MENTARI TERAKHIR
Karya Susan Aryati
Karya Susan Aryati
“Resti benci Ayah”
“Plaaaaankkk ………………………
Satu tamparan tepat mendarat di pipi Tari, saat Ia berusaha melindungi Resti. Ini bukan yang pertama kalinya Tari mendapat tamparan dari ayahnya. Tari kembali mengeluarkan air matanya. Dan tak lama cairan merah pun kembali mengalir dari lubang hidungnya. Rasa sakit yang menghampirinya tak akan menjadi penghalang Ia untuk tetap melindungi adiknya. Adik yang telah di titipkan untuk Tari setelah kepergian Ibu tercintanya 4 tahun yang lalu. Dan semenjak itu pula kehidupan Tari dan adiknya berubah 180 derajat.
“Tari… menjauh dari adikmu, akan aku beri pelajaran anak ini”teriak ayahnya pada Tari.
“Tidak… Tari tidak mau ayah menyakiti Resti, cukup Tari yang ayah sakiti… cukup Tari” Ucap Tari yang tedengar pilu menahan tangis dan sakitnya.
“Anak tak tau diri, kamu sama saja dengan adik mu.. HAAAHHHH…” seru ayah dengan jengkelnya dan berjalan menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan keras. Seperti belum puas meluapkan semua amarahnya pada Tari dan Resti.
“Resti benci ayah ka.. Resti benci ayah”Resti memeluk Tari dengan erat dan menangis dipelukan Tari, seakan – akan Ia tak ingin melepaskan peluknya pada Tari.
“sudah lah Res, ayah memang seperti itu”
“kaka kenapa sihh, selalu bisa sabar menghadapi ayah. Kaka lihat sendirikan, ayah hanya membela mama
Dila dan mama Dila, bukan kita anak kandungnya. Aku kangen Ibu Ka….??aku kangen ibu..??” Resti kembali mengeluarkan Airmata.
“Apa yang bisa kita lakukan Res, kita hanya bisa berdoa pada suatu saat nanti mata hati ayah terbuka untu melihat semuanya.” Tari pun ikut tersedu mendengar tangis Resti di peluknya. Tari pun kangen dengan ibu. saat - saat seperti ini memang hanya seorang ibu yang dapat menenangkan hati mereka.
Setelah sepeninggal Ibunya, ayah Tari menikah kembali dengan Mama Dila yang kini menjadi ibu tiri mereka. Memang mama Dila tak seperti ibu tiri yang sering kita dengar dengan kekejamnya. Namun lebih tepatnya untuk mama Dila adalah kata tak perduli, Ia hanya peduli dengan ayah Tari dan anak kandungnya saja. Dan Ayah pun sebaliknya, ayah hanya perduli dengan istri barunya. Seakan – akan cinta ayah Tari ikut pergi bersama ibunya.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, pendarahan di hidung Tari tak mau berhenti. Terkadang Tari pun tak menyadari cairan merah itu mengalir dari hidungnya. Namun Tari tak ambil pusing. “mungkin hanya sedikit infeksi, entar juga sembuh” batin Tari saat menghapus caiaran merah itu dari lubang hidungnya.
“Apa yang bisa kita lakukan Res, kita hanya bisa berdoa pada suatu saat nanti mata hati ayah terbuka untu melihat semuanya.” Tari pun ikut tersedu mendengar tangis Resti di peluknya. Tari pun kangen dengan ibu. saat - saat seperti ini memang hanya seorang ibu yang dapat menenangkan hati mereka.
Setelah sepeninggal Ibunya, ayah Tari menikah kembali dengan Mama Dila yang kini menjadi ibu tiri mereka. Memang mama Dila tak seperti ibu tiri yang sering kita dengar dengan kekejamnya. Namun lebih tepatnya untuk mama Dila adalah kata tak perduli, Ia hanya peduli dengan ayah Tari dan anak kandungnya saja. Dan Ayah pun sebaliknya, ayah hanya perduli dengan istri barunya. Seakan – akan cinta ayah Tari ikut pergi bersama ibunya.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, pendarahan di hidung Tari tak mau berhenti. Terkadang Tari pun tak menyadari cairan merah itu mengalir dari hidungnya. Namun Tari tak ambil pusing. “mungkin hanya sedikit infeksi, entar juga sembuh” batin Tari saat menghapus caiaran merah itu dari lubang hidungnya.
