pun yang mengajaknya bermain pada jam istirahat itu. Mereka menjauhi Donika karena rambut Donika yang tidak pernah rapi. Berbeda dengan rambut teman-temannya yang sangat rapi. Donika memang tidak rajin menyisir rambutnya selama 2 minggu ini, karena ada luka bakar di kepalanya. Jika terkena sisir sedikit, akan terasa sakit. Luka itu ia dapat dari kecelakaan yang dialaminya 2 minggu lalu. Saat ia bermain dengan teman-teman di rumahnya. Saat mereka asyik bermain, secara tidak sengaja salah seorang temannya menyenggol sebuah lilin di atas meja. Lilin itu pun jatuh dan mengenai kepala Donika. Dan saat itu pula luka itu singgah di kepala Donika. Menurut dokter, luka bakar itu akan sembuh dalam jangka waktu 2 bulan. Dokter menyarankan agar Donika istirahat saja di rumah. Namun, Donika selalu ingin segera masuk sekolah. Kedua orang tuanya pun tidak bisa berkata apa-apa saat putri pertamanya itu memohon agar diizinkan masuk sekolah. Dan di luar dugaan, semua teman sekolahnya menjauh.
Menurut Donika, rambut yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang dapat menimbulkan dosa besar. Untuk itu, dia sangat bingung dengan ulah teman-temannya. Mereka selalu mengolok-olok Donika semenjak luka itu ada. yang ada di pikirannya saat itu adalah “Apakah rambut dan luka bakar di kepalaku ini adalah pegatur rendah tingginya sikap seseorang terhadapku?”. Dia bingung dengan masalah yang ia hadapi saat ini.
“ Hei rambut jelek, kalau dilihat-lihat, semakin hari semakin jelek aja” Kata salah seorang kawan lamanya yang bernama Mutia.
“ ha ha ha” gelak tawa anak-anak lain semakin melengkapi penderitaan Donika dan membuyarkan lamunannya.
Gadis malang itu hanya bisa bersedih. Memang air matanya tidak terlihat. Karena, semua air matanya berusaha ia bendung. Dia tidak ingin semua temannya semakin senang dengan air mata yang keluar. Dia berusaha untuk tegar agar tidak terlihat lemah. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Setelah menangis, keadaan tidak akan benar-benar berubah sebelum luka bakar itu sembuh. Di saat seperti ini, bel masuk sekolah adalah satu-satunya harapan untuk melepaskan Donika dari keadaan ini. Dia hanya bisa pasrah mendengar celotehan teman-temannya yang terdengar seperti paku yang di pukul berulang-ulang di atas meja. Sangat nyaring, berisik dan menusuk telinga. Kalau saja ada alat peredam suara mini, mungkin Donika akan memakainya saat istirahat sekolah, agar suara-suara itu tidak terdengar nyaring di telinganya.
“Kriiinggg….. Kriiiingggg….”
Suara bel masuk terdengar nyaring. Semua anak-anak pun berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Demikian pula dengan Donika. Suara bel itu seperti peri penolongnya.
Di dalam kelas, Donika duduk sendirian. Mutia, kawan yang pernah duduk sebangku dengannya, kini sudah berpindah duduk ke bangku lain. Mutia memilih duduk dengan anak lain, karena ia jijik melihat luka bakar yang ada di kepala Donika. Donika tidak pernah menyangka kalau teman baiknya itu akan meninggalkannya hanya karena luka bakar yang dideritanya. Sebelum luka bakar itu ada, Mutia adalah kawan terbaiknya. Donika memaklumi tingkah Mutia itu. Yang tidak bisa ia terima adalah sikap Mutia yang selalu mengolok-oloknya. Dia tidak habis pikir, Bagaimana bisa kawan sebaik itu sikapnya berubah 1800 hanya karena luka bakar? Semudah itu kah sikap seseorang bisa berubah? Bukankah luka bakarku ini hanya benda mati? Apa yang mereka khawatirkan? Lagipula ini bukanlah penyakit yang menular.
