Miris Miring Pikiranku - Cerpen Cinta

MIRIS MIRING PIKIRANKU
Karya Mesh Kwon Sum

Karya “Kreeek!” Seorang perawat muda keluar dari sebuah kamar, sebelum seorang wanita ayu berpakaian dinas putih – biru mengetuk pintu. Melihat atasannya berada tepat di depan mata, perawat muda itu terlihat begitu kaget. Biasanya akan ada hal penting jika bu Marlita, yang tak lain adalah atasannya itu memanggil atau menemuinya. Terlebih kini bu Marlita menemuinya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tapi sejauh ini, ia telah merawat pasiennya dengan sangat baik dan tidak ada masalah yang berarti baginya.

Saking kagetnya, gelas kosong yang berada di atas nampan yang ia bawa, hampir saja jatuh ke lantai, kalau saja tangan gesitnya tidak cepat bereaksi.
“Bu Marlita, Selamat siang.” Perawat berlesung pipit itu menyapa atasannya sambil membungkuk hormat. “ Saya baru saja selesai memberi obat untuk ibu Arnia, lalu membacakan diarynya. Tapi dia belum juga berhenti menangis, ” Perawat muda itu masih menunduk, menyembunyikan wajahnya yang tegang.
Sementara dari dalam kamar, tangisan seorang wanita terdengar begitu jelas. Sesekali tangisannya yang memilukan, dibarengi dengan raungan yang dahsyat.
“Jangan pak Laksana !” bu Marlita menghentikan niat laki-laki yang berada di sebelahnya yang nampak ingin sekali memasuki ruangan.
“Tapi…”
“Amukan bu Arnia akan semakin menggila jika di dekati oleh orang lain. Siapapun dia,” kata perawat muda itu dengan wajah setengah diangkat.
Laksana berubah sikap. Matanya yang tajam, kini berubah sayu bagai bunga teratai yang tak terjamah mata air. “ Ini salahku. Maafkan aku Arnia.” Hatinya menangis. Ia benar-benar terpukul. Tak dinyana, keputusannya untuk tetap meninggalkan sang kekasih demi ibunya,3 tahun yang lalu, benar- benar telah menyengsarakan orang yang sangat ia cintai.
“Maaf pak Laksana, selama ini, kami tidak pernah mengizinkan siapapun masuk menjenguk Arnia. Tentu selain perawat khusus seperti perawat Inna yang punya wewenang khusus merawat bu Arnia,” Bu Merlita mengarahkan wajahnya tegas kearah perawat yang berada di hadapannya. “ Hanya dia perawat yang mampu mengurus bu Arnia. Meski sudah beberapa kali nyawanya terancam.” Lanjutnya dengan suara agak di pelankan. “Pak Laksana, mungkin lebih baik kita bicarakan hal ini di kantor saya saja. Mari, ” ajaknya.
* * *

“Arnia adalah pesakitan jiwa paling liar di rumah sakit ini. Berkali – kali ia mencoba bunuh diri. Dan pernah juga berusaha membunuh perawat dan kawan sekamarnya. Dulu, kami tempatkan Arnia di kamar double, karna itu adalah permintaan dari keluarganya. Tapi di dalam sana, Arnia hampir mencelakai teman sekamarnya dengan cara mencekik leher korban. Lalu setelah kejadian itu, kami pindahkan bu Arnia di kamar single,” bu Marlita langsung menceritakan keadaan Arnia kepada Laksana, ketika ia sampai di kantornya yang tak begitu mewah seperti kantor-kantor di rumah sakit lainnya,
“Apakah keluarga Arnia mengetahui hal ini ? Dan apakah mereka sering menjenguk Arnia di sini ?”
“ Kami telah memberitahukannya. Tapi, nampaknya mereka tidak terlalu peduli dengan keadaan bu Arnia di sini. Mereka baru dua kali ini menjenguk bu Arnia. Yang pertama kali adalah ketika regristasi. Dan, yang kedua kalinya saya tidak mengetahui, karena waktu itu saya sedang ada keperluan di luar kota. Perawat Inna yang lapor pada saya, Tapi setelah itu, mereka tidak pernah menjenguk bu Arnia lagi.”
“Anda tau kenapa ?”
“Saya telah mempelajari kasus bu Arnia. Saya tau lebih banyak tentang bu Arnia dari laporan perawat Inna. 
Menurut laporannya, bu Arnia mengalami pesakitan karena banyak hal. Salah satunya disebabkan karena hubungan bu Arnia dengan keluarganya yang amat buruk semenjak ia lahir. Sejak kecil, bu Arnia mengalami kekerasan fisik dan batin dari ayahnya yang seorang pecandu alkohol. Selain itu, disebabkan karena hubungan cintanya dimasa lalu yang tidak direstui oleh kedua pihak orang tua mereka. Ku kira bu Arnia mengalami banyak tekanan dan gejolak batin parah, sehingga ia tidak mampu lagi menahannya. Lalu, menyebabkan dia gila.” Kata bu Marlina. Ia menghela nafas sebentar, sebelum akhirnya meneruskan kembali kata- katanya. “ Itu semua bu Arnia tulis di sebuah diary. Hampir setiap hari perawat Inna harus membacakan diary itu untuk bu Arnia. Terlebih jika kondisi mental bu Arnia benar- benar dalam keadaan memprihatinkan. ”
“Jadi ?”
“ Jadi, keluarganya tidak pernah kesini selain ke kantor saya untuk urusan administrasi. Kasihan bu Arnia…”
“Bu Marlita, apakah anda tau semua isi diary milik Arnia ?”
“Saya tidak tau. Yang pasti mengetahuinya adalah perawat Inna. Anda bisa menanyakanya pada perawat Inna jika anda mau. Apa anda ingin bertemu dengan perawat Inna? Kalau anda menginginkan, saya akan panggilkan.”
“Tidak. Terima kasih. Sebenarnya kedatangan saya kesini adalah untuk mengambil Arnia.”
“Mengambil ?!”
“Ya.”
“Kenapa ? saya peringatkan kepada anda. Bu Arnia itu berbahaya. Dia itu pesakitan paling liar di rumah sakit jiwa ini. Bisa saja dia melukai anda atau bahkan membunuh anda, pak Laksana.” Suara bu Marlita terdengar begitu kaget dan bingung. Entah alasan sekuat apa yang membuat laki-laki di depannya itu ingin mengambil pasiennya yang sangat berbahaya.
“Bu Marlita yang terhormat. Saya sangat tau siapa Arnia. Saya tau segalanya tentang dia. Bahkan sebelum keluarganya membawa dia kerumah sakit jiwa ini, saya sudah tau bahwa kekasihku itu sakit jiwa. Sakit jiwa semenjak dia di lahirkan ke dunia ini.” Satu tetes embun suci mengalir lembut dari mata sayu Laksana. Matanya berkaca tiada tara.

