CINTA AYAH YANG ABADI
Karya Dwi Ks
Pagi ini adalah pagi yg cerah untuk memulai semua kisah hidup perjalanan anak manusia yang selalu dihiasi oleh cita cita setinggi langit. Aku begitu tergesa-gesa pagi itu. Jam dinding menunjukkan jam 8 pagi. “waduh …mampus aku…telat deh…!” kuraih handbag di atas meja kerjaku dan segera bergegas keluar rumah dengan nafas tersengal-sengal…” Mas….sarapannya dimakan !”, Teriak istriku dari dalam kamar, namun waktu ternyata lebih cepat mengejar aku dan tidak memberikan kesempatan bagiku untuk menikmati sepotong roti nikmat dan segelas kopi panas buatan istriku tercinta. Aku adalah seorang wartawan disalah satu koran. Walaupun dengan gaji yang teramat sangat kecil aku bahagia….karena itu adalah pilihan hidupku. Tersenyum Wati, istriku dari pintu depan rumahku yg bertipe RSSSS itu. “Hati-hati pa….”, suaranya diiringi lambaian tangan kanannya padaku dan tangan kirinya memegang pinggangnya dari belakang….ya…dia adalah Wati, istriku yang sedang hamil 9 bulan. Kehamilannya itu amat sangat kami nantikan… selama hampir 3 tahun pernikahan kami. Sudah hampir 2 bulan ini dia cuti kerja dari kantor ayahnya. Wati, Istriku, memang istri yang luar biasa… Ia selalu memberikan cinta yang tak biasa seperti wanita lain, yang hanya mengharapkan kehidupan mapan dan kemewahan semata, tapi itu wajar bagi semua orang , siapa sih yang ngga mau hidup senang ? Dia menolak menerima tunjangan hidup dari ayahnya secara cuma-cuma dan lebih memilih bekerja di kantor ayahnya itu.
Kuengkol sepeda motor bututku, Hmm…sepeda motor kesayanganku. Kudapatkan dari hadiah Pak Menteri Penerangan, atas karya tulisku tentang pembangunan negeri ini, yg sebenarnya tulisan itu tak sesuai dengan pandangan mata dan hatiku, namun logikaku menyeret aku untuk berdusta lewat karya kata-kata demi sebuah cita - cita …Ya, cita-cita pikirku. Berlahan namun pasti kususuri gang demi gang menuju kantorku. “SUARA NEGERIKU” papan nama kantorku terpampang jelas dan besar, seperti hasrat yg terpendam dari cita-cita anak negeri ini. Kusandarkan sepeda motorku dan dengan lincah kunaiki tangga demi tangga menuju lantai dua. “Apa cerita untuk besok, Wan..” suara itu datang dari belakangku menyadarkan lamunanku yg sedang meniti tangga demi tangga. ” Belum dapat ide , Mas…”, Jawabku spontan. ” Yang menarik ya….. seperti kemaren…. temenku banyak menanyakan tulisanmu…mudah-mudahan….kita akan lebih maju lagi tahun ini..”, pesan redakturku yg juga sahabatku sambil meninggalkanku yg hanya mengangguk setuju. Kuambil pena dilaci meja dan mulai menulis paragraph demi paragraph. Tenggelam aku dalam alam pikiranku. Kata demi kata terangkai dalam kalimat yang menggugah hati dan tanpa kusadari air mataku menitik saat tulisan itu hampir rampung…tak tahan…. kuhentikan dan segera kumasukkan kertas tulisan itu kelaci mejaku.
Kulipat tangan dibelakang kepalaku dan membiarkan pikiranku melayang mengenang peristiwa setahun lalu…. Waktu itu hujan sangat lebat. Jas hujanku seakan tak kuasa menahan derasnya hujan dimalam yang gelap itu. “Mati aku …Hujannya deras banget…!” teriakku tertahan seakan meyakinkan aku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Mendadak tanganku mengerem dengan kuatnya, “ciiieet…” bunyi ban sepeda motorku bergesek dengan aspal.
