AYAH BACAKAN AKU CINTA
Karya Azahra
“Ayah, bacakan aku cinta !”
Ini adalah sebuah cerita tentang kekuatan cinta yang mengalir dalam deburan ombak yang tak mengerti tentang nadanya.
Raut wajah ayah terlihat tak berdaya, pucat dan lemah terbaring di atas tempat tidur. Penyakit darah tinggi yang di deritanya kambuh lagi. Satu jam sebelum dia terbaring lemah di tempat tidur. Ayah bagai orang gila, kata kasar terucap tak henti menghujamku tanpa sebab yang pasti.semua barang di bantingnya. Ibu hanya bisa menangis melihat semua kenyataan yang ada di hadapannya.
“ Ayah”
Tak ada sahutan.
Ini adalah sebuah cerita tentang kekuatan cinta yang mengalir dalam deburan ombak yang tak mengerti tentang nadanya.
Raut wajah ayah terlihat tak berdaya, pucat dan lemah terbaring di atas tempat tidur. Penyakit darah tinggi yang di deritanya kambuh lagi. Satu jam sebelum dia terbaring lemah di tempat tidur. Ayah bagai orang gila, kata kasar terucap tak henti menghujamku tanpa sebab yang pasti.semua barang di bantingnya. Ibu hanya bisa menangis melihat semua kenyataan yang ada di hadapannya.
“ Ayah”
Tak ada sahutan.
Aku berdiri di dekat pintu dengan wajah penuh dengan air mata. Ayah hanya diam, seluruh tubuhnya gemetar, suhu badannya tinggi.
“ Ayah”
“ Anak keparat, pergi sana, aku tak ingin mendengar suaramu”
Aku segera berlari menuju ke kamar, tak tahan dengan sikap Ayah yang selalu membenciku, seakan aku bukanlah anak kandungnya. Anak keparat? , kata itu terniang di kepalaku. Sepertinya lidah Ayah ingin memenggal diriku. Aku anaknya. Tak pernah ada yang benar di mata Ayah, aku selalu sebagai tersangka ketika segala keributan terjadi. Aku mencoba bersabar.
“ Nak, tenanglah”
“ Bu, aku lelah bu..aku lelah dengan sikap Ayah. Sampai kapan aku harus tetap seperti ini?”
Belaian hangat ibu menenangkan hatiku, aku menangis dalam pelukan ibu. Helaan napas panjang terhembus dari dada perempuan tua berwajah sayu itu. Hatinya penuh dengan kesabaran.
“ Semuanya pasti kan cepat berakhir, kita harus mengerti. Sekarang Ayah sedang sakit, ia tak bermaksud memarahimu”, ucap lembut ibu.
Ibu menghapus air mataku.
“ Seberapa lamakah aku harus mengeti tentang semua ini bu, aku selalu mengerti, tapi ayah tak mengerti tentang perasaanku, apakah aku bukan anak kandungnya ?”
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja, sebaris kalimat tanya yang membuat wajah ibu seketika berubah. Elusan tangan ibu terhenti di bahuku.
“ Kau anak ibu, kau juga anak ayah nak. Kau adalah bidadari kecil ibu, di dalam darahmu mengalir cinta ayah dan ibu. Kau adalah anak kandung kita berdua”. ucap pilu ibu, air matanya jatuh membasahi pipinya.
***
Suasana di rumah mencair. Ayah tertidur pulas di kamarnya. Kak Roni, kakak tertuaku duduk di ruang tamu dengan wajah setengah marah. Kak Roni baru pulang kerja.
“Ayah memarahimu lagi ?”
Aku hanya bisa menganggukan kepalaku.
Ia terdiam, tak berucap sepatah katapun dari mulutnya.
“ Huufss….”. helaian nafas panjang keluar dari bibirnya.
***
Malam membawa deretan tanya. Ketegangan terlihat dari wajah Ibu, Adek Nisa, Kak Roni, dan Kak Hanny. Tak ada yang berucap setelah kejadian tadi sore. Aku duduk di samping ayah yang terbaring lemah. Menatap wajah seorang lelaki tua dengan semburat keriput di wajahnya, rambutnya sudah hampir memutih semua. Tangannya penuh dengan luka pecahan kaca, goresan kecil bagai sebuah karya seni yang menyedihkan. Aku segera mengambil obat merah dan perban. Ketika ku memegang tangan ayah yang masih tertidur, ayah merintih pelan. Matanya terbuka perlahan membidik kearah wajahku, bagai anak panah yang siap berlari menuju ke tempat sasaran. Tatapan ayah tajam dan seketika membidik tepat sasaran.
