Kemeja Putih Bergaris Dua - Cerpen Ayah

KEMEJA PUTIH BERGARIS DUA
Karya Erfani Nusapati

Aku hanya bisa mendengar tanya saling bersahut di benakku tanpa jawab, saat sikap demi sikap Bapak semakin jauh dari aslinya. Utamanya menjelang lebaran kali ini.
“Pokoknya, belikan Bapak kemeja putih bergaris dua!”
Tak mudah menjumpainya. Semua toko baju sepakat, tak ada baju putih yang garisnya cuma dua. Yang ada, baju putih bergaris-garis.

Di sudut simpang setengah talam, sebuah toko tua terhimpit di antara ruko-ruko beton. Toko yang terkesan mengacau denah dan konstruksi pasar yang kini serba baru itu. Ada beberapa helai baju putih tergantung rapi di etalase kaca. Sepertinya bergaris dua. Benar saja. Ada dua helai baju putih yang bergaris dua di situ. Entah apa hubungan baju itu dengan perlengkapan tajhiz yang adalah dagangan utama toko itu. Termasuk kembang-kembang untuk tabur bunga dan beberapa batu nisan.
“Untuk siapa baju itu, De’?” tanya pemilik toko separuh baya yang berpeci hitam kusam itu. Ada kesan serius yang meraut di wajahnya mengiringi pertanyaan.
“Untuk Bapak saya Pak.” Jawabku singkat, sembari menyerahkan selembar uang pecahan berwarna biru dan selembar lagi berwarna hijau.
Tak peduli di toko apa aku peroleh baju itu, yang jelas aku lega.
Bapak datar saja, padahal pintanya yang aneh itu telah terwujud. Tak penting mengusut.
***

Dua tahun sudah Ibu pergi. Tapi tanggungan Bapak baru selesai, seiring dinikahkannya si Bungsu setahun lalu. Anaknya yang enam orang itu sekarang beralih memikul hidup Bapak. Meski Bapak sadar, hanya kepada dua orang anak laki-lakinyalah ia berhak merebah renta.
Tahun ini, Bapak genap 70 tahun. Tapi raganya tak ubah kuli. Masih tersisa otot kekar di bahunya. Penglihatan belum pudar. Telinga pun masih tajam. Tapi kerutan leher dan dahi tak mampu ia lawan, sebagaimana helai rambutnya yang dibiarkan memutih.
Darah muda seolah semakin deras, seiring dedaunan yang setangkai dengannya telah lama gugur. Apalagi tak dapat dihitung orang yang sepakat menilainya gagah.
***

Pintu dapur itu memang sudah rusak. Ia tak tertutup sempurna. Dari sela pintu itu sering terlihat Bapak duduk rapuh. Sebuah cangkir hitam yang biasanya hanya beralih dari tangan Ibu ke Bapak saja, kini tergeletak seolah tak bertuan. Sesekali ia menyeduh kopi sendiri. Ada air mata pilu yang ikut diminumnya bersama secangkir kopi seduhannya itu. Bapak memang terbiasa dilayani makan dan minumnya hanya oleh Ibu. Akan berbeda rasanya, jika sesuap nasi itu hadir dari tanganku atau anaknya yang lain.
“Jannah, mana Bapak?”, seketika teh Nur hadir mengusik desisku.
“ada di dapur”
Ada serantang makanan yang disinggahkannya sebelum menjemput anaknya di sebuah Sekolah Dasar di kampung ini. Rutin memang.
Bapak terlihat tawar. Makanan itu hanya sekadar menyapa lambung. Setidaknya bukan angin yang bersarang.
***