Sesosok bocah kedinginan merapatkan badannya disalah satu ruko dijalan besar itu. kedua tangannya mengikat badannya erat dan menggigil kedinginan. Kuhentikan sepeda motorku dan kudekati ia…” Tinggal dimana, Dik ?”, tanyaku dengan suara keras untuk mengalahkan suara deras hujan yg tak kenal kompromi. Tubuh mungilnya seakan memberi jawaban dibanding mulutnya…kupeluk anak itu dan segera kugendong ia. Hm.. umurnya baru 5 tahun analisaku seketika itu. Segera kuajak dia menaiki sepeda motorku dan kuletakkan dia dibelakangku. “Pegang yang erat ya , dik…!”, kataku keras sambil tangan kiriku menutupi dirinya dengan sisi belakang jas hujan milikku. Hati - hati sekali aku menyusuri jalan dimalam yang sangat lebat itu dan akhirnya aku sudah tidak tahan lagi. Kami berhenti di sebuah warung kecil dipinggir jalan yang mulai banjir itu. Kuturunkan ia , “Yuk kita berteduh dulu…..”, kataku pada anak yang malang itu. “Bandrek dua, Buk…..!”, sahutku sambil duduk dibangku kayu reot warung itu. Terlihat ibu warung itu seperti kebingungan memperhatikanku dan berkali kali ia mencuri pandang padaku , tapi karena kedinginan aku tidak memperdulikan ibu itu dan aku lebih sibuk berbicara dengan anak yang disampingku.” Kamu tinggal dimana , dik ? ” kembali aku bertanya pada anak itu. “Ngga tahu om, saya tersesat …!”, suara mungilnya begitu bergetar karena kedinginan. “Oh….”, kataku menganggukkan kepala. Selama hujan lebat itu, aku lebih banyak berbicara dibanding anak itu.
Hingga akhirnya hujan reda. ” Maukah…kamu tinggal denganku ?”, tanyaku penuh harap dan hanya dibalas oleh anggukan dari anak itu dengan senyum. “Kalau begitu panggil aku ….Ayah…!”, kataku dengan senyum sumringah. ” Ya ….Ayah….!”, jawabnya meluncur dari bibirnya yang mungil. Setelah kubayar minuman bandrek tadi dan segera kami melanjutkan perjalanan ke rumahku. Sesampai dirumah, Hm….terkunci, segan diriku mengetuk pintu dengan keras untuk membangunkan istriku, kubalik alas keset kaki rumahku, kuambil kunci yang sengaja ku selip dibawahnya. Perlahan ku buka pintu dan kududukkan anak itu dikursi rumahku. “Tunggu sebentar ya…..aku akan mengambilkan handuk untukmu…!”, kataku lembut padanya dan lagi- lagi anak itu membalas dengan senyumnya, lalu segera aku ke belakang dan…”Sudah pulang , Pa…!” Suara yg sangat kukenal tiba-tiba muncul dibelakangku dan kutolehkan kepala ke belakang reflek, ” Maaf sayang … aku tak mau mengganggu tidurmu….!”, jawabku lembut tapi masih kaku karena masih menyisakan kaget akibat panggilan tiba - tiba itu. “Ngga apa-apa sayang…!”, kata istriku sambil membuka kemejaku yang basah. “Oh..ya …tadi dijalan aku ada membawa seorang anak yg kehujanan…..sekarang didepan sayang….!”, lontarku lagi sambil menarik tangannya untuk mengikutiku ke ruang tamu.
Ahhh….anak itu menghilang…..padahal tadi ada dikursi itu….kugosok mataku berkali-kali untuk meyakinkan penglihatanku dan kemudian aku memandangi wajah istriku yang hanya mengkerutkan keningnya menatap padaku. Kulihat pintu tak terbuka…”Sudahlah mungkin aku tadi ilusi….”, jawabku seakan ingin menutup keheranan dimata istriku. “Aku mandi dulu ya sayang….!”, kataku meninggalkan istriku yang diam seribu bahasa yang masih tenggelam dalam keheranannya itu. Aneh memang apalagi keesok harinya aku kembali menjumpai ibu warung yang kusinggahi kemaren malam dan ia mengatakan bahwa aku kemaren hanya seorang diri dan dia mengatakan keanehan padaku karena aku kemaren berbicara seorang diri. Pantasan ibu itu melihatku berulang kali tadi malam pikirku. Merinding campur takut ….dan kini sudah hampir setahun hal itu terjadi.
