PENANTIAN SEMU DI JALAN SETAPAK
Karya Resty Wahidah
Sore ini aku pulang kuliah agak cepat dari biasanya karena Ibuku menelpon kalau ayahku kumat lagi sakitnya.
“Ibuk gimana keadaan bapak buk ?” tanyaku cemas.
“bapakmu udah baikan nak, maaf ibuk udah ganggu waktu kuliah kamu” ujar ibu yang terlihat lesu.
Aku hanya duduk diam disamping ibu sambil memikirkan biaya untuk pengobatan bapak, keluargaku dulu termasuk keluarga kaya tetapi semenjak bapak sakit-sakitan perusahaan bapak dikelola pamanku karena pada waktu itu aku masih SMA dan sampai aku kuliah semester 2 perusahaan bapak bangkrut karena paman ditipu mentah-mentah oleh rekan bisnisnya.
Aku walaupun bukan anak pertama tetapi aku adalah lelaki yang harus bertanggung jawab atas keluargaku. Kedua kakakku dapat beasiswa untuk kuliah di Brunei. Mereka juga sambil bekerja disana dan tiap bulan mengirimi kami uang. Tapi aku tidak bisa terus mengharap kiriman kakak-kakaku.
Siang ini aku keruang dosen dan mengambil cuti kuliah sampai semester depan karena aku harus mencari pekerjaan.
“Ibuk gimana keadaan bapak buk ?” tanyaku cemas.
“bapakmu udah baikan nak, maaf ibuk udah ganggu waktu kuliah kamu” ujar ibu yang terlihat lesu.
Aku hanya duduk diam disamping ibu sambil memikirkan biaya untuk pengobatan bapak, keluargaku dulu termasuk keluarga kaya tetapi semenjak bapak sakit-sakitan perusahaan bapak dikelola pamanku karena pada waktu itu aku masih SMA dan sampai aku kuliah semester 2 perusahaan bapak bangkrut karena paman ditipu mentah-mentah oleh rekan bisnisnya.
Aku walaupun bukan anak pertama tetapi aku adalah lelaki yang harus bertanggung jawab atas keluargaku. Kedua kakakku dapat beasiswa untuk kuliah di Brunei. Mereka juga sambil bekerja disana dan tiap bulan mengirimi kami uang. Tapi aku tidak bisa terus mengharap kiriman kakak-kakaku.
Siang ini aku keruang dosen dan mengambil cuti kuliah sampai semester depan karena aku harus mencari pekerjaan.
Aku melewati jalan pintas untuk pulang kerumah yaitu jalan setapak yang dikelilingi sawah.
Brukk… tiba-tiba seseorang menabrakku “mm..mmaaf saya nggak sengaja” suara yang lembut itu berkata padaku.
Aku bengong tenyata didepanku ada wanita cantik dengan senyumnya yang manis. “hey kok bengong sih…?” wanita itu membuyarkan lamunanku.
“nggak…nggak ada apa-apa”.
“maaf ya tadi aku buru-buru habis jalannya juga kecil gini sih”.
“kamu mau kemana ?” tanyaku.
“aku mau kekantorku soalnya udah telat banget makanya lewat sini”.
“kantornya dimana ?” tanyaku lagi.
“diCempaka Putih”.
“wah dekat dari rumah saya itu, hmmm kenalin saya Bagas” sembari mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“saya Zilfa”.
Semenjak perkenalan itu kami sering bertemu sampai-sampai aku lupa dengan niatku untuk mencari pekerjaan, aku jadi rajin lewat jalan setapak ini. Seminggu berlalu aku sudah mendatangi banyak tempat untuk melamar kerja tapi tak ada satu pun yang menerima lamaranku sampai akhirnya aku hampir putus asa ditambah Bapak harus dirawat inap dirumah sakit dan itu tentunya menambah biaya. Tapi syukur Alhamdulillah pamanku mau membiayai separuh pengobatan bapak.