“ Apa yang kau lakukan di sini, pergi sana”,
“ A-a-aku..ingin mengobati luka di tangan ayah”,
“ Pergi…..pergi kau dari sampingku”,
Teriaknya memecah keheningan, hatiku terluka mendegar ucapan ayah. Ibu terdiam di pintu, ia tak bisa berucap apapun. Derai air mata melelah di pipiku. Aku segera berlari menuju ke kamar, hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku ingin berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin menerobos ruang waktu, kembali ke masa lalu. Mencari di manakah letak kesalahanku sehingga membuat ayah sangat membenciku. Ku kunci kamarku, biarlah aku sendiri, karna aku tak pantas bersama siapapun di luar sana.
“ Ayah, apakah salah Azza ?”,
“ Azza ingin bersama ayah, aku rindu belai hangat tangan ayah”,
“ Ayah, apakah suara Azza ssangatlah jelek, sehingga membuat telinga ayah sakit, dan tak mau mendengar suara Azza berbicara ataupun sekedar berbisik saja?”,
“ Ayah, apakah tangan Azza terlalu kotor untuk membersihkan luka di tanganmu, sehingga tak pantas jari-jariku bersentuhan dengan tanganmu?”,
“ Ayah, apakah wajah Aza sangatlah buruk di mata ayah, sehingga ayah takut dan tak ingin melihat wajah Azza ?”,
“ Ayah, Azza sayang ayah, Azza sangat sayang ayah, tapi kenapa ayah tak pernah sayang sama Azza ?”
Deretan tanya keluar dai mulutku, ku benamkan wajahku ke bantal, terisak-isak suara tangis yang keluar tertahan, luka di hati makin mengangga. Malam ini deretan tanya bersarang di kepalaku.
Aku berdiri di samping ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk sarapan. Kak Roni sudah berangkat bekerja. Kak Hanny sibuk membersihkan kamarnya. Bapak masih tertidur di kamarnya.
Pisau di tanganku begitu tajam, kalau kau tergores di tanganku, kulitku kan bersedia mengeluarkan darah segar sedikit dari tangan ini. Itu tak kan sakit sesakit hatiku selama ini. luka di tangan yang kau buat bisa ku obati dan lukanya nanti akan cepat sembuh, sedangkan luka di hati ini susah untuk ku obati, lama menunggunya sembuh. Sampai sekarang aku tak menemukan obat penghilang luka di hati ini. Ku tatap pisau itu. Pikiranku sibuk bermain dengan hatiku.
“ Nak, apa yang sedang kau pikirkan ?”
Lamuananku berhamburan, aku yang terdiam seketika tersentak kaget.
“ A-apa bu ?”
“ Mmm..kamu kenapa, dari tadi ibu bicara kok nggak di dengerin”,
“ Nggak ada bu”,
“ Lebih baik kamu istirahat saja, kalo kamu lagi nggak enak badan’.
“ Nggak kok bu, Azza baik-baik saja”.
***
Ayah duduk di teras rumah bersama Hj. Hasan, teman baik ayah dari desa sebelah. Beliau datang menjenguk ayah yang sedang sakit. Aku duduk di ruang tamu sambil menonton televisi bersama Nisa, adikku yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Bosan dengan tayangan televisi yang itu-itu saja. Pikiranku tak focus pada layar di hadapanku. Aku tak sengaja mendengar pembicaraan ayah dan Hj. Hasan di luar. Terdengar jelas di telingaku.
“ Gimana dengan anak-anakmu sekarang Abi ?”
“ Sekarang mereka sudah tumbuh besar. Kamu tau kan anak kecil yang sering aku bawa ke rumahmu dulu, sekarang dia telah kuliah dan bukan itu saja, Roni sekarang sudah bisa bekerja, kemarin dia sempat ke Sumbawa karna ada kontrak kerja di sana untuk beberapa bulan”, terdengar suara ayah keras membanggakan Kak Roni.
“ Anakmu sudah bisa kuliah dan kerja, aku tak menyangka semua itu. Waktu ini begitu cepat berjalan, baru kemarin rasanya aku melihat bocah kecil itu. Ow iya..gimana dengan anak-anak gadismu..?”
“ Semuanya masih sekolah, Nisa masih kelas 3 SMP. Kau tau kan anak gadis ku yang satu itu, dia sangat cantik, mirip ibunya”, ucap ayah membanggakan Nisa pada Hj. Hasan.