Mendadak telpon berdering memecahkan lamunanku dan mengembalikan aku kedunia nyata dalam seketika…dengan malas kuraih handphone disakuku, ” Nak , istrimu melahirkan..”, Jelas suara diseberang, itu mertuaku,” Segera ke klinik ‘HARAPAN IBU’ ya….kami sudah bawa Wati kesana..”, lanjutnya. “Iya bu…!” jawabku singkat…”Waduh istriku, mengapa tak kau kabari aku…!”, Desahku bergegas menuruni tangga demi tangga dengan tergesa-gesa.
Akhirnya sampai juga dan segera aku ke kamar bersalin kebetulan dulu aku pernah ke tempat itu dan lagi pula kamarnya jadi satu kesemuanya. Kulihat istriku masih terbaring lemas….dan bayi mungil kemerahan disampingnya. Tiba-tiba mertuaku muncul dari pintu dan langsung menghampiri istriku. ” Mas…Sukmawan mana, pa ?”, tanya istriku. Tertegun sejenak aku….karena sedari tadi aku berada dihadapannya. “Sabar..nak…Suamimu mungkin tidak bisa datang…”,jawab mertuaku begitu parau dan penuh kesedihan yang begitu mendalam.” Suamimu telah tiada nak….ketika menuju kemari dia mengalami kecelakaan…!”, lanjut mertuaku tak kuasa menahan airmatanya lagi. Bagai disambar petir istriku pingsan seketika dan aku hanya bisa tertegun dan air mataku menetes ternyata…..aku telah tiada…..dan kini yang dihadapannya hanya rohku semata………………..
Lima tahun berlalu, Kantor surat kabar tempatku bekerja dulu akhirnya mendapat perintah untuk ditutup. Tekanan demi tekanan menghantam surat kabar itu. Oplahnya menurun drastis. Redakturnya seorang yang idealis, makanya ia dan surat kabarnya tergerus oleh kepentingan-kepentingan politik dan pemerintahan, akhirnya izinnya dicabut. Besok adalah hari terakhir penerbitannya. Semua barang-barang kantor sudah diangkut dan dijual murah ke rumah lelang. Saat itulah laci mejaku yg terkunci selama 5 tahun itu akhirnya dibongkar oleh sahabatku yang juga redaktur koran itu. Beberapa lembar tulisan tanganku dibacanya…ya itu tulisanku 5 tahun yang lalu saat terakhir aku duduk dimeja itu. Tidak seorangpun berani duduk disitu sejak peristiwa itu. Telpon dari mertuaku yang mengatakan bahwa istriku telah melahirkan, yg membuat aku beranjak dari meja itu saat lima tahun yang lalu. Akhirnya aku meninggalkan dunia saat diperjalanan menuju tempat bersalin istriku, aku mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan nyawaku melayang seketika itu. Nasipku memang malang saat itu.
Waktu berlalu sedemikian cepatnya. Anakku telah menjadi bocah yang lucu dan pintar sekali. Aku kini hanyalah kenangan bagi istriku dan anakku, namun tanpa mereka sadari aku masih berada disisi mereka. Hmmmm….mungkin tepatnya aku hanyalah roh yang penasaran atau mungkin Tuhan memberiku kesempatan untuk melihat keluargaku.”Ibu …dimana ayah…?”, bibir mungil itu menanyakan tentang ayahnya pada ibunya. Ya…ibunya itu adalah Wati, istriku tercinta. Derai airmatanya runtuh seketika dan dipeluknya anak kesayangannya itu.”Ayahmu telah tiada…nak….Ayahmu berada disurga, anakku”,suara lembut membisikkan ketelinga anak semata wayangnya. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan dan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Anakku tidak menerima hal itu begitu saja, hingga suatu hari manakala ibunya pergi bekerja ,ia hanya dengan pembantu dirumahku. Ia keluar rumah dan pergi menyusuri jalan raya…mungkin ia pernah mendengar bahwa diriku dulu meninggal akibat kecelakaan dijalan raya makanya ia mencari jejak tentang aku. Tentang ayahnya yang tak pernah ia temui……….