Di rumah yang berpagar bambu itu, Bapak tak sendiri. Udi, adik laki-lakiku beserta istrinya tinggal pula di sana. Baru sebulan ini rumah itu bertambah seorang anggota lagi. Udi dikaruniai anak pertamanya. Aku sangat prihatin. Udi belum lagi berpenghasilan. Ada bekas kandang ayam di belakang rumah. Kadang itu rusak disapu puting beliung beberapa tahun lalu. Tapi masih bisa direhab dan diisi kembali.
Udi terlihat cerah, saat kartu elektronik bank bercorak hijau muda itu Aku serahkan kepadanya. Ada Rupiah 35 juta di dalamnya.
“Mulailah rehab dan isi kandang itu, jangan pikirkan bagaimana mengembalikannya, yang penting tekuni usaha!”, ungkapku dalam.
Seutas senyum di parasnya, menggantikan kalimat syukur yang sungguh. Udi memang lebih terbiasa diam. Sifat yang diwarisinya dari Bapak. Bahkan saat usahanya kandas dulu, tak banyak yang segera tahu.

Memang tak mudah memulai. Usaha Udi kembali merangkak jatuh. Kandang kebakaran. Lebih sepertiga isinya hangus. Tapi bagiku itu luar biasa. Kobaran api pada malam menjelang sahur itu terbilang hebat dan cukup untuk membakar semua ayam yang masih seukuran genggaman itu. Walhasil, modal pun hanya separuhnya yang kembali.
***

Pagi itu Senin 10 September 2012. Lebaran sudah berlalu 3 minggu. Tak satupun pakaian pemberian Kami yang pernah Bapak kenakan saat lebaran. Tak juga kemeja putih bergaris dua yang pernah dimintanya dulu. Kecuali pagi ini. Memang tergesa-gesa, tapi Bapak sangat rapi dengan kemeja putih bergaris dua itu. Ada sekarung beras ukuran 5 kg yang ikut dipersiapkannya. Beberapa ekor ayam sisa panen kemarin, pun tampak sudah diikat dan akan segera dibawa. Motor matic putih yang sebelumnya terlihat lusuh, sudah mengkilat. Bapak sempat mencucinya tadi subuh. Tapi itu masih biasa. Kecuali saat Bapak berbincang serius dengan Udi.
“Bapak pinjam uangmu Rp 3 juta!”
“Ini uang Teh Jannah, Pak. Sisa modal kemarin!” tolak Udi, lirih campur cemas. Udi sangat tahu, pinjam Bapak berarti pinta.
“Kamu ini mau kualat lagi sama Bapak. Tidak ingat kadangmu kebakaran dulu. Itu gara-gara kamu pelit sama Bapak. Bapak kan minta seratus ribu, kok hanya dikasih lima puluh ribu!”
Udi tersayat. Kini sudah tak mungkin menolak. Terngiang lagi di benaknya, kobaran api di kandang ayam akhir Ramadan lalu. Saat Bapak membumbung tinggi, dan bersumbar lantang “kualat kamu, kualat kamu”. Sementara dirinya harus bertaruh nyawa menerobos kobaran api padahal tabung gas hijau hanya menunggu detik-detik meledak dari dalam kobaran. Walau akhirnya padam, tapi sumbar Bapak masih serupa sembilu. Sumbar itu pula yang membuatnya tak berdaya kala Bapak berkehendak sesuatu darinya.

Bapak bergegas pergi. Meninggalkan wangi melati yang merambat di semua sudut rumah. Biasanya hanya untuk Jum`atan dan `Ied saja.
Mang Suri rupanya sudah menunggu di luar. Mereka melaju cepat. Motor terlihat sesak. Termasuk tiga ekor ayam tercangking di belakang.
***

Kala itu, mega Kamis senja masih tersisa, merangsek memadati magrib Jumat. Keenam orang anak Bapak dan beberapa cucu berduyun memadati rumah bercat seadanya itu. Tidak biasa memang berkumpul malam Jumat di rumah Bapak. Tapi gelisah anak-anak sudah tak mungkin dibendung. Bapak menikahi seorang janda beranak dua di kampung sebelah. Katanya sudah bercerai lama di Pengadilan. Muda memang. Bahkan tak separuh usia Bapak. Lebih dekat dengan usia Teh Nur. Anak ketiga Bapak.