Saat di dalam kelas, kesedihan yang dialami Donika berkurang sedikit demi sedikit. Pelajaran yang diberikan pada saat itu, dapat membantunya melenyapkan gunjingan-gunjingan yang ia terima saat istirahat tadi. Donika mengalihkan konsentrasinya pada penyelesain soal matematika yang ditulis oleh Bu Farida di papan tulis. Ia sangat memperhatikan rumus-rumus yang diberikan oleh Bu Farida. Sebetulnya, Donika bukanlah anak yang rajin. Tapi ia selalu memperhatikan apa yang diterangkan oleh guru-gurunya pada saat pelajaran. Hal ini lah yang membuatnya selalu mendapatkan nilai bagus pada saat ulangan.
“Apa ada yang bisa menyelesaikan soal ini?” Tanya Bu Farida kepada semua murid yang ada di kelas itu.
Donika mengancungkan tangan seraya berkata “Saya Bu”
“Ya Donika, maju ke depan. Jelaskan jawabanmu kepada semua temanmu.”
Donika maju ke depan dan menjelaskan jawaban dari soal yang dituliskan Bu Farida di papan tulis.
“Karena tinggi Kerucut dapat di cari dengan bayangan segitiga yang berada di dalamnya. Maka, dengan rumus Phytagoras, kita dapat menemukan tinggi dan volume kerucut ini” Donika menjelaskan sambil menulis rumus-rumus untuk menemukan jawaban soal itu.
“Ya benar. Terima kasih dan silahkan duduk Donika.” Ujar Bu Farida seraya tersenyum kepada Donika.
“Apa ada yang perlu ditanyakan anak-anak?” Tanya Bu Farida kepada murid-muridnya yang berada di kelas itu.
Semua siswa hanya menanggapi pertanyaan itu dengan kesunyian. Tak seorang pun diantara mereka yang berbicara. Tentu saja kesunyian yang mereka buat itu bukan karena mengerti atas apa yang dikerjakan Donika. Melainkan karena mereka benci dengan pujian yang diberikan Bu Farida kepada Donika. Menurut mereka, pujian itu tidak pantas diberikan kepada gadis yang menderita luka bakar dengan rambut tidak rapi itu. Donika sedikit tertekan dengan keadaan ini.
“Krinnnnggg….. Krriiiiiinnnggg…. Krriinnngg”
Bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak di SMP 23 Harapan pun pulang. Begitu pula dengan Donika. Ia membereskan semua alat tulisnyha dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hei, rambut kusut, jelek banget sih? Mau pulang ya? Hati-hati tuh lukanya ntar leleh kena sinar matahari. Apa butuh kantong plastik buat nutupin? Hah?” ejek Mutia dengan nada yang tidak beraturan.
“Ha ha ha ha ha” Gelak tawa semua anak saling bersautan menangapi ejekan Mutia. Donika hanya bisa menundukkan kepalanya agar teman-temannya tidak melihat air mata yang membasahi pipinya.
“Eh, kamu tadi cari muka banget sih? Walaupun kamu nyelesaikan soal di depan kelas, tetap saja luka bakarmu itu hinggap di kepalamu. Nggak akan merubah keadaan…” ejek Mutia lagi.
“Ha ha ha ha ha” Tawa teman-teman Mutia terdengar saling bersautan.
Donika sudah tidak tahan lagi mendengar berbagai macam hinaan yang dilontarkan oleh Mutia. Ia menangis keluar kelas menuju parkir sekolah dan bergegas mengayuhnya. Dia tidak memperdulikan terik matahari yang menyengat kulitnya. Dia juga tidak perduli dengan pandangan orang-orang di jalanan. Pandangan yang tertuju pada air mata yang membasahi pipi Donika. Angin seolah tak mampu mengeringkan air mata Donika yang keluar dengan kesedihan yang mendalam itu. Saat itu, seluruh pikiran Donika dipenuhi dengan kebencian. Ia sangat benci kepada Mutia yang begitu tega mengejeknya. Ia juga sempat berpikir, Mengapa ia dilahirkan hanya untuk diolok-olok? Kenapa hidupku begitu susah hanya karena luka bakar ini?
***
Donika sampai di rumah dengan pipi yang masih basah karena air mata. Ia membanting tasnya di atas meja ruang tamu. Ia berlari menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur. Ia menangis di pelukan Ibunya. Ibunya membalasnya dengan belaian di kepalanya.
“Ada apa sayang? Temanmu mengejekmu lagu? Sudah, jangan menangis ya? Ada Ibu di sini.” Kata Ibunya lembut.