Malam itu Wati, istriku, kaget luar biasa karena menemukan anak sewata wayangnya terbaring lemas dalam keadaan baju yg basah dikursi tamu rumahnya. “Ya Allah ….Ridwan…badanmu panas sekali….nak..!” teriak panik Wati, istriku, setelah memegang kening putranya, lalu segera ia mengambil kunci mobil miliknya dan menggendong Ridwan, kemudian melarikannya ke rumah sakit terdekat. Ridwan di infus dan langsung diberikan perawatan serius. ” Bagaimana, Dok..?”, tanya Wati,istriku. ” Oh … Tak apa hanya demam saja , mudah - mudahan malam ini demamnya akan turun, Bu !”, Kata dokter itu meyakinkan istriku yang kelihatan amat sangat cemas. Istriku hanya mampu mengangguk dan kembali memperhatikan putra kami itu dengan wajah sedih. Rupanya pembantu yang menjaga anakku itu mencari Ridwan semalaman karena sejak sore anak itu menghilang dari rumah. Dia sangat takut dan tak berani pulang sebelum menemukan anak kami. sehingga ia ke rumah orangtua istriku untuk meminta tolong kepada mertuaku untuk turut mencari anakku itu. Aneh memang karena tiba-tiba Ridwan, anakku, sudah dirumah dan lebih aneh lagi ternyata rumah masih dalam keadaan terkunci dari luar. “Bunda…bunda….!”, suara mungil itu membangunkan ibunya…..ibunya tertidur semalaman disamping tempat tidurnya.
Mendadak telpon berdering memecahkan lamunanku dan mengembalikan aku kedunia nyata dalam seketika…dengan malas kuraih handphone disakuku, ” Nak , istrimu melahirkan..”, Jelas suara diseberang, itu mertuaku,” Segera ke klinik ‘HARAPAN IBU’ ya….kami sudah bawa Wati kesana..”, lanjutnya. “Iya bu…!” jawabku singkat…”Waduh istriku, mengapa tak kau kabari aku…!”, Desahku bergegas menuruni tangga demi tangga dengan tergesa-gesa.
Akhirnya sampai juga dan segera aku ke kamar bersalin kebetulan dulu aku pernah ke tempat itu dan lagi pula kamarnya jadi satu kesemuanya. Kulihat istriku masih terbaring lemas….dan bayi mungil kemerahan disampingnya. Tiba-tiba mertuaku muncul dari pintu dan langsung menghampiri istriku. ” Mas…Sukmawan mana, pa ?”, tanya istriku. Tertegun sejenak aku….karena sedari tadi aku berada dihadapannya. “Sabar..nak…Suamimu mungkin tidak bisa datang…”,jawab mertuaku begitu parau dan penuh kesedihan yang begitu mendalam.” Suamimu telah tiada nak….ketika menuju kemari dia mengalami kecelakaan…!”, lanjut mertuaku tak kuasa menahan airmatanya lagi. Bagai disambar petir istriku pingsan seketika dan aku hanya bisa tertegun dan air mataku menetes ternyata…..aku telah tiada…..dan kini yang dihadapannya hanya rohku semata………………..
Lima tahun berlalu, Kantor surat kabar tempatku bekerja dulu akhirnya mendapat perintah untuk ditutup. Tekanan demi tekanan menghantam surat kabar itu. Oplahnya menurun drastis. Redakturnya seorang yang idealis, makanya ia dan surat kabarnya tergerus oleh kepentingan-kepentingan politik dan pemerintahan, akhirnya izinnya dicabut. Besok adalah hari terakhir penerbitannya. Semua barang-barang kantor sudah diangkut dan dijual murah ke rumah lelang. Saat itulah laci mejaku yg terkunci selama 5 tahun itu akhirnya dibongkar oleh sahabatku yang juga redaktur koran itu. Beberapa lembar tulisan tanganku dibacanya…ya itu tulisanku 5 tahun yang lalu saat terakhir aku duduk dimeja itu. Tidak seorangpun berani duduk disitu sejak peristiwa itu. Telpon dari mertuaku yang mengatakan bahwa istriku telah melahirkan, yg membuat aku beranjak dari meja itu saat lima tahun yang lalu. Akhirnya aku meninggalkan dunia saat diperjalanan menuju tempat bersalin istriku, aku mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan nyawaku melayang seketika itu. Nasipku memang malang saat itu.
