DARA UGI'
Karya Munjiyah Dirga Ghazali
Masih terbayang di pikiranku. Kau telanjangi diriku dengan kacamata hitam, yang kau beli di warung kopi pagi itu. Tak ada sehelai benang apapun yang kutemukan. Pekat, darah, cumbu, hitam penuh liku - liku. Menusuk dijamah kalbu. Meneror larik-larik perangaiku untuk kedua kalinya. Mencoreng adatku. Menodai hitam namaku sebagai Dara Ugi’.
Aksara lontara’ yang menghiasi namaku di dinding foto, menjadi saksi perjalanan. Aku tak mengerti. Kuraih tanganmu. kubiarkan wajahmu membenam wajahku. Rumahku. Segala kerisauan yang menjemputku dengan cinta. Tergambar jelas, raut pesona memerah memalingkan gaun hijau yang akan aku kenakan esok. Gaun hijau untuk perempuan bugis yang malebbi.
Masih terbayang di pikiranku. Kau telanjangi diriku dengan kacamata hitam, yang kau beli di warung kopi pagi itu. Tak ada sehelai benang apapun yang kutemukan. Pekat, darah, cumbu, hitam penuh liku - liku. Menusuk dijamah kalbu. Meneror larik-larik perangaiku untuk kedua kalinya. Mencoreng adatku. Menodai hitam namaku sebagai Dara Ugi’.
Aksara lontara’ yang menghiasi namaku di dinding foto, menjadi saksi perjalanan. Aku tak mengerti. Kuraih tanganmu. kubiarkan wajahmu membenam wajahku. Rumahku. Segala kerisauan yang menjemputku dengan cinta. Tergambar jelas, raut pesona memerah memalingkan gaun hijau yang akan aku kenakan esok. Gaun hijau untuk perempuan bugis yang malebbi.
Kulangkahkan kakiku. Menuju buih-buih penderitaan yang akan terpetakan dengan suara janin di rahimku. Menelangsa sang esok yang buram. Dingin. Mencekam dan jatuh pada peluh nafas pesakitan di lipatan-lipatan 3 tahun silam. 2 air mata suci yang tak pernah habis yang menatapku dengan siri’. Kau Tahu? Mereka di lego-lego. Bungkam.
Ugi’ elegi penderitaan menjemput di depan mata! Gaun hijau akan ternoda dengan pekatnya cinta”
“Tatkala kau belum siap palingkan wajahmu!”. Kembali menaiki anak tangga rumahmu satu persatu”.
“Cuci kedua kaki 2 air mata doa yang tak pernah habis itu.” Agar tak nampak hitam namamu”
Kutarik nafasku sedalam-dalamnya. Kuterawangi perjalananku. Cinta dan kehormatan. Menjadi sebuah elegi yang tak bisa kujawab dengan pertanyaan. Juga tak bisa kujawab dengan jawaban. Sesak. Kubiarkan bulir air mata membasahi tanganmu.
“Tatkala kau belum siap palingkan wajahmu!”. Kembali menaiki anak tangga rumahmu satu persatu”.
“Cuci kedua kaki 2 air mata doa yang tak pernah habis itu.” Agar tak nampak hitam namamu”
Kutarik nafasku sedalam-dalamnya. Kuterawangi perjalananku. Cinta dan kehormatan. Menjadi sebuah elegi yang tak bisa kujawab dengan pertanyaan. Juga tak bisa kujawab dengan jawaban. Sesak. Kubiarkan bulir air mata membasahi tanganmu.
Kuputuskan, menggenggam erat tanganmu. Melangkah melewati pagar rumahku. Berjalan dan tak menoleh arah. Tanpa satu tujuan yang belum pasti terjawabkan. Namun, kau tahu? ringkihku dan ringkihmu menjadi satu tujuan. Haram. Fatamorgana yang seharusnya kutemui di larik-larik kehidupanku. Segera terabdikan. Peluh luruh setapak demi setapak noda hitam yang kini bersarang di rahimku.
Tanah Daeng, menjadi saksi perjalananku. Perempuan bugis yang seharusnya berada di rumah, belajar estetika, menerapkan pangaderreng dalam dirinya. Sungguh apik dipersunting urane ugi’. Namun, tidak di Kota Daeng, senja yang belum juga beranjak seolah mengerti itu, “Taroi siri’ alemu’!. menjadi rentetan kata-kata yang berserakan di jalanan. Bak sebuah kertas putih bersih yang sudah lusuh termakan rayap.