Nisa yang serius menonton televisi tak mendegarakan apa yang di bicarakan oleh ayah dan Hj. Hasan. Nisa nggak tau kalo dia sedang di puji oleh ayah. Dia hanya sibuk memperhatikan layar televisi. Aku terdiam, telingaku sibuk mencuri suara pembicaraan ayah dan Hj. Hasan di teras rumah.
“ Hanny, dia masih kelas 3 SMA. Besok beberapa bulan lagi dia akan menyusul Roni untuk kuliah atau bekerja, entah aku tak tau besok ada biaya atau tidak untuk bisa melanjutakannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia anak gadis ku yang paling besar dan hanny sering membantu ibunya, esok kalo dia sudah besar aku yakin dia bakal menjadi istri yang baik. Hahaha”, tawa ayah mengakhiri kalimat yang membanggakan untuk Kak Hanny.
“ Aku menunggu, aku masih menunggu. Kapan giliran namaku di sebut oleh ayah. Kenapa urutan namaku di loncat oleh ayah. Seharusnya nama Azza setelah nama Nisa, dan sekarang kenapa namaku belum di sebut oleh ayah ?.”, batinku bergejolak tak menentu.
“ Ayo silahkan minum tehnya”, ucap ayah pada Hj. Hasan.
“ Nanti namaku pasti di sebut. Mungkin ayah lupa. Nanti ayah pasti menyebut namaku, ayah sedang minum teh bersama Hj. Hasan, dan nanti setelah mereka minum teh, ayah bakal cerita tentang anak gadisnya yang satu ini, aku akan menunggu namaku di sebut oleh ayah”, ucap batinku menguatkan.
Aku masih menunggu, tapi yang keluar dari mulut ayah bukan namaku, mereka berdua membahas hal lain. Beberapa menit kemudian, bumi seakan berhenti berputar, angin seakan berhenti berhembus, waktu seakan terhenti. Aku terdiam membisu, satu yang ku lakukan ketika semua terasa mencengram hatiku. Seperti biasa, aku menuju ke kamar, badanku terasa ringan, lemah ragaku, air mataku meleleh seketika.
“ Aku masih menunggu ayah, Azza masih menunggu. Kapan ayah menyebut nama Azza”, ucapku pelan.
“ Apakah nama Azza sangatlah susah di ucapkan..?”,
“ Apakah nama Azza tidak terdaftar di hati ayah sebagai anakmu?”,
“ Ayah, aku juga ingin namaku di sebut ayah, tapi kapan…?”
“ Ayah, Azza sayang ayah”.
“ Ayah, bacakan aku cinta…!”.
Aku tak pernah mengerti cinta yang ada di dalam hatimu ayah, ku mohon bacakan aku tentang cintamu, agar aku bisa menghafalnya. Agar aku bisa tau seberapa besarkah cinta ayah ke Azza. Agar aku tak lupa bahwa ada secuil cinta untukku dari ayah. Aku ingin tau apakah ayah cinta Azza. Ayah bacakanlah aku cinta itu, agar aku bisa mengerti bahwa Azza juga anak kandung ayah seperti kak Roni, kak Hanny dan adek Nisa.
“ Ayah, bacakan aku cinta yang ada di dalam hatimu untuk Azza..!”.
“ Ayah”
“ Anak keparat, pergi sana, aku tak ingin mendengar suaramu”
Aku segera berlari menuju ke kamar, tak tahan dengan sikap Ayah yang selalu membenciku, seakan aku bukanlah anak kandungnya. Anak keparat? , kata itu terniang di kepalaku. Sepertinya lidah Ayah ingin memenggal diriku. Aku anaknya. Tak pernah ada yang benar di mata Ayah, aku selalu sebagai tersangka ketika segala keributan terjadi. Aku mencoba bersabar.
“ Nak, tenanglah”
“ Bu, aku lelah bu..aku lelah dengan sikap Ayah. Sampai kapan aku harus tetap seperti ini?”
Belaian hangat ibu menenangkan hatiku, aku menangis dalam pelukan ibu. Helaan napas panjang terhembus dari dada perempuan tua berwajah sayu itu. Hatinya penuh dengan kesabaran.
“ Semuanya pasti kan cepat berakhir, kita harus mengerti. Sekarang Ayah sedang sakit, ia tak bermaksud memarahimu”, ucap lembut ibu.
Ibu menghapus air mataku.
“ Seberapa lamakah aku harus mengeti tentang semua ini bu, aku selalu mengerti, tapi ayah tak mengerti tentang perasaanku, apakah aku bukan anak kandungnya ?”
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja, sebaris kalimat tanya yang membuat wajah ibu seketika berubah. Elusan tangan ibu terhenti di bahuku.