Waktu berlalu sedemikian cepatnya. Anakku telah menjadi bocah yang lucu dan pintar sekali. Aku kini hanyalah kenangan bagi istriku dan anakku, namun tanpa mereka sadari aku masih berada disisi mereka. Hmmmm….mungkin tepatnya aku hanyalah roh yang penasaran atau mungkin Tuhan memberiku kesempatan untuk melihat keluargaku.”Ibu …dimana ayah…?”, bibir mungil itu menanyakan tentang ayahnya pada ibunya. Ya…ibunya itu adalah Wati, istriku tercinta. Derai airmatanya runtuh seketika dan dipeluknya anak kesayangannya itu.”Ayahmu telah tiada…nak….Ayahmu berada disurga, anakku”,suara lembut membisikkan ketelinga anak semata wayangnya. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan dan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Anakku tidak menerima hal itu begitu saja, hingga suatu hari manakala ibunya pergi bekerja ,ia hanya dengan pembantu dirumahku. Ia keluar rumah dan pergi menyusuri jalan raya…mungkin ia pernah mendengar bahwa diriku dulu meninggal akibat kecelakaan dijalan raya makanya ia mencari jejak tentang aku. Tentang ayahnya yang tak pernah ia temui……….
Malam itu Wati, istriku, kaget luar biasa karena menemukan anak sewata wayangnya terbaring lemas dalam keadaan baju yg basah dikursi tamu rumahnya. “Ya Allah ….Ridwan…badanmu panas sekali….nak..!” teriak panik Wati, istriku, setelah memegang kening putranya, lalu segera ia mengambil kunci mobil miliknya dan menggendong Ridwan, kemudian melarikannya ke rumah sakit terdekat. Ridwan di infus dan langsung diberikan perawatan serius. ” Bagaimana, Dok..?”, tanya Wati,istriku. ” Oh … Tak apa hanya demam saja , mudah - mudahan malam ini demamnya akan turun, Bu !”, Kata dokter itu meyakinkan istriku yang kelihatan amat sangat cemas. Istriku hanya mampu mengangguk dan kembali memperhatikan putra kami itu dengan wajah sedih. Rupanya pembantu yang menjaga anakku itu mencari Ridwan semalaman karena sejak sore anak itu menghilang dari rumah. Dia sangat takut dan tak berani pulang sebelum menemukan anak kami. sehingga ia ke rumah orangtua istriku untuk meminta tolong kepada mertuaku untuk turut mencari anakku itu. Aneh memang karena tiba-tiba Ridwan, anakku, sudah dirumah dan lebih aneh lagi ternyata rumah masih dalam keadaan terkunci dari luar. “Bunda…bunda….!”, suara mungil itu membangunkan ibunya…..ibunya tertidur semalaman disamping tempat tidurnya.
Ibunya bangun dan dengan senyum gembira dipeluknya putranya,” Sayang…tadi malam kamu main kemana ?”, tanya ibunya dengan air mata yg mengalir dari pipinya.” Ridwan bertemu ayah, Bu !… ayah menjemput Ridwan dijalan, Bu !….Kami minum diwarung….airnya seperti susu tapi pedas dan panas, Bu !”, katanya bersemangat. Kontan Wati , Istriku kembali menangis dan memeluk putranya kembali. Setelah sekian lama , Istriku, Wati, balik bertanya pada anakku, Ridwan, ” Ayah bilang apa , Nak..?”.” Dia bilang pada Ridwan….Ridwan disuruh panggil Dia… Ayah !”, anaknya diam sejenak seakan mengingat kembali memori tadi malam,” Kami naik Sepeda motor … Persis seperti yang di garasi, Bu ! Lalu ayah membawa saya pulang kerumah dan bilang supaya Ridwan duduk dan menunggu ayah mengambil handuk…lalu Ridwan tertidur , Bu…!” , ujarnya meyakinkan Wati, istriku. Mendadak Tangis istriku meledak dan ia menangis dengan kerasnya….kemudian dia sadar …. dan kembali memeluk putra kami lalu mengecup kening mungil anak kami itu.
