IBUKU, MALAIKATKU
Oleh Dwi A.
Oleh Dwi A.
Bu Nina adalah seorang wanita karier yang bekerja di sebuah kafe sebagai wanita penghibur. Bu Nina berangkat kerja pada malam hari dan kembali ke rumah pada pagi hari. “Don, ibu belum pulang juga ya, kakak lapar sekali belum makan dari kemarin malam,” keluh Yanti. “Iya, Kak, biasanya ibu kan sudah pulang, ini sudah pukul 07.00 ibu belum juga ada, Doni jadi khawatir Kak,” jawab Doni dengan nada resah. Ternyata rasa khawatir Doni benar adanya. Mereka mendapat kabar dari tetangga bahwa ibu mereka sedang di rumah sakit. Doni dan Yanti begitu panik mendengar kabar itu, kemudian Doni dan kakaknya segera menuju ke rumah sakit. Di tengah perjalanan, Doni dan Yanti saling berpegangan erat menandakan kekhawatiran mereka. Anak dari Bu Nina itu hanya bisa berdoa pada Tuhan semoga ibu mereka dalam keadaan baik-baik saja. Setelah sampai di rumah sakit, Yanti dan Doni turun dari angkot yang ditumpanginya dan tidak lupa membayar pada sopir angkot. Untungnya uang yang Yanti bawa cukup untuk membayar sewa angkot. Mereka pun segera masuk ke rumah sakit dan bertanya di bagian informasi. “Mbak, saya mau cari ibu saya, Bu Nina,” “Ohh .. Bu Nina di kamar Kamboja Dik, dari sini lurus saja.” “Terima kasih Mbak,” sahut Yanti. Dengan terburu-buru mereka pun menemukan kamar ibunya.
Mereka melihat sang ibu terbaring tak berdaya di tempat tidur beralaskan seprai hijau khas rumah sakit. “Bu, apa ibu baik-baik saja?” tanya Doni perlahan. “Nak, maafkan ibu. Ibu sudah sangat jahat pada kalian. Ibu merasa sangat berdosa pada kalian. Ibu telah …” “Sudah Bu, jangan diteruskan, yang terpenting sekarang adalah keadaan ibu. Ibu sebenarnya sakit apa?” tanya Yanti memotong perkataan ibunya. “Nak, ibumu ini wanita hina, wanita seperti aku tidak layak dipanggil ibu,” jawab Bu Nina hingga tangisnya tak terbendung lagi. “Tidak, bagi kami ibu itu yang terbaik, kami sayang pada ibu bagaimanapun keadaannya karena ibu yang melahirkan kami. Ibu yang telah merawat dan memperkenalkan kami pada kehidupan di dunia ini. Kalau ibu tidak ada, kami tidak mungkin ada saat ini,” sahut Yanti dengan mata yang berkaca-kaca. “Nak, ibu sakit dan penyakit ibu tidak ada obatnya dan ini sudah sangat parah. Mungkin umur ibu tinggal beberapa hari lagi dan ibu akan dipanggil untuk menghadap Tuhan dan menerima hukuman dari-Nya.” “Maksud Ibu, Ibu sakit apa? Katakan!” desak Doni pada ibunya. “Doni, Yanti, ibu terserang HIV/AIDS positif dan itu sudah sangat parah. Virus-virus itu sudah menggerogoti tubuh ibu. Dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” jelas Bu Nina pada mereka. “Apaa? Separah itu, Bu? “Tidak .. itu tidak mungkin, pasti ada cara untuk menyembuhkan Ibu, Doni akan bayar berapa pun untuk kesembuhan ibu, mana dokter akan Doni panggil dia.” Doni begitu terpukul dengan berita yang dia dengar sampai-sampai lupa diri dan meluapkan amarahnya pada pihak rumah sakit. “Don .. Doniii, jangan emosi seperti ini, masalah tidak akan terselesaikan dengan amarah.