Sampai akhirnya semua terjawab getir. Tak terbayang senja terpecah dari sudut rumah tua itu. Gemuruh panas bak lahar merapi. Bapak meradang sejadi-jadinya.
“Kalian semua anak durhaka, neraka jahanam. Bapak memang salah, nikah tidak bilang-bilang. Tapi tidak berarti kalian berhak melarang Bapak menikah. Kalian tidak tahu penderitaan Bapak selama ini, minum sendiri, makan sendiri. Kalian tahu, tak seteguk air pun yang Bapak minum kecuali setetesnya air mata. Giliran Bapak ingin punya isteri kalian selalu melarang. Bukannya mendukung dan ikut senang Bapak ada yang merawat, malah berkata yang bukan-bukan kepada Bapak, percuma kalian Bapak didik selama ini!”

Sejatinya anak-anak sudi Bapak menikah sekadar untuk memangku rentanya. Bukan sekadar usia. Tapi ada sederat tanggung jawab memelihara dua orang anak itu yang jelas tak mungkin dipikul. Apalagi perempuan itu rela dinikahi asal menerima kedua anaknya sebagai anak Bapak juga. Padahal untuk menyelai sebatang kretek saja, Bapak sudah kalang-kabut. Menikah pun uang dari anaknya.
Beberapa minggu sudah berlalu. Tapi Bapak lebih sering terlihat makan dan minum sendiri. Bahkan kadang-kadang singgah bak penyamun di rumah teh Nur, membongkar isi tudung saji, sekadar membuang lapar.

Udi pernah mengeluh. Modalnya yang tinggal separuh itu, kembali dipinjam Bapak. Katanya untuk modal usaha. Tapi Udi pasrah. Sebagaimana ia tak dapat berbuat apa, saat sepetak ladang di depan rumah akhirnya dijual.
***

Diam-diam Teh Nur baru saja menghampiri isteri Bapak di rumahnya. Di kampung sebelah. Ia bermaksud menyampaikan kondisi yang sebenarnya tentang Bapak. Selebihnya ingin mengenal agak luas siapa gerangan janda muda yang baru saja menjadi Ibu tirinya itu.
“Pak, Sunarti itu berbohong. Dia tak pernah bercerai di pengadilan. Dia hanya bercerai di hadapan RT. Baru bulan Juli kemarin. Saat Bapak menikahinya, belum lewat masa iddah. Haram pak hukumnya. Apalagi dia itu memang dari keluarga yang tidak benar, Bapaknya saja bandar judi. Bapak mau berdampingan dengan pembohong. Kalau dari awal sudah bohong, seterusnya akan bohong lagi pak!” terang teh Nur, bercampur isak berbaur sedu.
Kekalutan kembali menyeruak dari bilik tamu. Bapak jelas tak terima. Neraka jahanam kembali disumbar. Kini anak-anak tak lebih berharga dari istrinya itu.
Tapi sudah terlanjur basah. Kami tetap mendesaknya memutus perkawinan. Aku meminta suamiku datang menjelaskan tentang akta cerai yang acap kali didengungkan isterinya itu. Kali ini Bapak seharusnya menerima penjelasan menantu yang memang bekerja di Pengadilan.
Hanya secarik kertas folio bergaris. Tulisan tangan biasa. Tak ada yang bisa disebut resmi. Judulnya Surat Talak.
“Pak, kalau akta cerai yang dimaksud itu adalah kertas ini, maka ini pasti bukan akta cerai.” terang suamiku.

Bapak tersudut. Kemudian mencongak agak tinggi. Ada resah yang parah di benaknya.
“Kenapa kamu ikut campur urusan Saya!” bentaknya keras.
Kini Kami merasa tak cuma kehilangan Ibu. Bapak pun hanya tinggal raga kasat. Jiwa dan batin halusnya telah mati dibius janda pembohong itu. Akal sehatnya telah diperkosa nafsu buta. Tak seharusnya kebohongan perempuan itu ia tutupi, apalagi dibela.