Telpon Berdering dari Handphone istriku. ” ini Wati…istri sukmawan ya..?” tanya orang dari seberang HP istriku. ” Benar, Pak…. ada apa ya ?”, tanya Wati, istriku. “Bisa saya bertemu dengan Anda ?” tanya penelpon dari seberang, ” Boleh pak, saya di Rumah Sakit ‘Citra Bunda’ … anak saya sedang sakit !”, jawab Wati,istriku mengiyakan ajakan itu. “Baiklah saya akan kesana sekarang…!”, kata pria diseberang telpon. Pria itu sahabatku redaktur koran tempatku dulu bekerja, Susanto namanya. Tak lama muncul seorang pria didampingi seorang perawat keruangan anakku di rumah sakit itu. ” Nama saya Susanto….anda Wati, istri Sukmawan ?”,tanyanya membuka pembicaraan dengan istriku. ” Ya saya Wati, Ada apa ya, pak ?”,Tanya istriku. ” Ini …bacalah dulu…!” kata Susanto sambil menjulurkan beberapa lembar kertas HVS bertuliskan tinta hitam. Istriku membacanya dengan seksama dan… tak tahan istriku kembali berurai air mata….”Ini tulisan Suamiku…pak ?” suara Wati, istriku terbata-bata.
Telpon Berdering dari Handphone istriku. ” ini Wati…istri sukmawan ya..?” tanya orang dari seberang HP istriku. ” Benar, Pak…. ada apa ya ?”, tanya Wati, istriku. “Bisa saya bertemu dengan Anda ?” tanya penelpon dari seberang, ” Boleh pak, saya di Rumah Sakit ‘Citra Bunda’ … anak saya sedang sakit !”, jawab Wati,istriku mengiyakan ajakan itu. “Baiklah saya akan kesana sekarang…!”, kata pria diseberang telpon. Pria itu sahabatku redaktur koran tempatku dulu bekerja, Susanto namanya. Tak lama muncul seorang pria didampingi seorang perawat keruangan anakku di rumah sakit itu. ” Nama saya Susanto….anda Wati, istri Sukmawan ?”,tanyanya membuka pembicaraan dengan istriku. ” Ya saya Wati, Ada apa ya, pak ?”,Tanya istriku. ” Ini …bacalah dulu…!” kata Susanto sambil menjulurkan beberapa lembar kertas HVS bertuliskan tinta hitam. Istriku membacanya dengan seksama dan… tak tahan istriku kembali berurai air mata….”Ini tulisan Suamiku…pak ?” suara Wati, istriku terbata-bata.
Susanto hanya mengangguk…”Boleh saya menerbitkan tulisan ini untuk mengenang Suamimu ? ini adalah tulisan terakhirnya sebelum peristiwa itu….!”, katanya lembut namun jelas penuh harap. “Hari ini… hari terakhir koran kami diterbitkan …mulai besok kami sudah tidak menerbitkan lagi…saya akan pindah ke kota lain…kota ini sudah tidak menjanjikan lagi…!”, suara Susanto tercekat seakan memiliki beban yang amat berat. ” Sebentar Pak….saya akan meneruskan tulisan suami saya sedikit lagi…karena sepertinya tulisan ini harus diakhiri…supaya Ia tenang di alam sana !”, Permintaan Wati, istriku yang langsung dibalas anggukan oleh Susanto. Istriku menulis dibelakang lembaran kertas itu. walaupun lancar namun lama juga istriku menulis di meja kecil disudut tempat tidur anakku. Setelah Selesai diserahkannya pada Susanto, ” Mohon diterbitkan tulisan ini , Pak “…” dan saya akan membayar semua penerbitannya besok …. tolong korannya di sebarkan secara gratis ke seluruh kota….!” pinta istriku meyakinkan Susanto. ” Terimakasih Wati….saya akan memegang amanah ini…karena beliau juga sahabat sejatiku…!”, katanya sambil memasukkan kertas itu langsung ke dalam tasnya. ” Saya Mohon diri dulu….!”, Kata Susanto sambil berjabat tangan dengan istriku dan kemudian ia meninggalkan istriku yang masih berdiri terpaku di depan pintu.