Kakak juga sedih dengan kenyataan ini,” nasihat Yanti pada adiknya yang masih berumur 17 tahun itu sambil mencegahnya untuk keluar dari kamar rumah sakit. Suasana saat itu begitu haru, Bu Nina yang sangat menyesal dengan perbuatannya makin bersedih karena melihat ketulusan anak-anaknya yang ternyata sangat menyayanginya tanpa ada rasa dendam sedikit pun pada perlakuannya dulu pada anak-anaknya. Suasana pun semakin haru saat mereka saling berpelukan melepas rasa sedihnya. Yanti yang begitu sayang pada Bu Nina dengan sangat erat memeluk sang ibu yang sedang terjangkit virus yang sangat mematikan. “Anak-anakku, ibu sangat menyayangi kalian,”bisik Bu Nina ditelinga anak-anaknya.
***
“Selamat pagi bu,” sapa Yanti sambil membuka tirai kamar rumah sakit. Ibunya tak menjawab. “Ibu tidurnya nyenyak sekali, lebih baik kubelikan minuman hangat agar tubuhnya terasa lebih ringan,” pikir Yanti sambil tersenyum melihat wajah ibunya. Tak lama setelah Yanti keluar untuk membelikan minuman, dokter pun datang untuk mengecek kesehatan Bu Nina. Dokter mengetuk pintu kamar dan Doni segera terbangun karena suara ketukan pintu. “Oh dokter, silahkan Dok.” “Maaf mengganggu, saya ingin melihat perkembangan ibu Anda,” kata dokter dengan suara bijak. “Iya, Dok tidak apa-apa, silahkan diperiksa.” Dari awal dokter sudah merasa curiga dengan kondisi kesehatan Bu Nina karena wajahnya yang begitu pucat. Namun, untuk memastikan dokter pun memeriksa dengan saksama dan secara perlahan. Doni pun sangat memperhatikan gerak-gerik dokter saat memeriksa ibunda tercintanya. Dokter memeriksa nadi Bu Nina, tetapi tidak ada detakan yang dirasakan dokter saat itu. Dokter mencari detak jantungnya. Hal itu pun tidak berbuah. Segera dokter menyarankan agar Bu Nina dibawa ke ruang operasi. Tim medis pun segera datang untuk membawa pasien ke dalam ruang operasi. Doni yang saat itu belum sempat bertanya mengenai keadaan ibunya hanya bisa berdoa dan berdoa agar kesehatan ibunya membaik. Tiba-tiba Yanti datang dengan sangat cemas menghampiri Doni di depan ruang operasi. Doni pun menenangkan kakaknya dan meyakinkannya bahwa keadaan ibunya baik-baik saja.
***
Dokter pun keluar dari ruangan dengan wajah datar. “Bagaimana, Dok?” tanya Doni dengan cemas. Dokter terdiam dengan menghela nafas panjang. “Maaf Nak, kami sudah berusaha dengan sangat. Namun, Tuhan berkehendak lain. Nyawa ibu Anda tidak tertolong karena penyakitnya yang sangat ganas,” terang dokter itu. “Apa? Ibu saya meninggal, Dok? Tidak , itu tidak mungkin. Dokter pasti salah, Dokter pasti salah,” tangis Doni pecah seketika mendengar kabar tragis itu. Yanti dan Doni bergegas untuk melihat keadaan ibunya di dalam ruangan. Lari mereka terhenti sejenak, saat melihat ibunya tergeletak tak berdaya dan tak bernyawa lagi. Yanti berjalan perlahan mendekati ibunya dan mulai menyentuh pipi sang ibu. Itu terasa begitu menyedihkan, sakit, perih, tercabik-cabik rasa hati ini melihat orang yang disayangi sudah tak ada lagi di dunia. “Bu .. mengapa secepat ini Bu?” Doni menangis haru di samping jasad ibunya. Jasad yang hanya tinggal tulang dan putih pucat. Badan yang dulunya sangat sempurna, begitu molek kini mengkerut dan sisa tulang akibat penyakit yang dideritanya. Kesedihan itu begitu dalam dirasakan oleh Doni dan Yanti saat pemakaman ibunya, tanpa didampingi kerabatnya. Hanya mereka yang tersisa di tempat pemakaman menangisi kepergian ibunya. Mereka sangat merasa kehilangan. Dengan kondisi yang seperti ini seharusnya orang-orang sekitar merasa prihatin dengan kondisi yang sedang dihadapi Doni dan Yanti. Mereka menyadari bahwa ini akibat dari kelakuan ibunya yang terdahulu yang sombong dan tidak pernah memiliki rasa saling menghormati antarwarga sekitar. Selain itu, juga profesi yang dijalani sebagai wanita penghibur dengan penghasilan yang cukup besar untuk memenuhi keperluannya sendiri. Seperti make-up, untuk membeli pakaian-pakaian yang sedang trend serta accecoris untuk mendukung penampilannya di tempat kerja agar laki-laki buaya yang berkantong tebal dapat tertarik pada kemolekan tubuhnya. Doni dan Yanti hanya bisa pasrah dengan cemoohan dari warga sekitar yang selalu menganggap mereka sebagai anak pelacur. Namun, Doni dan Yanti yakin suatu saat semua akan berubah dan indah pada waktunya. Kini yang harus mereka pikirkan adalah belajar, belajar, dan belajar untuk meraih cita-cita dan mengubah nasib mereka dan tidak merepotkan pihak panti asuhan yang telah mau merawat mereka dan memberikan mereka makan setiap hari.