Hari ini Tari berjanji untuk menunggu Alfin di depan gerbang kampusnya untuk menjemputnya. Alfin adalah sahabat semasa kecil Tari. Alfin memang sangat menyayangi Tari, dan rasa sanyang itu bukan hanya rasa sanyangnya sebagai sahabat namun rasa sayang sebagai orang yang dicintainya. Namun rasa cinta itu Ia pendam karna Ia tidak ingin merusak persahabatan yang telah terjalin diantara Ia dan Tari. Alfin yang selalu ada di samping Tari. Dan saat Tari berusaha menguatkan diri dari kepergian ibunya. Alfin menjadi saksi sebagian perjalanan hidup Tari.
“ Kita makan dimana, Tar..?”
“Terserah kamu aja Fin, aku oke – oke aja”
“Oke deh, tempat biasa aja ya..”
“oke…”.
Mereka pun menuju tempat makan yang biasa mereka hampiri. Sebuah tempat makan yang sederhana namun tetap bersih dan terlihat indah dimata Tari.
“Pipi kamu kenapa Tar,…??” Alfin mengajukan pertanyaan yang memang sejak tadi ingin Ia tanyakan.
“Resti berantem sama ayah Fin.. aku berusaha melindungi Resti dari pukulan ayah”
“Sungguh keterlaluan ayahmu itu Tar.”
“Ga apa – apa lah Fin, aku sudah biasa seperti ini. Lebih baik aku yang ayah sakiti dari pada Resti, aku sayang Resti Fin, Resti adalah amanat ibu untuk aku. Aku sudah berjanji dengan ibu untuk melindungi Resti apapun yang terjadi”
“iya Tari, aku mengerti. Tapi ayahmu memang sudah sangat keterlaluan. Lama – lama aku laporin juga tu kepolisi”
“Huuuss, gitu – gitukan ayah aku Alfin”
“he… becanda Tar”
Tari pun ikut tersenyum. Saat Tari tersenyum maka saat itu pula kebahagiaan Alfin muncul, kebahagian yang muncul dari Tari untuk Alfin tanpa Tari sadari.
***
Hari – hari berlalu begitu cepat terasa. Tari merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia merasa akhir – akhir ini merasa sangat lemah. Dan terkadang kepalanya terasa sangat sakit dan pendarahan dihidungnya yang kadang – kadang ikut menyertai. Namun Tari mengacuhkan hal tersebut. Tari bukan orang yang suka mengeluh dengan apa yang Ia rasakan. Tari akan selalu tersenyum dengan orang – orang disekitarnya, karna Ia menganggap dengan senyumannya orang akan selalu berpikir kalau Ia selalu bahagia. Dan itu akan menjadi doa baginya. Keteguhan Tari inilah yang membuat Resti yang berada dibangku SMA itu sangat bangga dan sayang dengan kakanya. Resti merasa kakanya adalah sosok wanita yang kuat dan jauh dibandingkan dengan dirinya.
“Dooor….” Seru Resti mengejutkan kakanya saat Ia memasuki tempat tidur Tari.
“Astaga.. Resti, maunya apa sih ngagetin kaka aja”
“mau liat ekpresi kaka aja…He, Lucu juga..”
“Senang ya liat kaka kaget, Resti.. Resti..!!!” Tari pun ikut tersenyum meliat Resti yang tertawa karna Dia. “ Becanda doang ka, ga boleh ya..hehe”.
“iya.. iya..”ada apa Res, tumben kamu ke kamar kaka.
Ga ada apa – apa ka, bête aja liat mama’Dila tu… yang sok perhatian sama ayah”
“Huuus.., ga boleh gitu.. harusnya kita bersyukur adanya mama Dila. Kalau ga ada mama’Dila, siapa yang bakal ngurusin ayah Res..”
“iya ka, tapi kan dibalik perhatian mama’Dila sama ayah ada maksudnya ka..”
“maksudnya apa Res… pikir yang positif aja..”
“mama’Dila kan Ingin menjauhkan kita sama ayah.. buktinya ayah setelah menikah dengan Dia udah mulai kasar sama kita ka, coba aja ibu masih ada.. huhh.. pasti ibu orang yang pertama melindungi kita”.
“Ibu selalu ada di hati kita Res, ibu selalu melindungi kita, dan ibu selalu mengawasi kita dari sana. Dan mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita, jalan yang mengantaran kita pada kebahagian.”
“Amin” sekali lagi Resti kagum dengan cara berpikir kakanya, yang selalu bisa mengambil sisi kebahagian diantara pahitnya penderitaan.