Pagi itu begitu mendung, Susanto beserta anak buahnya keliling menyebarkan koran gratis pada masyarakat di jalanan. Itu wujud solidaritas mereka dengan Surat kabar yang akan tutup hari ini, dan koran ini adalah koran terakhir yang diterbitkan “Suara Negeriku”. Tahukah anda apa yang ditulis oleh Sukmawan dan istrinya ?
Ya benar sekali.ternyata Sukmawan telah menulis ceritanya sendiri jauh sebelum hari ini terjadi sungguh sulit untuk dipercaya bahkan dia sempat menulis puisi untuk istri dan anaknya yg belum lahir waktu itu.puisi untuk istrinya
Wati istriku yg tercinta
Mungkin waktu tak pernah akur dengan hidupku
Mungkin kebahagianku tak sebahagia mereka yg ada di surga.
Namun daku sangat berbahagia hidup denganmu..
Engkau telah menjadi cinta sejatiku.
Tiada keluh dan kesah yg meluncur dari bibirmu
Selain kata kata indah yg menyejukkan hatiku
Wati istriku yg tersayang
Bila waktu menjemput diriku.
Sudikah engkau menyisakan ruang dihatimu
Untuk daku tinggal dipusara hatimu..
Wati istriku yg terkasih
Berilah nama anakku seperti pesanku
Ridwan.nama yang kuberikan padanya
Anak buah cinta kita
Yg lama kita nantikan
Hingga diujung waktu
Menjelang maut menjemputku..
Wati istriku yg terindah
Jagalah anak kita dengan seluruh cintamu
Berikanlah kecupanku disaat pagi membangunkannya
Berikanlah senyumku disaat ia menangis sendu
Berikanlah pelukanku disaat ia merindukanku
Sayangku gantikan aku.
Sebagai tanda cintaku
Sampai suatu saat..
Kita akan kembali bersatu ..
Di surga abadi
yang takkan memisahkan kita lagi.
Kemudian puisi itu dibalas oleh Wati , istri Sukmawan
Sukmawan suamiku. Waktu memang tak akur denganmu , Tapi waktu selalu meninggalkan kenangan dirimu bagi diriku. Sukmawan suamiku, anakmu kini telah besar, dia selalu menanyakan tentang dirimu, bahkan dia pernah bercerita tentang pertemuanmu dengannya malam itu. Persis seperti kejadian malam itu pada lima tahun yang lalu….saat dirimu bertemu dengan anak yang sangat engkau nantikan itu. Kalian memang dipisahkan oleh waktu, namun waktu telah memberikan kesempatan bagi kalian untuk bertemu…..walau hanya satu malam disaat hujan deras, disaat malam yang dingin….disaat orang orang memeluk orang-orang yang dicintainya dan disaat itu juga kalian berpisah oleh batasan waktu. Sukmawan suamiku yang terkasih….mungkin engkau tidak bisa membaca tulisanku ini namun aku percaya engkau mendengarkan langsung dari hatiku………..istirahatlah dengan tenang wahai suamiku…… aku akan menjaga buah cinta kita….aku akan memberikan kecupan darimu setiap pagi dikala ia bangun….aku akan memberikan senyum dan hiburan disaat ia menangis sendu ….dan aku akan memeluknya dikala ia rindu padamu…..Suamiku pujaan hatiku….. tunggu aku…. kelak aku akan bersamamu ….. setelah tiba waktuku dan setelah anak kita sudah menjadi orang yang mampu berdiri dengan kakinya sendiri….Sukmawan nama yg abadi dalam hatiku…..aku sangat mencintai dan merindukan dirimu…………rindukah dirimu padaku……?