Perjalanan penuh cita-cita. Itu harapanku. Menjadi seorang seniman, meski kutahu membebani keluargaku. Acap kali menjadi pertengkaran hebat yang membuat wajahku terasa ditampar-tampar. Aku tak menyerah. Berjuang. Hingga kepuasan batin terealisasikan sudah. Membaca cinta lewat larik-larik puisiku. Membaca rindu lewat goresan penaku. Membaca kehidupan lewat gerak mimik di atas panggung. Aku tak berhenti di situ. Kuberanikan diri melangkah. Menjajaki satu persatu bingkai kehidupan di kota itu.
Sampai aku menemukanmu, di balik cerita seorang teman. Kau bungkam disitu. Terselip sedikit lesung pipit di sketsa wajahmu. Dua anak manusia di 4 tahun silam. Kala senyum itu sulit kuterjemahkan dengan rumus, dengan angka-angka alfabetis yang kuselipkan di kantong bajuku. Lesung pipit yang kusumpahkan akan segera terbenam dalam lampion jiwaku.
Kutemukan tanganku hangat. Pelukan erat. Penuh cinta. Meliarkan estetika perangaiku yang tak pernah tersentuh. Memancing naluri perempuanku. Mengaungkan desahan nafas keperawananku. Waktu menunjukkan pukul 2 malam. Gerimis masih saja turun. Tak berhenti hingga pekatnya malam. Aku di situ menjawab teka-teki cinta yang suram.
Kutinggalkan kau di bilik itu, kulangkahkan kaki tanpa pamit. Menuju tanah Bugisku. Segalanya hitam. Menaiki anak tangga satu persatu. Kutemui wajahmu di situ. Bebayang yang mengejarku. Kutemui kamarku. Penuh cerita di balik lipatan- lipatan luka. Penuh noda. Juga seisi rumahku penuh seribu tanya!”.
“Nama suci itu sudah kuberikan 21 tahun lalu. Diselimuti siri’ dan apik terbungkus ade”. kalimat sakral itu tersimpan rapi di benakku. Anak gadis penuh noda. Berdosa dan malu di hadapan Tuhan. Membunuh kepercayaan dua air mata doa yang suci. Kucari penenang batin dari orang tuaku. Pada pelepah sisa doanya. Pada lipatan akhir sujudnya. Tapi, kau tahu?. Kalimat sakral itu cukup mewakili ucapan suci keduanya. Betapa daifnya diriku”.
Lepas Azhar, kapal yang kutumpangi di Pelabuhan Biringkassi akan berangkat. Aku pamit padamu. Memenuhi panggilan kontrak kerja selama 3 bulan, aku terima di salah satu surat kabar ternama di Jawa. Sebagai Wartawan. Kuinginkan tubuh kedua air mata doa yang sejak lama kurindukan. Rindu berhari-hari. Senyum simpul untuk aku dan janinku. Tapi, hanya dirimu di situ. Merobek- robek naluriku sebagai ibu. Penuh acuh. Penuh kedaifan yang mencoreng namaku. Tak kutemukan wajah sedih. Kuselipkan sepucuk surat di atas lemari. Aku pergi dengan siri’.
“Jangan pernah menaruh bunga di taman rumahku”. Aku sudah memagarinya. Jika pagar itu kau robohkan dengan menanamkan bunga lain di tamanku, kupastikan bungaku akan kucabut hingga tak ada bekas aku di situ”. Pesan kehormatan dari sang istri yang tersimpan rapi di benakmu.
Malam kian larut, kian menggigil. menerawang bekas-bekas luka. Seusaha mungkin. Sekuat hati menjalani kontrak kerjaku. Meski kutahu sepucuk surat pun tak kunjung menawar harapan. Seuntai sms dan telepon pelepas penat. Mungkinkah kau menghianatiku?
Senja kian memerah. Kurasakan janinku membesar. Sudah 3 bulan ia menemaniku di situ. Hanya diam dan menyaksikan fatamorgana kehidupan. Menelangsa larik-larik keperawananku. Menghujam keperangaianku sebagai ana’ dara ugi’. Yang mencoreti hitam. Arang di garis-garis nadi adatku.
Rindu mentari pagi. Kian rindu berhari-hari. Kuterima telepon pagi itu dari kedua orangtuaku. Kaget. Sontak saja aku berdiri dan pulang ke Tanah Daeng. Kusaksikan bunga itu menyentuh pagarku. Membalutkan pakaianku di tubuh kotornya. Diam-diam. Aku dibalik jendela. Menyaksikan kalian berpesta pora. Tanpa sehelai benang apapun. Jendela mengatup dan lampu merah padam mendesau. Foto kita berdua yang sudah hitam untuk kedua kalinya tertulis siri’ di sana. Suara mengkristal mendesau mewakili semuanya. Malam kian gigil. Masih berada di sana. Menjawab bait perbait pesan kehormatan yang kusampaikan padamu.