Tiba – tiba Tari terdiam, Ia merasakan kembali ada cairan yang keluar dari lubang hidungnya. Tari coba menghindar dari pandangan Resti. Dan mencoba berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan cairan itu. Saat Tari mencoba berjalan. Ia merasakan tubuhnya begitu lemah, dan tak lama pandang Tari menghitam. Tari pun terjatuh di depan Resti, sontak Resti kaget meliat kakanya terjatuh tiba – tiba dan pinsan di depannya, Ia bingung harus melakukan apa karna di rumahnya hanya ada Ia berdua, ayah bekerja dan mama Dila tak tau kemana. Resti berteriak minta tolong, berharap ada yang mendengar teriakannya. Tak lama beberapa tetangga pun tiba untuk membantu Resti untuk membawa Tari kerumah sakit.
***
Resti miris meliat kakanya yang terbaring diruang ini. Ruang yang menurut Resti banyak meninggalkan kenangan menyakitkan baginya, terutama saat – saat ibunya dirawat disini. Resti menangis tak hentinya di samping Tari, pikirnya terus saja menerawang ada apa dengan kakanya, dan kenapa kakanya seperti ini. Ia tak ingin berpikir yang buruk untuk kakanya. Karna Ia memang tak mau hal buruk itu menghampiri kakanya.
Tak lama Alfin pun datang setelah mendapat Kabar dari Resti. Resti memeluk Alfin dan terus menagis di bahu Alfin, Ia ikut merasakan apa yang Resti rasakan. Karna Alfin sangat menyayangi Tari. Resti menceritakan apa yang terjadi dengan kakanya, kenapa Tari bisa sampai di tempat ini.
“Resti takut ka terjadi apa – apa dengan ka’Tari” dengan suara yang tersendu Resti mengeluh pada Alfin akan kekuatirannya pada Tari.
“ tak akan terjadi apa – apa denga Tari, Res… tenang lah, Tari wanita yang kuat”
“iya ka”
“apa kata dokter….???”
“entahlah, Dokter belum bisa memastikan ka’Tari sakit apa, masih menunggu hasil darah ka’Tari beberapa hari lagi. Untuk sementara dokter hanya memberi beberapa obat untuk ka’Tari.”
Ayah Tari dan Mama’Dila pun datang setelah Resti memberi kabar pada ayahnya. Diluar pikiran Resti pada ayahnya saat meliat Tari yang terbaring di tempat tidur. Ayahnya mencoba mendekati Tari dan memegang tangan Tari. Ia menatap dalam – dalam paras Tari yang memang sangat mirip dengan allmarhum istrinya yaitu ibu Tari. Seperti kembali kemasa Ia menghadapi peristiwa yang sama saat istrinya terbaring sakit di tempat yang sama, namun dalam hatinya terbesit Ia tak ingin menyaksikan kejadian yang sama di tempat ini.
“ maafkan ayah Tar” kata – kata Ayah membuat Resti tak percaya dengan apa yang Ia dengar, seakan – akan doa Tari datang menghampiri Tari saat Ia terbaring tak sadarkan diri. “suatu saat nanti mata hati akan ayah terbuka untuk melihat semuanya.”
***
“Alfin..”
Suara yang terdengar sangat lemah membuat Alfin terbangun dari tidurnya. Menyadari suara itu berasal dari Tari, Alfin mendekat dan menghampiri Tari. Setitik cerah di mata Alfin saat melihat Tari telah sadarkan diri setelah 2 hari Ia terbaring.
“Alfin…”
“ya Tari..”
“Bawa aku pergi dari tempat ini…”
Ucapan Tari membuat Alfin heran. Ada sesuatu yang terasa hilang dari Tari, seperti ini bukan sosok Mentari yang Ia kenal.
“kamu masih sakit Tar.. Istirahatlah dulu”
“aku ingin jalan – jalan Fin” suara Tari yang terdengar sangat lemah membuat Afin tak mampu untuk menolak permintaannya.
“Baiklah…. Kita keliling Rumah sakit ini aja ya.. di taman belakang ada taman yang Indah tar..”Tari hanya mengangguk mengiyakan perkataan Alfin.
Alfin dan Tari berjalan menuju taman belakang rumah sakit itu, sesampainya disana mereka pun duduk di sebuah kursi yang terlindung oleh pohon akasia. Rumah sakit ini terletak tak jauh dari puncak yang memang terkenal dengan keindahan alamnya. Dan tepat dibelakang taman ini kita bisa melihat bukit – bukit kecil dengan beberapa rumah penduduk disekitarnya.
