Badminton is My Life - Cerpen Motivasi

BADMINTON IS MY LIFE
Karya Diah Alifah

Vanila Nathania, panggil saja Vanila. Usiaku masih 9 tahun, diusiaku yang sekarang aku sudah masuk di salah satu klub badminton ternama. Ya, badminton adalah hobiku sejak kecil. Liliyana Natsir, dialah salah satu atlet badminton favoritku. Bila sudah besar nanti, aku ingin seperti beliau yang bisa mengharumkan nama Indonesia. Sepulang sekolah, aku lagsung menuju ke tempat latihan. Tak ada kata lelah dalam kamus kehidupanku. Aku beruntung mempunyai keluarga yang selalu mensuport ku.
“Vanila, nanti kamu pergi latihan diantar kak Rian ya. Mama nggak bisa antar kamu hari ini, ada keperluan mendadak. Ok sayang?”
“Ok ma,”
“Yasudah, cepat dihabiskan sarapannya. Semua perlengkapan untuk latihan, sudah mama masukkan ke mobil, bekal makan dan minum juga sudah siap.”

Mobil bergegas meninggalkan halaman rumah, perlahan mulai menjauh dari rumah. Mobilku telah memasuki gerbang sekolah. Pak satpam memberi hormat pada kak Rian. Sementara aku, masih saja asyik dengan iPad milikku. Mengapa ya hari ini aku malas sekali bersekolah, tubuhku lemas tak bergairah. Mungkin karena kemarin terlalu capek latihan, jadi seperti ini.
“Sudah sampai tuan Putri.” Ucap kak Rian sambil memberi hormat padaku
“Terimakasih pangeran kodok.” Jawabku dengan ucapan yang sedikit meledek, tetapi Kak Rian tetap tersenyum
“Kamu pulang jam berapa?”
“Jam 1 kak,”
“Kalau latihannya jam berapa?”
“Jam 2.30”
“Ok, nanti kakak jemput. Sebelum kakak datang, kamu jangan kemana-mana ya.”
“Iya kak,”

Benar dugaanku, kepalaku pusing bukan main. Bagaimana mau menyerap pelajaran kalau pusing seperti ini? mataku berkunang-kunang, semua yang ku tatap hitam, gelap. Aku terjatuh pingsan. Tubuhku digotong oleh pak Tio, guru yang sedang mengajar di kelasku. Aku dibaringkan di tempat tidur, entah tempat tidur yang dimana. Keringat dingin bercucuran di dahiku. Aku membuka kedua mataku. Bau minyak kayu putih membuat aku rileks dan merasa lebih ringan. Segelas teh manis hangat aku minum, beban di otakku perlahan-lahan menghilang. Beruntung pihak sekolah tidak menelepon mama atau papa, aku takut mereka khawatir dengan kondisiku yang seperti ini.

Bel pulang telah berbunyi. Aku keluar dari ruang UKS menuju ke kelasku untuk mengambil tas. Aku menunggu kak Rian di bawah pohon, sejuk sekali. Sambil menunggu, aku membaca komik conan favoritku. “Kak Rian lama banget, semoga aku tidak telat latihan.” Ucapku dalam hati. Aku membuka kotak makanku, capcay. Aku langsung menyantap bekalku, saat sedang serius makan, mobil kak Rian datang. Aku masuk dan melanjutkan makanku yang tertunda.
“Are you Ok?”
“Yes, I’m ok.”
“Wajah kamu kok pucat banget, kamu pusing?”
“Nggak kak, aku nggak kenapa-napa.”
“Nggak usah latihan dulu ya,”
“Latihan kak, aku masih fine fine aja kok.”

Setelah sampai di tempat latihan, aku langsung menuju kamar ganti untuk berganti pakaian. Pelatih dan teman-temanku sudah duduk manis di lapangan. Sepertinya aku telat hari ini. Tak apalah, tak ada kata telat dalam mengejar ilmu. Pelatihku, pak Ichan mempimpin do’a untuk memulai latihan hari ini, lalu streching. Trik demi trik untuk mengelabuhi lawan pak Ichan ajarkan, aku memperhatikan dan mencobanya. Ketika sedang berlatih membuat pukulan smash, hidungku mengeluarkan darah. Hal itu membuat teman-teman dan pak Ichan panik. Aku dipinggirkan dari lapangan. Beruntung kak Rian masih menunggu di mobil, sehingga aku dapat segera pulang hari ini.

“Tuh kan mimisan. Kakak bilang apa, jangan latihan dulu hari ini, kondisi kamu nggak fresh hari ini.”
“Tapi, sebentar lagi aku ikut junior competition, jadi aku harus latihan dengan rajin.”
“Tapi jangan dipaksain juga,”
***
Masuk rumah sakit. Aku nggak mau masuk ke dalam sini, aku ‘kan masih sehat. Besok ada perlombaan, berarti aku tak bisa ikut. Padahal perlombaan ini yang aku tunggu-tunggu. Mengapa bisa masuk rumah sakit sih?