Malam ini aku benar-benar putus asa dan tak tau lagi harus bagaimana. Aku duduk di café dekat kampus dan disana ada Zilfa dengan seorang laki-laki, mereka menghampiriku dan itu membuat denyut jantungku menggebu karena cemburu. Aku menyukai Zilfa dari pertama aku melihatnya.
“eh Bagas,disini juga” sapanya tersenyum.
”hmm.. iya.kamu ngapain disini ? lagi pacaran ya ?” tanyaku dengan senyum pahit.
”aahh nggak kok kami Cuma dinner aja. O iya ini temen kantor aku”.
“Gio..” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Bagas”..
“gimana Gas, udah dapet kerja ?”.
“belum Fa, aku udah bingung mau kemana lagi” jawabku dengan wajah tak bersemangat.
“kamu butuh pekerjaan ?” Gio menanyaiku. “iya Gi, si Bagas lagi butuh pekerjaan untuk biaya ayahnya” Zilfa menjawab pertanyaan Gio.
Pagi ini aku dan Zilfa berbarengan pergi kekantor melewati jalan setapak yang biasa kami lewati. Sampai dipersimpangan kami berpisah karena tempat kerja kami berbeda. Aku sekarang bekerja di perusahaan saham milik teman Gio. Gajinya lumayan cukup untuk biaya pengobatan Bapak. Aku berutang budi pada Gio. Tiga bulan berlalu, aku bersyukur pekerjaanku lancar dan Zilfa makin dekat denganku. Aku membawanya kerumah untuk ku kenalkan pada Bapak dan Ibuku. Mereka sangat bahagia melihat Zilfa.
“wahh, Bagas pintar ya cari pacar secantik nak Zilfa ini” ujar ibu dengan tersenyum bahagia, aku terkejut Ibu mengira Zilfa adalah pacarku.
“aahh Ibu nggak kok, biasa aja” Zilfa membalas senyum ibu tampaknya dia tidak memperdulikan omongan Ibu.
Sorenya aku mengantar Zilfa pulang , dijalan Zilfa Nampak murung.
“kamu kenapa Fa ? maaf ya Ibuku terlalu berlebihan sama kamu” aku menatap matanya dan diapun menangis.
“nggak apa-apa kok Gas, malah aku seneng”.
“kalo seneng kok nangis ?” tanganku menyeka air mata Zilfa.
“aku Cuma kangen Ibuku saja Gas, sudah 2 tahun dia meninggal” Zilfa memegang tanganku dan memelukku.
Seketika itu aku merasa dunia begitu indah denyut jantungku tak menentu, akupun memeluk erat tubuhnya dan membiarkan dia menangis dipelukanku, jalan setapak ini jadi saksi bisu aku dan Zilfa. Besoknya aku berangkat kerja dan tidak bertemu dengan Zilfa. Aku mengira bahwa mungkin Zilfa sudah duluan pergi. Begitu dihari seterusnya aku tidak pernah bertemu Zilfa. Pulang dari kantor aku kerumah Zilfa dan disana ada Gio.
“Bagas, ada apa?” Tanya Gio.
“saya mau ketemu Zilfa”.
“kamu nggak tau ya, Zilfa kan ke Taiwan dia dipindah tugas dari kantornya”.
Aku kaget mendengarnya dan marah kenapa Zilfa tidak memberitahuku. Setidaknya dia mengirim pesan padaku. Pantas saja nomor HP nya tidak aktif. Sejak saat itu aku benar-benar kecewa, Ibu terus menanyai Zilfa.
Setiap hari aku menatap jalan setapak yang biasa kami lalui dan berharap Zilfa akan memberiku kabar. Sebulan berlalu, sebentar lagi aku harus masuk kuliah. Sebelum tidur aku membuka laptopku dan membuka email, ada pesan masuk ternyata itu dari Zilfa.
“Assalamualaikum Bagas Widiatmoko, maaf sebelumnya aku tidak memberitaumu kalau aku pindah tugas. Jujur sejak saat itu aku selalu merindukanmu tapi aku takut rasa itu akan terus membayangiku karena aku sudah bertunangan dengan Gio dan aku tidak mau mengecewakan Gio. Sampaikan salamku untuk ayah dan Ibumu. Aku dan Gio akan pulang keIndonesia minggu depan untuk acara pernikahan kami. Aku harap kau mau datang ke acara kami. Maaf jika pemberitauan ini mendadak. Salam kangen Zilfa”.