***
Suatu hari, ketika Yanti sedang termenung di depan kamar sambil memandang langit malam dia melihat ibunya dengan gaun putih yang indah dan wajah yang begitu bersinar berkata,”Nak, teruskan cita-citamu. Ibu di sini selalu memberimu restu dan ingat jaga adikmu sampaikan salam ibu padanya.” Yanti terkejut dan menampar-nampar pipinya, ternyata dia tidak sedang bermimpi. Ya, itu adalah sosok sang ibu yang datang dari alam lain untuk memberikan petuah pada anaknya. Hal ini membuktikan bahwa seberapa kerasnya hati seorang ibu, pasti dibalik itu masih ada serpihan-serpihan kasih sayang yang dimiliki sebagai awal untuk membangun kesuksesan anak-anaknya. Setelah meresapi kata-kata yang disampaikan ibunya kemarin, Yanti mulai bangkit. Dia berusaha dan berusaha dan akhirnya dia dapat menyelesaikan kuliahnya dengan hasil yang terbaik. ‘Ini berkat Ibu,”bisiknya dalam hati.
***
***
“Selamat pagi bu,” sapa Yanti sambil membuka tirai kamar rumah sakit. Ibunya tak menjawab. “Ibu tidurnya nyenyak sekali, lebih baik kubelikan minuman hangat agar tubuhnya terasa lebih ringan,” pikir Yanti sambil tersenyum melihat wajah ibunya. Tak lama setelah Yanti keluar untuk membelikan minuman, dokter pun datang untuk mengecek kesehatan Bu Nina. Dokter mengetuk pintu kamar dan Doni segera terbangun karena suara ketukan pintu. “Oh dokter, silahkan Dok.” “Maaf mengganggu, saya ingin melihat perkembangan ibu Anda,” kata dokter dengan suara bijak. “Iya, Dok tidak apa-apa, silahkan diperiksa.” Dari awal dokter sudah merasa curiga dengan kondisi kesehatan Bu Nina karena wajahnya yang begitu pucat. Namun, untuk memastikan dokter pun memeriksa dengan saksama dan secara perlahan. Doni pun sangat memperhatikan gerak-gerik dokter saat memeriksa ibunda tercintanya. Dokter memeriksa nadi Bu Nina, tetapi tidak ada detakan yang dirasakan dokter saat itu. Dokter mencari detak jantungnya. Hal itu pun tidak berbuah. Segera dokter menyarankan agar Bu Nina dibawa ke ruang operasi. Tim medis pun segera datang untuk membawa pasien ke dalam ruang operasi. Doni yang saat itu belum sempat bertanya mengenai keadaan ibunya hanya bisa berdoa dan berdoa agar kesehatan ibunya membaik. Tiba-tiba Yanti datang dengan sangat cemas menghampiri Doni di depan ruang operasi. Doni pun menenangkan kakaknya dan meyakinkannya bahwa keadaan ibunya baik-baik saja.
