RAMADHAN
Karya Najla Putri Mawaddah
Karya Najla Putri Mawaddah
PRANGGG… PLETAKKK…
Dengan emosi yang meletup-letup, Rama mengobrak-ngabrik lemari makanan. Segala piring dan gelas pun ia biarkan pecah dan melukai kakinya. Ia tak kuat membiarkan perutnya, terus bernyanyi. Ia tidak peduli, jika mamanya akan marah. Toh, sebenarnya juga, ia tidak pernah berpuasa. Hanya sekarang saja ia berpuasa, sebab ia ingin membuat mamanya diam dengan ceramahnya.
"Astagfirullah halazim, Rama! Apa-apaan kamu, nak? Kenapa piring dan gelas, pecah semua? Kamu nggak mau puasa lagi?" Bu Laila berdiri di daun pintu. Wajahnya merah padam. Ia pun berusaha menahan air matanya, agar tidak tumpah. Hatinya mulai gerimis melihat kelakuan anak semata wayangnya.
"Halah… puasa lagi, puasa lagi. Memangnya nggak ada kegiatan lain, ya, selain puasa?" jawab Rama dengan nada yang ditinggikan. Ia marah pada mamanya.
"Ya Allah, nak! Kamu tau, ini puasa apa?" tanya Bu Laila, berusaha untuk sabar.
"Puasa Ramadhan." Jawab Rama singkat dan cuek.
"Astagfirullah halazim, Rama! Apa-apaan kamu, nak? Kenapa piring dan gelas, pecah semua? Kamu nggak mau puasa lagi?" Bu Laila berdiri di daun pintu. Wajahnya merah padam. Ia pun berusaha menahan air matanya, agar tidak tumpah. Hatinya mulai gerimis melihat kelakuan anak semata wayangnya.
"Halah… puasa lagi, puasa lagi. Memangnya nggak ada kegiatan lain, ya, selain puasa?" jawab Rama dengan nada yang ditinggikan. Ia marah pada mamanya.
"Ya Allah, nak! Kamu tau, ini puasa apa?" tanya Bu Laila, berusaha untuk sabar.
"Puasa Ramadhan." Jawab Rama singkat dan cuek.
Bu Laila mengelus dada. Sudah berulangkali, ia menasehati dan mendidik anaknya, supaya menjadi anak yang sholeh. Anak yang selalu taat pada Sang Rabb. Pada Tuhannya. Namun ternyata ia gagal mendidik anaknya. Anaknya telah menjelma menjadi anak yang tidak taat. Rama tidak pernah menjalankan perintah Tuhannya. Rama selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Segala hal-hal negatif sudah semua ia jalankan, sebaliknya hal-hal positif tidak pernah ia laksanakan.
Rama membuka kulkas, dan mengambil sebuah minuman di gelas. Ia teguk minuman itu, hingga habis tanpa sisa. Bu Laila merebut gelas itu, dan…
PRANGGG…
Bu Laila memecahkan gelas itu. Rama terkejut melihat sikap mamanya. Tanpa terasa, air mata Bu Laila telah membulir, membasahi pipinya.
"Sadarlah, nak! Kamu sudah dewasa. Sudah kelas 11 SMA. Kamu wajib melaksanakan Puasa Ramadhan. Kamu juga, wajib untuk melaksanakan sholat lima waktu. Mama memberi nama kamu, RAMADHAN, karena mama berharap anak mama menjadi anak yang sholeh. Anak yang selalu menjalankan perintah Allah. Termasuk Puasa Ramadhan." Tutur Bu Laila dengan penuh perasaan.
Rama diam, namun cuek. Perkataan mamanya, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Percuma. Rama tidak akan peduli. Tanpa pamit, Rama melengos pergi meninggalkan mamanya yang masih mengeluarkan segala nasehat-nasehat.
***
"Ramaaa… mau kemana kamu, nak?" Bu Laila berlari, berusaha mengejar Rama hingga keluar rumah.
"Cabut," jawab Rama pendek. Ia mempercepat langkahnya.
Bu Laila terus mengejar hingga dari persimpangan jalan, sebuah truk melaju menghampirinya. Truk itu, kehilangan keseimbangan. Bu Laila tidak mengetahui hal itu. matanya hanya terfokus pada satu titik, yaitu Rama. Beberapa detik kemudian, insiden menyakitkan terjadi.