“ Kau anak ibu, kau juga anak ayah nak. Kau adalah bidadari kecil ibu, di dalam darahmu mengalir cinta ayah dan ibu. Kau adalah anak kandung kita berdua”. ucap pilu ibu, air matanya jatuh membasahi pipinya.
***
Suasana di rumah mencair. Ayah tertidur pulas di kamarnya. Kak Roni, kakak tertuaku duduk di ruang tamu dengan wajah setengah marah. Kak Roni baru pulang kerja.
“Ayah memarahimu lagi ?”
Aku hanya bisa menganggukan kepalaku.
Ia terdiam, tak berucap sepatah katapun dari mulutnya.
“ Huufss….”. helaian nafas panjang keluar dari bibirnya.
***
Malam membawa deretan tanya. Ketegangan terlihat dari wajah Ibu, Adek Nisa, Kak Roni, dan Kak Hanny. Tak ada yang berucap setelah kejadian tadi sore. Aku duduk di samping ayah yang terbaring lemah. Menatap wajah seorang lelaki tua dengan semburat keriput di wajahnya, rambutnya sudah hampir memutih semua. Tangannya penuh dengan luka pecahan kaca, goresan kecil bagai sebuah karya seni yang menyedihkan. Aku segera mengambil obat merah dan perban. Ketika ku memegang tangan ayah yang masih tertidur, ayah merintih pelan. Matanya terbuka perlahan membidik kearah wajahku, bagai anak panah yang siap berlari menuju ke tempat sasaran. Tatapan ayah tajam dan seketika membidik tepat sasaran.
“ Apa yang kau lakukan di sini, pergi sana”,
“ A-a-aku..ingin mengobati luka di tangan ayah”,
“ Pergi…..pergi kau dari sampingku”,
Teriaknya memecah keheningan, hatiku terluka mendegar ucapan ayah. Ibu terdiam di pintu, ia tak bisa berucap apapun. Derai air mata melelah di pipiku. Aku segera berlari menuju ke kamar, hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku ingin berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin menerobos ruang waktu, kembali ke masa lalu. Mencari di manakah letak kesalahanku sehingga membuat ayah sangat membenciku. Ku kunci kamarku, biarlah aku sendiri, karna aku tak pantas bersama siapapun di luar sana.
“ Ayah, apakah salah Azza ?”,
“ Azza ingin bersama ayah, aku rindu belai hangat tangan ayah”,
“ Ayah, apakah suara Azza ssangatlah jelek, sehingga membuat telinga ayah sakit, dan tak mau mendengar suara Azza berbicara ataupun sekedar berbisik saja?”,
“ Ayah, apakah tangan Azza terlalu kotor untuk membersihkan luka di tanganmu, sehingga tak pantas jari-jariku bersentuhan dengan tanganmu?”,
“ Ayah, apakah wajah Aza sangatlah buruk di mata ayah, sehingga ayah takut dan tak ingin melihat wajah Azza ?”,
“ Ayah, Azza sayang ayah, Azza sangat sayang ayah, tapi kenapa ayah tak pernah sayang sama Azza ?”
Deretan tanya keluar dai mulutku, ku benamkan wajahku ke bantal, terisak-isak suara tangis yang keluar tertahan, luka di hati makin mengangga. Malam ini deretan tanya bersarang di kepalaku.
Aku berdiri di samping ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk sarapan. Kak Roni sudah berangkat bekerja. Kak Hanny sibuk membersihkan kamarnya. Bapak masih tertidur di kamarnya.
Pisau di tanganku begitu tajam, kalau kau tergores di tanganku, kulitku kan bersedia mengeluarkan darah segar sedikit dari tangan ini. Itu tak kan sakit sesakit hatiku selama ini. luka di tangan yang kau buat bisa ku obati dan lukanya nanti akan cepat sembuh, sedangkan luka di hati ini susah untuk ku obati, lama menunggunya sembuh. Sampai sekarang aku tak menemukan obat penghilang luka di hati ini. Ku tatap pisau itu. Pikiranku sibuk bermain dengan hatiku.
“ Nak, apa yang sedang kau pikirkan ?”
Lamuananku berhamburan, aku yang terdiam seketika tersentak kaget.
“ A-apa bu ?”
“ Mmm..kamu kenapa, dari tadi ibu bicara kok nggak di dengerin”,
“ Nggak ada bu”,
“ Lebih baik kamu istirahat saja, kalo kamu lagi nggak enak badan’.
“ Nggak kok bu, Azza baik-baik saja”.