***
Dokter pun keluar dari ruangan dengan wajah datar. “Bagaimana, Dok?” tanya Doni dengan cemas. Dokter terdiam dengan menghela nafas panjang. “Maaf Nak, kami sudah berusaha dengan sangat. Namun, Tuhan berkehendak lain. Nyawa ibu Anda tidak tertolong karena penyakitnya yang sangat ganas,” terang dokter itu. “Apa? Ibu saya meninggal, Dok? Tidak , itu tidak mungkin. Dokter pasti salah, Dokter pasti salah,” tangis Doni pecah seketika mendengar kabar tragis itu. Yanti dan Doni bergegas untuk melihat keadaan ibunya di dalam ruangan. Lari mereka terhenti sejenak, saat melihat ibunya tergeletak tak berdaya dan tak bernyawa lagi. Yanti berjalan perlahan mendekati ibunya dan mulai menyentuh pipi sang ibu. Itu terasa begitu menyedihkan, sakit, perih, tercabik-cabik rasa hati ini melihat orang yang disayangi sudah tak ada lagi di dunia. “Bu .. mengapa secepat ini Bu?” Doni menangis haru di samping jasad ibunya. Jasad yang hanya tinggal tulang dan putih pucat. Badan yang dulunya sangat sempurna, begitu molek kini mengkerut dan sisa tulang akibat penyakit yang dideritanya. Kesedihan itu begitu dalam dirasakan oleh Doni dan Yanti saat pemakaman ibunya, tanpa didampingi kerabatnya. Hanya mereka yang tersisa di tempat pemakaman menangisi kepergian ibunya. Mereka sangat merasa kehilangan. Dengan kondisi yang seperti ini seharusnya orang-orang sekitar merasa prihatin dengan kondisi yang sedang dihadapi Doni dan Yanti. Mereka menyadari bahwa ini akibat dari kelakuan ibunya yang terdahulu yang sombong dan tidak pernah memiliki rasa saling menghormati antarwarga sekitar. Selain itu, juga profesi yang dijalani sebagai wanita penghibur dengan penghasilan yang cukup besar untuk memenuhi keperluannya sendiri. Seperti make-up, untuk membeli pakaian-pakaian yang sedang trend serta accecoris untuk mendukung penampilannya di tempat kerja agar laki-laki buaya yang berkantong tebal dapat tertarik pada kemolekan tubuhnya. Doni dan Yanti hanya bisa pasrah dengan cemoohan dari warga sekitar yang selalu menganggap mereka sebagai anak pelacur. Namun, Doni dan Yanti yakin suatu saat semua akan berubah dan indah pada waktunya. Kini yang harus mereka pikirkan adalah belajar, belajar, dan belajar untuk meraih cita-cita dan mengubah nasib mereka dan tidak merepotkan pihak panti asuhan yang telah mau merawat mereka dan memberikan mereka makan setiap hari.
***
Suatu hari, ketika Yanti sedang termenung di depan kamar sambil memandang langit malam dia melihat ibunya dengan gaun putih yang indah dan wajah yang begitu bersinar berkata,”Nak, teruskan cita-citamu. Ibu di sini selalu memberimu restu dan ingat jaga adikmu sampaikan salam ibu padanya.” Yanti terkejut dan menampar-nampar pipinya, ternyata dia tidak sedang bermimpi. Ya, itu adalah sosok sang ibu yang datang dari alam lain untuk memberikan petuah pada anaknya. Hal ini membuktikan bahwa seberapa kerasnya hati seorang ibu, pasti dibalik itu masih ada serpihan-serpihan kasih sayang yang dimiliki sebagai awal untuk membangun kesuksesan anak-anaknya. Setelah meresapi kata-kata yang disampaikan ibunya kemarin, Yanti mulai bangkit. Dia berusaha dan berusaha dan akhirnya dia dapat menyelesaikan kuliahnya dengan hasil yang terbaik. ‘Ini berkat Ibu,”bisiknya dalam hati.
***
PROFIL PENULIS
Haii, Nama saya Dwi agustini, saya bersekolah di SMA N 4 SINGARAJA
Add ya di : ewiiq second auugust. semoga kalian suka dengan cerpen saya.
Add ya di : ewiiq second auugust. semoga kalian suka dengan cerpen saya.