“Kenapa mereka selalu seperti itu Bu? Seburuk itukah aku?” kata Donika lirih dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ucapannya terdengar terbata-bata karena tangisan yang tidak bisa ia hentikan itu.
“Huuusshh… Mana boleh bicara seperti itu nak? Lihatlah cermin di kamarmu. Kamu adalah satu-satunya gadis tercantik yang ibu miliki. Tidak ada penyesalan sedikit pun Ibu membesarkan gadis secantik dan sepintar kamu.” Kata Ibunya seraya mengusap air mata di pipi Donika.
“Benarkah? Tapi kenapa mereka terus mengejekku Bu?” Tersenyum kepada Donika.
“Mungkin mereka iri dengan apa yang kamu punya saat ini nak. Sudah ya, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Ibu jalan-jalan sekarang. Kita cari udara segar supaya kamu nangis lagi ya…” nasihat Ibunya seraya tersenyum kepada anaknya.
“ Hei rambut jelek, kalau dilihat-lihat, semakin hari semakin jelek aja” Kata salah seorang kawan lamanya yang bernama Mutia.
“ ha ha ha” gelak tawa anak-anak lain semakin melengkapi penderitaan Donika dan membuyarkan lamunannya.
Gadis malang itu hanya bisa bersedih. Memang air matanya tidak terlihat. Karena, semua air matanya berusaha ia bendung. Dia tidak ingin semua temannya semakin senang dengan air mata yang keluar. Dia berusaha untuk tegar agar tidak terlihat lemah. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Setelah menangis, keadaan tidak akan benar-benar berubah sebelum luka bakar itu sembuh. Di saat seperti ini, bel masuk sekolah adalah satu-satunya harapan untuk melepaskan Donika dari keadaan ini. Dia hanya bisa pasrah mendengar celotehan teman-temannya yang terdengar seperti paku yang di pukul berulang-ulang di atas meja. Sangat nyaring, berisik dan menusuk telinga. Kalau saja ada alat peredam suara mini, mungkin Donika akan memakainya saat istirahat sekolah, agar suara-suara itu tidak terdengar nyaring di telinganya.
“Kriiinggg….. Kriiiingggg….”
Suara bel masuk terdengar nyaring. Semua anak-anak pun berlarian menuju kelas mereka masing-masing. Demikian pula dengan Donika. Suara bel itu seperti peri penolongnya.
Di dalam kelas, Donika duduk sendirian. Mutia, kawan yang pernah duduk sebangku dengannya, kini sudah berpindah duduk ke bangku lain. Mutia memilih duduk dengan anak lain, karena ia jijik melihat luka bakar yang ada di kepala Donika. Donika tidak pernah menyangka kalau teman baiknya itu akan meninggalkannya hanya karena luka bakar yang dideritanya. Sebelum luka bakar itu ada, Mutia adalah kawan terbaiknya. Donika memaklumi tingkah Mutia itu. Yang tidak bisa ia terima adalah sikap Mutia yang selalu mengolok-oloknya. Dia tidak habis pikir, Bagaimana bisa kawan sebaik itu sikapnya berubah 1800 hanya karena luka bakar? Semudah itu kah sikap seseorang bisa berubah? Bukankah luka bakarku ini hanya benda mati? Apa yang mereka khawatirkan? Lagipula ini bukanlah penyakit yang menular.
Saat di dalam kelas, kesedihan yang dialami Donika berkurang sedikit demi sedikit. Pelajaran yang diberikan pada saat itu, dapat membantunya melenyapkan gunjingan-gunjingan yang ia terima saat istirahat tadi. Donika mengalihkan konsentrasinya pada penyelesain soal matematika yang ditulis oleh Bu Farida di papan tulis. Ia sangat memperhatikan rumus-rumus yang diberikan oleh Bu Farida. Sebetulnya, Donika bukanlah anak yang rajin. Tapi ia selalu memperhatikan apa yang diterangkan oleh guru-gurunya pada saat pelajaran. Hal ini lah yang membuatnya selalu mendapatkan nilai bagus pada saat ulangan.
“Apa ada yang bisa menyelesaikan soal ini?” Tanya Bu Farida kepada semua murid yang ada di kelas itu.