Refleks Bu Laila, merasakan tubuhnya melayang dan terbanting keras. Sekejab kemudian, semuanya mendadak GELAP…
Melihat insiden itu, semua mata memandang, berteriak histeris. Mendengar teriakan histeris masyarakat, Rama menghentikan langkahnya dan langsung menoleh kebelakang. Matanya membelalak tak percaya. Ia kaget bukan main. Air matanya tiba-tiba tumpah. Ia merasakan setengah nyawanya hilang. Hatinya nyeri dan gerimis, melihat sosok mamanya sudah terkulai tak berdaya.
"MAMAAA!!!"
***
Tut… tut… tut…
Suara mesin pendetak jantung, terus berjalan. Grafiknya pun, naik turun dengan teratur. Kondisi Bu Laila sangat kritis. Berkali-kali Rama memukul-mukul kepalanya. Ia terpukul. Tangisnya pun sangat memilukan. Ia menyadari, penyebab mamanya seperti ini, karena dirinya.
"Maaa… maafkan Rama!" Rama terisak. Ia pegangi kedua tangan mamanya, sambil berkali-kali menciumnya. "Gara-gara Rama, mama jadi begini. Rama menyesal, Ma! Mama harus kuat. Mama harus bertahan." Nasi telah menjadi bubur, dan tak akan menjadi nasi kembali. Kenapa ia tidak pernah sadar? Kenapa penyesalan itu, selalu datang terakhir? Rama merenung. Ia terlempar ke insiden dimana ia, menjadi anak yang durhaka kepada Tuhan dan orang tuanya.
Matanya terpejam sebentar, dan membuka kembali. Butiran air mata penyesalan pun turun membulir di pipinya.
"Ramaaa lihat? Tangan mamamu bergerak." Pak Qadar, ayahnya memberitahu. Rama tersadar, lalu kembali fokus pada Sang mama tercinta.
"Dokterrr… Dokterrr…" Pak Qadar memanggil-manggil dokter.
Tak lama, Dokter datang bersama suster. Mereka langsung memeriksa kondisi Bu Laila. Setelah selesai, terlebih dahulu dokter menyunggingkan senyum bahagia.
"Allhamdulillah, Bu Laila sudah melewati masa kritisnya. Bapak dan Adik, sudah bisa berbicara dengan Ibu. Tapi, jangan terlalu memaksakan Bu Laila untuk berbicara, ya? Pelan-pelan saja dulu!" jelas Dokter memberitahu.
Rama dan Pak Qadar menghembuskan nafas lega. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Dokter dan Suster. Dokter dan suster pun tersenyum, lalu pamit untuk memeriksa pasien lainnya.
***
Perlahan, mata Bu Laila mengerjab-ngerjab berusaha untuk dapat melihat dengan jelas. Bibirnya sambil berkomat-kamit mengucapkan Asma Allah. Kemudian, matanya menangkap sosok anak dan suami tercinta.
"Ra… Ra… Ma… " ucapnya terpatah-patah.
"Ma… maafkan Rama, Ma! Rama menyesal. Rama memang anak durhaka. Gara-gara Rama, mama jadi begini. Rama sayang sama mama. Rama nggak mau mama pergi. Rama janji, Rama akan turuti semua kemauan mama. Rama janji, Ma!" ucapnya to the point dan serius, sambil terisak.
Air mata Bu Laila jatuh membulir di pipi. Ia terharu mendengar perkataan anak semata wayangnya. Pak Qadar ikut menitikkan air mata. Mereka mengelus-ngelus kepala Rama, dengan penuh kasih sayang.
"Benar, kamu akan turuti kemauan mama?" tanya Bu Laila tak kalah serius. Rama menggangguk mantab. "Kalau begitu, mama mau kamu masuk pondok pesantren, nak! Setiap orang tua sangat menginginkan anaknya menjadi anak yang sholeh. Mungkin dari Pondok Pesantren, kamu akan menjadi yang lebih baik, nak! Hanya itu permintaan mama. Seterusnya mama tidak akan minta apa-apa lagi dari kamu!" lanjutnya.