Ah, ingin kucabut janin yang tak berdosa ini. Seluruh tubuhku sudah memerah. Penuh darah. Peluh terbalut perih. Aku pergi tanpa kau tahu.
Masih terbayang di pikiranku. Kau telanjangi diriku dengan kacamata hitam, yang kau beli di warung kopi pagi itu. Tak ada sehelai benang apapun yang kutemukan. Pekat, darah, cumbu, hitam penuh liku - liku. Menusuk dijamah kalbu. Meneror larik-larik perangaiku untuk kedua kalinya. Mencoreng adatku. Menodai hitam namaku sebagai Dara Ugi’.
Pangkep, Tanah Ugi’ 7 Agustus 2012
Penjelasan :
1. Dara Ugi’ : Perempuan Bugis
2. Malebbi : Sifat santun beretika
3. Siri’ : Malu
4. Ade’ : Adat
5. Lego – lego : Beranda Rumah
6. Pangaderreng : Tatanan/ norma hokum yang berlaku dalam adat Bugis
7. Urane Ugi’ : Pemuda Bugis
8. Taroi Siri’ Alemu : (sebuah paseng/pesan) Tanamkanlah malu dalam dirimu
PROFIL PENULIS
Munjiyah Dirga Ghazali, lahir di Kota Makassar tepatnya Pangkajene, 23 Juni 1990. Alumni Fakultas Ilmu Budaya pada Program Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah Kerjasama UNHAS-PEMPROV SULSEL Angkatan 2008.
Sejak SMP sudah menjuarai juara 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Porseni SMP Dan SMA, Juara 2 Lomba baca Puisi dan juara 1 Cipta Puisi yang diadakan oleh BESTRA UNM 2007 se SMA Kabupaten Pangkep. Juara Dongeng pada Lomba Sastra tingkat Penegak SMA Se Kabupaten Pangkep, juara 3 cipta puisi UKMM Menulis FIB UNHAS, Juara 2 Baca Puisi pada Festival Sastra 2010 Se UNHAS. Juara 3 Lomba baca Puisi pada Hari Sastra Nasional Se Sulselbar 2011. Karya-karya puisi dimuat di Koran Daulat Rakyat Makassar, Koran kampus seperti Surat kabar Kampus Identitas, Buletin Kareba UKMM Menulis FIB. Pemain Teater Manusia-Manusia Perbatasan, Datu Museng & Maipa Deapati, Aru 21 karya Fahmy Syariff dan Naskah Kematian, Eksekusi dan Keniscayaan karya Yacob Marala.
Bertempat tinggal di Jl. Keadilan, Kec. Pangkajene Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan
Munjiyah Dirga Ghazali, lahir di Kota Makassar tepatnya Pangkajene, 23 Juni 1990. Alumni Fakultas Ilmu Budaya pada Program Pendidikan Sarjana Guru Bahasa Daerah Kerjasama UNHAS-PEMPROV SULSEL Angkatan 2008.
Sejak SMP sudah menjuarai juara 1 Lomba Baca Puisi Tingkat Porseni SMP Dan SMA, Juara 2 Lomba baca Puisi dan juara 1 Cipta Puisi yang diadakan oleh BESTRA UNM 2007 se SMA Kabupaten Pangkep. Juara Dongeng pada Lomba Sastra tingkat Penegak SMA Se Kabupaten Pangkep, juara 3 cipta puisi UKMM Menulis FIB UNHAS, Juara 2 Baca Puisi pada Festival Sastra 2010 Se UNHAS. Juara 3 Lomba baca Puisi pada Hari Sastra Nasional Se Sulselbar 2011. Karya-karya puisi dimuat di Koran Daulat Rakyat Makassar, Koran kampus seperti Surat kabar Kampus Identitas, Buletin Kareba UKMM Menulis FIB. Pemain Teater Manusia-Manusia Perbatasan, Datu Museng & Maipa Deapati, Aru 21 karya Fahmy Syariff dan Naskah Kematian, Eksekusi dan Keniscayaan karya Yacob Marala.
Bertempat tinggal di Jl. Keadilan, Kec. Pangkajene Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan
No. Urut : 1247
Tanggal Kirim : 13/10/2012 12:20:00