Donika mengancungkan tangan seraya berkata “Saya Bu”
“Ya Donika, maju ke depan. Jelaskan jawabanmu kepada semua temanmu.”
Donika maju ke depan dan menjelaskan jawaban dari soal yang dituliskan Bu Farida di papan tulis.
“Karena tinggi Kerucut dapat di cari dengan bayangan segitiga yang berada di dalamnya. Maka, dengan rumus Phytagoras, kita dapat menemukan tinggi dan volume kerucut ini” Donika menjelaskan sambil menulis rumus-rumus untuk menemukan jawaban soal itu.
“Ya benar. Terima kasih dan silahkan duduk Donika.” Ujar Bu Farida seraya tersenyum kepada Donika.
“Apa ada yang perlu ditanyakan anak-anak?” Tanya Bu Farida kepada murid-muridnya yang berada di kelas itu.
Semua siswa hanya menanggapi pertanyaan itu dengan kesunyian. Tak seorang pun diantara mereka yang berbicara. Tentu saja kesunyian yang mereka buat itu bukan karena mengerti atas apa yang dikerjakan Donika. Melainkan karena mereka benci dengan pujian yang diberikan Bu Farida kepada Donika. Menurut mereka, pujian itu tidak pantas diberikan kepada gadis yang menderita luka bakar dengan rambut tidak rapi itu. Donika sedikit tertekan dengan keadaan ini.
“Krinnnnggg….. Krriiiiiinnnggg…. Krriinnngg”
Bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak di SMP 23 Harapan pun pulang. Begitu pula dengan Donika. Ia membereskan semua alat tulisnyha dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hei, rambut kusut, jelek banget sih? Mau pulang ya? Hati-hati tuh lukanya ntar leleh kena sinar matahari. Apa butuh kantong plastik buat nutupin? Hah?” ejek Mutia dengan nada yang tidak beraturan.
“Ha ha ha ha ha” Gelak tawa semua anak saling bersautan menangapi ejekan Mutia. Donika hanya bisa menundukkan kepalanya agar teman-temannya tidak melihat air mata yang membasahi pipinya.
“Eh, kamu tadi cari muka banget sih? Walaupun kamu nyelesaikan soal di depan kelas, tetap saja luka bakarmu itu hinggap di kepalamu. Nggak akan merubah keadaan…” ejek Mutia lagi.
“Ha ha ha ha ha” Tawa teman-teman Mutia terdengar saling bersautan.
Donika sudah tidak tahan lagi mendengar berbagai macam hinaan yang dilontarkan oleh Mutia. Ia menangis keluar kelas menuju parkir sekolah dan bergegas mengayuhnya. Dia tidak memperdulikan terik matahari yang menyengat kulitnya. Dia juga tidak perduli dengan pandangan orang-orang di jalanan. Pandangan yang tertuju pada air mata yang membasahi pipi Donika. Angin seolah tak mampu mengeringkan air mata Donika yang keluar dengan kesedihan yang mendalam itu. Saat itu, seluruh pikiran Donika dipenuhi dengan kebencian. Ia sangat benci kepada Mutia yang begitu tega mengejeknya. Ia juga sempat berpikir, Mengapa ia dilahirkan hanya untuk diolok-olok? Kenapa hidupku begitu susah hanya karena luka bakar ini?
***
Donika sampai di rumah dengan pipi yang masih basah karena air mata. Ia membanting tasnya di atas meja ruang tamu. Ia berlari menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur. Ia menangis di pelukan Ibunya. Ibunya membalasnya dengan belaian di kepalanya.
“Ada apa sayang? Temanmu mengejekmu lagu? Sudah, jangan menangis ya? Ada Ibu di sini.” Kata Ibunya lembut.
“Kenapa mereka selalu seperti itu Bu? Seburuk itukah aku?” kata Donika lirih dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ucapannya terdengar terbata-bata karena tangisan yang tidak bisa ia hentikan itu.
“Huuusshh… Mana boleh bicara seperti itu nak? Lihatlah cermin di kamarmu. Kamu adalah satu-satunya gadis tercantik yang ibu miliki. Tidak ada penyesalan sedikit pun Ibu membesarkan gadis secantik dan sepintar kamu.” Kata Ibunya seraya mengusap air mata di pipi Donika.