"Rama, ayah sama mama punya sahabat ustadz di sebuah pondok pesantren. Namanya Pondok Pesantren Modern Al-Mizan. Didikkan di pondok pesantren itu, bagus, nak! Ayah sama mama percaya sama pondok pesantren itu. kita ingin kamu mondok disana, nak! Kalau kamu mau, ayah sama mama akan masukkan kamu disana. Kita akan menitipkan kamu sama sahabat ayah." Jelas Pak Qadar.
Sejenak Rama diam. Ia berpikir dan menimang-nimang keputusannya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin berubah. Tekatnya sudah bulat, untuk membahagiakan orang tuanya. Terutama mamanya.
"Rama mau Ma, Yah!" ucapnya kemudian dengan suara lugas dan mantab.
Allhamdulillah. Bu Laila dan Pak Qadar mengucapkan syukur. Tak menyangka, anak semata wayangnya, akan mengucapkan sebuah kalimat yang selama ini mereka idam-idamkan.
***
The End
Rama membuka kulkas, dan mengambil sebuah minuman di gelas. Ia teguk minuman itu, hingga habis tanpa sisa. Bu Laila merebut gelas itu, dan…
PRANGGG…
Bu Laila memecahkan gelas itu. Rama terkejut melihat sikap mamanya. Tanpa terasa, air mata Bu Laila telah membulir, membasahi pipinya.
"Sadarlah, nak! Kamu sudah dewasa. Sudah kelas 11 SMA. Kamu wajib melaksanakan Puasa Ramadhan. Kamu juga, wajib untuk melaksanakan sholat lima waktu. Mama memberi nama kamu, RAMADHAN, karena mama berharap anak mama menjadi anak yang sholeh. Anak yang selalu menjalankan perintah Allah. Termasuk Puasa Ramadhan." Tutur Bu Laila dengan penuh perasaan.
Rama diam, namun cuek. Perkataan mamanya, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Percuma. Rama tidak akan peduli. Tanpa pamit, Rama melengos pergi meninggalkan mamanya yang masih mengeluarkan segala nasehat-nasehat.
***
"Ramaaa… mau kemana kamu, nak?" Bu Laila berlari, berusaha mengejar Rama hingga keluar rumah.
"Cabut," jawab Rama pendek. Ia mempercepat langkahnya.
Bu Laila terus mengejar hingga dari persimpangan jalan, sebuah truk melaju menghampirinya. Truk itu, kehilangan keseimbangan. Bu Laila tidak mengetahui hal itu. matanya hanya terfokus pada satu titik, yaitu Rama. Beberapa detik kemudian, insiden menyakitkan terjadi.
Refleks Bu Laila, merasakan tubuhnya melayang dan terbanting keras. Sekejab kemudian, semuanya mendadak GELAP…
Melihat insiden itu, semua mata memandang, berteriak histeris. Mendengar teriakan histeris masyarakat, Rama menghentikan langkahnya dan langsung menoleh kebelakang. Matanya membelalak tak percaya. Ia kaget bukan main. Air matanya tiba-tiba tumpah. Ia merasakan setengah nyawanya hilang. Hatinya nyeri dan gerimis, melihat sosok mamanya sudah terkulai tak berdaya.
"MAMAAA!!!"
***
Tut… tut… tut…
Suara mesin pendetak jantung, terus berjalan. Grafiknya pun, naik turun dengan teratur. Kondisi Bu Laila sangat kritis. Berkali-kali Rama memukul-mukul kepalanya. Ia terpukul. Tangisnya pun sangat memilukan. Ia menyadari, penyebab mamanya seperti ini, karena dirinya.
"Maaa… maafkan Rama!" Rama terisak. Ia pegangi kedua tangan mamanya, sambil berkali-kali menciumnya. "Gara-gara Rama, mama jadi begini. Rama menyesal, Ma! Mama harus kuat. Mama harus bertahan." Nasi telah menjadi bubur, dan tak akan menjadi nasi kembali. Kenapa ia tidak pernah sadar? Kenapa penyesalan itu, selalu datang terakhir? Rama merenung. Ia terlempar ke insiden dimana ia, menjadi anak yang durhaka kepada Tuhan dan orang tuanya.