Marlita tercengang kaget. Inilah untuk pertama kalinya ia melihat seorang laki-laki sedewasa Laksana meneteskan air mata di hadapannya. Dari balik kaca mata minus miliknya, Marlita bisa melihat duka lara di dada laki-laki yang kini benar-benar telah menangis tersedu.
“Saya bukan siapa –siapa bagi anda atau bu Arnia. Saya pun tidak berhak untuk mencegah maksud anda datang kesini. Hanya saja, saya begitu bingung dengan jalan fikiran anda. Kenapa anda ingin sekali membawanya pulang ? Sedang dalam catatan medis kami, bu Arnia itu belum sembuh.”
“Tolong bilang pada perawat Inna, bahwa saya adalah Laksana Ardi Putra. Dan saya kesini untuk mengambil Arnia, kekasihku.”

Bu Marlita seperti kehilangan kata-kata. Dengan fikiran penuh tanda tanya, wanita itu melangkah keluar untuk menemui perawat Inna. Sementara Laksana masih terdiam di kursi dengan perasaan yang pedih.
Seluruh wajahnya ia tutup dengan kedua telapak tangan. Ia teringat pada kejadian beberapa waktu lalu. Kejadian yang membuatnya begitu semangat untuk menemukan kekasihnya yang selama ini ia tinggalkan.
* * *

Sepulang dari kantor, Laksana mendapati ibunya tengah berbaring lemah di ranjang. Tidak biasa, wanita berkebaya itu masih tidur di ranjang saat putra semata wayangnya pulang kerja. Biasanya, bila lembayung mulai beraksi mempercantik langit, ia akan menunggu putranya di teras rumah.

Setelah memberi salam dan mencium kening sang ibu, Laksana menanyakan keadaan ibunya. Wanita itu tak menjawab. Hanya batukannya yang memberi jawaban bahwa ibunya tengah sakit. Wajahnya yang tersorot lampu redup kamarpun sudah terlihat begitu tua.
“Putraku, “ telapak tangan lemah milik wanita yang bernama Asih itu mengelus –elus pipi putranya. Senyumnya sedikit dipaksa keluar. “ Kau sudah dewasa. Sangat- sangat dewasa. Umurmu hampir kepala tiga. Tapi kamu masih sendiri.”
Mendengar ucapan sang ibu, Laksana tertunduk dalam. Ia tidak kuasa menatap bola mata sang ibu. Pasti akan ada pertarungan sengit antara kehendak mata dan batinya ketika ia menatap bola mata sang ibu.
“Tidakkah kamu ingin menikah, putraku ?” Laksana semakin tertunduk mendengar penambahan kata-kata sang ibu selanjutnya. Matanya ia pejamkan.