“Benarkah? Tapi kenapa mereka terus mengejekku Bu?” Tersenyum kepada Donika.
“Mungkin mereka iri dengan apa yang kamu punya saat ini nak. Sudah ya, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Ibu jalan-jalan sekarang. Kita cari udara segar supaya kamu nangis lagi ya…” nasihat Ibunya seraya tersenyum kepada anaknya.
Ibu berusia 40 tahun itu berusaha menghibur anaknya. Meskipun dalam hatinya tersimpan kesedihan yang mendalam saat melihat air mata yang membasahi pipi anaknya, ia mencoba untuk dapat terlihat tegar di depan anaknya. Dia sadar, dia tidak bisa mengubah keadaan. Yang dapat dilakukannya saat ini hanyalah mencoba menghadapi keadaan. Keadaan tersulit dalam hidupnya.
Saat mengandung anak gadisnya itu, tidak terbesit sedikit pun pemikiran akan kejadian seperti ini. Ia tidak pernah menduga, keadaan sesulit ini akan dihadapi anaknya pada usia 13 tahun. Kalau saja waktu dapat diubah dengan nyawa. Mungkin ia akan mengorbankan nyawanya agar luka bakar yang ada di kepala Donika bisa hilang. Ia akan melakukan apa pun untuk menghapus air mata yang membasahi pipi Donika. Nyawa tak akan membuatnya berpikir dua kali demi kebahagiaan putrinya.
***
Setelah shalat dzuhur, Donika bergegas mengenakan kaos merah dengan celana hitam lalu duduk ruang tamu. Ia menunggu Ibunya yang sedang shalat dzuhur. Selang beberapa waktu, Ibu Donika keluar dengan pakaian lengan panjang berwarna putih dan bawahan celana panjang berwarna hitam, serta rambutnya terbungkus rapi dalam kerudung berwarna coklat seraya mengambil kunci mobil dan menyuruh Donika agar segera masuk ke dalam mobil.
“Ayo kita berangkat! Kamu sudah siap kan?” Tanya Ibunya.
“Siiiaaappp….” Jawab Donika dengan penuh semangat. Dia paling senang kalau diajak jalan-jalan oleh Ibunya yang sudah terlihat tua itu.
Dalam perjalanan, Donika tampak sangat bahagia saat ibunya mengajaknya berkeliling-keliling menggunakan mobil Kijang yang sudah terlihat tua itu. Namun demikian, mobil tua itu menyimpan banyak kenangan yang berharga bagi Donika dan Ibunya.
“Bu, kelihatnya ice cream itu sangat segar. Bisakah kita berhenti sebentar? Aku ingin membelinya.” Ujar Donika sambil menunjuk ke arah gerobak ice ice cream yang ada di seberang jalan
“Tentu saja nak.” Kata Ibu Donika tersenyum, seraya memarkirkan mobilnya di dekat gerobak penjual ice cream
Setelah turun dari mobil, Donika langsung berlari menuju gerobak ice cream. Ia langsung memesan ice cream rasa coklat kesukaannya.
“Ice cream coklatnya satu ya pak…” ujar Donika kepada Penjual ice cream
“Ini uangnya Pak.” Donika memberikan uangnya dan megambil ice cream coklatnya.
“Terima kasih ya neng.” Ujar penjual ice cream.
Donika tersenyum bahagia sambil menjilati ice cream coklatnya. Kesedihan yang tadi tampak jelas di wajahnya, kini telah hilang. Ibunya tersenyum bahagia melihat senyum lebar yang tergambar jelas di wajah Donika. Senyum itu menyejukkan hati Ibu Donika. Melihat anaknya bahagia terasa seperti melihat surga. Ia selalu berpikir bahwa hidupnya diciptakan hanya untuk membesarkan dan membahagiakan anak gadisnya itu. Ia juga selalu bersyukur kepada Tuhan atas hembusan nafas yang masih dirasakannya sampai saat ini. Tanpa hembusan nafas yang diberikan Tuhan, dia tidak tahu bagamana kehidupan anak gadisnya itu. Dia tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, karena ia selalu ingin berada di dekat Donika. Dia ingin selalu melihat kebahagiaan Donika. Meskipun ia juga mempunyai suami sangat menyayangi keluaraganya, ia selalu ingin menjadi yang terbaik bagi Donika.