Pagi itu begitu mendung, Susanto beserta anak buahnya keliling menyebarkan koran gratis pada masyarakat di jalanan. Itu wujud solidaritas mereka dengan Surat kabar yang akan tutup hari ini, dan koran ini adalah koran terakhir yang diterbitkan “Suara Negeriku”. Tahukah anda apa yang ditulis oleh Sukmawan dan istrinya ?
Ya benar sekali.ternyata Sukmawan telah menulis ceritanya sendiri jauh sebelum hari ini terjadi sungguh sulit untuk dipercaya bahkan dia sempat menulis puisi untuk istri dan anaknya yg belum lahir waktu itu.puisi untuk istrinya
Wati istriku yg tercinta
Mungkin waktu tak pernah akur dengan hidupku
Mungkin kebahagianku tak sebahagia mereka yg ada di surga.
Namun daku sangat berbahagia hidup denganmu..
Engkau telah menjadi cinta sejatiku.
Tiada keluh dan kesah yg meluncur dari bibirmu
Selain kata kata indah yg menyejukkan hatiku
Wati istriku yg tersayang
Bila waktu menjemput diriku.
Sudikah engkau menyisakan ruang dihatimu
Untuk daku tinggal dipusara hatimu..
Wati istriku yg terkasih
Berilah nama anakku seperti pesanku
Ridwan.nama yang kuberikan padanya
Anak buah cinta kita
Yg lama kita nantikan
Hingga diujung waktu
Menjelang maut menjemputku..
Wati istriku yg terindah
Jagalah anak kita dengan seluruh cintamu
Berikanlah kecupanku disaat pagi membangunkannya
Berikanlah senyumku disaat ia menangis sendu
Berikanlah pelukanku disaat ia merindukanku
Sayangku gantikan aku.
Sebagai tanda cintaku
Sampai suatu saat..
Kita akan kembali bersatu ..
Di surga abadi
yang takkan memisahkan kita lagi.
Kemudian puisi itu dibalas oleh Wati , istri Sukmawan
Sukmawan suamiku. Waktu memang tak akur denganmu , Tapi waktu selalu meninggalkan kenangan dirimu bagi diriku. Sukmawan suamiku, anakmu kini telah besar, dia selalu menanyakan tentang dirimu, bahkan dia pernah bercerita tentang pertemuanmu dengannya malam itu. Persis seperti kejadian malam itu pada lima tahun yang lalu….saat dirimu bertemu dengan anak yang sangat engkau nantikan itu. Kalian memang dipisahkan oleh waktu, namun waktu telah memberikan kesempatan bagi kalian untuk bertemu…..walau hanya satu malam disaat hujan deras, disaat malam yang dingin….disaat orang orang memeluk orang-orang yang dicintainya dan disaat itu juga kalian berpisah oleh batasan waktu. Sukmawan suamiku yang terkasih….mungkin engkau tidak bisa membaca tulisanku ini namun aku percaya engkau mendengarkan langsung dari hatiku………..istirahatlah dengan tenang wahai suamiku…… aku akan menjaga buah cinta kita….aku akan memberikan kecupan darimu setiap pagi dikala ia bangun….aku akan memberikan senyum dan hiburan disaat ia menangis sendu ….dan aku akan memeluknya dikala ia rindu padamu…..Suamiku pujaan hatiku….. tunggu aku…. kelak aku akan bersamamu ….. setelah tiba waktuku dan setelah anak kita sudah menjadi orang yang mampu berdiri dengan kakinya sendiri….Sukmawan nama yg abadi dalam hatiku…..aku sangat mencintai dan merindukan dirimu…………rindukah dirimu padaku……?
PROFIL PENULIS
Nama : Dwi Kurnia Surya
Email : Goonersdwi@gmail.com
Url Fb : http://facebook.com/cecsdwis
User Twitter : Asi_arsenal
Jenis.k : Laki-laki
Anak ke : 2 (DUA) dari 4 (EMPAT) Anak
Tinggal : Cirebon
Email : Goonersdwi@gmail.com
Url Fb : http://facebook.com/cecsdwis
User Twitter : Asi_arsenal
Jenis.k : Laki-laki
Anak ke : 2 (DUA) dari 4 (EMPAT) Anak
Tinggal : Cirebon