Ingin ia lari kesuatu tempat, lalu berteriak sekeras-kerasnya bahwa ingin sekali ia menikah. Tentu dengan umurnya yang hampir kepala tiga, ia begitu mendambakan seorang pendamping hidup. Tapi, semakin ia mendambakannya, ia semakin terluka. Menikah ? menikah dengan siapa ? teman kencan pun ia tak punya. Entah kenapa, semenjak kejadian di sore itu, ketika ia terpaksa menuruti keinginan sang ibu untuk mengakhiri hubungan cintanya dengan sang kekasih, Laksana tidak pernah sekalipun mendekati wanita lain ataupun berniat mencari pengganti kekasihnya terdahulu.
“Laksana, putraku, “ kali ini wajah tertunduk Laksana ditarik keatas oleh ibunya. Ia dapat melihat sang ibu meneteskan air mata.
“Ibu…” Perihnya hati Laksana.
“Ibu tau kau sedih. Mungkin pula, kesedihan itu, ibulah yang menciptakannya. Menciptakan kepedihan dari ego ibu yang tak pernah ingin kehilangan cinta dari seorang putra tunggalnya. Betapa jahatnya ibu. Seperti anak kecil yang manja dan egois. Ibu telah memisahkan kamu dengan Arnia, kekasihmu. Huhuhu.” Asih terus mengisak tangis. Matanya yang basah, ia arahkan ke langit-langit kamar.
Laksana masih membisu. Bibirnya seakan terkunci dari dalam. Meski di dalam hatinya, suaranya begitu nyaring terdengar. Suara penuh tanda tanya tentang perubahan kata-kata dan sikap lunak ibunya. Dulu, ibunya begitu keras hati kepada Arnia.
“Carilah Arnia. Bawa dia padaku.”
Hampir Laksana tidak percaya dengan apa yang di katakan ibunya. Tetapi, di dalam hatinya, ia tersenyum begitu lebar. Inilah restu yang selama ini ia nantikan.
“Oh…Tuhan…Terima kasih. Akhirnya…” Matanya terpejam menghadirkan sosok yang selama ini ia rindukan.
“Arnia, dimana kamu ?”
* * *

“ Ini kunci kamar A345 milik bu Arnia.” Perawat Inna memberikan kunci pada Laksana.
“Terima kasih.” Tangan Laksana kuat memegang sebuah kunci. Seperti itulah ia akan kuat memegang Arnia setelah ini. Memegangnya dengan sangat erat. “ Bu Marlita, terima kasih banyak atas izin anda. Perawat Inna, terima kasih selama ini telah merawat Arnia.” Laksana tidak bisa berucap banyak. Perasaannya bercampur aduk. Disaat kebahagiaan telah menemukan kekasih hatinya yang sekian lama terpisah, ia harus menerima kenyataan bahwa kekasihnya adalah seorang penghuni rumah sakit jiwa.

Kedua wanita yang kini telah berada di punggung Laksana itu saling pandang. Di masing - masing fikiran mereka terbesit ketakutan dan keibaan. Terlebih perawat Inna, kini ia tau bahwa laki-laki yang bernama Laksana Ardi Putra seperti dalam penantian panjang Arnia adalah benar-benar nyata
“Bu Marlita tidak mencegahnya ?” kata perawat Inna kemudian, setelah sadar bahwa kemungkinan bahaya sedang mendekat.
“ Saya sudah peringatkan. Tapi laki-laki itu tetap ingin mengambil kekasihnya. Mereka akan segera menikah.”
“Menikah ?!” Perawat Inna terbelalak.
Gambaran berbagai keganjalan berlayar di kepala perawat Inna, begitu mendengar alasan apa yang telah membuat bu Marlita yang terkenal tegas itu melepaskan pasiennya yang belum sembuh untuk di ambil. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di kamar A345 setelah ini. Pernikahan yang mengharukan ataukah…
 
Beberapa menit kemudian.
Seperti mendengar jeritan. Perawat Inna lari menuju kamar A345.
Apa yang terlihat adalah putih….semua putih….putih seperti dalam diary Arnia yang terakhir ia bacakan…
Putih …
Aku telah menantimu dalam kesendirianku yang begitu panjang
Selalu berharap kau hadir dalam kenyataan
Kenyataan seperti dulu…
Menjadi tempat ku membuang sepi, duka, lara, pedih dan luka
Tak taukah kau bahwa aku menantimu ?
Dalam malam sepi, aku menghanyutkan tubuhku dalam kedinginan dunia yang menusuk
Aku dapat mendengar bunyi bumi berderit menyampaikan pesan padaku bahwa aku tak sendiri
Tapi aku tetap menyiksa
Aku menyusupkan pecahan cermin di balik kulit keringku
Hinggu aku yakin suatu hari aku bisa melihatmu kembali
Tersenyum penuh bahagia kearahku
Dan dengan janjiku, aku akan mengeluarkan serpihan – serpihan cermin itu dari tubuhku, lalu aku menjahit kulitmu bersama pecahan – pecahan kaca ini, hingga kau akan semakin tau betapa aku ingin menyatu denganmu menjadi abu…
Arnia, Jumat, 03 Mei 2008

PROFIL PENULIS
Nama : iMesh / Mesh Kwon Sum
Alamat: Tursino Rt 02 rW 06 Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo JATENG Tempat Tanggal lahir : Purworejo, 24 Agustus 1989
Hobi: Travelling, listening to the music
Saat ini kuliah di Universitas Muhammadiyah Purworejo Jurusan fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan bahasa Inggris semester VII
Facebook: i_perl@yahoo.co.id

Share & Like