“Ibu, ice creamnya sudah habis. Apakah kita jalan-jalan lagi?” kata Donika membuyarkan lamunan Ibunya.
“Tentu saja nak.. naiklah ke dalam mobil.” Jawab Ibunya dengan senyum lebar mengembang di wajahnya.
Mobil Kijang tua itu pun kembali melaju dengan senyum kegembiraan orang-orang yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanan, Donika sesekali tertawa lepas karena cerita lucu yang sengaja dibuat oleh Ibunya. Ibunya tahu bagaimana cara menghibur anak gadisnya itu. Namun, saat Ibu Donika kehabisan cerita, Donika akan kembali terdiam dan menyibukkan diri dengan melihat toko-toko yang ada di pinggir jalan.
Hari semakin sore, Donika terlihat mengantuk. Ibunya pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Donika tertidur lelap saat perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, ia membangunkan Donika.
“Nak, bangun nak, ini sudah sampai” kata Ibu Donika membangunkan anaknya.
“Hhhhooooaaammm… baik Bu” kata Donika sambil dan menutup mulutnya yang menguap itu.
“Kamu shalat ashar dulu ya. Setelah shalat, jangan tidur dulu ya cantik..! Gak baik anak perempuan tidur saat menjelang maghrib.”
“Baik Bu…” jawab Donika sambil bergegas menuju kamar mandi.
****
Pukul lima sore, Ayah Donika datang. Donika sangat menanti saat-saat ini. Dia langsung memeluk ayahnya.
“Anak cantik apa sudah mandi ini? Baunya kok masih kecut gini ya?” kata ayahnya menggoda seraya memeluk anak gadisnya itu.
“Heemmbb…. Ayah,,, aku sudah mandi yah… bau kecut dari mana sih? Ayah tu yang belum mandi makanya bau kecut.” Jawab Donika dengan memanyunkan mulutnya. Ia tahu kalau ayahnya sedang menggodanya. Setelah itu, ia berjalan menghampiri istrinya, dan memeluknya.
****
Adzan Maghrib terdengar berkumandang. Donika langsung bergegas mengambil wudlu untuk menunaikan shalat. Ia sudah terbiasa melakukan shalat tepat waktu. Setelah shalat Maghrib, ia selalu menyempatkan diri untuk mengaji. Baginya, mengaji adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Berkomunikasi atas masalah yang ia hadapi di dunia yang kelam ini. Dia tidak pernah menuliskan masalah-masalah yang ia hadapi ke dalam buku Diary seperti yang biasanya dilakukan oleh anak perempuan yang seumuran dengannya. Karena menurutnya, menulis Diary tidak akan menyelesaikan masalah. Meskipun menurut sebagian orang menulis Diary dapat melegakan hati. Tapi, menulis di buku Diary tidak akan menyelesaikan masalah. Berbeda dengn mengaji. Dengan mengaji, Donika akan merasa lega, dan masalah akan terselesaikan dengan sendirinya di luar dugaan. Hal ini sudah pernah dialami Donika saat ia terpuruk karena adik laki-laki yang berusia 5 tahun yang sangat dicintanya meninggal dunia tahun lalu. Ia bisa menghadapi semua itu karena bantuan Tuhan yang memudahkan semua jalan yang dia alami. Karena itu, ia yakin, pada saat mengaji hatinya akan tentram.
Terkadang, secara tidak sadar, air matanya akan mengalir keluar saat mengaji. Ia tidak pernah menduga, hal seperti ini bisa terjadi. Bukan karena ia merasa terbebani atas masalah yang ada. Ia menangis karena pada saat mengaji, ia membayangkan Tuhan ada di depannya dan mendengar atas masalah-masalah yang dialaminya. Ia juga membayangkan berada di pelukan Tuhan. Tuhan yang selalu ada untuknya, Tuhan yang selalu mendengar masalah-masalahnya. Dan Tuhan yang selalu memberikan kehidupan yang patut disyukuri.