Kalian tau penyakit leukimia gak? Kalau kemoterapi tau nggak? Kata-kata itu belum pernah aku dengar, dan masih aneh kudengar. Sejak aku masuk rumah sakit, semua yang menjenggukku selalu berkata kata-kata aneh itu. Sebenarnya aku sakit apa?
“Ma, leukimia itu apa sih? Sakitnya parah nggak ma? Besok aku udah bisa pulang ‘kan ma?”
“Leukimia itu kanker darah sayang. Penyembuhannya lama dan sangat berat untuk anak sekecil kamu. Kamu harus tetep sabar, terus berdoa ya sayang.”
“Kanker darah ma? Aku takut ma,”
“Kenapa kamu takut sayang? Penyakit ini bisa sembuh kok, dengan syarat rajin minum obat, makannya yang banyak dan sehat. Dan kamu harus rajin kemoterapi-nya,”
“Kemoterapi itu apa sih ma? Aneh banget namanya,”
“Kemoterapi itu salah satu cara untuk menghancurkan sel kanker,”
“Sakit nggak ma kemoterapi itu?” tetapi mama hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaanku. Tuhan, penyakit apa ini? mengapa keluarga yang datang menjenggukku selalu mengeluarkan air mata? Separah apa penyakit ini?
***
Sudah beberapa bulan aku berada disini. Tubuhku semakin lama semakin menyusut. Rambut panjang yang dulu aku banggakan kini hanya kenangan saja. Hari demi hari aku jalani di tempat tidur ini.

Pintu kamarku diketuk seseorang. Pintu dibuka oleh mama, seseorang yang berambut cepak, bertubuh tinggi, kulit putih bersih. Oh my God, Liliyana Natsir!! Tanpa pikir-pikir lagi, aku memeluk tubuh sang idola. Dekapannya hangat. Mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan beliau? Aku malu. Malu dengan kondisiku yang penyakitan. Aku tak bisa menunjukkan ke beliau smash andalanku, aku tak bisa menunjukkan permainan-permainan terbaikku. Mengapa aku harus bertemu dengannya saat aku sedang sakit?
“Hallo.. nama kamu siapa?”
“Vanila kak,”
“Vanila Nathania??”
“Iya kak, aslinya kak Liliyana cantik juga. Coba aja rambutnya panjang, pasti lebih cantik deh kak.”
“Oh ya?”

Dibalik penampilannya yang tomboy, ternyata kak Liliyana baik dan enak diajak ngobrol lho. Beliau terus menyemangatiku. Senangnya.. ketika sedang asyik berbincang, kepalaku sakit. Kak Liliyana panik melihat kondisiku. Pandanganku gelap. Aku terjatuh pingsan.

Alat-alat mulai terpasang ditubuhku. Suara tangisan terdengar. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an terus dibacakan. Aku hanya bisa mendengar, itupun samar-samar. Beberapa jam aku pingsan, aku terbangun. Disebelahku kak Liliyana masih duduk manis menunggu aku sadar. Semua anggota keluarga yang berada dikamarku menangis haru, air mataku juga ikut berlinang.

Beberapa menit setelah aku tersadar, kondisiku kembali memburuk. Kali ini bukan pingsan, tetapi koma. Aku bermimpi saat aku menjuarai pertandingan nasional junior, saat aku berdiri di podium juara, lengkap dengan piala yang aku genggam erat. Setelah itu, aku keluar dari lapangan untuk berganti pakaian. Seseorang tiba-tiba menarik tanganku. Ketika aku menengok kebelakang, aku kaget. Wajahnya sangat cantik, seperti bidadari.
“Vanila, ayo ikut kakak.”
“Kemana kak?”
“Jalan-jalan ke taman bunga. Tapi, sebelum kamu ikut kakak, kamu izin dulu ya sama orangtua kamu.”
“Vanila mau langsung ikut kakak aja, orangtua Vanila pasti nggak khawatir.”
“Tapi kamu harus izin dulu Vanila,”

Tanpa izin ke orangtuaku, aku mengikuti jalan orang itu. Perjalanannya sangat jauh. Akhirnya aku sampai di taman bunga, indahnya tempat ini. aku bermain di taman ini dengan wanita cantik itu. Rasanya aku tak ingin pulang.
“Vanila, kamu pulang dulu ya. Kamu minta izin dulu ke orangtua kamu. Kalau kamu sudah diizinkan, kamu boleh kesini lagi.”
“Yasudah kak, Vanila pulang dulu.”

Aku tersadar. Tubuhku sangat lemas. Mimpi itu sangat nyata kurasakan.
“Ma, Pa, Kak Rian, Kak Liliyana, maafin semua kesalahan Vanila. Vanila udah banyak salah. Vanila udah gak kuat lagi, Vanila mau pergi.” Ucapku lemah.
“Iya sayang kami sudah maafin semua kesalahan kamu. Kalau Vanila mau pergi, pergi saja kami sudah ikhlas. Pergilah dengan tenang sayang.” Ucap mama
“Vanila sayang, meskipun kamu belum bisa jadi atlet, tapi kakak yakin Indonesia bangga mempunyai kamu yang semangat pantang menyerah. Teruslah bermimpi Vanila. Semoga kamu bahagia di alam sana. Kakak sayang kamu,” Kak Liliyana ikut bicara sambil meneteskan air mata
“Kak Liliyana, papa, mama, kak Rian, kalian nggak boleh nangis. Kalau kalian nangis Vanila juga ikut sedih. Hapus air mata kalian,”

Terimakasih kalian sudah sabar menyemangati Vanila. Kalian harus janji, bila Vanila pergi kalian harus ikhlas dan tegar. Aku udah nggak kuat lagi. Impianku menjadi atlet seperti kak Liliyana sudah tinggal angan-angan. Vanila mau pergi sekarang. Vanila sayang kalian. Thanks for everything..
 Vanila Nathania.

Aku menulis surat terakhirku. Semoga saja surat itu dapat menggantikan kehadiranku. Kenangan-kenangan selama aku hidup sangatlah manis untuk diingat. Tepat pukul 5 sore aku kembali ke taman bunga, tanpa kembali lagi. Pukul setengah enam sore, aku menghembuskan nafas terakhir.

PROFIL PENULIS
Nama: Diah Alifah
Kelas: VIII
Sekolah: SMPN 35 Jakarta Timur
Hobi: Menulis cerpen, Membaca

Baca juga Cerpen Motivasi yang lainnya.
Share & Like