“indah Fin….”
“iya Tar, sangat indah”
***
Tak jauh dari tempat yang berbeda, tepatnya diruang dokter yang merawat Tari. Resti dan ayahnya duduk dengan rasa yang tak menentu untuk mendengar apa yang akan di katakan sang dokter tentang hasil tes darah Tari.
Hembusan nafas sang Dokter terasa berat untuk mengawali membeciraannya, sebagai Dokter sudah menjadi hal biasa baginya bila harus mengatakan hal yang pasti tak disukai pasiennya. Tapi itu lah pekerjaan yang harus Ia lakukan. Melakukan yang terbaik terbaik untuk pasiennya walau hasilnya kadang tak seindah dengan apa yang Ia bayangkan.
“ Tari mengidap penyakit Leukemia stadium akhir, kemungkinan tipis untuk Ia bertahan”
Seakan tak mampu menahan tangis yang tiba – tiba datang dan meruap, tangis Resti pecah di peluk ayahnya yang akhir – akhir ini ayanhnya menunjukkan perubahan dengan Resti dan Tari. Ayah Resti tersentak tak mampu untuk berkata apa – apa, anaknya Tari mengidap penyakit leukemia atauyang sering dikenal dengan kanker darah. Dalam hatinya berkata, mengapa Ia baru menyadari sekarang kalau Tari mengidap penyakit itu. Tari tak pantas untuk mendapat semua ini. Kenapa harus tari ya”allah. Batin ayahnya yang terasa ikut menangis.
***
Tepat di taman belakang, Alfin dan tari masih menikmati indahnya memandangan di taman tersebut.
“Alfin…”
“Iya Tar”
“aku merasa sangat lelah Fin, bolehkah aku bersandar di bahumu..” Alfin tak berkata apa – apa, namun dari isyarat tubuhnya menandakan tanda setuju.
“Alfin, aku bahagia..”
“kenapa Tar…??”
“aku bertemu dengan ibu di pimpiku Fin, ibu sangat cantik fin…”
“ibumu memang cantik Tar…” secantik dirimu batin Alfin
“ibu bilang akan menunggu aku disana” alfin terdiam mendengar kata – kata Tari, ada apa dengan Tari batin Alfin.
Tak lama telphon Alfin berdering menandakan panggilan masuk. Dari Resti. Tak lama setelah Alfin berbicara dengan Resti yang terus saja menagis. Telpon yang di genggam Alfin tiba – tiba terjatuh, sepertinya kabar yang disampaikan Resti membuat Alfin tersentak dan tak tahu harus berpikir apa. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya terus saja berbicara dengan lembutnya.
“Alfin…., aku ingin tidur… aku lelah fin.. aku ingin memejamkan mata ini.. “ ucap Tari dengan lembut yang terdengar sangat lemah. Yang sejak tadi masih bersandar pada bahu Alfin. Tanpa Tari sadari Ia terus mengeluarkan cairan merah dari hidugnya. Dan di sampingnya, Air mata Alfin terus terjatuh.Air mata yang sangat dibenci Alfin, karna menurutnya air mata adalah symbol kelemahan seseorang apa lagi untuk seorang lelaki. Namun saat itu rasa bencinya tak mampu menghalangi air matanya yang terus saja mengallir.
Alfin merasa sesuatu yang tak Ia inginkan akan terjadi. Alfin hanya bisa memegang tangan Tari dengan eratnya. dan terus menatap lurus tepat pada saat matahari yang akan terbenam. Tiba – tiba suasana terasa berubah. Saat menyadari apa yang terjadi. Wanita yang berada di sampingnya terasa begitu sangat melemah dan genggapan Tari pun terlepas dari tanga Alfin.
Matahari terakhir untuk Tari terbenam di penghujung pelupuk mata Tari. Saat itu juga Mentari terakhir untuk Alfin ikut terbenam, namun tak akan terbit kembali untuk menyinari hatinya dan hati setiap orang yang menyayanginya. Suara angin yang terus berderu di telinga Alfin yang hanya bisa terpaku diam, seakan – akan Ia berkata. “selamat tinggal Alfin”.
15 Oktober 2012
PROFIL PENULIS
Nama : Susan aryati
TTL : 30 Juni 1993
Alamat : Kotabaru Kalimantan Selatan
Fb : Susan Emerland
TTL : 30 Juni 1993
Alamat : Kotabaru Kalimantan Selatan
Fb : Susan Emerland
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.