***
Ayah duduk di teras rumah bersama Hj. Hasan, teman baik ayah dari desa sebelah. Beliau datang menjenguk ayah yang sedang sakit. Aku duduk di ruang tamu sambil menonton televisi bersama Nisa, adikku yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Bosan dengan tayangan televisi yang itu-itu saja. Pikiranku tak focus pada layar di hadapanku. Aku tak sengaja mendengar pembicaraan ayah dan Hj. Hasan di luar. Terdengar jelas di telingaku.
“ Gimana dengan anak-anakmu sekarang Abi ?”
“ Sekarang mereka sudah tumbuh besar. Kamu tau kan anak kecil yang sering aku bawa ke rumahmu dulu, sekarang dia telah kuliah dan bukan itu saja, Roni sekarang sudah bisa bekerja, kemarin dia sempat ke Sumbawa karna ada kontrak kerja di sana untuk beberapa bulan”, terdengar suara ayah keras membanggakan Kak Roni.
“ Anakmu sudah bisa kuliah dan kerja, aku tak menyangka semua itu. Waktu ini begitu cepat berjalan, baru kemarin rasanya aku melihat bocah kecil itu. Ow iya..gimana dengan anak-anak gadismu..?”
“ Semuanya masih sekolah, Nisa masih kelas 3 SMP. Kau tau kan anak gadis ku yang satu itu, dia sangat cantik, mirip ibunya”, ucap ayah membanggakan Nisa pada Hj. Hasan.
Nisa yang serius menonton televisi tak mendegarakan apa yang di bicarakan oleh ayah dan Hj. Hasan. Nisa nggak tau kalo dia sedang di puji oleh ayah. Dia hanya sibuk memperhatikan layar televisi. Aku terdiam, telingaku sibuk mencuri suara pembicaraan ayah dan Hj. Hasan di teras rumah.
“ Hanny, dia masih kelas 3 SMA. Besok beberapa bulan lagi dia akan menyusul Roni untuk kuliah atau bekerja, entah aku tak tau besok ada biaya atau tidak untuk bisa melanjutakannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia anak gadis ku yang paling besar dan hanny sering membantu ibunya, esok kalo dia sudah besar aku yakin dia bakal menjadi istri yang baik. Hahaha”, tawa ayah mengakhiri kalimat yang membanggakan untuk Kak Hanny.
“ Aku menunggu, aku masih menunggu. Kapan giliran namaku di sebut oleh ayah. Kenapa urutan namaku di loncat oleh ayah. Seharusnya nama Azza setelah nama Nisa, dan sekarang kenapa namaku belum di sebut oleh ayah ?.”, batinku bergejolak tak menentu.
“ Ayo silahkan minum tehnya”, ucap ayah pada Hj. Hasan.
“ Nanti namaku pasti di sebut. Mungkin ayah lupa. Nanti ayah pasti menyebut namaku, ayah sedang minum teh bersama Hj. Hasan, dan nanti setelah mereka minum teh, ayah bakal cerita tentang anak gadisnya yang satu ini, aku akan menunggu namaku di sebut oleh ayah”, ucap batinku menguatkan.
Aku masih menunggu, tapi yang keluar dari mulut ayah bukan namaku, mereka berdua membahas hal lain. Beberapa menit kemudian, bumi seakan berhenti berputar, angin seakan berhenti berhembus, waktu seakan terhenti. Aku terdiam membisu, satu yang ku lakukan ketika semua terasa mencengram hatiku. Seperti biasa, aku menuju ke kamar, badanku terasa ringan, lemah ragaku, air mataku meleleh seketika.
“ Aku masih menunggu ayah, Azza masih menunggu. Kapan ayah menyebut nama Azza”, ucapku pelan.
“ Apakah nama Azza sangatlah susah di ucapkan..?”,
“ Apakah nama Azza tidak terdaftar di hati ayah sebagai anakmu?”,
“ Ayah, aku juga ingin namaku di sebut ayah, tapi kapan…?”
“ Ayah, Azza sayang ayah”.
“ Ayah, bacakan aku cinta…!”.
Aku tak pernah mengerti cinta yang ada di dalam hatimu ayah, ku mohon bacakan aku tentang cintamu, agar aku bisa menghafalnya. Agar aku bisa tau seberapa besarkah cinta ayah ke Azza. Agar aku tak lupa bahwa ada secuil cinta untukku dari ayah. Aku ingin tau apakah ayah cinta Azza. Ayah bacakanlah aku cinta itu, agar aku bisa mengerti bahwa Azza juga anak kandung ayah seperti kak Roni, kak Hanny dan adek Nisa.
“ Ayah, bacakan aku cinta yang ada di dalam hatimu untuk Azza..!”.