Aku sadar ini ujian. Aku sangat takut, jika kesimpulanku senilai putus asa. Yang jelas, Kami telah menarik diri dari keputusan Bapak. Bapak tak semestinya lupa, betapa hubungannya dengan Kami, jauh lebih suci ketimbang dengan isterinya itu. Orangtua rela berbuat apa saja demi anak. Bukan sebaliknya mengorbankan anak-anak demi orang lain.
***

Aku sampai tak ingat hari, saat Sunarti tiba-tiba telah berada di depan pintu kontrakanku.
“Awal puasa lalu Bapakmu menabrak anak Saya, hingga luka sangat parah. Kritis. Saat itu anak Saya baru pulang dari membeli kemeja putih bergaris dua. Entah mengapa ia sangat ingin memakai baju itu bersama-sama ayahnya. Namun uang yang ia punya baru bisa membeli sehelai saja. Katanya “Ayah biar beli sendiri aja, cuma memakainya sama-sama nanti”. Hubungan anak Saya dengan ayahnya sangat dekat. Ayahnya kala itu masih menjadi TKI di Arab. Tapi sudah akan kembali sehabis lebaran.”
“Bagi Saya pun anak itu adalah tulang punggung. Saya tak percaya ia mengalami musibah separah itu. Saya pun baru puas kalau Bapakmu juga merasakan apa yang Saya rasakan. Saya bertekad berbuat yang sama terhadap kalian jika Bapakmu tidak bisa bertanggung jawab. Ternyata Bapakmu acuh. Sampai akhirnya Saya membakar kandang ayam di belakang rumahnya.”
“Baru Bapakmu yakin. Saya bukan sedang main-main. Saya bisa berbuat yang sama terhadap anaknya. Bapakmu pun benar-benar takut. Tentu bukan takut kandangnya, tapi anak-anaknya. Sejak itu ia mulai sering bersama Saya. Merawat anak Saya yang telah berwangi Izrail. Menanggung biaya rumah sakit dan pengobatan. Membelanjakan segala kebutuhan keluarga Saya. Saya dan Bapakmu pun sepakat melakukan apa saja, agar seolah-olah telah menikah.”
“Belakangan Saya mulai sadar. Takdir Tuhan tak ada yang gagal. Itu pun berkat Bapakmu yang kerap menasihati. Saya selalu tak sanggup menahan haru, saat anak Saya untuk kesekian kalinya mengenakan baju putih bergaris dua itu dan meminta Bapakmu turut pula mengenakan baju yang sama. Ia mengira itu ayahnya. Lara batin Saya semakin menghujam tiada tara, manakala Bapakmu telah mengenakan baju itu, dan anak Saya pun meninggal di pangkuannya.”
“Saya merasa bersalah terhadap Bapakmu. Memaksanya berbuat, lebih dari tanggung jawabnya. Tapi penyesalan itu tidaklah ada harganya, karena suami Saya secara tiba-tiba datang. Inilah yang Saya sebut petaka.”
“Semua tak bisa Saya tutupi. Suami Saya hilang kendali. Bapakmu berlari secepat yang ia mampu. Tapi dua roda berbadan besi itu bukan tandingannya. Bapakmu ditabrak secara disengaja. Kepalanya tepat membentur sebongkah batu”

Aku kosong dan keruh. Gemuruh sesal menghantam raga, merobohkan karang benci yang sebulan ini menyihir jiwa. Kefitrahan rahim tak hanya milik ibu. Tak sependek ari-ari.
Kalut di benakku kambuh lagi. Masih ada yang tak kumengerti. Lelaki separuh baya berpeci hitam lawas itu sedari awal sudah tiba melayat. Ada dua paket tajhiz dibawanya. Ia Pemilik toko itu. Seolah telah menghapal peristiwa hari ini, seiring dua helai kemeja putih bergaris dua di tokonya laku dibeli oleh anak Sunarti dan oleh Bapak.
***************************

Serang, 16 Oktober 2012~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

PROFIL PENULIS
Nama :  Erfani Nusapati
Kelahiran Pontianak 20 Oktober 1985.
Alumnus Tebuireng Jombang.
Share & Like