Aku benar-benar masih tidak percaya dengan isi pesan dari Zilfa. Dia akan menikah dengan Gio, hati kecilku tidak bisa menerima kenyataan itu tapi apa mau dikata, penantian dan harapan perasaanku pada Zilfa hampa. Tak ada lagi tawa canda dijalan setapak yang aku lewati. Ibu khawatir dengan keadaanku karena aku selalu murung dan tak mau makan.
Hari ini hari bahagia Zilfa dan Gio. Aku tidak tau apakah aku harus datang ke pesta mereka. Aku masih tidak terima dengan kenyataan ini.
“sudahlah Bagas, mungkin dia bukan jodohmu. Pergi saja kepernikahannya tidak enak sama Gio diakan sudah baik sama kamu” Ujar Ibu sembari mengelus kepalaku.
“tapi Buk.. Bagas sayang sama Zilfa, Bagas nggak bisa lihat Zilfa dengan orang lain Buk..” aku memeluk Ibu.
“Bagas, kamu tidak boleh egois, biarkan mereka bahagia”.
Akhirnya aku datang ke pernikahan Zilfa dan Gio, aku tak sanggup melihat mereka tapi aku harus tetap kuat.
“kamu datang juga Bagas” Gio menepuk pundakku.
“iya, selamat Gio,Zilfa semoga jadi keluarga bahagia” ucapku dengan senyum terpaksa.
Ingin aku menangis melihat Zilfa yang tersenyum padaku. Aku tidak boleh egois, Zilfa sudah jadi istri orang lain.
Zilfa menarik tanganku menjauh dari keramaian “bagaimana kabar bapak dan Ibumu ?” tanyanya. “mereka baik dan titip salam untuk kamu mereka nggak bisa datang” tanpa tersadar airmataku keluar. “nggak apa-apa, besok aku dan Gio akan kerumahmu. Bagas,, kamu nangis ?”. “mm.. nggak kok nggak”. “kenapa Gas ? cerita aja sama aku”.
“kenapa kamu memberi harapan semu padaku Fa ? aku kira selama ini kamu…” aku langsung mengutarakan perasaanku
“maaf Gas, aku tidak bermaksud untuk.. aku hanya… aahh aku minta maaf Gas jika kedekatan kita… aku tidak mengira kamu akan seperti ini.aku pikir kita hanya teman dekat” air mata Zilfa mengalir disudut matanya yang indah dengan riasan diwajahnya.
“nggak apa-apa Fa, aku ngerti kok. Selamat ya ! aku pulang” aku bergegas pergi.
Seminggu berlalu aku sudah bisa melupakan Zilfa, walau harus terluka melihatnya bermesraan dengan Gio. Dan sejak itu aku tidak pernah melewati jalan setapak yang penuh kenangan itu karena hanya akan mengingatkanku pada Zilfa.
“Tidak selamanya orang yang kita sayang berakhir dipelukan kita” begitulah kata Ibuk sembari mematikan lampu kamarku.
TAMAT
Brukk… tiba-tiba seseorang menabrakku “mm..mmaaf saya nggak sengaja” suara yang lembut itu berkata padaku.
Aku bengong tenyata didepanku ada wanita cantik dengan senyumnya yang manis. “hey kok bengong sih…?” wanita itu membuyarkan lamunanku.
“nggak…nggak ada apa-apa”.
“maaf ya tadi aku buru-buru habis jalannya juga kecil gini sih”.
“kamu mau kemana ?” tanyaku.
“aku mau kekantorku soalnya udah telat banget makanya lewat sini”.
“kantornya dimana ?” tanyaku lagi.
“diCempaka Putih”.
“wah dekat dari rumah saya itu, hmmm kenalin saya Bagas” sembari mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“saya Zilfa”.