Matanya terpejam sebentar, dan membuka kembali. Butiran air mata penyesalan pun turun membulir di pipinya.
"Ramaaa lihat? Tangan mamamu bergerak." Pak Qadar, ayahnya memberitahu. Rama tersadar, lalu kembali fokus pada Sang mama tercinta.
"Dokterrr… Dokterrr…" Pak Qadar memanggil-manggil dokter.
Tak lama, Dokter datang bersama suster. Mereka langsung memeriksa kondisi Bu Laila. Setelah selesai, terlebih dahulu dokter menyunggingkan senyum bahagia.
"Allhamdulillah, Bu Laila sudah melewati masa kritisnya. Bapak dan Adik, sudah bisa berbicara dengan Ibu. Tapi, jangan terlalu memaksakan Bu Laila untuk berbicara, ya? Pelan-pelan saja dulu!" jelas Dokter memberitahu.
Rama dan Pak Qadar menghembuskan nafas lega. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Dokter dan Suster. Dokter dan suster pun tersenyum, lalu pamit untuk memeriksa pasien lainnya.
***
Perlahan, mata Bu Laila mengerjab-ngerjab berusaha untuk dapat melihat dengan jelas. Bibirnya sambil berkomat-kamit mengucapkan Asma Allah. Kemudian, matanya menangkap sosok anak dan suami tercinta.
"Ra… Ra… Ma… " ucapnya terpatah-patah.
"Ma… maafkan Rama, Ma! Rama menyesal. Rama memang anak durhaka. Gara-gara Rama, mama jadi begini. Rama sayang sama mama. Rama nggak mau mama pergi. Rama janji, Rama akan turuti semua kemauan mama. Rama janji, Ma!" ucapnya to the point dan serius, sambil terisak.
Air mata Bu Laila jatuh membulir di pipi. Ia terharu mendengar perkataan anak semata wayangnya. Pak Qadar ikut menitikkan air mata. Mereka mengelus-ngelus kepala Rama, dengan penuh kasih sayang.
"Benar, kamu akan turuti kemauan mama?" tanya Bu Laila tak kalah serius. Rama menggangguk mantab. "Kalau begitu, mama mau kamu masuk pondok pesantren, nak! Setiap orang tua sangat menginginkan anaknya menjadi anak yang sholeh. Mungkin dari Pondok Pesantren, kamu akan menjadi yang lebih baik, nak! Hanya itu permintaan mama. Seterusnya mama tidak akan minta apa-apa lagi dari kamu!" lanjutnya.
"Rama, ayah sama mama punya sahabat ustadz di sebuah pondok pesantren. Namanya Pondok Pesantren Modern Al-Mizan. Didikkan di pondok pesantren itu, bagus, nak! Ayah sama mama percaya sama pondok pesantren itu. kita ingin kamu mondok disana, nak! Kalau kamu mau, ayah sama mama akan masukkan kamu disana. Kita akan menitipkan kamu sama sahabat ayah." Jelas Pak Qadar.
Sejenak Rama diam. Ia berpikir dan menimang-nimang keputusannya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin berubah. Tekatnya sudah bulat, untuk membahagiakan orang tuanya. Terutama mamanya.
"Rama mau Ma, Yah!" ucapnya kemudian dengan suara lugas dan mantab.
Allhamdulillah. Bu Laila dan Pak Qadar mengucapkan syukur. Tak menyangka, anak semata wayangnya, akan mengucapkan sebuah kalimat yang selama ini mereka idam-idamkan.
***
The End
PROFIL PENULIS
Nama saya Najla Putri Mawaddah. Lahir di Tangerang, 31 Januari 1996. Sedang bersekolah di sebuah pondok pesantren Modern Al-Mizan Putri, yang terletak di Cikole-Pandeglang. selama ini saya mempublikasikan karya saya di mizan post, majalah al-mizan. da jaringan sosial lainnya. saya berharap, kamu kamu yang membaca menyukai karya saya ini. bagi yang mau bersilaturrahmi hayu silakan, mampir ke facebook dan twitter saya, story_najlapm@hotmail.com
Baca juga Cerpen Islam yang lainnya.