****
Pukul 9 malam, setelah shalat Isya’, Donika bergegas menuju tempat tidurnya. Selang beberapa waktu, Ibu Donika masuk ke dalam kamar Donika. Ia hanya ingin memastikan, Donika bisa tertidur dengan nyenyak tanpa memikirkan masalah yang Donika alami di sekolah tadi. Dan setelah ia periksa, ternyata Donika sudah tertidur. Ia menghampiri anaknya itu dan mencium keningnya dengan perlahan. Ia tidak ingin mebangunkan Donika yang sudah terlihat tidur pulas. Tapi, ia beranjak akan berdiri, sempat dikagetkan oleh pelukan yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Ia bisa menebak bahwa itu adalah pelukan anak gadisnya. Ia membalikkan badannya, dan memeluk Donika.
“Aku sayang Ibu.” Bisik Donika di telinga Ibunya.
“Aku juga sayang kamu nak.” Jawab ibunya seraya membelai rambut Donika.
Kemudian Donika kembali ke tempat tidurnya. Ibunya belum ingin beranjak pergi meninggalkan kamar anaknya. Ia mengelu-elus rambut Donika, sedangkan Donika memeluk kaki Ibunya. Dan beberapa waktu kemudian, Donika pun tertidur pulas. Ibunya pun meninggalkannya dengan perlahan dengan maksud tidak ingin Donika terbangun.
****
Keesokan harinya, Donika kembali bersiap pergi ke sekolah. Ia siap menghadapi segala kemungkinan kejadian yang mungkin dapat menyakitkan hatinya. Ia mengenakan pakain seragamnya dengan penuh semangat. Namun, ia dikagetkan dengan kedatangan Ibunya yang membawakannya pakaian seragam putih lengan panjang, rok biru panjang serta kerudung putih yang siap untuk dikenakan.
“Nak,, ini Ibu belikan kamu seragam sekolah baru lengkap dengan kerudungnya. Apa kmu senang?” Tanya Ibu Donika.
“Benarkah..? Terima kasih Ibu. Ini bisa membantu menutupi lukaku. Aku sangat senang Bu. Terima kasih banyak Ibu. Aku sayang Ibu.” Kata Donika bahagia seraya memeluk Ibunya dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Ia nak… Ibu juga senang kalau kamu senang…” kata Ibu Donika senang, serta membalas pelukan Donika.
Wanita separuh baya itu terlihat sangat senang. Ia sengaja membelikan seragam dan kerudung itu karena ia tidak ingin lagi melihat tangisan anaknya. Tangisan yang bisa menghancurkan hatinya.
****
Setelah menghsbiskan sarapannya, ia bergegas bersiap pergi ke sekolah. Ia mencium tangan dan pipi Ibunya
“Donika berangkat Bu. Assalamu’alaikum….” Pamit Donika dengan senyum yang tidak henti-hentinya ia perlihatkan. Ia segera bergegas naik mobil milik Ayahnya.
Di tengah perjalanan, Donika merenungkan atas kebahagiaan yang ia alami saat itu. Donika sadar bahwa Tuhan menjawab curahan hatinya tadi malam. Tuhan juga telah menyampaikan sebuah teguran melalui Ibunya. Teguran untuk memakai kerudung dan menutup aurot. Kerudung yang dapat menutupi semua lukanya. Luka dari yang dideritanya dan luka di dalam hatinya. Donika juga baru sadar, Tuhan telah mengirimkan malaikat yang selalu ada di sampingnya. Malaikat yang selalu membantunya untuk menghadapi semua masalah-masalah yang tidak berujung. Malikat itu adalah Ibu yang selalu ada di sampinya di kala suka maupun duka.
Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan mengabaikan omongan teman-temannya di sekolahan. Ia sadar, teman bukanlah prioritas utama saat sekolah. Senyum bangga orang tua akan kesusesannya di masa depan adalah sesuatu yang harus diwujudkannya. Tanpa teman, hidupnya akan baik-baik saja. Karena ia masih punya Tuhan dan orang tua yang sangat menyayangi dan selalu ada untuknya.
PROFIL PENULIS
Nama : Syafrina Robbania
TTL : Pasuruan, 2 Agustus 1994
Alamat : Pasuruan, Jawa Timur
E-mail : Syafrina.swift@gmail.com
No. Urut : 1435
Tanggal Kirim : 10/11/2012 10:08:52
TTL : Pasuruan, 2 Agustus 1994
Alamat : Pasuruan, Jawa Timur
E-mail : Syafrina.swift@gmail.com
No. Urut : 1435
Tanggal Kirim : 10/11/2012 10:08:52
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.