Semenjak perkenalan itu kami sering bertemu sampai-sampai aku lupa dengan niatku untuk mencari pekerjaan, aku jadi rajin lewat jalan setapak ini. Seminggu berlalu aku sudah mendatangi banyak tempat untuk melamar kerja tapi tak ada satu pun yang menerima lamaranku sampai akhirnya aku hampir putus asa ditambah Bapak harus dirawat inap dirumah sakit dan itu tentunya menambah biaya. Tapi syukur Alhamdulillah pamanku mau membiayai separuh pengobatan bapak.
Malam ini aku benar-benar putus asa dan tak tau lagi harus bagaimana. Aku duduk di café dekat kampus dan disana ada Zilfa dengan seorang laki-laki, mereka menghampiriku dan itu membuat denyut jantungku menggebu karena cemburu. Aku menyukai Zilfa dari pertama aku melihatnya.
“eh Bagas,disini juga” sapanya tersenyum.
”hmm.. iya.kamu ngapain disini ? lagi pacaran ya ?” tanyaku dengan senyum pahit.
”aahh nggak kok kami Cuma dinner aja. O iya ini temen kantor aku”.
“Gio..” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Bagas”..
“gimana Gas, udah dapet kerja ?”.
“belum Fa, aku udah bingung mau kemana lagi” jawabku dengan wajah tak bersemangat.
“kamu butuh pekerjaan ?” Gio menanyaiku. “iya Gi, si Bagas lagi butuh pekerjaan untuk biaya ayahnya” Zilfa menjawab pertanyaan Gio.
Pagi ini aku dan Zilfa berbarengan pergi kekantor melewati jalan setapak yang biasa kami lewati. Sampai dipersimpangan kami berpisah karena tempat kerja kami berbeda. Aku sekarang bekerja di perusahaan saham milik teman Gio. Gajinya lumayan cukup untuk biaya pengobatan Bapak. Aku berutang budi pada Gio. Tiga bulan berlalu, aku bersyukur pekerjaanku lancar dan Zilfa makin dekat denganku. Aku membawanya kerumah untuk ku kenalkan pada Bapak dan Ibuku. Mereka sangat bahagia melihat Zilfa.
“wahh, Bagas pintar ya cari pacar secantik nak Zilfa ini” ujar ibu dengan tersenyum bahagia, aku terkejut Ibu mengira Zilfa adalah pacarku.
“aahh Ibu nggak kok, biasa aja” Zilfa membalas senyum ibu tampaknya dia tidak memperdulikan omongan Ibu.
Sorenya aku mengantar Zilfa pulang , dijalan Zilfa Nampak murung.
“kamu kenapa Fa ? maaf ya Ibuku terlalu berlebihan sama kamu” aku menatap matanya dan diapun menangis.
“nggak apa-apa kok Gas, malah aku seneng”.
“kalo seneng kok nangis ?” tanganku menyeka air mata Zilfa.
“aku Cuma kangen Ibuku saja Gas, sudah 2 tahun dia meninggal” Zilfa memegang tanganku dan memelukku.
Seketika itu aku merasa dunia begitu indah denyut jantungku tak menentu, akupun memeluk erat tubuhnya dan membiarkan dia menangis dipelukanku, jalan setapak ini jadi saksi bisu aku dan Zilfa. Besoknya aku berangkat kerja dan tidak bertemu dengan Zilfa. Aku mengira bahwa mungkin Zilfa sudah duluan pergi. Begitu dihari seterusnya aku tidak pernah bertemu Zilfa. Pulang dari kantor aku kerumah Zilfa dan disana ada Gio.
“Bagas, ada apa?” Tanya Gio.
“saya mau ketemu Zilfa”.
“kamu nggak tau ya, Zilfa kan ke Taiwan dia dipindah tugas dari kantornya”.
Aku kaget mendengarnya dan marah kenapa Zilfa tidak memberitahuku. Setidaknya dia mengirim pesan padaku. Pantas saja nomor HP nya tidak aktif. Sejak saat itu aku benar-benar kecewa, Ibu terus menanyai Zilfa.
Setiap hari aku menatap jalan setapak yang biasa kami lalui dan berharap Zilfa akan memberiku kabar. Sebulan berlalu, sebentar lagi aku harus masuk kuliah. Sebelum tidur aku membuka laptopku dan membuka email, ada pesan masuk ternyata itu dari Zilfa.
“Assalamualaikum Bagas Widiatmoko, maaf sebelumnya aku tidak memberitaumu kalau aku pindah tugas. Jujur sejak saat itu aku selalu merindukanmu tapi aku takut rasa itu akan terus membayangiku karena aku sudah bertunangan dengan Gio dan aku tidak mau mengecewakan Gio. Sampaikan salamku untuk ayah dan Ibumu. Aku dan Gio akan pulang keIndonesia minggu depan untuk acara pernikahan kami. Aku harap kau mau datang ke acara kami. Maaf jika pemberitauan ini mendadak. Salam kangen Zilfa”.
Aku benar-benar masih tidak percaya dengan isi pesan dari Zilfa. Dia akan menikah dengan Gio, hati kecilku tidak bisa menerima kenyataan itu tapi apa mau dikata, penantian dan harapan perasaanku pada Zilfa hampa. Tak ada lagi tawa canda dijalan setapak yang aku lewati. Ibu khawatir dengan keadaanku karena aku selalu murung dan tak mau makan.
Hari ini hari bahagia Zilfa dan Gio. Aku tidak tau apakah aku harus datang ke pesta mereka. Aku masih tidak terima dengan kenyataan ini.
“sudahlah Bagas, mungkin dia bukan jodohmu. Pergi saja kepernikahannya tidak enak sama Gio diakan sudah baik sama kamu” Ujar Ibu sembari mengelus kepalaku.
“tapi Buk.. Bagas sayang sama Zilfa, Bagas nggak bisa lihat Zilfa dengan orang lain Buk..” aku memeluk Ibu.
“Bagas, kamu tidak boleh egois, biarkan mereka bahagia”.
Akhirnya aku datang ke pernikahan Zilfa dan Gio, aku tak sanggup melihat mereka tapi aku harus tetap kuat.
“kamu datang juga Bagas” Gio menepuk pundakku.
“iya, selamat Gio,Zilfa semoga jadi keluarga bahagia” ucapku dengan senyum terpaksa.
Ingin aku menangis melihat Zilfa yang tersenyum padaku. Aku tidak boleh egois, Zilfa sudah jadi istri orang lain.
Zilfa menarik tanganku menjauh dari keramaian “bagaimana kabar bapak dan Ibumu ?” tanyanya. “mereka baik dan titip salam untuk kamu mereka nggak bisa datang” tanpa tersadar airmataku keluar. “nggak apa-apa, besok aku dan Gio akan kerumahmu. Bagas,, kamu nangis ?”. “mm.. nggak kok nggak”. “kenapa Gas ? cerita aja sama aku”.
“kenapa kamu memberi harapan semu padaku Fa ? aku kira selama ini kamu…” aku langsung mengutarakan perasaanku
“maaf Gas, aku tidak bermaksud untuk.. aku hanya… aahh aku minta maaf Gas jika kedekatan kita… aku tidak mengira kamu akan seperti ini.aku pikir kita hanya teman dekat” air mata Zilfa mengalir disudut matanya yang indah dengan riasan diwajahnya.
“nggak apa-apa Fa, aku ngerti kok. Selamat ya ! aku pulang” aku bergegas pergi.
Seminggu berlalu aku sudah bisa melupakan Zilfa, walau harus terluka melihatnya bermesraan dengan Gio. Dan sejak itu aku tidak pernah melewati jalan setapak yang penuh kenangan itu karena hanya akan mengingatkanku pada Zilfa.
“Tidak selamanya orang yang kita sayang berakhir dipelukan kita” begitulah kata Ibuk sembari mematikan lampu kamarku.
TAMAT
PROFIL PENULIS
Nama : Resty Wahidah
FB : Resty wahidah
FB : Resty wahidah
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.